BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


3. PERKARA FARDHU DALAM MANDI

Kefardhuan mandi ditetapkan oleh Al-Qur'an, yaitu dalam firman Allah Ta’ala Al-Maa'idah ayat 6. Dan juga firman-Nya dalam Surah An-Nisaa ayat 43 yang artinya, "Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)..."


Cara Mandi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Cara mandi yang sempurna dapat diketahui dengan memerhatikan panduan As-Sunnah. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, "Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya kemudian menuangkan air ke tangan kirinya. Lalu beliau membasuh kemaluannya dan diikuti dengan berwudhu. Kemudian beliau memasukkan jari jarinya ke bagian pangkal rambutnya. Setelah itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga tuangan. Setelah itu, beliau meratakan air ke seluruh tubuhnya dan akhirnya beliau membasuh kedua belah kakinya." Ulama sepakat mengenai sunnah berwudhu sebelum mandi karena mengikuti amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di samping ia dapat mendorong untuk mandi dan lebih sopan (Al-Mughni jilid 1 halaman 219). Penuangan di sini dilakukan dengan menggunakan air yang diambil dengan telapak tangan. Hadis muttafaqun ‘alaihi (Subulus Salam jilid 1 halaman 89). Hadis yang sama diriwayatkan juga dari Aisyah dan Maimunah.
Para ulama mewajibkan seseorang melakukan perkara-perkara berikut ini ketika dia mandi wajib (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 38 dan seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman l40-143; Muraqil Falah, halaman 17; Al-Lubab, jilid 1 halaman 20; Asy-Syarhul Kabir, jilid 1 halaman 133-135; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 42 dan berikutnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 26; Mughnil Muhtaj, jilid 1 halaman 72 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1 halaman 2l9-229; Al-Muhadzdzab, jilid 1 halaman 31 dan seterusnya; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 172-177.).

A. Meratakan Air ke Seluruh Tubuh

Maksud seluruh tubuh adalah mencakup semua bagian rambut atau bulu dan kulit. Ini adalah syarat yang disepakati oleh fuqaha. Oleh karena itu, meratakan air ke seluruh bagian kulit dan juga bulu-bulu adalah wajib. Sehingga kalau ada yang tertinggal meskipun satu bagian kecil saja yang tidak terkena air, maka ia wajib dibasuh lagi. Dengan demikian, seseorang wajib memerhatikan bagian-bagian kulit yang tersembunyi di bagian tubuh yang cekung dan berlipat seperti pusar, bawah ketiak dan semua lubang yang ada di tubuh dengan cara menuangkan air ke atasnya. Hukum ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, "Di bawah setiap helai rambut atau bulu ada janabah. Oleh karena itu, hendakloh kamu membasuh semua rambut atau bulu, dan bersihkanlah kulitmu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Mereka mengatakan bahwa hadis ini adalah dhaif (Subulus Salam jilid 1 halaman 92).
Ulama Hanafi berpendapat bahwa membasuh seluruh badan yang memang dapat dibasuh tanpa mengalami kesukaran adalah wajib seperti bagian telinga, pusar, kumis, bulu kening, bagian dalam jenggot dan rambut kepala, dan bagian luar kemaluan wanita. Membasuh bagian yang sukar adalah tidak wajib, seperti bagian dalam mata dan bagian dalam kulup zakar, tetapi disunnahkan. Hal ini menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Hanafi.

