Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. PERKARA FARDHU DALAM MANDI
Kefardhuan mandi ditetapkan oleh Al-Qur'an,
yaitu dalam firman Allah Ta’ala Al-Maa'idah ayat 6. Dan juga firman-Nya dalam
Surah An-Nisaa ayat 43 yang artinya, "Janganlah kamu mendekati shalat,
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan
jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali
sekadar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)..."
Cara Mandi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Cara mandi yang sempurna dapat diketahui dengan
memerhatikan panduan As-Sunnah. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh
Aisyah radhiyallahu ‘anha, "Apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mandi junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua
tangannya kemudian menuangkan air ke tangan kirinya. Lalu beliau
membasuh kemaluannya dan diikuti dengan berwudhu. Kemudian beliau
memasukkan jari jarinya ke bagian pangkal rambutnya. Setelah itu beliau menuangkan
air ke atas kepalanya sebanyak tiga tuangan. Setelah itu, beliau meratakan air
ke seluruh tubuhnya dan akhirnya beliau membasuh kedua belah kakinya."
Ulama sepakat mengenai sunnah berwudhu sebelum mandi karena mengikuti amalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di samping ia dapat mendorong
untuk mandi dan lebih sopan (Al-Mughni jilid 1 halaman 219). Penuangan
di sini dilakukan dengan menggunakan air yang diambil dengan telapak tangan.
Hadis muttafaqun ‘alaihi (Subulus Salam jilid 1 halaman 89).
Hadis yang sama diriwayatkan juga dari Aisyah dan Maimunah.
Para ulama mewajibkan seseorang melakukan perkara-perkara
berikut ini ketika dia mandi wajib (Fathul Qadir, jilid 1 halaman 38 dan
seterusnya; Ad-Durrul Mukhtar, jilid 1 halaman l40-143; Muraqil Falah,
halaman 17; Al-Lubab, jilid 1 halaman 20; Asy-Syarhul Kabir, jilid
1 halaman 133-135; Bidayatul Mujtahid, jilid 1 halaman 42 dan
berikutnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 26; Mughnil Muhtaj,
jilid 1 halaman 72 dan seterusnya; Al-Mughni, jilid 1 halaman 2l9-229; Al-Muhadzdzab,
jilid 1 halaman 31 dan seterusnya; Kasysyaful Qina', jilid 1 halaman 172-177.).
A. Meratakan Air ke Seluruh Tubuh
Maksud seluruh tubuh adalah mencakup semua
bagian rambut atau bulu dan kulit. Ini adalah syarat yang disepakati oleh
fuqaha. Oleh karena itu, meratakan air ke seluruh bagian kulit dan juga
bulu-bulu adalah wajib. Sehingga kalau ada yang tertinggal meskipun satu bagian
kecil saja yang tidak terkena air, maka ia wajib dibasuh lagi. Dengan demikian,
seseorang wajib memerhatikan bagian-bagian kulit yang tersembunyi di bagian
tubuh yang cekung dan berlipat seperti pusar, bawah ketiak dan semua lubang
yang ada di tubuh dengan cara menuangkan air ke atasnya. Hukum ini berdasarkan
sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, "Di bawah setiap helai rambut atau bulu ada janabah. Oleh
karena itu, hendakloh kamu membasuh semua rambut atau bulu, dan bersihkanlah
kulitmu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Mereka mengatakan
bahwa hadis ini adalah dhaif (Subulus Salam jilid 1 halaman 92).
Ulama Hanafi berpendapat bahwa membasuh seluruh
badan yang memang dapat dibasuh tanpa mengalami kesukaran adalah wajib seperti
bagian telinga, pusar, kumis, bulu kening, bagian dalam jenggot dan rambut
kepala, dan bagian luar kemaluan wanita. Membasuh bagian yang sukar adalah
tidak wajib, seperti bagian dalam mata dan bagian dalam kulup zakar, tetapi disunnahkan.
