BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Wahyu Hestya
5. PERKARA-PERKARA YANG DIMAKRUHKAN DALAM MANDI
Ulama Hanafi berpendapat (Muraqil Falah halaman
17), segala yang makruh ketika berwudhu dianggap makruh ketika mandi. Perkara
makruh tersebut ada enam perkara: menggunakan air dengan boros, terlalu sedikit
menggunakan air, memukul air ke arah muka, bercakap-cakap, meminta tolong orang
lain tanpa ada uzur dan makruh juga berdoa. Adapun dalam wudhu, berdoa dengan
doa yang ma'tsur ketika membasuh setiap anggota adalah disunnahkan, sebagaimana
yang telah diterangkan.
Ulama Maliki berpendapat (Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 26), perkara yang dimakruhkan ketika mandi ada lima
perkara, yaitu mengunakan air terlalu banyak, melakukannya
dengan secara sungsang, mengulangi membasuh tubuh setelah
air diratakan ke seluruh tubuh, mandi di tempat terbuka, dan mengucapkan
perkataan selain dzikir.
Ulama Syafi'i berpendapat (Al-Hadramiyyah halaman
21 dan berikutnya), makruh berlebih-lebihan dalam menggunakan air ketika mandi,
mandi dan wudhu di air yang tidak mengalir, melakukan lebih dari tiga kali,
tidak berkumur dan memasukkan air ke hidung. Bagi yang berjunub dan bagi wanita
yang berhenti dari haid dimakruhkan makan, minum, bersetubuh sebelum membasuh
kelamin dan berwudhu.
Ulama Hambali berpendapat (Kasysyaful Qina’
jili 1 halaman 179 dan berikutnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 229),
adalah makruh menggunakan air yang terlalu banyak, walaupun dia mandi di tepi
sungai yang mengalir, berdasarkan hadits Ibnu Umar, "Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam melewati Sa'ad ketika dia sedang mengambil wudhu. Maka, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mengapa engkau
begitu boros (menggunakan air).” Sa'ad
bertanya, “Apakah ketika wudhu juga ada hukum boros?”
Beliau menjawab, “Ya, Walaupun engkau di tepi sungai yang mengalir.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Bagi mereka yang telah wudhu sebelum mandi
makruh mengulangi wudhu setelah mandi. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah, "Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah mandi." Kecuali,
apabila wudhu tersebut batal disebabkan menyentuh kemaluan atau sebab yang
lain, seperti menyentuh perempuan disertai keinginan (syahwat) ataupun keluar sesuatu
dari kelaminnya, maka hal itu menyebabkan ia wajib mengulangi wudhunya apabila
mau shalat ataupun yang semacamnya.
Kemakruhan tidak berwudhu bagi mereka yang
berjunub dan juga wanita yang telah habis haid atau nifasnya, adalah apabila mereka
mau tidur saja. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak berwudhu dulu kemudian mau
makan, minum, atau mengulangi persetubuhan, maka tidak dimakruhkan. Namun,
mereka tetap disunnahkan untuk berwudhu, dengan dalil hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar bahwa Umar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, "Wahai Rasulullah, apakah di antara kami boleh tidur
sedangkan ia dalam keadaan junub?" Rasulullah menjawab, "Ya!
Apabila ia telah berwudhu, maka bolehlah ia tidur."
Juga riwayat dari Aisyah, "Apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mau tidur ketika beliau junub, maka
beliau membasuh kemaluannya dan berwudhu seperti wudhu untuk shalat."
Hadis muttafaqun ‘alaihi.
Hukum sunnah berwudhu ketika mau makan dan minum
bagi yang berjunub adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, "Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kelonggaran (rukhshah)
bagi orang yang berjunub sekiranya ia mau makan atau minum, maka ia hendaklah
berwudhu seperti wudhu untuk shalat." Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dengan isnad yang shahih.
Bagi mereka yang mau mengulangi persetubuhan, juga
disunnahkan berwudhu berdasarkan hadits Abu Sa'id bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila seorang dari kamu bersetubuh dengan
istrinya kemudian ia mau mengulangi lagi, maka hendaklah ia berwudhu seperti wudhu
untuk shalat.” Diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim (Subulus
Salam jilid 1 halaman 89). Al-Hakim menambahkan dalam riwayatnya, "Karena
ia akan menambah keaktifan untuk mengulanginya."
Namun, mandi untuk tujuan mengulangi persetubuhan
adalah lebih afdhal daripada hanya berwudhu, karena ia akan memberi semangat
yang lebih.
Menurut pendapat ulama Hambali, orang yang
berjunub atau yang sedang dalam keadaan haid atau nifas tidak dimakruhkan memotong
rambut atau kukunya. Begitu juga mereka tidak dimakruhkan memakai pewarna rambut
(yang dibolehkan syara') sebelum mandi wajib. Hal ini adalah berdasarkan nash. Al-Ghazali
menyatakan dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, "Orang yang sedang
berjunub tidak sepatutnya memotong kuku, bercukur, atau membuang bulu kelamin,
juga mengeluarkan darah ataupun memisahkan sesuatu dari tubuhnya. Karena, pada
hari Akhirat nanti semua bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya. Dengan
demikian, ia akan kembali dalam keadaan berjunub. Ada yang menyatakan bahwa
setiap helai rambut akan dituntut disebabkan keadaan junubnya.” (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 75)
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
BIMBINGAN MASUK UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Lebanon / Lebanon - Maroko / Maroko - Mesir / Mesir- Pakistan / Pakistan - Sudan / Sudan - Qatar / Qatar - Saudia Arabia / Arab Saudi Tunisia / Tunisia - Suriah - Yaman / Yaman - Turki - Yordania / Yordania BIMBINGAN BELAJAR MASUK GONTOR : Putra - Putri CONTOH SOAL TES SELEKSI UNIVERSITAS TIMUR TENGAH : Tahun 2010 - Tahun 2011 - Tahun 2012 - Tahun 2014 - Tahun 2015 - Tahun 2016 - Tahun 2017 BELAJAR ILMU KEISLAMAN : Rumah Tahfidz - Ilmu Keislaman - Kursus Bahasa Arab PINTAR TOAFL : Panduan (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Sima'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Qira'ah (1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8) Tarakib (1 / 2 / 3 / 4 / 5) Kitabah (1 / 2 / 3) Kunci Jawaban (1 / 2 / 3 / 4) KAMUS BAHASA ARAB : Idiom (1) BAB KEILMUAN ISLAM : Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq
##########
0 Comments