DALIL-DALIL PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASSALAM
PERTAMA,
peringatan maulid Nabi seperti gambaran di atas tidak pernah terjadi
pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan inilah, sebagian kaum
muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan mengklaim bid`ah
pelaku perayaan maulid. Menurut kelompok ini seandainya perayaan maulid
memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya generasi
salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn Taimiyah,
Fatawa Kubra, Juz IV, hal 414].
Telah
banyak terjadi kesalahan dalam memahami hadits Nabi tentang masalah
bid`ah dengan mengatakan bahwa setiap perbuatan yang belum pernah
dilakukan pada masa Rasulullah adalah perbuatan bid`ah yang sesat dan
pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka dengan berlandaskan pada
hadist berikut ini:
وإيَّاكم ومحدثات الأمور؛ فإنَّ كلَّ محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Artinya: Berhati-hatilah
kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah
bid`ah dan setipa bid`ah adalah sesat”. [HR. Ahmad No 17184].
Pemahaman Hadits ini bisa salah apabila tidak dikaitkan dengan Hadits yang lain, yaitu:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: Siapa
saja yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah kami ini, yang tidak
bersumber darinya, maka dia ditolak. [HR al-Bukhori No 2697]
Ulama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أمرنا dalam hadits di atas
adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi dalam masalah
dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan
kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak diperbolehkan. [Yusuf
al-Qaradhawi, Bid`ah dalam Agama, hal 177]
Dengan
demikian, maka makna hadits di atas adalah sebagai berikut: “Barang
siapa berkereasi dengan memasukkan sesuatu yang sesungguhnya bukan
agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu merupakan hal yang ditolak”
Dapat
dipahami bahwa bid`ah yang dhalalah (sesat) dan yang mardudah (yang
tertolak) adalah bid`ah diniyah. Namun banyak orang yang tidak bisa
membedakan antara amaliyah keagamaan dan instrumen keagamaan. Sama
halnya dengan orang yang tidak memahami format dan isi, sarana dan
tujuan. Akibat ketidakpahamannya, maka dikatakan bahwa perayaan maulid
Nabi sesat, membaca Al-Qur’an bersama-sama sesat dan seterusnya. Padahal
perayaan maulid hanyalah merupakan format, sedangkan hakikatnya adalah
bershalawat, membaca sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat
Al-Qur’an, berdoa bersama dan kadang diisi dengan ceramah agama yang
mana perbuatan-perbuatan semacam ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an
maupun Hadits.
Dan
lafadz كل pada hadits tentang bid`ah di atas adalah lafadz umum yang
ditakhsis. Dalam Al-Qur’an juga ditemukan beberapa lafadz كل yang
keumumannya di takhsis. Salah satu contohnya adalah ayat 30 Surat
al-Anbiya`:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَي
Artinya: Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (QS al-Anbiya': 30)
Kata
segala sesuatu pada ayat ini tidak dapat diartikan bahwa semua benda
yang ada di dunia ini tecipta dari air, tetapi harus diartikan sebagian
benda yang ada di bumi ini tercipta dari air. Sebab ada benda-benda lain
yang diciptakan tidak dari air, namun dari api, sebagaimana firman
Allah dalam Surat ar-Rahman ayat 15:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَار
Artinya: Dan Allah menciptakan jin dari percikan api yang menyala. (QS ar-Rahman: 15)
Oleh
karena itulah, tidak semua bid`ah dihukumi sesat dan pelakunya masuk
neraka. Bid`ah yang sesat adalah bid`ah diniyah, yaitu meng-agamakan
sesuatu yang bukan agama. Adapun perayaan maulid Nabi tidaklah termasuk
bid`ah yang sesat dan dilarang karena yang baru hanyalah format dan
instrumennya.
Berkenaan dengan hukum perayaan maulid, As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:
أَصْلُ
عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ
مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ
عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ
وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ
لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
Artinya: “Hukum
Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari
kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian
peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa
dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah
hasanah”.
