Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
1. WAKTU SHALAT MENURUT SUNNAH
Dalam sunnah Nabi telah ditetapkan waktu (masa
yang ditetapkan untuk ibadah oleh syara’) shalat dengan terperinci: awal waktu
hingga akhir waktu. Sahabat Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Malaikat Jibril ‘alaihi
salam, lalu Jibril berkata kepadanya, “Bangun dan shalatlah!” Lalu,
beliau shalat Zhuhur ketika matahari mulai condong ke barat. Kemudian Malaikat Jibril
datang juga pada waktu Ashar dan berkata kepada beliau, “Bangun dan
shalatlah.” Lalu, beliau bangun dan shalat Ashar, ketika bayang-bayang sesuatu benda sama panjang dengannya.
Kemudian Malaikat Jibril datang lagi pada waktu Maghrib lalu berkata kepada beliau,
“Bangun dan shalatlah.” Lalu beliau shalat Maghrib ketika matahari
terbenam. Kemudian Malaikat Jibril datang lagi pada waktu Isya dan berkata
kepada beliau, “Bangun dan shalatlah.” Lalu beliau shalat Isya ketika
cahaya merah (syafaq di langit) hilang. Kemudian Malaikat Jibril datang
lagi ketika fajar dan berkata kepada beliau, “Bangun dan shalatlah.”
Lalu Rasul shalat ketika fajar mulai menyinsing.
Pada keesokan harinya, Malaikat Jibril datang
Iagi pada waktu Zhuhur dan berkata kepada Rasul, “Bangun dan shalatlah.”
Lalu beliau shalat Zhuhur ketika bayang-bayang suatu benda sama panjang
dengannya. Kemudian Malaikat Jibril datang pada waktu Ashar dan berkata, “Bangun
dan shalatlah.” Lalu beliau shalat Ashar ketika panjang bayang-bayang sesuatu
menjadi dua kali lipat dari benda asalnya. Kemudian Malaikat Jibril datang pada
waktu Maghrib dan pada masa yang sama sebelumnya, kemudian datang lagi pada
waktu Isya, yaitu ketika separuh malam (atau sepertiga malam). Lalu Rasul
shalat Isya, kemudian Malaikat Jibril datang lagi ketika cahaya pagi sangat
kuning dan berkata, “Bangun dan shalatlah,” lalu Baginda shalat Shubuh.
Setelah itu, Jibril berkata, “Antara dua waktu inilah waktu shalat.”
Hadits ini menyatakan bahwa setiap shalat mempunyai dua waktu, kecuali shalat
Maghrib. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan lain-lain.
Al-Bukhari berkata, “Hadis ini adalah hadis yang paling sah mengenai waktu
shalat.”
Di samping itu, terdapat sebuah hadits lain
tentang penentuan waktu shalat Maghrib. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Umatku tetap
berada dalam kebaikan atau tetap berada dalam keadaan fitrah selama mereka
tidak melewatkan shalat Maghrib, hingga bintang saling berkelindan.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (Nailul
Authar jilid 2 halaman 3).
Hadits ini menunjukkan bahwa menyegerakan shalat
Maghrib adalah disunnahkan, dan mengakhirkannya hingga bintang berkelindan adalah
makruh.
Berdasarkan kepada hadits-hadits di atas, para
ahli fiqih menjelaskan waktu setiap shalat seperti yang akan disebutkan (Fathul Qadir jilid 1
halaman 151-160; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 331-343; Al-Lubab jilid
1 halaman 59-62; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 43 dan seterusnya;
Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 219-238; Asy-Syahul Kabir jilid
1 halaman 176-181; Mughni Muhtaj jilid 1 halaman 121-127;
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51-54; Bujairami Al-Khatib jilid 1
halaman 345; Al-Mughni jilid 1 halaman 370-395; Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 289-295).