(1) Membongkar Sanggul

Apakah ketika mandi wajib, seseorang perlu membongkar rambutnya yang disanggul atau tidak? Para ulama mempunyai berbagai pendapat yang hampir sama dalam masalah ini. Ulama Hanafi mengatakan cukup dengan hanya membasuh pangkal sanggul atau rambut wanita yang dipintal. Langkah ini adalah untuk menghindari kesukaran. Bagi rambut yang terurai, maka wajib dibasuh keseluruhannya. Jika bagian pangkal rambut tidak terkena air karena pintalan sanggul itu terlalu rapat atau rambutnya terlalu banyak, ataupun sanggul tersebut terlalu rapi, maka menurut pendapat yang ashah rambut tersebut wajib diurai terlebih dulu.
Namun sekiranya membasuh kepala dapat menyebabkan kemudharatan, maka tidak perlu membasuhnya. Dan ada pendapat juga yang mengatakan bahwa seseorang itu hanya perlu menyapu saja. Dan wanita tersebut tidak boleh menghalangi suaminya untuk bersetubuh dengannya.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa membasuh bagian yang di bawah kulup zakar yang tidak sukar untuk dibuang adalah wajib, seperti juga wajib membuka pintalan rambut lelaki dan membasuh bagian pangkal rambutnya secara mutlak.
Demikian juga pendapat ulama Maliki, orang yang rambutnya bersanggul tidak perlu dibongkar sanggulnya, jika memang sanggulnya itu tidak terlalu rapi atau tidak terlalu banyak (tebal) sehingga dapat menghalang air sampai ke bagian kulit kepalanya ataupun ke dalam rambutnya.
Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafi dan Maliki dalam masalah ini ialah, hadits Ummu Salamah, "Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang sangat ketat (sanggul) rambutnya. Apakah saya perlu mengurainya karena mau mandi junub atau mandi haid?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Tidak perlu, adalah cukup jika kamu menunangkan (air) ke atas kepalamu sebanyak tiga kali." Diriwayatkan oleh Imam Muslim, tetapi dengan lafal “menyanggul rambut di kepalaku” sebagai ganti perkataan “rambut di kepalaku” (Subulus Salam jilid 1 halaman 91).
Ulama Syafi'i berpendapat, jika air tidak dapat sampai ke bagian dalam rambut kecuali dengan mengurainya, maka ia wajib diurai. Namun ada kemaafan jika air tidak sampai ke dalam bagian rambut yang ikal. Membasuh bulu yang tumbuh di dalam mata dan hidung juga tidak wajib, meskipun ia wajib dibasuh jika terkena najis. Membasuh kuku dan bagian cuping telinga yang luar adalah wajib. Begitu juga bagian dalam kulup bagi yang tidak berkhitan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan sebelum ini, yang menetapkan wajibnya air sampai ke setiap
bagian rambut dan kulit. Tentang hadits Ummu Salamah, mereka mengaitkan dengan keadaan di mana air dapat sampai ke bagian dalam sanggul tanpa perlu mengurainya dan membongkarnya.
Imam Ahmad membedakan di antara haid dan junub. Jika mandi wajib itu disebabkan haid dan nifas, maka sanggulnya perlu diurai. Namun kalau mandinya sebab junub, maka tidak perlu mengurai rambutnya, seandainya air mandinya dapat sampai ke pangkal rambut jika tidak diurai. Ini adalah yang dapat dipahami dari hadits Ummu Salamah. Dalil yang menunjukkan perlu mengurai sanggul sebab mandi haid ialah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepadanya ketika dia haid, "Hendaklah engkau gunakan air bidara dan menyisir.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Menyisir hanya disebut untuk rambut yang terurai. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan, "Hendaklah engkau uraikan (rambut) kepalamu dan sisirlah."
Namun, Ibnu Qudamah berpendapat bahwa menguraikan rambut untuk mereka yang mandi karena haid adalah disunnahkan. Ini adalah pendapat yang shahih dan ia merupakan pendapat kebanyakan fuqaha, karena bersandar pada sebagian hadits Ummu Salamah, "Apakah saya perlu membongkar sanggul karena mandi haid?" Maka Nabi menjawab, "Tidak!"
Kesimpulannya adalah, empat madzhab sependapat bahwa mengurai sanggul rambut tidaklah wajib, sekiranya air mandi dapat sampai ke dasar rambut. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah yang telah disebutkan tadi.
Apabila ada satu bagian badan yang terlewat tidak terkena air, maka cukuplah membasuh bagian itu saja. Menurut pendapat yang shahih di kalangan ulama Hambali, adalah cukup jika bagian yang tidak terkena air itu terbasahi oleh air yang membasahi rambut pada basuhan kedua atau ketiga, dan air itu kemudian mengalir ke bagian tersebut. Karena, basuhan yang menggunakan basahnya air (yang ada di rambut) tersebut adalah sama dengan basuhan yang menggunakan air yang baru, di samping juga terdapat hadits yang berkaitan dengan masalah ini.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat satu bagian di atas tubuh seorang sahabat yang tidak terkena air, lalu beliau menyuruhnya supaya mengambil air yang ada di rambutnya dan mengusapkannya ke tempat berkenaan.

