BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

PENJELASAN HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT

1. BERBICARA

Yang dimaksud berbicara di sini adalah mengucapkan suara selain bacaan shalat, baik sengaja maupun lupa yang lebih dari dua huruf meski tidak dipahami, atau satu huruf yang dapat dipahami. Zaid bin Arqam berkata, “Dahulu dalam shalat kami berbicara satu sama lainnya sehingga turun firman Allah yang berbunyi, “Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk.” (Al-Baqarah: 238) setelah itu kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat.” HR. Jama’ah, kecuali Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 311)
Hadits lain yang menguatkan adalah riwayat Mu'awiyyah bin Hakam As-Sulami yang berbunyi, “Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba ada salah seorang dari kami yang bersin. Lantas aku berkata, 'Yarhamukallaah.' Mendengar ucapanku itu, orang-orang memerhatikanku. Lantas aku bertanya, “Celaka! Mengapa kalian menatapku seperti itu?” Kemudian mereka menepukkan tangan pada paha mereka sendiri. Dan ketika mereka menyuruhku untuk diam, maka aku pun diam. Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilku. Dan sungguh aku tidak pernah melihat metode pendidikan yang lebih baik daripada metode pendidikan beliau. Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menegur, memukul, ataupun memakiku. Beliau hanya bersabda, “Shalat itu tidak patut dicampur dengan ucapan manusia, dan yang diperbolehkan dalam shalat hanyalah bacaan tasbih, takbin dan bacaan ayat-ayat Al-Qur' an.” HR. Ahmad, Muslim, An-Nasa’i dan Abu Dawud (Nailul Authar jilid 2 halaman 314). Imam Al-Mundziri berkata, “Ucapan ‘maka aku pun diam’ maksudnya dia masih hendak berbicara, namun akhirnya diam.”
Di antara ucapan yang membatalkan shalat adalah berdehem tanpa ada udzur jika memang
disertai keluarnya dua huruf atau lebih. Kemudian yang membatalkan shalat lagi adalah mengeluh, merintih, menggerutu, dan menangis jika mengandung huruf-huruf yang jelas terdengar. Kecuali, jika memang sedang sakit atau benar-benar merasakan takut kepada Allah. Menjawab orang yang bersin dan menjawab salam juga membatalkan shalat.
Berdoa dengan redaksi yang mirip dengan omongan manusia juga membatalkan shalat, hanya saja para ulama mempunyai perincian dalam hal ini.