Al-Hafizh
Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan
peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, mengatakan: “Kami sudah sering menulis perihal mauled nabi. Kami telah membicarakan ini berkali-kali di radio dan forum terbuka dengan penjelasan yang kami pahami atas maulid nabi. Kami mengatakan, sebagaimana yang sudah-sudah– bahwa forum yang diadakan untuk memperingati kelahiran nabi tidak lain adalah masalah adat atau tradisi saja dan bukan ibadah sama sekali. Ini akidah yang kami yakini dan agama Allah yang kami peluk. Silakan siapa saja boleh membayangkan pertemuan ini karena kecenderungan manusia itu tidak lain mau benar sendiri dan apa yang dibayangkan olehnya. Di setiap peringatan, pertemuan, dan kesempatan, kami mengatakan bahwa pertemuan untuk peringatan maulid dengan rangkaian acara seperti ini adalah masalah adat atau tradisi, bukan ibadah. Apakah harus ada lagi pengingkaran atau penolakan atas masalah ini? tetapi musibah terbesar adalah gagal paham. Oleh karena itu Imam As-Syafi’i berkata, ‘Kalau menghadapi debat dengan orang alim cendekia, aku selalu menang. Tetapi kalau debat menghadapi orang bodoh, aku kalah,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 339-340). “Santri paling junior sekalipun dapat membedakan kedudukan atau hakikat tradisi dan ibadah. Kalau ada orang mengatakan, ‘Peringatan maulid itu adalah ibadah yang disyariatkan cara pelaksanaannya.’ Kami akan bertanya, ‘Mana dalilnya?’ kalau orang itu mengatakan bahwa peringatan maulid adalah hanya tradisi, maka kami mengatakan, ‘Silakan, lakukan sesukamu.’ Bahaya dan bala yang kita khawatirkan adalah ‘pakaian’ ibadah yang dikenakan untuk perbuatan bid‘ah yang tidak disyariatkan, tetapi hasil ijtihad manusia. Ini justru tidak diridhai Allah, yang kita perangi dan waspadai,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 340).
Dari keterangan ini Sayyid Muhammad Alwi sekapat bahwa segala bentuk bidah harus dihapus karena tidak sesuai dengan syariat. Tetapi apakah peringatan maulid adalah bid’ah, di sini Sayyid Muhammad Alwi tidak sepakat. Baginya, peringatan maulid hanya adat/tradisi belaka sehingga berada di luar vonis sunah atau bid‘ah. Meskipun hanya tradisi, Sayyid Muhammad Alwi menganjurkan umat Islam untuk terus mengadakan peringatan maulid karena acara itu mengandung kalimat-kalimat thayyibah, sifat-sifat terpuji Rasulaullah SAW, nasihat-nasihat, keberkahan, dan faidah lainnya.
Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid Nabi hanya
formatnya yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah
diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itulah, banyak ulama
yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid`ah hasanah dan
pelakunya mendapatkan pahala.
Rasulullah
tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram.
Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan
diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
Artinya: “Apa
yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh
Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang
ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa
perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh
Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak
haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah.
Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan
mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu
itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang
secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau
sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang
berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah
berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang
sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak
membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan
terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus
dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan
apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?!
Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
Artinya: “Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu
oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh
dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya
memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam
setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’
al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat
kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah
bersabda:
مَنْ
سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
Artinya: “Barang
siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara
yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan
pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang
pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam
hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak
adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu
yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu
sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits
di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah
perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka
Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud”
(Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti
tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini
bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu
hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah
hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk
membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at
Islam. Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan
tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat
persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah syara’. Bila sesuai
maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh
dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan
sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ
أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ
الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
Artinya: “Cara
mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian)
para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong
kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan
jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk
bid’ah yang buruk”.
KEDUA, di antara dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian Ulama` adalah firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Katakanlah,
dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah
mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)
Ayat
ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan
rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri
الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an
dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.
Abu
Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل
adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang
masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya
isyarat firman Allah SWT yaitu:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Kami
tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS.
Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz
11, hal. 186]
Menurut
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya
Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada
surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani,
Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7]
Dalam
kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani
diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin
karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa
bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat
besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu hajar, Fathul
Bari, Juz 11, hal 431]
Riwayat
senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih
Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah,
Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9,
Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].
KETIGA,
peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat
sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam.
Rasulullah bersabda:
مَنْ
سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)
Artinya: “Barang
siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia
akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga
mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa
berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab
Shahihnya).
Hadits
ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk
merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah
perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di
antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh,
bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang
mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit
keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
Hadits
riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya.
Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah
bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab:
“Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa,
dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”.
Kemudian Rasulullah bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
Artinya: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk
berpuasa. Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah
bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah
pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari
tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau
karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut
diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah
dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti
sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya.
Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat
ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada
bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung
dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan
kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani.
KEEMPAT,
hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika
ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
Artinya: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)
Hadits
ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena
bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini
adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari
senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada
hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal
kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan
dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau
perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin
diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang
setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih
diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada
harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau
10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila
perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah
ini.
Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ
الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ
أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ
يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ
الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ،
وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ،
وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ
يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ
مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ".
ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ
لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ،
وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ:
لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ
الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ
الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا
وَلَيَالِيْهِ.
Artinya: “Peringatan
Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf
Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada
setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota
besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran
Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan
diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya,
mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan
kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari
biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan
nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah
teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran
Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12
bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan
masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan
kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan
kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan
malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”.
KELIMA,
Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits
al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan
sebagai berikut:
أَصْلُ
عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ
مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ
عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ
وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ
لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
Artinya: “Asal
peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum
Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian
peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa
dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar
pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
KEENAM,
Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya
Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid dan dalam kitab al-Hawi li
al-Fatawi,juz 1, halaman 221, beliau menuliskan sebagai berikut:
عِنْدِيْ
أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ
وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ
الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ
مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ
وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ
الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ
تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ
بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل
الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ
الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ
وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ
الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
.
Artinya: “Menurutku:
pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi
bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang
permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi
kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang
tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada
tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya
akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan
mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan
rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang
pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja
al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah
seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan
dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’
al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
KETUJUH, dari kalangan Hanafiyyah, Syaikh Ibnu ‘Abidin mengatakan:
اِعْلَمْ
أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ
مِنَ الشَّهْرِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ
Artinya: “Ketahuilah bahwa salah satu bid’ah yang terpuji adalah perayaan maulid Nabi pada bulan dilahirkan Rasulullah Muhammad Saw”.
Bahkan
setiap tempat yang di dalamnya dibacakan sejarah hidup Nabi Saw, akan
dikelilingi malaikat dan dipenuhi rahmat serta ridla Allah Swt.
KEDELAPAN, al-Imam Ibnu al-Haj ulama’ dari kalangan madzhab Maliki mengatakan:
مَا
مِنْ بَيْتٍ أَوْ مَحَلٍّ أَوْ مَسْجِدٍ قُرِئَ فِيْهِ مَوْلِدُ
النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَفَّتِ
الْمَلاَئِكَةُ أَهْلَ ذَلِكَ الْمَكَانِ وَعَمَّهُمُ اللهُ تَعَالَى
بِالرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ
Artinya: “Tidaklah
suatu rumah atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi Saw,
kecuali malaikat mengelilingi penghuni tempat tersebut dan Allah memberi
mereka limpahan rahmat dan keridloan”.
KESEMBILAN, Al-Imam Ibnu Taimiyyah dari kalangan madzhab Hanbali mengatakan dalam kitabnya, Iqtidha' al-Shirat al-Mustaqiem, halaman 297:
فَتَعْظِيْمُ
الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ
وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Mengagungkan
maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh
sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut,
karena niat baiknya dan karena telah mengagungkan Rasulullah Saw”.
KESEPULUH,
merayakan maulid Nabi bisa menjadi wajib bila menjadi sarana dakwah
yang efektif untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang terdapat
banyak kemunkaran. Al-Syaikh al-Mubasyir al-Tharazi menegaskan:
إِنَّ
الْاِحْتِفَالَ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ
وَاجِبَا أَسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَّ مِنَ الْاِحْتِفَالَاتِ
الضَّارَّةِ فِيْ هَذِهِ الْأَيَّامِ.