Hal ini menurut pendapat yang ashah di kalangan ulama Hanafi.
(1) Membongkar Sanggul
Apakah ketika mandi wajib, seseorang perlu
membongkar rambutnya yang disanggul atau tidak? Para ulama mempunyai berbagai pendapat
yang hampir sama dalam masalah ini. Ulama Hanafi mengatakan cukup dengan hanya
membasuh pangkal sanggul atau rambut wanita yang dipintal. Langkah ini adalah untuk
menghindari kesukaran. Bagi rambut yang terurai, maka wajib dibasuh
keseluruhannya. Jika bagian pangkal rambut tidak terkena air karena pintalan
sanggul itu terlalu rapat atau rambutnya terlalu banyak, ataupun sanggul
tersebut terlalu rapi, maka menurut pendapat yang ashah rambut tersebut wajib diurai
terlebih dulu.
Namun sekiranya membasuh kepala dapat menyebabkan
kemudharatan, maka tidak perlu membasuhnya. Dan ada pendapat juga yang mengatakan
bahwa seseorang itu hanya perlu menyapu saja. Dan wanita tersebut tidak boleh menghalangi
suaminya untuk bersetubuh dengannya.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa membasuh bagian
yang di bawah kulup zakar yang tidak sukar untuk dibuang adalah wajib, seperti juga
wajib membuka pintalan rambut lelaki dan membasuh bagian pangkal rambutnya secara
mutlak.
Demikian juga pendapat ulama Maliki, orang
yang rambutnya bersanggul tidak perlu dibongkar sanggulnya, jika memang
sanggulnya itu tidak terlalu rapi atau tidak terlalu banyak (tebal) sehingga
dapat menghalang air sampai ke bagian kulit kepalanya ataupun ke dalam
rambutnya.
Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafi dan
Maliki dalam masalah ini ialah, hadits Ummu Salamah, "Wahai Rasulullah,
saya adalah perempuan yang sangat ketat (sanggul) rambutnya. Apakah saya perlu
mengurainya karena mau mandi junub atau mandi haid?" Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab, "Tidak perlu, adalah cukup jika kamu
menunangkan (air) ke atas kepalamu sebanyak tiga kali." Diriwayatkan
oleh Imam Muslim, tetapi dengan lafal “menyanggul rambut di kepalaku” sebagai
ganti perkataan “rambut di kepalaku” (Subulus Salam jilid 1
halaman 91).
Ulama Syafi'i berpendapat, jika air tidak dapat
sampai ke bagian dalam rambut kecuali dengan mengurainya, maka ia wajib diurai.
Namun ada kemaafan jika air tidak sampai ke dalam bagian rambut yang ikal.
Membasuh bulu yang tumbuh di dalam mata dan hidung juga tidak wajib, meskipun
ia wajib dibasuh jika terkena najis. Membasuh kuku dan bagian cuping telinga
yang luar adalah wajib. Begitu juga bagian dalam kulup bagi yang tidak berkhitan.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan sebelum ini, yang
menetapkan wajibnya air sampai ke setiap
bagian rambut dan kulit. Tentang hadits Ummu Salamah,
mereka mengaitkan dengan keadaan di mana air dapat sampai ke bagian dalam
sanggul tanpa perlu mengurainya dan membongkarnya.
Imam Ahmad membedakan di antara haid dan
junub. Jika mandi wajib itu disebabkan haid dan nifas, maka sanggulnya perlu
diurai. Namun kalau mandinya sebab junub, maka tidak perlu mengurai rambutnya,
seandainya air mandinya dapat sampai ke pangkal rambut jika tidak diurai. Ini
adalah yang dapat dipahami dari hadits Ummu Salamah. Dalil yang menunjukkan
perlu mengurai sanggul sebab mandi haid ialah hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda
kepadanya ketika dia haid, "Hendaklah engkau gunakan air bidara dan
menyisir.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Menyisir hanya disebut untuk rambut yang
terurai. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan, "Hendaklah engkau
uraikan (rambut) kepalamu dan sisirlah."
