BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Kursus Bimbingan Belajar Bahasa Arab Ilmu Balaghah (Ma ani, Bayan & Badi )

BAB 3 : MUHASSINAT MAKNAWIYYAH

01. TAURIYYAH 

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

(1) Pengertian Tauriyyah Menurut Bahasa & Istilah; (2) Pembagian Tauriyyah: Tauriyyah Mutakallifah, Mujarradah, Murasysyahah, Mubayyanah, Muhayya’ah & Pembagiannya.

02. ISTIKHDAM

(1) Pengertian Istikhdam Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contoh-Contoh Istikhdam.

(1) Pengertian Istikhdam Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contoh-Contoh Istikhdam.

(1) Pengertian Istikhdam Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contoh-Contoh Istikhdam.

(1) Pengertian Istikhdam Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contoh-Contoh Istikhdam.

03. THIBAQ

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

(1) Pengertian Thibaq Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Jenis-Jenis Thibaq Berdasarkan Bentuk Katanya: Dua Isim, Dua Fi’il, Dua Huruf, Campuran; (3) Pembagian Thibaq: Thibaq Ijab (Pengertian & Contohnya) dan Thibaq Salab (Pengertian & Pembagian Berdasarkan Aspek Bentuk Kata yang Digunakan: Isim, Fi’il, Harf dan Mukhalifaini).

04. MUQABALAH

(1) Pengertian Muqabalah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah serta Perbedaan Muqabalah dengan Thibaq; (2) Contoh: Dalam Al-Quran, Syair; (3) Faedah Dari Thibaq & Muqabalah.

(1) Pengertian Muqabalah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah serta Perbedaan Muqabalah dengan Thibaq; (2) Contoh: Dalam Al-Quran, Syair; (3) Faedah Dari Thibaq & Muqabalah.

(1) Pengertian Muqabalah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah serta Perbedaan Muqabalah dengan Thibaq; (2) Contoh: Dalam Al-Quran, Syair; (3) Faedah Dari Thibaq & Muqabalah.

05. HUSN AL-TA’LIL

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.

(1) Pengertian Husn Al-Ta’lil Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Pembagiannya: Washf Tsabit & Ghair Tsabit.


06. TAJRID

(1) Pengertian Tajrid Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Tajrid: Disertai Perantara Min Tajridiyyah, Disertai Perantara Ba’ Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu, Tanpa Disertai dengan Perantara Apapun, Disertai dengan Kinayah & Disertai Fi Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu.

(1) Pengertian Tajrid Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Tajrid: Disertai Perantara Min Tajridiyyah, Disertai Perantara Ba’ Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu, Tanpa Disertai dengan Perantara Apapun, Disertai dengan Kinayah & Disertai Fi Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu.

(1) Pengertian Tajrid Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Tajrid: Disertai Perantara Min Tajridiyyah, Disertai Perantara Ba’ Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu, Tanpa Disertai dengan Perantara Apapun, Disertai dengan Kinayah & Disertai Fi Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu.


07. MUSYAKALAH

(1) Pengertian Musyakalah: Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya Menurut Pengertian Masing-Masing.

(1) Pengertian Musyakalah: Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya Menurut Pengertian Masing-Masing.

(1) Pengertian Musyakalah: Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya Menurut Pengertian Masing-Masing.

(1) Pengertian Musyakalah: Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya Menurut Pengertian Masing-Masing.

(1) Pengertian Musyakalah: Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya Menurut Pengertian Masing-Masing.


08. THAYY/LAFF & NASYR

(1) Pengertiannya Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagiannya: Lafaz yang Berbilang itu Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya & Tidak Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya.

(1) Pengertiannya Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagiannya: Lafaz yang Berbilang itu Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya & Tidak Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya.

(1) Pengertiannya Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagiannya: Lafaz yang Berbilang itu Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya & Tidak Disebutkan Menurut Tertib Kandungannya.

09. MUBALAGHAH

(1) Pengertian Mubalaghah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Mubalaghah: Tabligh, Ighraq, Ghuluw.

(1) Pengertian Mubalaghah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Mubalaghah: Tabligh, Ighraq, Ghuluw.

(1) Pengertian Mubalaghah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Mubalaghah: Tabligh, Ighraq, Ghuluw.

(1) Pengertian Mubalaghah Menurut Bahasa & Istilah Ilmu Balaghah; (2) Pembagian Mubalaghah: Tabligh, Ighraq, Ghuluw.


10. TA’KID MADH BIMA YUSYBIH DZAMM

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Suatu Sifat Pujian dari Sifat Celaan yang Dinafikan dengan Cara Bahwa Sifat Pujian itu Termasuk kepada Sifat Celaan & Menetapkan Sifat Pujian Kemudian Diikuti oleh Istitsna dan Sifat Pujian Lainnya.


11. TA’KID DZAMM BIMA YUSYBIH MADH

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Sifat Celaan dari Sifat Pujian yang Di-Nafi-kan & Menetapkan Sifat Celaan Atas Sesuatu Lalu Mendatangkan Huruf Istitsna’ Diikuti Sifat Celaan yang Lain.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Sifat Celaan dari Sifat Pujian yang Di-Nafi-kan & Menetapkan Sifat Celaan Atas Sesuatu Lalu Mendatangkan Huruf Istitsna’ Diikuti Sifat Celaan yang Lain.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Sifat Celaan dari Sifat Pujian yang Di-Nafi-kan & Menetapkan Sifat Celaan Atas Sesuatu Lalu Mendatangkan Huruf Istitsna’ Diikuti Sifat Celaan yang Lain.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Sifat Celaan dari Sifat Pujian yang Di-Nafi-kan & Menetapkan Sifat Celaan Atas Sesuatu Lalu Mendatangkan Huruf Istitsna’ Diikuti Sifat Celaan yang Lain.