Artinya: “Sesungguhnya
perayaan maulid Nabi menjadi wajib yang bersifat siyasat untuk
menandingi perayaan-perayaan lain yang membahayakan pada hari ini”.
KESEBELAS,
menyambut kelahiran atau keberadaanMuhammad saw di muka bumi merupakan
perbuatan yang utama. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Lahab. Ia sangat
bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad sampai memerdekakan budaknya
yang bernama Tsuwaibah. Ibnu Katsir dalam tafsir al-Bidayah wa
al-Nihayah menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut: "Dan dalam
mimpinya, Abu lahab berkata kepada Abbas, sesungguhnya siksaku
diringankan pada hari senin. Para ulama berpendapat, hal itu terjadi
ketika Tsuwaibah menyampaikan berita gembira kepada Abu Lahab tentang
kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah. Ketika itu Abu Lahab
langsung memerdekakan Tsuwaibah karena bahagia mendengar berita
tersebut, maka Abu Lahab diringankan siksanya dengan sebab peristiwa
tersebut".
Abu
Lahab merayakan kegembiraan atas kelahiran Nabi dengan memerdekakan
budaknya. Dengan itu ia di alam kubur pada setiap hari senin mendapat
keringanan siksaan. Bagaimana dengan kita umat Islam yang selalu
mencintainya, merindukannya, merayakan dan menyambut gembira hari
lahirnya?
KEDUA BELAS,
pendapat al-Imam al-Hafidz Hasan al-Bashri. Hasan Al-Bashri adalah
seorang tabi'in yang agung, lahir di kota madinah al-Munawaroh pada dua
tahun menjelang berakhirnya pemerintahan kholifah Umar Bin al-Khattab
ra. Beliau menjumpai lebih dari 100 shahabat nabi dan wafat pada bulan
Rajab,116 H dalam usia 89 tahun.
Anjuran
Sahabat Anas bin Malik yang bertanya kepada al-Imam al-Hasan al-Bashri
tentang perayaan maulid Nabi saw sebagai berikut : "Hasan Bashri berkata
: andai saja aku memiliki emas sebesar gunung uhud, maka sungguh aku
akan dermakan itu semua untuk penyelenggaraan perayaan peringtan Maulid
Nabi".
Pernyataan
tersebut di tulis oleh Syeikh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Dimyati
dalam Kitab Syarah I'anah al-Tholibin, Juz 3, halaman 255.
Ucapan
Syeikh Hasan al-Bashri ra di atas membuktikan betapa para tabi'in
sangat menaruh perhatian besar terhadap hari kelahiran Rosululloh saw.
Bagaimana tidak, beliau siap dan rela mendermakan hartanya untuk
penyelenggraan dan perayaan peringtan maulid Nabi saw.
KETIGA BELAS, sebagaimana yang dikutip oleh al-Imam Syihâbuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (899-974 H/1494-1566 M) dalam kitabnya al-Ni’matu al-Kubra ‘ala al-‘Alam fî Maulidi Sayyidi Waladi Adam. “Sayyidina ‘Umar bin Khaththâb berkata barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi, sungguh ia telah menghidupkan agama islam. Dan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, Barangsiapa yang menginfaqkan satu dirham atas dibacanya Maulid Nabi, maka seakan-akan ia rela mengorbankan jiwanya untuk membela agama pada perang Badar dan perang Hunanin. Sayyidina ‘Ali bin Abî Thâlib juga berkata, barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi dan ia menjadi sebab dibacanya Maulid Nabi, maka ia tidak akan meninggal kecuali dengan iman dan masuk surga tanpa hisab.”
*Penulis adalah lulusan Fakultas Syariah Islamiyyah Universitas Al-Azhar, Mesir & Pascasarjana Konsentrasi Ekonomi & Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta
SEBELUMNYA : BAGIAN PERTAMA ===> klik disini
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########