a. Ulama Hanafiyyah

Menurut pendapat yang mukhtar (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 574-593; Al-Bada’i jilid 1 halaman 220, 232-242; Fathul Qadir jilid 1 halaman 280-286), shalat dianggap batal jika mengucapkan kalimat baik dengan sengaja, lupa, tidak tahu, kesalahan, maupun terpaksa, yaitu dengan mengucapkan dua hurufatau satu huruf yang dapat dipahami, seperti (ع) atau mengucapkan huruf (Ù‚). Hukum ini sama halnya dengan mengucapkan salam kepada seseorang atau menjawab salam dengan lisannya, bukan dengan tangannya -menjawab salam dengan tangan hukumnya makruh menurut pendapat yang mu'tamad-, atau menjawab orang yang bersin, atau memanggil seseorang dengan ucapan “Yaa” meskipun lupa. Akan tetapi, jika seseorang lupa dan mengucapkan salam keluar dari shalat karena menganggap shalatnya sudah sempurna, namun padahal belum, maka shalatnya tidak batal. Jika seseorang berjabat tangan dengan niat salam, maka shalatnya batal. Karena, ia melakukan banyak gerakan.
Jika menghardik anjing atau kucing, atau menggiring keledai dengan ucapan yang tidak termasuk huruf hijaiyyah, maka shalatnya tidak batal. Karena, suara yang keluar bukan termasuk huruf hijaiyyah.
Orang yang menangis histeris dalam shalat karena mendengar musibah, maka shalatnya batal karena terang-terangan menunjukkan musibah itu.
Shalat juga dianggap batal karena berdehem dengan mengeluarkan dua huruf tanpa udzur. Namun jika ada udzur; seperti misalnya karena memang sudah tabiat, maka shalatnya tidak batal, atau karena ada tujuan yang baik, seperti membaguskan suara atau menunjukkan imam pada hal yang benar, atau dengan tujuan memberi tahu orang lain bahwa ia berada dalam shalat. Semua itu tidak membatalkan shalat menurut pendapat yang shahih. Jelasnya, berdehem dalam shalat jika ada udzur tidak membatalkan shalat. Shalat dianggap batal jika berdoa dengan doa yang menyerupai ucapan manusia, yaitu doa yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an ataupun hadits.           
Shalat juga batal karena merintih (aah), mengeluh (huuh), menggerutu, atau menangis hingga mengeluarkan huruf. Kecuali, karena sakit yang tak tertahan sehingga dengan refleks keluar rintihan dan keluhan. Hal ini tidak membatalkan karena keadaannya sama dengan bersin, batuk, bersendawa, dan menguap, meskipun mengeluarkan huruf.
Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, meniup dalam shalat dengan menimbulkan suara
yang dapat terdengar dapat membatalkan shalat, baik dengan tujuan menggerutu maupun tidak. Ibnu Abbas berkata, “Meniup dalam shalat termasuk dalam kategori bicara.” HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya (Nailul Authar jilid 2 halaman 317)
Tidak batal shalat seseorang yang berdoa karena mendengar imam membaca ayat mengenai surga dan neraka, lantas ia menangis dan berkata, balaa (بلى) atau na'am (نعم) karena hal itu menunjukkan kekhusyukan.
Akan tetapi shalat dianggap batal jika menjawab kabar buruh membaca istirja', yaitu dengan mengucapkan (إنا لله وإنا إليه راجعون) (Al-Baqarah: 156) Hal ini batal karena menjadikannya sebagai jawaban sehingga seperti ucapan manusia.
Membaca ayat Al-Qur'an dalam shalat jika niatnya untuk menjawab pertanyaan, maka shalatnya batal. Contohnya seperti, jika ditanya apakah ada tuhan lain selain Allah, lantas djiawab,
Laa ilaaha illallaah.” Atau ditanya, “Harta apa yang engkau miliki?” Lantas dijawab,”Kuda, baghal, dan keledai.” (An-Nahl: 8) atau ditanya, “Anda datang dari mana?“ Lantas dijawab, “...sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (tidak ada penghuninya).” (Al-Hajj: 45)
Membaca ayat Al-Qur'an dalam shalat juga dianggap batal, jika niatnya untuk bertanya atau menyuruh. Misalnya hendak menyuruh orang yang bernama Yahya, lantas ia membaca ayat yang berbunyi, “Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” (Maryam: 12) atau bertanya kepada orang yang bernama Musa dengan ayat yang berbunyi, “Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?” (Thaahaa: 17) atau memberi izin masuk pada orang yang berada di pintu dengan membaca ayat yang berbunyi, “...Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia....” (Ali 'Imran: 97)
Jika dalam shalat dan mendengar imam menyebutkan nama Allah, seperti membaca (لا إله إلا الله) lantas ia menjawab dengan ucapan “Jalla jalaaluh,” atau membaca shalawat jika disebutkan nama Nabi, atau mengucapkan (صدق الله ورسوله) jika niatnya untuk menjawab maka shalatnya batal. Namun jika niatnya untuk mengagungkan Allah dan membaca shalawat, maka shalatnya tidak batal. Karena, hal itu tidak bertentangan dengan shalat.
Shalat tidak batal karena melihat tulisan yang dapat dipahami. Hanya saja, hukumnya makruh. Adapun membaca Al-Qur'an dari mushaf ketika shalat, menurut Abu Hanifah, shalatnya batal karena memegang mushaf, melihat, dan membolak-balikkan halamannya, termasuk melakukan banyak gerakan, dan juga mirip dengan talqin dari orang lain. Akan tetapi, menurut Imam Muhammad dan Abu Yusuf, hal itu tidak membatalkan shalat. Hanya saja, hukumnya makruh karena membaca Al-Qur'an dari mushaf dalam shalat termasuk ibadah yang ditambahkan pada ibadah lain. Hal ini makruh karena menyerupai Ahli Kitab.