(1) Pengertiannya; (2) Pembagiannya: Mengecualikan Sifat Celaan dari Sifat Pujian yang Di-Nafi-kan & Menetapkan Sifat Celaan Atas Sesuatu Lalu Mendatangkan Huruf Istitsna’ Diikuti Sifat Celaan yang Lain.

12. ILTIFAT

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).

(1) Pengertian Iltifat (Secara Bahasa & Istilah); (2) Keindahan Sastra Iltifat (Kitab Badi’u Al-Qur’an, Kitab Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an & Kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an).


13. ILTIFAT AL-DHAMIR

(1) Pengertian Iltifat Al-Dhamir; (2) Macam-Macam Iltifat Al-Dhamir (Dari Mutakallim kepada Mukhathab, Dari Mutakallim kepada Ghaib, Dari Mukhathab kepada Ghaib, Dari Ghaib Kepada Mukhathab, Dari Ghaib kepada Mutakallim).

(1) Pengertian Iltifat Al-Dhamir; (2) Macam-Macam Iltifat Al-Dhamir (Dari Mutakallim kepada Mukhathab, Dari Mutakallim kepada Ghaib, Dari Mukhathab kepada Ghaib, Dari Ghaib Kepada Mukhathab, Dari Ghaib kepada Mutakallim).

(1) Pengertian Iltifat Al-Dhamir; (2) Macam-Macam Iltifat Al-Dhamir (Dari Mutakallim kepada Mukhathab, Dari Mutakallim kepada Ghaib, Dari Mukhathab kepada Ghaib, Dari Ghaib Kepada Mukhathab, Dari Ghaib kepada Mutakallim).

(1) Pengertian Iltifat Al-Dhamir; (2) Macam-Macam Iltifat Al-Dhamir (Dari Mutakallim kepada Mukhathab, Dari Mutakallim kepada Ghaib, Dari Mukhathab kepada Ghaib, Dari Ghaib Kepada Mukhathab, Dari Ghaib kepada Mutakallim).

(1) Pengertian Iltifat Al-Dhamir; (2) Macam-Macam Iltifat Al-Dhamir (Dari Mutakallim kepada Mukhathab, Dari Mutakallim kepada Ghaib, Dari Mukhathab kepada Ghaib, Dari Ghaib Kepada Mukhathab, Dari Ghaib kepada Mutakallim).

14. ILTIFAT ‘ADAD AL-DHAMIR

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

(1) Pengertian Iltifat ‘Adad Al-Dhamir; (2) Macam-Macamnya (Dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair, Dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna, Dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad, Dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak, Dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna, Dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad, Dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna).

15. ILTIFAT ANWA’ AL-JUMLAH

(1) Pengertian Iltifat Anwa’ Al-Jumlah; (2) Macam-Macamnya (Dari Jumlah Fi’liyyah kepada Jumlah Ismiyyah, Dari Jumlah Ismiyyah kepada Jumlah Fi’liyyah, Dari Kalimat Berita kepada Kalimat Melarang, Dari Kalimat Berita kepada Kalimat Perintah, Dari Kalimat Perintah kepada Kalimat Berita, Dari Kalimat Melarang kepada Kalimat Berita, Dari Kalimat Bertanya kepada Kalimat Berita).


(1) Pengertian Iltifat Anwa’ Al-Jumlah; (2) Macam-Macamnya (Dari Jumlah Fi’liyyah kepada Jumlah Ismiyyah, Dari Jumlah Ismiyyah kepada Jumlah Fi’liyyah, Dari Kalimat Berita kepada Kalimat Melarang, Dari Kalimat Berita kepada Kalimat Perintah, Dari Kalimat Perintah kepada Kalimat Berita, Dari Kalimat Melarang kepada Kalimat Berita, Dari Kalimat Bertanya kepada Kalimat Berita).





16. ISTITHRAD

17. IFTINAN

18. MURA’AH AL-NAZHIR

(1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.

19. IRSHAD

20. IDMAJ

21. MADZHAB AL-KALAMI

22. MUZAWAJAH

23. JAM’U

24. TAFRIQ

25. TAQSIM

26. JAM’U MA’A TAFRIQ

27. JAM’U MA’A TAQSIM

28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM

29. MUGHAYARAH

30. TAUJIH/IHAM

31. NAFYU SYAI’ BI IJAB

32. QAUL BI AL-MUJAB

33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA

34. TAFRI’

35. ISTITBA’

36. SALB & IJAB

37. IBDA’

38. USLUB AL-HAKIM

39. TASYABUH AL-ATHRAF

40. AL-‘AKS

41. TAJAHUL ‘ARIF

42. ITHTHIRAD

43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD

44. RUJU’

45. TADBIJ

46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’