Seluruh umat Islam sepakat (ijma) bahwa
hadits-hadits yang menyatakan tentang waktu shalat adalah terdiri atas
hadits-hadits yang shahih. Shalat wajib dilakukan pada masa-masa dari mulai
awal waktu (dan kewajiban ini adalah kewajiban yang dilonggarkan waktunya (wujub
muwassal) hingga akhir waktu. Jarak waktu tersebut kira-kira dapat
menampung perbuatan-perbuatan shalat. Dan jika waktu itu hanya tersisa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan shalat, maka ketika itu waktu menjadi sempit.
Bagi daerah-daerah kutub dan yang semacamnya, penduduknya hendaklah menentukan
waktu shalat berdasarkan negeri yang paling dekat dengan mereka.
A. Waktu Fajar (Shubuh)
Ia bermula dari naiknya fajar shadiq hingga
naiknya matahari. Fajar shadiq adalah cahaya putih yang tampak terang yang
berada sejajar dengan garis lintang ufuk. Ia berlainan dengan fajar kadzib yang
naik bentuknya memanjang mengarah ke atas di tengah-tengah langit seperti ekor
srigala hitam. Fajar kadzib disamakan dengan ekor serigala hitam, karena fajar
kadzib adalah berwarna putih yang bercampur dengan hitam. Sedangkan serigala
hitam warnanya hitam dan sebelah dalam ekornya berwarna putih. Hukum-hukum syara'
banyak bergantung kepada fajar shadiq, yaitu dalam menentukan permulaan puasa,
permulaan waktu Shubuh, dan berakhirnya waktu Isya. Sebaliknya, hukum-hukum syara'
tidak bergantung kepada fajar kadzib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Fajar itu ada dua, yaitu fajar yqng mengharamkan
makan dan membolehkan shalat dan satu lagi ialah fajar yang mengharamkan shalat
(yakni shalat Shubuh) dan membolehkan makan.” Diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Al-Hakim. Mereka berdua mengatakan bahwa hadis ini adalah shahih
(Subulus Salam jilid 1 halaman 115).
Hadits Abdullah bin Amru yang terdapat dalam
Shahih Muslim menyebutkan bahwa waktu shalat Shubuh bermula dari naiknya fajar
dan berlangsung hingga matahari belum naik.
Waktu antara naiknya matahari hingga waktu
Zhuhur dianggap sebagai waktu yang tidakada hubungannya dengan kewajiban shalat
B. Waktu Zhuhur
Waktu zhuhur bermula dari tergelincirnya matahari
hingga bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya.
Ini adalah pendapat dua orang sahabat Abu
Hanifah dan juga pendapat tiga imam yang lain. Pendapat ini juga merupakan
pendapat yang difatwakan dalam madzhab Hanafi. Menurut zhahir riwayat dalam
madzhab Abu Hanifah, akhir waktu Zhuhur adalah apabila bayang-bayang suatu
benda menjadi dua kali lipat panjangnya dari benda asalnya. Tetapi, sebenarnya
waktu ini adalah waktu Ashar: menurut pendapat seluruh ulama. Oleh karena itu,
hendaklah shalat dilakukan sebelum waktu ini untuk berhati-hati, dan sikap
seperti ini diutamakan dalam masalah ibadah.
Tergelincirnya matahari adalah apabila matahari
mulai condong ke barat dari kedudukannya di tengah-tengah langit. Kedudukannya di
tengah-tengah langit dinamakan halah istiwa'. Apabila matahari berpindah
dari timur ke barat, maka berlakulah proses tergelincir (zawal) ini.
Tergelincirnya matahari dapat diketahui dengan
cara melihat bayang-bayang orang yang berdiri tegah atau suatu tiang tegak yang
ditancapkan di tanah. Jika bayangannya kurang (di sebelah barat), maka ia belum
tergelincir (qabla az-zawal). Jika bayangannya terhenti di tengah, tidak
lebih dan tidak kurang, maka itu adalah waktu istiwa'. Jika bayang-bayang
makin bertambah (ke timur), maka matahari sudah tergelincir (ba'da az-zawal).
Jika bayang-bayang suatu benda mulai kelihatan (di sebelah timur) benda ataupun
matahari mulai condong ke arah barat, maka waktu Zhuhur mulai masuk. Menurut
jumhur ulama, waktu shalat Zhuhur berakhir apabila bayang-bayang suatu benda
panjangnya sama dengan panjang bendanya.
