BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

 
SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASSALAM
 
Para ulama sepakat bahwa tidak terdapat peringatan maulid Nabi SAW pada zaman Rasulullah hidup dan tidak juga pada masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Bahkan generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya tidak pernah melakukan, tidak pernah diajarkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Peringatan ini secara khusus baru dilakukan di kemudian hari. Ada beberapa pendapat tentang asal mula maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. 
 
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam Kajian Sejarah, Hukum & Dalil Pelaksanaannya

PENDAPAT PERTAMA mengatakan bahwa Sholahuddin Al Ayubi yang pertama kali memulai perayaan maulid karena melihat kondisi muslimin pada waktu itu semakin jauh dengan sunah-sunah Rasul. Sedangkan para tentara salib setiap saat siap untuk menyerang pasukan muslimin dalam sekali hantaman. Dan dengan ijtihad beliau mengadakan maulid Nabi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam agar menumbuhkan sunah-sunah yang mulai memudar dari tubuh muslimin dan semangat juang dalam menegakkan kalimatullah.

Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas. Kendati demikian, pendapat ini masih diperdebatkan.

Mereka yang menolak bahwa Shalahuddin sebagai pelopor maulid beralasan, tidak ditemukan catatan sejarah yang menerangkan perihal Shalahuddin menjadikan Maulid Nabi sebagai bagian dari perjuangannya dalam Perang Salib.


Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam Kajian Sejarah, Hukum & Dalil Pelaksanaannya

PENDAPAT KEDUA oleh para ahli sejarah seperti Al Maqriziy serta mufti mesir Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy dan juga Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh mengatakan bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid Nabi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah firqoh sesat Syiah Ubaidiyyun pada dinasti fatimiyah sebagaimana yang beliau tuliskan pada kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’(Syiah Bathiniyyah). Al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) mengatakan para khilafah Fatimiyah memang memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Antara lain perayaan tahun baru, hari Asyura, Maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Ali Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Syaban, perayaan malam pertama Ramadan, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, perayaan malam Al Kholij, perayaan hari Nauruz (tahun baru Persia), dan lainnya. (Al Mawa'izh wal I'tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida' Al Hawliyah, hal. 145-146).

Al-Maqrizi juga mengatakan dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata: “Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.” Lalu dia mengatakan: “Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.” Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H). ”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).

Asy Syekh Bakhit Al Muti'iy, seorang mufti dari Mesir, dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal.44) juga menyebut, yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah Al Mu'izh Lidnillah (keturunan Ubaidillah dari Dinasti Fatimiyah) pada 362 Hijriah (341-365H). Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255).

Selain mereka, dalam beberapa buku sejarah juga disebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah memang yang menginisiasi perayaan Maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya, pemerintahan Fatimiyah berdiri pada 909 Masehi di Tunisia. Enam dekade kemudian, mereka memindahkan pusat kekuasaan ke Kairo, Mesir. Dua tahun setelah masuknya Shalahuddin al-Ayubbi ke Mesir, yakni sekitar tahun 1171, Dinasti Fatimiyah runtuh.

Adanya perayaan Maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin. Salah satu sejarawan tersebut adalah al-Qalqashandi (1418). Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan Maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-A'sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da'i al-Du'at, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Acara tersebut diterangkan dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran dan khutbah oleh tiga penceramah. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu. Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun kembali ke rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah, maulid Hasan dan Hussain, dan maulid khalifah sendiri.

Sebagaimana juga digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut. Kemudian, sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).

Kendati terdapat sumber referensi yang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah yang pertama kali menghelat Maulid Nabi, tetapi hal tersebut juga masih diperdebatkan. Sebab, Ibn Jubair ketika melakukan perjalanan hajinya melalui Mesir pada tahun 1183, tidak menyebutkan ada kebiasaan maulid di sana. Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). 


Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam: Kajian Sejarah, Hukum & Dalil Pelaksanaannya

PENDAPAT KETIGA oleh para ahli sejarah seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan Shalahuddin al-Ayyubi. Pendapat ini adalah pendapat yang paling benar karena bersumber pada ulama dan ahli sejarah yang terpercaya.

Dia adalah Sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan unta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat. Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.

Sebagaimana yang ditulis oleh ibn Khallikan dalam kitabnya Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Imam Suyuthi dalam kitabnya Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Sultan Al-Muzhaffar, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Mudzorofah pernah menghadiahkan sepuluh ribu dinar kepada Syekh Abu Al-Khatib Ibnu Dihyah yang telah berhasil menyusun sebuah buku riwayat hidup dan risalah Rasulullah dengan judul At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir Al-Nazir.

Menurut catatan Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa`id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad pada abad ke 7 hijriyah. Peringatan maulid pada saat itu dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [al-Bakri bin Muhammad Syatho, I`anah at-Thalibin, Juz II, hal 364]

Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya. Perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang. Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.”

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.


DAPAT DISIMPULKAN dari pendapat-pendapat di atas mengenai sejarah tentang siapa yang mempelopori peringatan Maulid Nabi Shallalahu Alaihi Wassalam. Pendapat ketiga adalah pendapat yang paling benar karena bersumber pada ulama dan ahli sejarah yang terpercaya. Dengan diketahui sejarah ini, dapat disimpulkan bahwa peringatan maulid ini tidak dipelopori oleh Kaum Syiah atau Kaum Kebathinan (yang penuh kesesatan dan kebathilan) akan tetapi dipelopori oleh seorang pemimpin ahlu sunnah yang sufi, alim, dermawan dan adil. Oleh karena itu, pelaksanaan acara Maulid Nabi Shallalahu Alaihi Wassalam di abad-abad selanjutnya dipenuhi oleh hal-hal yang positif dan bermanfaat, jauh dari perihal keburukan sebagaimana yang dilakukan oleh Kaum Syiah dan Kebathinan.

Wallahu Subhanallah wa Ta’ala A’lam Bish Showab

*Penulis adalah lulusan Fakultas Syariah Islamiyyah Universitas Al-Azhar, Mesir & Pascasarjana Konsentrasi Ekonomi & Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta


SELANJUTNYA : BAGIAN KEDUA ===> klik disini
SELANJUTNYA : BAGIAN KETIGA ===> klik disini
SELANJUTNYA : BAGIAN KEEMPAT ===> klik disini

Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)