16. ISTITHRAD  17. IFTINAN  18. MURA’AH AL-NAZHIR  (1) Pengertiannya Menurut Istilah Ilmu Balaghah; (2) Contohnya; (3) Cakupannya: Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Segi Arti antara Dua Bagian (Athraf) nya & Lafaz yang Mempunyai Kesesuaian dalam Bentuk Lafaz Kalimat Sebelumnya.  19. IRSHAD  20. IDMAJ  21. MADZHAB AL-KALAMI  22. MUZAWAJAH  23. JAM’U  24. TAFRIQ  25. TAQSIM  26. JAM’U MA’A TAFRIQ  27. JAM’U MA’A TAQSIM  28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM  29. MUGHAYARAH  30. TAUJIH/IHAM  31. NAFYU SYAI’ BI IJAB  32. QAUL BI AL-MUJAB  33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA  34. TAFRI’  35. ISTITBA’  36. SALB & IJAB  37. IBDA’  38. USLUB AL-HAKIM  39. TASYABUH AL-ATHRAF  40. AL-‘AKS  41. TAJAHUL ‘ARIF  42. ITHTHIRAD  43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD  44. RUJU’  45. TADBIJ 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’


PEMBAHASAN ILMU BALAGHAH TERLENGKAP : klik disini

Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)