b. Ulama Malikiyyah

Menurut pendapat ulama Malikiyyah (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 344; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 50), syarat sahnya shalat itu di antaranya dengan tidak berbicara, kecuali dengan ucapan yang termasuk bagian shalat atau dengan tujuan untuk membetulkan shalat. Jika ada ucapan lain selain bacaan shalat meski satu kalimat, semisal mengucapkan kalimat “ya” atau “tidak” untuk menjawab pertanyaan, maka shalatnya batal. Akan tetapi, jika ucapan yang dikeluarkan itu untuk memperingatkan kesalahan dalam shalat dan sesuai kebutuhan, maka hal itu tidak membatalkan shalat. Namun jika ucapan yang dikeluarkan itu banyak, maka shalatnya batal. Misalnya pada shalat empat rakaat, tetapi imam lupa dan mengucapkan salam pada rakaat kedua. Atau misalnya imam bangkit lagi, padahal sudah pada rakaat terakhir dan kebetulan makmumnya tidak tahu cara mengingatkan imam, lantas ia berkata, “Anda masih dalam rakaat kedua,” atau “Anda sudah pada rakaat terakhir,” maka hukumnya tidak apa-apa, karena mengikuti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Ia berkata, “Kami pernah shalat Zhuhur atau Ashar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pada rakaat kedua beliau mengucapkan salam.” Setelah itu, beliau mendekati pohon di arah kiblat dan bersandar padanya dengan wajah marah. Di antara makmum terdapat Abu Bakar dan Umar. Namun, keduanya takut untuk berbicara. Setelah orang-orang bergegas keluar lelaki yang berjulukan “Dzul Yadain” atau “Pemilik Dua Tangan” bertanya, “Ya Rasulullah! Anda sengaja mengqashar shalat atau memang lupa?” Beliau menjawab, “Aku tidak mengqashar juga tidak lupa!” Lelaki itu berkata lagi, “Anda tadi shalat dua rakaat.” Beliau bertanya, “Apakah benar apa yang dikatakan 'Pemilik Dua Tangan' ini?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Setelah itu, beliau langsung maju ke depan, shalat dua rakaat, salam, dan sujud Sahwi dua kali, kemudian salam lagi. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 67)
Siapa saja yang dalam shalat membaca ayat dengan tujuan memberikan pemahaman kepada seseorang maka shalatnya tidak batal. Contohnya, membaca ayat Yang berbunyi, “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.” (Al-Hijr: 46)
Shalat dianggap batal jika seseorang dengan sengaja bersuara meski tanpa huruf yang jelas, seperti kicau burung. Sengaja meniup dengan mulut juga membatalkan shalat, berbeda dengan hidung. Shalat juga batal jika sengaja mengucapkan salam ketika dalam keadaan bingung, apakah shalatnya sudah selesai atau belum.