(2) Membasuh Kulit Kepala

Membasuh kulit kepala adalah wajib, baik dia mempunyai rambut yang tebal ataupun tipis. Begitu juga membasuh bagian yang berada di bawah rambut atau bulu lainnya, seperti kulit dagu yang berjenggut dan lainlain. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Asma', "Dia telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mandi junub, maka Rasulullah menjawab, “Hendaklah kamu mengambil air dan membersihkan dengan sebaik-baiknya. Kemudian kamu hendakah menuangkan air ke atas kepalanya, lalu menggosoknya hingga sampai
ke pangkal rambutnya, Kemudian ia hendaklah menuangkan air ke atasnya." Diriwayatkan oleh Muslim.
Diriwayatkan dari Ali bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang meninggatkan tempat meskipun hanya seukuran sehelai rambut saja hingga tidak terkena air ketika mandi junub, maka Allah Ta’ala akan menyiksanya dengan ukuran tertentu dari api neraka."
Imam Ali berkata, "Oleh karena itu, maka aku mengulangi membasuh rambutku." Dalam
riwayat Abu Dawud terdapat tambahan kalimat, "Oleh karena itu, maka dia memendekkan rambutnya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 247).
Selain itu, menyampaikan air ke kulit di bawah helai rambut atau bulu tidaklah menyebabkan kemudharatan dan tidak juga menyusahkan. OIeh karena itu, ia wajib dibasuh sama seperti bagian kulit yang lain.

(3) Membasuh Rambut yang Terurai

Menurut ulama Syafi'i, membasuh rambut yang terurai adalah wajib berdasarkan hadits Abu Hurairah yang disebutkan sebelum ini. "Di bawah setiap helai rambut ada janabah."
Di samping itu, rambut tersebut memang tumbuh di tempat yang seharusnya dibasuh. Oleh karena itu, harus dibasuh sama seperti bulu kening dan bulu mata.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat ia tidak wajib dibasuh berdasarkan hadits Ummu Salamah yang menyatakan tidak perlu menguraikan rambut yang disanggul, walaupun Ummu Salamah telah menjelaskan kepada Nabi bahwa ikatan rambutnya sangat rapat. Jika ia wajib dibasuh, tentunya Rasul meminta supaya dia menguraikan sanggulan rambutnya supaya air mandinya mengenai semua rambutnya.
Ulama Hambali mempunyai dua pendapat seperti dua pendapat yang telah disebutkan tadi. Adapun yang paling rajih adalah yang berpendapat bahwa membasuh rambut tersebut wajib seperti pendapat ulama Syafi'i. Ketika menuangkan air ke atas kepala, hendaklah dia menggosoknya supaya air dapat sampai ke kulit. Namun, dia tidak perlu memasukkan jari ke bagian bawah rambut untuk menggosok kulit.
Mereka juga berpendapat, adalah wajib menyela-nyelai celah-celah jari kaki dan tangan. Adapun ketika berwudhu, menyela-nyelai jari kaki adalah sunnah, sementara menyela-nyelai jari tangan adalah wajib.
Termasuk juga di antara perkara yang fardhu menurut pendapat ulama Maliki ialah  menyela-nyelai celah-celah rambut atau lainnya, jika ia tebal. Maksud menyela-nyelai di sini ialah dengan menggenggamnya.

B. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung

Ulama Hanafi dan Hambali mewajibkan berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung ketika mandi wajib, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6. Juga hadits, "Kemudian hendaklah kamu meratakan tubuhmu dengan air."
Kedua nash yang disebut itu menuntut supaya kita membersihkan dengan menggunakan air ke seluruh badan. Hadis yang digunakan oleh ulama Hanafi sebagai dalil untuk berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, “Sesungguhnya keduanya fardhu di dalam mandi junub dan sunnah dalam berwudhu,” adalah hadis yang gharib (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 78).
Ulama Maliki dan Syafi'i berpendapat perbuatan ini adalah sunnah ketika mandi wajib. Kedudukannya sama seperti ketika berwudhu. Hal ini berdasarkan hadits yang menyebut tentang sepuluh perkara fitrah, di mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut di antara sepuluh perkara tersebut adalah berkumur dan memasukkan air ke hidung. Diriwayatkan oleh al-jama’ah selain Al-Bukhari (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 76).