BAB 3 : MUHASSINAT MAKNAWIYYAH TAURIYAH (التَّوْرِيَةُ) I. PENGERTIAN TAURIYAH (تعريف التورية) Menurut bahasa, Tauriyah bermakna tertutup atau tersembunyi. Kata ini secara etimonogi merupakan bentuk Mashdar dari akar kata (ورى). Dalam bahasa Arab biasa terucap (ويت الخبر تورية) yang artinya: “Saya menutupi berita itu dan menampakkan lainnya.” Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tauriyah (أَنْ يَذْكُرَ الْمٌتَكَلِّمُ لَفْظاً مُفْردًا لَهُ مَعْنَيَانِ، قَريبٌ ظاهِرٌ غَيْرُ مُرَادٍ وَبَعيدٌ خَفِيٌّ هُوَ الْمُرَادُ) adalah seseorang yang berbicara menyebutkan lafaz yang tunggal, yang mempunyai dua macam arti. Yang pertama arti yang dekat dan jelas tetapi tidak dimaksudkan, dan yang lain makna yang jauh dan samar, tetapi yang dimaksudkan dengan ada tanda-tanda, namun orang yang berbicara tadi menutupinya dengan makna yang dekat. Dengan demikian pendengar menjadi salah sangka sejak semulanya bahwa makna yang dekat itulah yang dikehendaki, padahal tidak. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud makna dekat dan jelas adalah makna yang mudah dipahami oleh pendengar. Sedangkan makna jauh dan samar adalah makna kurang jelas dan tidak bisa langsung dipahami oleh pendengar. Maka dengan demikian, antara pemahaman Mutakallim dengan Mukhathab tentang pernyataan yang dilontarkan oleh Mutakallim akan berbeda. Pemindahan pengambilan makna dari makna awal kepada makna kedua, dari yang dekat dan jelas kepada makna jauh dan samar karena adanya qarînah (indikator) bahwa kata tersebut mesti dimaknai seperti itu. Qarînah yang menuntut kata tersebut dimaknai seperti itu adalah konteksnya. I. PEMBAGIAN TAURIYAH (أقسام التورية) TAURIYYAH MUTAKALLIFAH (التورية المتكلفة) Yaitu (ماكانت مجرد تلاعب بالألفاظ وليس من وراءها طائل في أداء الأفكار والتعبير عن المشاعر) Tauriyah untuk bermain-main kata-kata dan tidak ada di belakangnya manfaat dalam mengadakan pemikiran dan mengungkapkan perasaan. Contoh: (والنهر يشبه مبردا # فلأجل ذا يجلو الصدا). TAURIYAH MUJARRADAH (التورية المجردة) Yaitu (التي لم تقترنْ بما يلائمُ المعنيين) Tauriyah yang tidak dibarengi dengan sesuatu yang sesuai dengan dua macam arti. Contoh: Seperti jawaban Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?” Nabi Ibrahim menjawab: (هَذِهِ أُخْتِيْ). Artinya dia adalah saudariku. Kata (أختي) dalam konteks kalimat ini mengandung Tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa dimaknai saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang dimaksud Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah saudara seagama (istri). Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan dibunuh. Dalam Surah Al-An’am ayat 60: (وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَهَارِ). Allah Ta’ala berfiman dengan menggunakan kata yang mempunyai dua arti, yaitu kata (ﺟﺮﺣﺘﻢ), arti yang pertama adalah terluka dan kedua berbuat dosa. Bila kita membaca firman Allah Ta’ala tersebut, kita akan segera mengatakan bahwa kata (ﺟﺮﺣﺘﻢ) berarti (kamu terluka), arti inilah yang langsung muncul di pikiran kita, munculnya arti luka di pikiran itu sangat wajar, mengingat sudah ada kata (ﻳﺘﻮﻓﺎﻛﻢ) (Dialah yang mematikan kamu sekalian) yang mendahuluinya. Dengan adanya kata (ﻳﺘﻮﻓﺎﻛﻢ) itu secara langsung akan menggiring pikiran kita untuk memaknai lafaz (ﺟﺮﺣﺘﻢ) dengan (kamu terluka). Benarkah arti dekat itu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala? Ternyata bukan, karena yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala adalah arti yang jauh, yaitu “berbuat dosa”. Yang dimaksud dengan arti dekat adalah arti yang segera muncul karena tidak adanya isyarat yang menjadikan arti itu segera muncul. TAURIYAH MURASYSYAHAH (التورية المرشحة) Yaitu (التي اقترنتْ بما يلائمُ المعنى القريبَ) suatu Tauriyah yang diikuti dengan ungkapan yang sesuai dengan makna yang dekat. Tauriyah ini dinamakan Murasyahah karena dengan menyertakan ungkapan yang sesuai dengan makna dekat menjadi lebih kuat. Sebab makna yang dekat tidak dikehendaki, jadi seolah-olah makna yang dekat itu lemah, apabila sesuatu yang sesuai dengannya disebutkan, maka ia menjadi kuat. Contoh: Sebelum lafaz Tauriyah: (وَالسَمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ ). Pada ayat ini terdapat ungkapan Tauriyah, yaitu pada kata (بأيد). Kata tersebut mengandung kemungkinan diartikan dengan tangan, yaitu diberi makna anggota tubuh, dan itulah makna yang dekat. Sedangkan makna jauhnya adalah kekuasaan. Setelah lafaz Tauriyah: (مذ همت من وجدي في خالها # ولم أصل منه إلى اللثم) – (قالت: قفوا واستمعوا ما جرى # خالي قد هام به عمي). TAURIYAH MUBAYYANAH (التورية المبينة) Yaitu (ماذكر فيها ملائم المعنى البعيد) salah satu jenis Tauriyah yang