c. Ulama Syafi'iyyah

Menurut pendapat ulama Syafi’iyyah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 194 dan seterusnya), mengucapkan dua kalimat yang termasuk ucapan manusia dan dapat dipahami tetap membatalkan shalat, meski untuk kemaslahatan shalat itu sendiri. Misalnya, mengucapkan “Jangan berdiri!” atau “Duduklah!” Batal juga dengan mengeluarkan satu huruf yang dapat dipahami menurut pendapat yang lebih shahih. Adapun berdehem dalam shalat, menangis, merintih, dan meniup, jika mengeluarkan dua huruf, maka shalatnya batal menurut pendapat yang lebih shahih. Jika mengeluarkan sedikit ucapan karena ketelepasan atau lupa sedang dalam shalat, maka hal itu dianggap udzur dan tidak membatalkan shalat. Karena, hal itu mengikuti hadits tentang kisah “Pemilik Dua Tangan” di atas.
Jika seseorang mengeluarkan ucapan dalam shalat karena tidak tahu bahwa dalam shalat itu tidak boleh berbicara, maka shalatnya tidak batal jika ucapan itu sedikit. Namun jika ucapannya banyak, maka shalatnya batal menurut pendapat yang lebih shahih. Ukuran sedikit banyaknya ucapan kembali pada patokan kebiasaan menurut pendapat yang lebih shahih. Ucapan yang dianggap sedikit kira-kira tidak lebih dari tujuh kalimat sebagaimana dalam hadis “Pemilik Dua Tangan.”
Ucapan-ucapan dalam shalat yang dimaafkan, antara lain berdehem, batuh dan bersin meski mengeluarkan lebih dari huruf dari tiap napasnya karena ketika batuk atau bersin susah untuk membaca bacaan waiib dalam shalat. Jika dalam shalat seseorang dipaksa untuk berbicara meski sedikit, maka menurut pendapat yang azhhar shalatnya batal.

d. Ulama Hanabilah

Menurut pendapat ulama Hanabilah (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 469; Al-Mughni jilid 1 halaman 575, jilid 2 halaman 44-54), di antara hal-hal yang dapat membatalkan shalat adalah mengeluarkan kalimat selain bacaan shalat sebanyak dua huruf atau lebih tanpa ada kemaslahatan untuk shalat, seperti ucapan, “Nak, tolong ambilkan air minumi atau sejenisnya.” Akan tetapi jika lupa dan telanjur mengeluarkan sedikit kalimat yang ada maslahatnya untuk shalat, maka shalatnya tidak batal sesuai dengan hadits “Dzul Yadain.” Hal ini berlaku bagi imam dan makmum.
Jika ada kalimat keluar tanpa disengaja, maka shalatnya juga tidak batal, seperti misalnya membaca salam karena lupa atau tertidur, atau ketika membaca ayat ada kalimat selain Al-Qur'an yang keluar tanpa sengaja. Hal-hal seperti ini tidak membatalkan shalat, karena susah untuk menghindar dari hal tersebut. Contoh lain seperti batuk, bersin, atau menguap hingga mengeluarkan suara dua huruf atau lebih.
Meniup dalam shalat dapat membatalkan shalat, iika memang sampai mengeluarkan dua huruf karena Ibnu Abbas berkata, “Siapa saja yang meniup dalam shalat, maka ia dianggap berbicara.” Merintih juga dapat membatalkan shalat, jika memang rintihannya itu mengeluarkan dua huruf. Namun jika berdehem karena ada keperluan, maka shalatnya tidak batal.
Ulama Hanabilah membolehkan membaca Al-Qur'an dengan menggunakan mushaf dalam
shalat. Namun, hal itu hukumnya makruh bagi orang yang hafal Al-Qur'an, karena dapat   mengurangi kekhusyukan dan tidak menatap pada tempat suiud tanpa adanya keperluan, sebagaimana dimakruhkannya dalam shalat fardhu secara mutlak. Karena, umumnya tidak membutuhkan mushaf dalam membaca ayat ataupun surah dalam shalat fardhu. Selain dua hal di atas, boleh hukumnya membaca Al-Qur'an dengan menggunakan mushaf dalam shalat karena memang membutuhkan. Dalil bolehnya membaca dengan mushaf adalah, bahwa Sayyidah Aisyah pernah bermakmum pada budaknya yang membaca Al-Qur'an dengan menggunakan mushaf. HR. Abu Bakar Al-Ataram, Ibnu Abi Dawud dari Aisyah. Imam Az-Zuhri pernah ditanya mengenai seseorang yang shalat dengan membaca dari mushaf pada bulan Ramadhan. Ia menjawab, “Orang-orang yang terbaik dari kami juga membaca dari mushaf.”