Dalil jumhur adalah kisah Malaikat Jibril yang
shalat bersama-sama dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
pada hari berikutnya (kedua) ketika bayang-bayang suatu benda mulai sama
panjang dengannya. Jadi, tidaklah diragukan lagi bahwa dalil ini lebih kuat.
Dalil Abu Hanifah juga berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Dinginkanlah shalat Zhuhur, karena keadaan panas yang terik
itu adalah dari bara api neraka.” Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari
Abu Hurairah dengan lafal, “Jika keadaan panas sangat kuat, maka tunggulah
dingin (untuk melakukan) shalat. Karena, hawa panas yang sangat terik adalah
dari api neraka.” (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 228)
Masa yang sangat panas adalah pada waktu
tersebut, yaitu waktu di mana bayang-bayang sesuatu benda sama panjang
dengannya. Dalil yang dipegang oleh semua pihak tentang permulaan waktu Zhuhur
adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Laksanakanlah shalat sejak matahari
tergeIincir sampai gelapnya malam....” (Al-Israa': 78)
C. Waktu Ashar
Mulainya adalah dari masa berakhirnya waktu
Zhuhur -yang ada perbedaan di antara dua pendapat sebagaimana keterangan yang telah
lalu- dan waktu Ashar berakhir dengan tenggelamnya matahari.
Artinya, waktu Ashar bermula ketika
bayang-bayang sesuatu benda bertambah dari panjang asalnya, yaitu pertambahan
yang paling minimal, menurut jumhur. Adapun menurut Abu Hanifah, ia bermula
dari masa bertambahnya bayangan dua kali lipat dari benda asalnya. Menurut
kesepakatan seluruh ulama, waktu Ashar berakhir beberapa saat sebelum matahari
tenggelam. Hal ini berdasarkan hadits, “Siapa yang mendapati satu rakaat shalat
Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia mendapati shalat Shubuh. Siapa yang
mendapat satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka dia mendapati
shalat Ashar.” Diriwayatkan oleh Imam Hadis yang Enam dalam kitab-kitab mereka.
Lafal ini adalah lafal Imam Muslim, dari hadis Abu Hurairah.
Kebanyakan ahli fiqih mengatakan bahwa shalat
Ashar pada waktu matahari mulai menguning adalah makruh. Mereka menyandarkan
pendapatnya kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Demikianlah
shalat orang munafik. Dia menunggu matahari sehingga apabila matahari berada di
antara dua tanduk setan, maka dia pun bangun mematuknya empat kali. Dia tidak
mengingat Allah kecuali sedikit.” Diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali
Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Anas (Nailul Authar jilid 1 halaman 307).
“Dua tanduk setan” boleh dimaknai secara hakiki, dan boleh juga dimaknai secara
majazi, yaitu kekuasaan setan umpamanya.
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Waktu Ashar adalah selagi matahari tidak menguning.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Amr. Ada luga hadits lain yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang mempunyai makna yang serupa. Hadits ini
dikuatkan oleh hadits riwayat Buraidah bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Ashar pada hari kedua, sedangkan matahari sedang
putih bersih dan tidak bercampur dengan warna kuning.
Shalat Ashar adalah shalat pertengahan (shalat
al-wustha) menurut pendapat kebanyakan ulama. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
membaca ayat Al-Qur'an, “Peliharalah semua shalat itu dan shalat Wustha....”
(Al-Baqarah: 238)
Shalat al-wustha adalah shalat Ashar.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan hadis ini
adalah shahih.
Dari lbnu Mas'ud dan Sumrah, keduanya berkata
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Shalat
wustha adalah shalat Ashar.” At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan
shahih.” Asy-Syaukani mencatat ada 16 pendapat tentang penjelasan
shalat wustha (Nailul Authar jilid 1 halaman 311).
Dinamakan wustha (tengah) karena ia
berada di antara dua shalat malam dan dua shalat siang.