disebutkan padanya ungkapan yang sesuai untuk makna yang jauh. Dinamakan mubayyanah karena ungkapan tersebut dimunculkan untuk menjelaskan makna yang ditutupinya. Sebelum itu makna yang dimaksudkan masih samar, sehingga setelah disebutkan kelaziman makna yang dikehendaki menjadi jelas. Contoh: (يا من رآني بالهموم مطوقا ... وظللت من فقدي غصون في شجون). Kata (شجون) pada syair di atas bersifat ambigu, karena memiliki dua makna: pertama, yaitu kesedihan (makna dekat), makna kedua, dahan yang rindang (makna jauh) dan ini makna yang dikehendaki. TAURIYAH MUHAYYA’AH (التورية المهيئة) Yaitu (التي تكون في إسمي لولا وجود كل منهما لما كان الآخر تورية) Tauriyah yang tidak terwujud kecuali dengan lafaz sebelum atau sesudahnya. Pembagian Tauriyah Muhayya’ah: (المهيأة بلفظ قبلها) Sesuatu yang dipersiapkan dengan lafaz yang terletak sebelumnya. Contoh Sirajudin Al-Warraq berkata: (أَصُوْنُ أَدِيْمَ وَجْهِي عَنْ أُنَاس ... لِقَاءُ المَوْتِ عِنْدَهُم الأَدِيْبُ) dan (وَرَبُّ الشِعْرِ عِنْدَهُمْ بَغِيْضٌ ... وَلَوْ وَافَى بِهِ لَهُمْ حبَيْبُ). Kata (حبيبٌ) pada syair di atas memiliki dua makna: pertama, orang yang dicintai (makna dekat) dan mudah dipahami oleh hati pendengar karena sebelumnya ada kata (بغيضٌ), makna kedua adalah nama Abu Tamam seorang penyair yaitu Habib bin Aus (makna jauh). (المهيأة بلفظ بعدها) Sesuatu yang dipersiapkan dengan lafaz yang terletak sesudahnya. Contoh: (أَنَّهُ كَانَ يحرك الشمال باليمين). Kata (الشمال) pada contoh di atas memiliki dua makna, yaitu: pertama, tangan kiri (makna dekat) kedua, baju longgar yang menyelubungi seluruh tubuh (makna jauh) dan ini makna yang dikehendaki, akan tetapi makna ini tidak kelihatan jelas karena tertutupi oleh kata sesudahnya yaitu (اليمين) yang berarti tangan kanan. (المهيأة بلفظين) Sesuatu yang dipersiapkan dengan dua lafaz. Contoh: (أيّها المنكح الثّريّا سهيلا # عمرك الله كيف يلتقيان؟) – (هي شاميّة إذا ما استقلّت # وسهيل إذا استقلّ يماني). Lafaz (الثريا) makna qarib-nya adalah nama bintang yang terkenal, tapi bukan ini yang dimaksud, sedangkan makna jauhnya adalah Bintu ‘Ali ibn ‘Abdullah bin Al-Harits. Lafaz (سهيل) makna qarib-nya adalah nama bintang yang terkenal, tapi bukan ini yang dimaksud, sedangkan makna jauhnya adalah Ibnu Abdurrahman. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 2 : ISTIKHDAM (الِاسْتِخْدَامُ) I. PENGERTIAN ISTIKHDAM (تعريف الاستخدام) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Istikhdam adalah (ذِكْرُ اللَفْظِ بِمَعْنًى وَإِعَادَةُ ضَمِيْرٍ عَلَيْهِ بِمَعْنًى آخَرَ أَوْ إِعَادَةُ ضَمِيْرَيْنِ تُرِيْدُ بِثَانِيْهِمَا غَيْرَ مَا أَرَدْتَهُ بِأَوَّلِهِمَا) menyebutkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna, sedangkan yang dikehendaki adalah salah satunya. Setelah itu diulangi oleh kata ganti (Dhamir) yang kembali kepadanya atau dengan Isim Isyarah dengan makna yang lain, atau diulangi dengan dua Isim Dhamir, sedangkan yang dikehendaki oleh Dhamir yang pertama. Dari definisi ini, kita bisa mengambil makna bahwa yang dimaksud dengan Istikhdam adalah menyebutkan suatu lafaz yang bermakna dua. Makna yang satu dijelaskan oleh lafaz itu sendiri, sedangkan makna yang lainnya dapat kita tangkap dari adanya Dhamir yang mesti dikembalikan kepada makna lainnya. demikian pula dinamakan Istikhdam jika suatu laafz mempunyai dua makna, yang satu dipahamkan dengan sebab adanya suatu Dhamir, sedang yang satu lagi dengan Dhamir yang lain. II. CONTOH-CONTOH ISTIKHDAM (الأمثلة) Surah Al-Baqarah ayat 185: (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَهْرَ فَلْيَصُمْهُ). Kata (الشهر) mempunyai dua makna. Makna pertama adalah penanggalan atau bulan tsabit. Dan yang kedua artinya sebulan penuh bulan Ramadhan. Pada ayat ini diungkapkan kata (الشهر) dengan arti penanggalan atau bulan sabit. Kemudian setelah itu diulangi oleh Dhamir (هــ) pada ungkapan (فليصمه). Dhamir (هـــ) pada ungkapan tersebut kembali ke (الشهر) akan tetapi dengan makna bulan Ramadhan. Pada contoh ayat di atas terjadi pengungkapan suatu kata yang mempunyai dua makna, kemudian diulangi oleh Dhamîr yang kembali kepada kata tersebut. Sedangkan makna kata yang disebut tersebut berbeda dengan makna Dhamîr yang kembali kepadanya. Dalam sebuah syair: (فسَقَى الغَضَا وَالسَاكِنِيْهِ وَإِنْ هُمُو ... شَبُّوْهُ بَيْنَ جَوَانِحِي وَضُلُوعِي). Pada syair ini terdapat kata Al-Ghadha. Kata ini mempunyai dua makna yaitu berarti nama kampung dan nama kayu bakar yang sering dipergunakan untuk memasak. Pada kalimat (فسقى الغضى والساكنيه) dipahami bahwa makna Al-Ghadha pada ungkapan tersebut bermakna kampung. Kemudian setelah itu terdapat ungkapan (شبوه) artinya sekalipun mereka menyalakannya. Kata (هــ) pada ungkapan tersebut