C. Berniat Ketika Memulai Membasuh Bagian Tubuh

Maksudnya adalah niat menunaikan kefardhuan mandi, ataupun mengangkat junub,  mengangkat hadats besar, ataupun supaya boleh melakukan perkara yang terlarang jika tanpa mandi, umpamanya niat supaya boleh melakukan shalat atau thawaf yang memang harus dilakukan dalam keadaan suci dengan cara mandi terlebih dahulu. Namun jika ia niat dengan menyebut suatu amal yang tidak perlu kepada mandi wajib, seperti mandi sunnah Hari Raya, maka tidak sah. Tempat niat adalah hati, dan hendaklah dilakukan serentak dengan melakukan perkara fardhu yang paling awal dilakukan, yaitu ketika membasuh untuk pertama kali bagian tubuh yang mana pun, baik dari bagian atas atau di sebelah bawah, karena dalam mandi tidak perlu tertib.
Jumhur ulama selain ulama Hanafi mewajibkan niat mandi seperti juga niat wudhu. Hal ini berdasarkan hadits, "Segala amalan adalah bergantung kepada niat."
Menurut ulama Hanafi, memulai dengan niat hanyalah sunnah supaya perbuatannya menjadi ibadah dan mendapat pahala seperti berwudhu.
Adapun hukum membaca bismillah, jumhur berpendapat ia adalah sunnah. Sementara ulama Hambali mengatakan ia adalah fardhu sama seperti dalam wudhu. Namun, mereka mengatakan bahwa hukum membaca bismillah dalam mandi adalah lebih ringan bila dibanding untuk wudhu, karena hadits mengenai bismillah hanya menyebut wudhu. Adapun yang lain tidak disebut dengan jelas.

D. Menggosok, Muwaalaat, dan Tertib

Para fuqaha sepakat bahwa tertib bukan merupakan kewajiban dalam mandi. Oleh karena
itu, ia boleh dimulai dari bagian tubuh yang mana pun baik bagian tubuh sebelah atas ataupun bawah.
Ulama Maliki berpendapat bahwa menggosok adalah wajib, meskipun dengan menggunakan sobekan kain. Begitu juga dengan muwaalaat sekiranya ia ingat dan mampu, seperti halnya dalam wudhu. Maksud menggosok di sini adalah menjalankan anggota badan -baik tangan atau kaki- ke keseluruhan bagian anggota badan. Dengan demikian, adalah cukup jika ia menggosok kaki dengan menggunakan kaki yang satunya. Menggosok juga dianggap cukup dengan menggunakan bagian punggung telapak tangan, lengan, bagian dalam lengan. Bahkan menurut pendapat yang rajih, ia juga cukup dengan menggunakan kain, walaupun dia mampu menggosok dengan tangan. Yaitu, dengan cara memegang kedua ujung kain dengan tangan dan menggosok-gosokkan bagian tengah kain ke seluruh tubuh, ataupun dengan menggunakan tali atau yang semacamnya. Menggosok juga dianggap cukup meskipun setelah air dicurahkan ke tubuh dan setelah air itu terpisah dari tubuh, selagi ia belum kering. Jika tidak mampu untuk menggosok, maka kewajiban itu gugur dan dia cukup meratakan air ke seluruh tubuhnya. Begitu juga dengan fardhu yang lain, karena Allah Ta’ala tidak mewajibkan sesuatu kecuali yang memang mampu dilakukan.
Muwaalaat adalah fardhu sama seperti dalam berwudhu. Oleh karena itu, apabila seseorang membuat jarak yang lama dan sengaja ketika mandi, maka mandinya batal. Jika jaraknya tidak lama, maka dia boleh meneruskan mandinya dengan niat.
Ulama lain -selain ulama Madzhab Maliki- tidak mewajibkan menggosok dan muwaalaat,
karena ayat yang mewajibkan bersuci, yaitu "fath-thahharuu" dan juga hadits-hadits yang berkaitan tidak menyebut kewajiban dua hal tersebut.

Kesimpulan

(1) Madzhab Hanafi

Perkara yang difardhukan dalam mandi adalah sebelas perkara, yaitu membasuh mulut, membasuh hidung, membasuh badan sekali, membasuh bagian yang ada di bawah kulup yang tidak sukar dibuka, membasuh pusar, membasuh lubang-lubang, membasuh bagian dalam sanggul rambut wanita jika air dapat sampai ke pangkalnya, membasuh kulit di bawah jenggot, membasuh kulit di bawah kumis, membasuh kening, dan membasuh bagian kelamin wanita yang kelihatan. Tetapi, pendapat yang lebih ashah menyatakan bahwa membasuh bagian dalam kulup hanya sunnah saja, bukannya wajib.