Pemberitahuan makmum pada imam atas kesalahan bacaan dalam shalat

Jika seorang makmum membetulkan kesalahan orang yang sedang membaca Al-Qur'an, namun bukan imamnya dalam shalat, maka shalatnya batal. Karena, hal itu termasuk pengajaran dan pendidikan, sehingga dianggap berbicara. Adapun pembetulan makmum pada imamnya atas
kesalahan bacaan Al-Qur'an, maka hukumnya diperinci oleh para ulama sebagai berikut.

a. Ulama Hanafiyyah

Menurut pendapat ulama Hanafiyah (Fathul Qadir jilid 1 halaman 283; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 581), jika sang imam berhenti atau bingung dalam bacaan sebelum melanjutkan pada ayat berikutnya, maka boleh bagi makmum untuk memberitahukan imam pada bacaan yang benar dengan niat membetulkan, bukan dengan niat membaca menurut pendapat yang shahih. Adapun membaca ayat di belakang imam, maka hal itu hukumnya makruh tahrim. Dan jika sang imam berpindah pada ayat lain, maka shalat makmum yang memberitahukan itu batal, dan shalat imam juga batal jika mengikuti ucapan makmum.
Seyogianya bagi makmum untuk tidak buru-buru memberitahukan kesalahan imam, karena hukumnya makruh, sebagaimana makruhnya kembali pada ucapan makmum bagi imam. Jika memang bingung atau lupa, maka baiknya langsung rukuk atau berpindah pada ayat atau surah lain.
Shalat seorang makmum dianggap batal, jika ia memberitahukan kesalahan bacaan selain
imamnya. Kecuali, jika dengan niat membaca bukan menunjukkan kesalahan, karena hal itu hukumnya makruh tahrim. Shalat juga dianggap batal jika mengikuti perintah orang lain, seperti meminta orang lain untuk merapatkan barisan sehingga orang itu mengikuti dan merapatkan barisan. Baiknya adalah dengan bersabar sejenak, kemudian merapatkan barisan dengan sendirinya.
Dalil bolehnya menunjukkan kesalahan bacaan imam adalah hadits riwayat Musawwar bin Yazid Al-Makki. Ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat dan tidak membaca ayat, lantas salah seorang sahabat berkata, 'Ya Rasulullah, ayat ini dan ini belum Anda baca.' Beliau bersabda, “Engkau telah mengingatkanku akan ayat itu.” HR. Abu Dawud dan Abdullah bin Ahmad (Nailul Authar jilid 2 halaman 322)
Dan juga, hadits riwayat Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dan membaca ayat, namun agak rancu dalam bacaannya. Kemudian setelah selesai, beliau berkata kepada Ubay bin Ka'ab, “Apakah engkau tadi shalat bersama kami?' Ubay menjawab, “Ya.” Lantas beliau bertanya, “Mengapa engkau tadi tidak membantu melancarkan bacaanku?” HR. Abu Dawud.
           
b. Ulama Malikiyyah

Menurut pendapat ulama Malikiyyah (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 347; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 74), shalat seorang makmum dianggap batal jika ia membetulkan kesalahan selain imamnya, misalnya ia mendengar orang membaca Al-Qur'an lantas ia membetulkan kesalahan bacaan yang ia dengar. Hal seperti ini membatalkan shalat, karena termasuk dalam kategori berbicara.
Adapun membetulkan kesalahan imam jika memang ia berhenti membaca dan bimbang, maka hukumnya boleh dan tidak membatalkan shalat. Bahkan, hukumnya wajib membetulkan bacaan imam. Namun jika imam hanya berhenti membaca tanpa kebingungan, maka hukum membetulkannya makruh.