merupakan Dhamir yang kembali kepada (الغضى). Kata (الغضى) yang bermakna nama suatu kampung diulangi oleh Dhamir yang kembali kepada lafaz tersebut dengan makna kayu bakar. Dalam sebuah syair: (إِذَانَزَلَ السَّمَاءُ بِأَرْضِ قَوْمٍ ... رَعَيْنَاهُ وَإِنْ كَانُوْا غَضَابَا). Pada syair di atas penyair bermaksud dengan ucapannya (السماء) dengan arti hujan, dan dengan Dhamîr yang kembali pada lafaz itu bermaksud dengan arti rumput yang tumbuh karena hujan. Kedua-duanya adalah Majâz bagi lafaz (النبات). Dalam sebuah syair: (وَلِلْغَزَالَةِ شَيْءٌ مَنْ تَلِفْتُهُ ... وَنُوْرُهَا مِنْ ضِيَاءِ خُدَّيْهِ مُكْتَسَبٌ). Pada syair ini penyair berkehendak dengan mengemukakan lafaz (الغزالة) artinya yang telah sama-sama diketahui, yaitu kijang betina. Sedangkan dengan Dhamir yang kembali kepadanya lafaz (نورها) ia berkehendak pada arti matahari yang sedang naik. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 3 : THIBAQ (الطِبَاقُ) I. PENGERTIAN THIBAQ (تعريف الطباق) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Thibaq adalah (الطِّبَاقُ هُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ الشَّيْءِ وَضِدِّهِ فِي الْكَلَامَ) berhimpunnya dua kata dalam suatu kalimat yang masing-masing kata tersebut saling berlawanan dari segi maknanya. (Ali Al-Jarim dan Musthafa Utsman). Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa Thibaq adalah apabila dalam satu kalimat terdapat suatu kata/kalimat dan antonimnya. Hanya saja kata yang berantonim itu tidak boleh lebih dari satu kata, apabila lebih akan dikategorikan Muqabalah. II. JENIS-JENIS THIBAQ BERDASARKAN BENTUK KATANYA (أقسام الطباق باعتبار الكلمة) Dua Isim. Contoh: (خَيْرُ الْمَالِ عَيْنٌ سَاهِرَةٌ لِعَيْنٍ نَائِمَةٍ). Kata (سَاهِرَةٌ) dan (نَائِمَةٍ) berupa Isim. Dua Fi’il. Contoh: Surah Al-Rahman ayat 7: (وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَاو وَضَعَ المِيْزانَ). Kata (رَفَعَ) dan (وَضَعَ) keduanya berupa Fi’il. Surah Al-Zumar ayat 9: (قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ). Kata (يَعْلَمُونَ) dan (لَايَعْلَمُونَ) berupa Fi’il. Dua Huruf. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 186: (لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ). Kata (لَهَا) dan (عَلَيْهَا) keduanya berupa Huruf. Campuran. Contoh Surah Al-An’am ayat 122: (أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ). Kata (مَيْتًا) berupa Isim sedangkan kata (فَأَحْيَيْنَا) berupa Fi’il. III. PEMBAGIAN THIBAQ (أقسام الطباق) THIBAQ IJAB (طباقُ الإيْجابِ) Yaitu (طباقُ الإيْجابِ هُوَ مَا لَمْ يَخْتَلِفُ فِيْهِ الضِدَّانِ إِيْجَابًا وَسَلَبًا) apabila di antara kedua kata yang berlawanan tidak mempunyai perbedaan dalam hal ijâb (positif) dan salab (negatif)-nya. Contoh-contoh ini terdapat dua kata yang berlawanan dan menggunakan sama-sama berbentuk Ijab (positif): Surah Al-Kahfi ayat 18: (وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاضًا وَهُمْ رُقُوْدٌ). Kata-kata yang berlawanan adalah (أَيْقَاضًا) dan (رُقُوْدٌ). Hadis: (خَيْرُ المَالِ عَيْنٌ سَاهِرَةٌ لِعَيْنٍ نَاعِمَةٍ). Kata-kata yang berlawanan adalah (عَيْن سَاهِرَة) dan (عَيْن نَاعِمَة). Kalimat: (العَدُوُّ يُظْهِرُ السَيِّئَةَ وَيُخْفِي الحَسَنَةَ). Kata-kata yang berlawanan adalah (يُظْهِرُ السَيِّئَةَ) dan (يُخْفِي الحَسَنَةَ). Kalimat: (لَيْسَ مِنَ الحَزْمِ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى النَاسِ وَتَسِيْءَ إِلَى نَفْسِكَ). Kata-kata yang berlawanan adalah (تُحْسِنَ إِلَى النَاسِ) dan (تَسِيْءَ إِلَى نَفْسِكَ). Kalimat: (لَا يَلِيْقُ بِالمُحْسِنِ أَنْ يُعْطِيَ البَعِيْدَ وَيَمْنَعُ القَرِيْبَ). Kata-kata yang berlawanan adalah (يُعْطِيَ البَعِيْدَ) dan (يَمْنَعُ القَرِيْبَ) THIBAQ SALAB (طِبَاقُ السَّلَبِ) Pembagian pertama: Thibâq Salab adalah (طِبَاقُ السَّلَبِ هُوَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ الضِدَّانِ إِيْجَابًا وَسَلَبًا) apabila di antara kedua kata yang berlawanan mempunyai perbedaan dalam hal Ijâb (positif) dan Salab (negatif). Contoh-contoh ini menggunakan dua kata yang berlawanan, salah satunya berbentuk Ijab (positif) dan yang lainnya berbentuk Salab (negatif): Surah Al-Nisa ayat 108: (يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَاسِ وَلَا يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ). Kata-kata yang berlawanan adalah (يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَاسِ) dan (وَلَا يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ). Syair: (وَنُنْكِرُ إِنْ شِئْنَا عَلَى النَاسِ قَوْلَهُمْ ... وَلَا يُنْكِرُوْنَ القَوْلَ حِيْنَ نَقُوْلُ). Kata-kata yang berlawanan adalah (وَنُنْكِرُ) dan (وَلَا يُنْكِرُوْنَ القَوْلَ). Kalimat: (يَعْلَمُ الإِنْسَانُ مَا فِي اليَوْمِ وَالأَمْسِ وَلَا يَعْلَمُ مَا يَأْتِي بِهِ الغَدُ). Kata-kata yang