Namun, Ibnu Qudamah berpendapat bahwa menguraikan
rambut untuk mereka yang mandi karena haid adalah disunnahkan. Ini adalah
pendapat yang shahih dan ia merupakan pendapat kebanyakan fuqaha, karena
bersandar pada sebagian hadits Ummu Salamah, "Apakah saya perlu
membongkar sanggul karena mandi haid?" Maka Nabi menjawab, "Tidak!"
Kesimpulannya adalah, empat madzhab sependapat
bahwa mengurai sanggul rambut tidaklah wajib, sekiranya air mandi dapat sampai
ke dasar rambut. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah yang telah disebutkan tadi.
Apabila ada satu bagian badan yang terlewat
tidak terkena air, maka cukuplah membasuh bagian itu saja. Menurut pendapat
yang shahih di kalangan ulama Hambali, adalah cukup jika bagian yang tidak
terkena air itu terbasahi oleh air yang membasahi rambut pada basuhan kedua
atau ketiga, dan air itu kemudian mengalir ke bagian tersebut. Karena, basuhan
yang menggunakan basahnya air (yang ada di rambut) tersebut adalah sama dengan basuhan
yang menggunakan air yang baru, di samping juga terdapat hadits yang berkaitan dengan
masalah ini.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam melihat satu bagian di atas tubuh seorang sahabat yang
tidak terkena air, lalu beliau menyuruhnya supaya mengambil air yang ada di
rambutnya dan mengusapkannya ke tempat berkenaan.
(2) Membasuh Kulit Kepala
Membasuh kulit kepala adalah wajib, baik dia
mempunyai rambut yang tebal ataupun tipis. Begitu juga membasuh bagian yang berada
di bawah rambut atau bulu lainnya, seperti kulit dagu yang berjenggut dan
lainlain. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Asma', "Dia
telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
mandi junub, maka Rasulullah menjawab, “Hendaklah kamu mengambil air dan membersihkan
dengan sebaik-baiknya. Kemudian kamu hendakah menuangkan air ke atas kepalanya,
lalu menggosoknya hingga sampai
ke pangkal rambutnya, Kemudian ia hendaklah menuangkan air ke atasnya." Diriwayatkan
oleh Muslim.
Diriwayatkan dari Ali bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang meninggatkan tempat meskipun
hanya seukuran sehelai rambut saja hingga tidak terkena air ketika mandi junub,
maka Allah Ta’ala akan menyiksanya dengan ukuran tertentu dari api neraka."
Imam Ali berkata, "Oleh karena itu,
maka aku mengulangi membasuh rambutku." Dalam
riwayat Abu Dawud terdapat tambahan kalimat, "Oleh karena
itu, maka dia memendekkan rambutnya.” Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Ahmad (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 247).
Selain itu, menyampaikan air ke kulit di bawah
helai rambut atau bulu tidaklah menyebabkan kemudharatan dan tidak juga
menyusahkan. OIeh karena itu, ia wajib dibasuh sama seperti bagian kulit yang
lain.
(3) Membasuh Rambut yang Terurai
Menurut ulama Syafi'i, membasuh rambut yang
terurai adalah wajib berdasarkan hadits Abu Hurairah yang disebutkan sebelum ini.
"Di bawah setiap helai rambut ada janabah."
Di samping itu, rambut tersebut memang tumbuh
di tempat yang seharusnya dibasuh. Oleh karena itu, harus dibasuh sama seperti bulu
kening dan bulu mata.
Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat ia tidak
wajib dibasuh berdasarkan hadits Ummu Salamah yang menyatakan tidak perlu menguraikan
rambut yang disanggul, walaupun Ummu Salamah telah menjelaskan kepada Nabi
bahwa ikatan rambutnya sangat rapat. Jika ia wajib dibasuh, tentunya Rasul meminta
supaya dia menguraikan sanggulan rambutnya supaya air mandinya mengenai semua
rambutnya.