c. Ulama Syafi'iyyah

Menurut pendapat ulama Syafi’iyyah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 158), membetulkan imam artinya memberitahukan sambungan ayat kepada imam ketika ia bingung, berhenti membaca, dan diam. Akan tetapi jika imam masih mengulang-ulang ayat, berdoa memohon rahmah, dan memohon perlindungan dari siksa neraka, maka tidak perlu untuk mengingatkan imam. Menurut pendapat yang lebih shahih, mengingatkan imam ketika lupa dan diam tidak termasuk memotong bacaan makmum. Namun jika imam sedang mencoba mengulang, maka pembetulan dari makmum dianggap memotong bacaan makmum itu sendiri, sehingga ia harus mengulang bacaannya sendiri dari awal.
Bagi makmum yang hendak membetulkan kesalahan bacaan imam, maka niatnya harus dengan tujuan untuk membaca, atau sekaligus untuk mengingatkan. Jika makmum hanya berniat mengingatkan saja atau tidak berniat apa-apa, maka menurut pendapat yang mu'tamad shalatnya batal. Adapun membetulkan kesalahan bacaan selain imamnya, maka termasuk memotong bacaannya sendiri.

d. Ulama Hanabilah

Menurut pendapat ulama Hanabilah (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 442; Al-Mughni jilid 2 halaman 56-60), jika bacaan imam bergetar hingga tidak mampu bersuara, atau bacaannya salah, maka makmum harus membetulkan kesalahan imam, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. Jika imam salah misalnya dalam membaca surah Al-Faatihah, maka makmum harus membetulkan kesalahannya. Karena, sah tidaknya shalat bergantung pada imam. Demikian juga bagi makmum untuk mengingatkan imam ketika lupa tidak melakukan sujud, atau gerakan lain yang termasuk rukun shalat.
Jika seseorang sedang shalat dan tidak mampu melanjutkan bacaan surah Al-Faatihah misalnya, maka hukumnya seperti orang yang tidak mampu berdiri di pertengahan shalat, yaitu melakukan sesuai kemampuan tanpa mengulang shalatnya lagi.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughnii berkata, “Pendapat yang shahih adalah jika seseorang tidak mampu melanjutkan bacaan surah Al-Faatihah, maka shalatnya batal. Karena, ia masih mampu shalat dengan membaca surah itu. Shalat sendiri tidak sah tanpa surah Al-Faatihah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat seseorang tidak dianggap jika tidak membaca surah Al-Faatihah di dalamnya.”
Seseorang yang sedang shalat, makruh hukumnya membetulkan kesalahan bacaan orang lain yang sedang shalat ataupun di luar shalat. Karena, hal itu menyibukkan dirinya sendiri yang sedang shalat, meskipun memang hal itu tidak membatalkan shalatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat kesibukan.” HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud. Derajat hadis ini shahih.



PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab




##########
 
BIMBINGAN MASUK UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Lebanon / Lebanon - Maroko / Maroko - Mesir / Mesir- Pakistan / Pakistan - Sudan / Sudan - Qatar / Qatar - Saudia Arabia / Arab Saudi  Tunisia / Tunisia - Suriah - Yaman / Yaman - Turki - Yordania / Yordania BIMBINGAN BELAJAR MASUK GONTOR : Putra - Putri CONTOH SOAL TES SELEKSI UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Tahun 2010 - Tahun 2011 - Tahun 2012 - Tahun 2014 - Tahun 2015 - Tahun 2016 - Tahun 2017 BELAJAR ILMU KEISLAMAN : Rumah Tahfidz - Ilmu Keislaman - Kursus Bahasa Arab PINTAR TOAFL : Panduan (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Sima'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Qira'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8) Tarakib (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Kitabah (1 / 2 / 3) Kunci Jawaban (1 / 2 / 3 / 4) KAMUS BAHASA ARAB : Idiom (1) BAB KEILMUAN ISLAM : Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq
##########