berlawanan adalah (يَعْلَمُ) dan (لَا يَعْلَمُ). Syair: (اللَئِيْمُ يَعْفُوْ عِنْدَ العَجْزِ ... وَلَا يَعْفُوْ عِنْدَ المُقْدَرَةِ). Kata-kata yang berlawanan adalah (يَعْفُوْ عِنْدَ العَجْزِ) dan (لَا يَعْفُوْ عِنْدَ المُقْدَرَةِ). Kalimat: (أُحِبُّ الصِدْقَ وَلَا أُحِبُّ الكَذْبَ). Kata-kata yang berlawanan adalah (أُحِبُّ الصِدْقَ) dan (لَا أُحِبُّ الكَذْبَ). Pembagian berdasarkan aspek bentuk kata yang digunakan: Isim. Contoh Surah Al-Hadid ayat 3: (هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَاهِرُ وَالبَاطِنُ). Fi’il. Contoh: Surah Al-Najm ayat 43-44: (وَإِنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَإِنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَى). Surah Al-A’la ayat 13: (ثُمَّ لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَلَا يَحْيَى). Harf. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 228: (وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوْفِ). Mukhalifaini/berbeda. Contoh: Surah Al-Ra’d ayat 33: (وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ).Surah Al-An’am ayat 122: (أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 4 : MUQABALAH (المُقَابَلَةُ) I. PENGERTIAN MUQABALAH (تعريف المقابلة) Menurut bahasa, kata (المقالبة) merupakan Mashdar dari kata (قابل). Wazan kata ini adalah (مفاعلة) yang biasanya bermakna (مشاركة). Menurut istilah Ilmu Balaghah, Muqabalah adalah (أَنْ يُؤْتَى بِمَعْنَيَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ، ثُمَّ يُؤْتَى بِمَا يُقَابَلُ ذَلِكَ عَلَى التَّرتِيْبِ) mengemukakan dua makna yang sesuai atau lebih kemudian mengemukakan perbandingannya dengan cara tertib. Perbedaan Muqabalah dengan Thibaq adalah apabila Thibaq itu ada dua kata yang berantonim dalam satu kalimat, sedangkan Muqabalah itu antonim antar kelompok kata yang biasanya terdiri dari dua kata atau lebih. II. CONTOH (الأمثلة) Dalam Al-Quran: Surah Al-A’raf ayat 157: (و يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ). Dari ayat ini, ada beberapa kata yang berlainan maknanya: (يَأْمُرُ – يَنْهَى), (الْمَعْرُوفِ – الْمُنْكَرِ), (يُحِلُّ – يُحَرِّمُ) dan (الطَّيِّبَاتِ - الْخَبَائِثَ). Surah Al-Infithar ayat 13-14: ( إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ). Kata (الْأَبْرَارَ) dan (نَعِيمٍ) makna nya bertentangan dengan (الْفُجَّارَ) dan (جَحِيمٍ). Dalam syair: Syair Al-Buhturi: (فَإِذَا حَارَبُوْا أَذَلُّوْا عَزِيْزًا • وَإِذَا سَالَمُوْا أَعَزُّوْا ذَلِيْلاً). Kata (حَارَبُوْا), (أَذَلُّوْا) dan (عَزِيْزًا) berlawanan maknanya dengan kata (سَالَمُوْا), (أَعَزُّوْا) dan (ذَلِيْلاً). Syair: (إِنَّكَ تَكْرَهُ الجِدَّ وَتُحِبُّ اللَّهْوَ). Kata (تَكْرَهُ) dan (الجِدَّ) berantonim dengan (تُحِبُّ) dan (اللَّهْو). Syair: (فَلْيَسْهَرُوْا كَثِيْرًا وَلْيَنَامُوْا قَلِيْلاً). Kata (يَسْهَرُوْا) dan (كَثِيْرًا) berantonim dengan (يَنَامُوْا) dan (قليلا). III. FAEDAH DARI THIBAQ & MUQABALAH (فائدة الطباق والمقابلة) Menunjukkan kekonsistenan dengan waktu yang terus menerus. Menekankan makna sekaligus menjadi penjelas. Menunjukan makna yang menyeluruh dalam suatu kejadian. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 5 : HUSN AL-TA’LIL (حُسْنُ التَعْلِيْلِ) I. PENGERTIAN HUSN AL-TA’LIL (تعريف حسن التعليل) Terdiri dari dua suku kata, yaitu kata Husn dan Ta’lil. Menurut bahasa, Husn artinya bagus, sedangkan Ta’lil artinya alasan. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Menurut Muhammad Syukri, Husn Al-Ta’lil adalah (أَنْ يُدَّعَى لِوَصْفٍ عِلَّةٌ غَيْرُ حَقِيْقِيَّةٍ، فِيْهَا غَرَابَةٌ) menggunakan suatu alasan yang bukan sebenarnya, yang terdapat perkara yang langka untuk sifat. Menurut Ali Jarim & Musthafa Amin, Husn Al-Ta’lil adalah (حسن التعليل ان يُنْكِرَ الأديبُ صراحةً أو ضِمْنًا علةَ الشيءِ المعروفةَ ، و يأتِي بِعلّةٍ أدَبيَّةٍ طَريفةٍ تُناسِبُ الغَرَضَ الذي يَقْصِدُ اليه) seorang sastrawan, ia mengingkari secara terang-terangan ataupun tersembunyi/rahasia terhadap alasan yang telah diketahui umum bagi suatu peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Menurut Imam Akhdhari, Husn Al-Ta’lil adalah (حسن التعليل و هو أن يُدّعَى لوصفٍ عِلَّةٍ مُنَاسِبَةٍ له بِاعْتِبَارٍ لَطِيْفٍ) mengaku bagi suatu sifat yang mempunyai illat, yang layak secara tidak nyata/halus. Dari paparan definisi di atas dapat dipahami bahwa Husn Al-Ta’lil adalah seorang penyair atau pengarang cerita prosa mengemukakan suatu alasan yang tidak hakiki untuk suatu sifat. Seorang penyair memalingkan alasan yang nyata kemudian dia beralih kepada alasan baru yang tidak sebenarnya agar terlihat indah dan menarik. II. CONTOH (الأمثلة) Penyair lain berkata tentang berkurangnya hujan di Mesir: (مَا قَصَّرَ الْغَيْثُ عَنْ مِصْرٍ وَتُرْبَتِهَا - طَبْعًا وَلكنْ تَعَدَّاكُمْ مِن الْخَجَلِ). Penyair