Ulama Hambali mempunyai dua pendapat seperti
dua pendapat yang telah disebutkan tadi. Adapun yang paling rajih adalah yang berpendapat
bahwa membasuh rambut tersebut wajib seperti pendapat ulama Syafi'i. Ketika menuangkan
air ke atas kepala, hendaklah dia menggosoknya supaya air dapat sampai ke kulit.
Namun, dia tidak perlu memasukkan jari ke bagian bawah rambut untuk menggosok kulit.
Mereka juga berpendapat, adalah wajib menyela-nyelai
celah-celah jari kaki dan tangan. Adapun ketika berwudhu, menyela-nyelai jari
kaki adalah sunnah, sementara menyela-nyelai jari tangan adalah wajib.
Termasuk juga di antara perkara yang fardhu menurut
pendapat ulama Maliki ialah menyela-nyelai
celah-celah rambut atau lainnya, jika ia tebal. Maksud menyela-nyelai di sini
ialah dengan menggenggamnya.
B. Berkumur dan Memasukkan Air ke Hidung
Ulama Hanafi dan Hambali mewajibkan berkumur
dan memasukkan air ke dalam hidung ketika mandi wajib, karena berdasarkan firman
Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ma’idah ayat 6. Juga hadits, "Kemudian
hendaklah kamu meratakan tubuhmu dengan air."
Kedua nash yang disebut itu menuntut supaya
kita membersihkan dengan menggunakan air ke seluruh badan. Hadis yang digunakan
oleh ulama Hanafi sebagai dalil untuk berkumur dan menghirup air ke dalam
hidung, “Sesungguhnya keduanya fardhu di dalam mandi junub dan sunnah dalam
berwudhu,” adalah hadis yang gharib (Nashbur Rayah jilid 1 halaman
78).
Ulama Maliki dan Syafi'i berpendapat perbuatan
ini adalah sunnah ketika mandi wajib. Kedudukannya sama seperti ketika berwudhu.
Hal ini berdasarkan hadits yang menyebut tentang sepuluh perkara fitrah, di
mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut di antara
sepuluh perkara tersebut adalah berkumur dan memasukkan air ke hidung.
Diriwayatkan oleh al-jama’ah selain Al-Bukhari (Nashbur Rayah jilid
1 halaman 76).
C. Berniat Ketika Memulai Membasuh Bagian Tubuh
Maksudnya adalah niat menunaikan kefardhuan mandi,
ataupun mengangkat junub, mengangkat
hadats besar, ataupun supaya boleh melakukan perkara yang terlarang jika tanpa
mandi, umpamanya niat supaya boleh melakukan shalat atau thawaf yang memang harus
dilakukan dalam keadaan suci dengan cara mandi terlebih dahulu. Namun jika ia niat
dengan menyebut suatu amal yang tidak perlu kepada mandi wajib, seperti mandi
sunnah Hari Raya, maka tidak sah. Tempat niat adalah hati, dan hendaklah
dilakukan serentak dengan melakukan perkara fardhu yang paling awal dilakukan,
yaitu ketika membasuh untuk pertama kali bagian tubuh yang mana pun, baik dari
bagian atas atau di sebelah bawah, karena dalam mandi tidak perlu tertib.
Jumhur ulama selain ulama Hanafi mewajibkan niat
mandi seperti juga niat wudhu. Hal ini berdasarkan hadits, "Segala amalan
adalah bergantung kepada niat."
Menurut ulama Hanafi, memulai dengan niat
hanyalah sunnah supaya perbuatannya menjadi ibadah dan mendapat pahala seperti berwudhu.
Adapun hukum membaca bismillah, jumhur berpendapat
ia adalah sunnah. Sementara ulama Hambali mengatakan ia adalah fardhu sama
seperti dalam wudhu. Namun, mereka mengatakan bahwa hukum membaca bismillah
dalam mandi adalah lebih ringan bila dibanding untuk wudhu, karena hadits mengenai
bismillah hanya menyebut wudhu. Adapun yang lain tidak disebut dengan jelas.