(2) Madzhab Maliki

Terdapat lima perkara yang difardhukan dalam mandi, yaitu: pertama, niat mandi fardhu atau niat mengangkat hadats, atau niat supaya boleh melakukan perkara yang terlarang tanpa mandi, dan niatnya itu hendaklah dilakukan berbarengan dengan basuhannya yang pertama, yaitu dengan cara niat di dalam hati untuk menunaikan kefardhuan mandi, atau niat untuk mengangkat hadats besar, atau menghilangkan janabah atau niat supaya boleh melaksanakan perkara yang terlarang tanpa mandi, ataupun niat supaya boleh melaksanakan shalat.
Kedua, muwaalaat, apabila dia ingat dan mampu melakukannya, sama seperti dalam wudhu. Ketiga, meratakan air ke seluruh bagian tubuh. Ketiga, menggosok tubuh meskipun setelah
air dituangkan dan meskipun dengan potongan kain. Keempat, menyela-nyelai rambut, jari dua kaki, dan jari dua tangan.

(3) Madzhab Syafi'i

Menetapkan bahwa perkara yang wajib hanya tiga saja, yaitu niat menghilangkan najis jika memang ada. Menuangkan air ke seluruh kulit tubuh yang kelihatan dan juga ke bagian rambut dan bulu, sehingga air sampai ke kulit yang ada di bawahnya. Adapun selain itu, hukumnya adalah sunnah.

(4) Madzhab Hambali

Menetapkan bahwa perkara yang diwajibkan dalam mandi ialah menghilangkan najis atau perkara yang dapat menghalangi air sampai ke kulit, niat, membaca bismillah, meratakan air ke seluruh tubuh hingga ke dalam mulut dan hidung. Oleh sebab itu, wajib berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika mandi, sama seperti dalam wudhu. Wajib juga membasuh semua bagian rambut atau bulu, baik luar atau dalam, dan baik pada lelaki ataupun wanita, juga baik rambut tersebut yang dilepas ataupun tidak. Juga, wajib menguraikan rambut yang disanggul atau yang diikat ketika mandi haid atau nifas. Tetapi jika mandi tersebut karena janabah, rambut itu tidak perlu diuraikan sekiranya air yang dituangkan ke atasnya dapat sampai ke pangkal rambut.
Orang yang tidak berkhitan wajib membasuh bagian dalam kulup jika memang dapat dibuka. Wajib juga membasuh bagian yang di bawah cincin atau semacamnya, dengan cara menggerak-gerakkannya agar air dapat sampai ke bagian bawahnya. Wajib juga membasuh bagian luar kelamin wanita, yaitu bagian yang kelihatan ketika dia duduk untuk membuang air; karena bagian itu adalah dihukumi sebagai bagian yang zahir. Namun, ia tidak wajib membasuh bagian dalamnya. Begitu juga tidak wajib membasuh bagian dalam mata, bahkan perbuatan tersebut tidak disunnahkan meskipun perbuatan itu tidak membahayakan.
Tertib dan muwaalaat juga tidak wajib ketika membasuh anggota wudhu semasa mandi, karena mandi dapat membersihkan kedua ienis hadats sekaligus. Keduanya adalah ibadah yang dapat digabungkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga hukum hadats kecil dianggap gugur hukumnya sama seperti apabila haji digabungkan dengan umrah. Menggosok juga tidak wajib apabila diyakini atau ada dugaan kuat bahwa air dapat sampai ke seluruh badan, walaupun tanpa digosok.


PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab




##########
 
BIMBINGAN MASUK UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Lebanon / Lebanon - Maroko / Maroko - Mesir / Mesir- Pakistan / Pakistan - Sudan / Sudan - Qatar / Qatar - Saudia Arabia / Arab Saudi  Tunisia / Tunisia - Suriah - Yaman / Yaman - Turki - Yordania / Yordania BIMBINGAN BELAJAR MASUK GONTOR : Putra - Putri CONTOH SOAL TES SELEKSI UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Tahun 2010 - Tahun 2011 - Tahun 2012 - Tahun 2014 - Tahun 2015 - Tahun 2016 - Tahun 2017 BELAJAR ILMU KEISLAMAN : Rumah Tahfidz - Ilmu Keislaman - Kursus Bahasa Arab PINTAR TOAFL : Panduan (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Sima'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Qira'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8) Tarakib (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Kitabah (1 / 2 / 3) Kunci Jawaban (1 / 2 / 3 / 4) KAMUS BAHASA ARAB : Idiom (1) BAB KEILMUAN ISLAM : Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq
##########