Pendapat yang masyhur menurut Imam Malik
mengatakan bahwa shalat Shubuh adalah shalat wustha. Hujjahnya adalah hadits
riwayat An-Nasa'i dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berjalan pada waktu malam, kemudian beliau shalat Shubuh kesiangan. Beliau
terjaga apabila matahari sudah naik atau separuh naik. Beliau tidak shalat hingga
matahari tinggi, lalu beliau menjalankan shalat yaitu shalat wustha.”
Pendapat yang pertama adalah lebih tepat, karena
terdapat banyak hadits shahih yang menerangkan tentang hal ini.
D. Waktu Maghrib
Ia bermula dari terbenamnya matahari. Ini
disepakati oleh seluruh ulama. Menurut jumhur (ulama Hanafi, Hambali, dan qaul
qodim madzhab Syafi'i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq
(muncul cahaya merah). Mereka menggunakan dalil hadits, “Waktu maghrib
adalah selama syafaq (cahaya merah) belum hilang.” Diriwayatkan oleh Muslim
dari Abdullah bin Amru (Subulus Salam jilid 1 halaman 106).
Syafaq menurut Abu Yusuf, Muhammad Hasan Asy-Syaibani,
ulama madzhab Hambali dan ulama Syafi'i adalah syafaq ahmar (cahaya merah).
Sedangkan berdasarkan kata-kata Ibnu Umar, asy-syafaq adalah al-humrah
(merah). Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan dianggap hadits shahih oleh lbnu
Khuzaimah. Perawi-perawi lain menganggap hadits ini mauquf kepada lbnu
Umar. Sambungan hadits ini ialah, “Apabila matahari terbenam, maka shalat
wajib dijalankan.” Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya meriwayatkan dari Ibnu
Umar secara marfu' , “Waktu shalat Maghrib ialah hingga cahaya merah
hilang.” (Subulus Salam jilid 1 halaman 114. An-Nawawi berkata, yang
shahih ialah riwayat yang mengatakan bahwa hadits itu mauqul kepada Ibnu
Umar).
Pendapat yang difatwakan dalam madzhab Hanafi
adalah pendapat Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani. Pendapat inilah yang
menjadi pendapat dalam madzhab tersebut.
Menurut Abu Hanifah, syafaq adalah warna putih
yang terus kelihatan di atas ufuk, dan biasanya ia ada setelah warna merah keluar.
Kemudian setelah itu muncul warna hitam. Antara dua syafaqah ada jarak yang
dihitung dengan tiga darajah. Satu darajah sama dengan empat menit. Dalil Abu Hanifah
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Akhir waktu Maghrib
adalah apabila ufuq menjadi hitam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Bakar, Aisyah, Mu'adz, dan Ibnu Abbas. Nash hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
dari Abu Hurairah ialah, “Akhir waktu maghrib ialah ketika ia hilang di
ufuk. Hilangnya ialah dengan cara hilangnya warna putih yang mengiringi warna
merah.” Tetapi, hadits ini tidak sah sanadnya (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 230). Diriwayatkan dari lbnu Mas'ud bahwa dia berkata, “Aku melihat
Rasulullah shalat Maghrib ketika ufuk berwarna hitam.”
Pendapat yang masyhur menurut ulama Maliki dan
madzhab Syafi'i yang jadid, tetapi bukan pendapat yang zahir yang diamalkan oleh
pengikut-pengikut madzhab Syafi'i. Yaitu, waktu Maghrib selesai dalam kadar
mengambil wudhu, menutup aurat, adzan, iqamah, dan lima rakaat. Artinya, waktu
maghrib adalah sempit, tidak panjang. Ini disebabkan Malaikat Jibril ‘alaihi
salam shalat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
dua hari pada waktu yang sama, seperti yang telah kita jelaskan dulu dalam
hadits riwayat Jabir. Kalaulah maghrib mempunyai waktu yang lain, sudah tentu
Malaikat Jibril menjelaskannya sama seperti dia menjelaskan waktu shalat yang
lain. Pendapat ini ditolak dengan dalil bahwa Jibril hanya menjelaskan waktu
pilihan (al-mukhtaar) yang dinamakan dengan waktu fadhilah. Adapun waktu
yang boleh (jawaaz) masih menjadi perselisihan.