D. Menggosok, Muwaalaat, dan Tertib
Para fuqaha sepakat bahwa tertib bukan merupakan
kewajiban dalam mandi. Oleh karena
itu, ia boleh dimulai dari bagian tubuh yang mana pun
baik bagian tubuh sebelah atas ataupun bawah.
Ulama Maliki berpendapat bahwa menggosok adalah
wajib, meskipun dengan menggunakan sobekan kain. Begitu juga dengan muwaalaat
sekiranya ia ingat dan mampu, seperti halnya dalam wudhu. Maksud menggosok di
sini adalah menjalankan anggota badan -baik tangan atau kaki- ke keseluruhan bagian
anggota badan. Dengan demikian, adalah cukup jika ia menggosok kaki dengan menggunakan
kaki yang satunya. Menggosok juga dianggap cukup dengan menggunakan bagian
punggung telapak tangan, lengan, bagian dalam lengan. Bahkan menurut pendapat
yang rajih, ia juga cukup dengan menggunakan kain, walaupun dia mampu menggosok
dengan tangan. Yaitu, dengan cara memegang kedua ujung kain dengan tangan dan menggosok-gosokkan
bagian tengah kain ke seluruh tubuh, ataupun dengan menggunakan tali atau yang
semacamnya. Menggosok juga dianggap cukup meskipun setelah air dicurahkan ke
tubuh dan setelah air itu terpisah dari tubuh, selagi ia belum kering. Jika
tidak mampu untuk menggosok, maka kewajiban itu gugur dan dia cukup meratakan
air ke seluruh tubuhnya. Begitu juga dengan fardhu yang lain, karena Allah
Ta’ala tidak mewajibkan sesuatu kecuali yang memang mampu dilakukan.
Muwaalaat adalah fardhu sama seperti dalam berwudhu. Oleh karena itu, apabila seseorang
membuat jarak yang lama dan sengaja ketika mandi, maka mandinya batal. Jika
jaraknya tidak lama, maka dia boleh meneruskan mandinya dengan niat.
Ulama lain -selain ulama Madzhab Maliki- tidak
mewajibkan menggosok dan muwaalaat,
karena ayat yang mewajibkan bersuci, yaitu "fath-thahharuu"
dan juga hadits-hadits yang berkaitan tidak menyebut kewajiban dua hal
tersebut.
Kesimpulan
(1) Madzhab Hanafi
Perkara yang difardhukan dalam mandi adalah
sebelas perkara, yaitu membasuh mulut, membasuh hidung, membasuh badan sekali,
membasuh bagian yang ada di bawah kulup yang tidak sukar dibuka, membasuh
pusar, membasuh lubang-lubang, membasuh bagian dalam sanggul rambut wanita jika
air dapat sampai ke pangkalnya, membasuh kulit di bawah jenggot, membasuh kulit
di bawah kumis, membasuh kening, dan membasuh bagian kelamin wanita yang
kelihatan. Tetapi, pendapat yang lebih ashah menyatakan bahwa membasuh bagian
dalam kulup hanya sunnah saja, bukannya wajib.
(2) Madzhab Maliki
Terdapat lima perkara yang difardhukan dalam mandi,
yaitu: pertama, niat mandi fardhu atau niat mengangkat hadats, atau niat
supaya boleh melakukan perkara yang terlarang tanpa mandi, dan niatnya itu
hendaklah dilakukan berbarengan dengan basuhannya yang pertama, yaitu dengan cara
niat di dalam hati untuk menunaikan kefardhuan mandi, atau niat untuk
mengangkat hadats besar, atau menghilangkan janabah atau niat supaya boleh
melaksanakan perkara yang terlarang tanpa mandi, ataupun niat supaya boleh
melaksanakan shalat.