E. Waktu Isya
Menurut para madzhab, waktu isya bermula dari
hilangnya syafaq ahmar (cahaya merah) -seperti yang difatwakan dalam
madzhab Hanafi- hingga munculnya fajar shadiq.
Maksudnya adalah beberapa saat sebelum muncul
fajar. Hal ini berdasarkan kata-kata Ibnu Umar yang dulu, yaitu “Syafaq
merah, apabila syafaq itu hilang, maka wajiblah shalat (isya).” Juga,
berdasarkan hadits Abu Qatadah yang terdapat dalam Shahih Muslim, “Tidak ada
kesalahan karena tertidur, tetapi kesalahan adalah pada orang yang tidak shalat
hingga datang waktu shalat yang lain.”
Hadits ini menyatakan bahwa waktu shalat adalah
terbentang hingga masuk waktu shalat yang lain, kecuali waktu shalat Fajar. Hal
ini disebabkan, shalat Fajar adalah khusus dan tidak termasuk di dalam keumuman
hadits tersebut. Semua ulama bersepakat mengatakan demikian.
Adapun waktu pilihan (al-waqtul mukhtar)
untuk shalat Isya adalah sepertiga malam atau separuh malam. Ini berdasarkan
beberapa hadits, di antaranya adalah hadits riwayat Abu Hurairah, “Kalaulah tidak
menjadi menyusahkan umatku, niscaya aku menyuruh mereka melewatkan shalat Isya
hingga kepada sepertiga malam atau separuh malam.” Riwayat Imam Ahmad, Ibnu
Majah dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini adalah shahih (Nailul
Authar jilid 1 halaman 11).
Juga, hadits riwayat Anas, “Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam melewatkan shalat Isya hingga ke separuh malam, kemudian
barulah beliau shalat.” Muttafaqun ‘alaihi.
Juga, hadits Ibnu Umar, “Waktu shalat isya
adalah separuh malam.” Riwayat Abu Dawud, Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i (Nailul
Authar jilid 1 halaman 306).
Dan juga, hadits riwayat Aisyah, “Pada
suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewatkan shalat hingga
terlewat sebagian besar malam dan orang yang berada di masjid sedang tertidur.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar melakukan shalat dan
kemudian Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah
waktunya, jika tidak memberatkan bagi umatku.” Riwayat Muslim dan An-Nasa’i
(Nailul Authar jilid 1 halaman 12).
Walaupun hadits-hadits ini menerangkan bahwa
panjangnya waktu pilihan (al-mukhtaar)
bagi shalat Isya adalah hingga lewat separuh malam, tetapi ia diartikan
sebagai kebanyakan malam, bukan bermakna sebagian besar malam.
Waktu yang awal untuk melakukan shalat Witir
adalah setelah melakukan shalat Isya, dan akhir waktunya adalah selama fajar
belum naik. Adapun awal waktu shalat Witir adalah selepas shalat Isya dan
akhirnya adalah selagi belum muncul fajar shadiq.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
##########
BIMBINGAN MASUK UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Lebanon / Lebanon - Maroko / Maroko - Mesir / Mesir- Pakistan / Pakistan - Sudan / Sudan - Qatar / Qatar - Saudia Arabia / Arab Saudi Tunisia / Tunisia - Suriah - Yaman / Yaman - Turki - Yordania / Yordania BIMBINGAN BELAJAR MASUK GONTOR : Putra - Putri CONTOH SOAL TES SELEKSI UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Tahun 2010 - Tahun 2011 - Tahun 2012 - Tahun 2014 - Tahun 2015 - Tahun 2016 - Tahun 2017 BELAJAR ILMU KEISLAMAN : Rumah Tahfidz - Ilmu Keislaman - Kursus Bahasa Arab PINTAR TOAFL : Panduan (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Sima'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Qira'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8) Tarakib (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Kitabah (1 / 2 / 3) Kunci Jawaban (1 / 2 / 3 / 4) KAMUS BAHASA ARAB : Idiom (1) BAB KEILMUAN ISLAM : Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq
##########
0 Comments