Kedua, muwaalaat, apabila dia ingat dan mampu melakukannya, sama seperti dalam
wudhu. Ketiga, meratakan air ke seluruh bagian tubuh. Ketiga, menggosok
tubuh meskipun setelah
air dituangkan dan meskipun dengan potongan kain. Keempat,
menyela-nyelai rambut, jari dua kaki, dan jari dua tangan.
(3) Madzhab Syafi'i
Menetapkan bahwa perkara yang wajib hanya tiga
saja, yaitu niat menghilangkan najis jika memang ada. Menuangkan air ke seluruh
kulit tubuh yang kelihatan dan juga ke bagian rambut dan bulu, sehingga air
sampai ke kulit yang ada di bawahnya. Adapun selain itu, hukumnya adalah
sunnah.
(4) Madzhab Hambali
Menetapkan bahwa perkara yang diwajibkan dalam
mandi ialah menghilangkan najis atau perkara yang dapat menghalangi air sampai
ke kulit, niat, membaca bismillah, meratakan air ke seluruh tubuh hingga ke
dalam mulut dan hidung. Oleh sebab itu, wajib berkumur dan memasukkan air ke
hidung ketika mandi, sama seperti dalam wudhu. Wajib juga membasuh semua bagian
rambut atau bulu, baik luar atau dalam, dan baik pada lelaki ataupun wanita, juga
baik rambut tersebut yang dilepas ataupun tidak. Juga, wajib menguraikan rambut
yang disanggul atau yang diikat ketika mandi haid atau nifas. Tetapi jika mandi
tersebut karena janabah, rambut itu tidak perlu diuraikan sekiranya air yang
dituangkan ke atasnya dapat sampai ke pangkal rambut.
Orang yang tidak berkhitan wajib membasuh bagian
dalam kulup jika memang dapat dibuka. Wajib juga membasuh bagian yang di bawah
cincin atau semacamnya, dengan cara menggerak-gerakkannya agar air dapat sampai
ke bagian bawahnya. Wajib juga membasuh bagian luar kelamin wanita, yaitu bagian
yang kelihatan ketika dia duduk untuk membuang air; karena bagian itu adalah dihukumi
sebagai bagian yang zahir. Namun, ia tidak wajib membasuh bagian dalamnya. Begitu
juga tidak wajib membasuh bagian dalam mata, bahkan perbuatan tersebut tidak disunnahkan
meskipun perbuatan itu tidak membahayakan.
Tertib dan muwaalaat juga tidak wajib
ketika membasuh anggota wudhu semasa mandi, karena mandi dapat membersihkan kedua
ienis hadats sekaligus. Keduanya adalah ibadah yang dapat digabungkan antara
satu dengan yang lainnya, sehingga hukum hadats kecil dianggap gugur hukumnya sama
seperti apabila haji digabungkan dengan umrah. Menggosok juga tidak wajib apabila
diyakini atau ada dugaan kuat bahwa air dapat sampai ke seluruh badan, walaupun
tanpa digosok.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
##########
BIMBINGAN MASUK UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Lebanon / Lebanon - Maroko / Maroko - Mesir / Mesir- Pakistan / Pakistan - Sudan / Sudan - Qatar / Qatar - Saudia Arabia / Arab Saudi Tunisia / Tunisia - Suriah - Yaman / Yaman - Turki - Yordania / Yordania BIMBINGAN BELAJAR MASUK GONTOR : Putra - Putri CONTOH SOAL TES SELEKSI UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Tahun 2010 - Tahun 2011 - Tahun 2012 - Tahun 2014 - Tahun 2015 - Tahun 2016 - Tahun 2017 BELAJAR ILMU KEISLAMAN : Rumah Tahfidz - Ilmu Keislaman - Kursus Bahasa Arab PINTAR TOAFL : Panduan (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Sima'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Qira'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8) Tarakib (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Kitabah (1 / 2 / 3) Kunci Jawaban (1 / 2 / 3 / 4) KAMUS BAHASA ARAB : Idiom (1) BAB KEILMUAN ISLAM : Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq
##########
0 Comments