mengingkari bahwa penyebab berkurangnya hujan di Mesir itu adalah faktor alam. Sehubungan dengan keingkarannya itu ia menyodorkan alasan lain, yaitu bahwa hujan itu malu turun di bumi yang dipenuhi oleh keutamaan dan kemurahan orang yang dipuji karena merasa tidak mampu bersaing dengan kemurahan dan pemberiannya. Al-Ma’arri berkata: (وَمَا كُلْفَةُ البَدْرِ المُنِيْرِ قَدِيْمَةً ... وَلَكِنَّهَا فِي وَجْهِهِ أَثَرُ اللَّطَمِ). Pada syair di atas penyair ingin mengungkapkan kesedihan yang diderita oleh seseorang yang ditinggal oleh orang yang dicintainya. Karena sangat sedihnya ia memukul-mukul wajahnya sehingga tampak bekas tamparan tersebut pada wajahnya. Pada syair ini, penyair tidak menjelaskan alasan tersebut dengan sebenarnya, akan tetapi dia memalingkannya kepada noda hitam yang ada pada bulan. Ia mendakwakan bahwa kekeruhan atau kotoran yang ada di wajah bulan purnama bukanlah tumbuh dari sebab alami, tetapi terjadi karena bekas tamparan sendiri karena berpisah engan orang yang ditangisi. Ibnu Al-Rumi berkata: (أَمَّا ذُكَاءُ فَلَمْ تَصْفَرَّ إِذْ جَنَحَتْ ... إِلَّا لِفُرْقَةِ ذَاكَ المَنْظَرِ الحَسَنِ). Dalam contoh diatas penyair bertujuan menyatakan bahwa matahari tidak menguning akan terbenam karena sebab-sebab yang telah dikenal, tetapi matahari itu menguning karena khawatir berpisah dengan wajah orang yang disanjung. Al-Khotib Al-Qazwaini: (ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﻧِﻴَّﺔُ ﺍﻟﺠَﻮْﺯَﺍﺀِ ﺧِﺬْﻣَﺘَﻪ ُ# ﻟَﻤَﺎ ﺭَﺃﻳْﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻋِﻘْﺪَ ﻣُﻨْﺘَﻄَﻖِ). III. PEMBAGIAN HUSN AL-TA’LIL (أقسام حسن التعليل) (وصفٌ ثابتٌ) Sifat yang ber-illat secara tetap. Ini terbagi lagi pada dua bagian: (وصفٌ ثابتٌ غيرُ ظاهر العلَّة) Menurut adat tidak jelas illat-nya, meskipun ada hakikatnya. Contoh: (لَمْ يَحْكِ نائِلَكَ السَّحَابُ و إنمَا ... حُمَّتْ به فَصَبِيْبُهَا الرُّحْضَاءُ). Turun hujan itu merupakan sifat yang tetap bagi awan yang menurut adat tidak jelas illat-nya. Akan tetapi syair itu telah membuat illat-nya, ialah dengan keringat panas awan yang disebabkan adanya pemberian Mukhathab. (وصفٌ ثابتٌ ظاهرُ العلةِ، غيرُ التي تذكَرُ) Yang jelas illat-nya bagi sifat itu, hanya saja bukan illat bagi lafal yang diterangkan. Contoh: (ما به قَتَلَ أعادِيَهُ و لكنْ ... يَتَّقِيْ إخْلَافَ مَا تَرْجُو الذِّئَابُ). Biasanya membunuh musuh itu hanya merupakan upaya untuk menolak bahaya, bukan karena menjaga agar tidak sampai menyalahi binatang buas yang sangat suka makan bangkai orang yang terbunuh. Adanya kesukaan binatang buas memakan bangkai, mendorongnya untuk membunuh musuhnya. (وصفٌ غيرُ ثابتٍ) Sifat yang ber-illat secara tidak tetap, untuk kemudian menetapkannya. Yang demikian ini ada dua bagian: (إمَّا ممكنٌ) Yang mungkin tetap. Contoh: (يا وَاشِيًا حَسُنَتْ فينا إِسَاءتُهُ ... نَجَى حِذارَكَ إنسانِيُّ من الغَرَقِ). Menjelaskan tukang fitnah itu merupakan suatu hal yang mungkin, hanya saja manusia tidak memandang baik. Akan tetapi syair menyalahi pendapat umum tersebut, sebab dengan tidak menjelek-jelekkan tukang fitnah itu dapat menyelamatkan orang-orang dari genangan air mata akibat balas dendam si tukang fitnah. Keadaan yang demikian itu mungkin tetap di sepanjang zaman. (إما غير ممكن) Yang tidak mungkin tetap. Contoh: (لَوْ لَمْ تَكُنْ نيةُ الجَوْزاءِ خِدْمَتَهُ ... لَمَا رأيتُ عليها عَقْدَ منتطق). Niat bintang Jauza’ dengan menerangi itu, adalah untuk berkhidmat (melayani) seseorang, adalah suatu hal yang tidak mungkin, akan tetapi itulah yang dimaksud oleh adanya syair tersebut. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 6 : TAJRID (التَجْرِيْدُ)I. PENGERTIAN TAJRID (تعريف التجريد) Menurut bahasa: Tajrid adalah (إزالة الشيء عن غيره) menghilangkan sesuatu dari selainnya. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tajrid adalah (أن ينتزع المتكلم من أمر ذي صفة أمرا آخر مثله في تلك الصفة، مبالغة في كمالها في المنتزع منه، حتى أنه قد صار منها بحيث يمكن أن ينتزع منه موصوف آخر بها) beranggapan adanya sifat sepadan yang diambil dari sesuatu yang telah mempunyai sifat tertentu, karena untuk Mubalaghah atau mengkokohkan kesempurnaannya. II. PEMBAGIAN TAJRID (أقسام التجريد) (ما يكون بواسطة (من التجريدية)) Disertai dengan perantara Min Tajridiyyah. Contoh: (لِي قُلَانٌ مِنْ صَدِيْقٍ حَمِيْمٍ) artinya Saya mempunyai seorang teman yang akrab. Perkataan ini bermaksud menunjukkan adanya persahabatan yang hebat (akrab), sehingga dapat dianggap adanya sifat sepadan (akrab) yang timbul darinya, selain sekedar sahabat biasa. (ما يكون بواسطة (الباء التجريدية) الداخلة على المنتزع منه) Disertai dengan perantara Ba’ Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu. Contoh: (لئن سألتَ فلانًا لتَسْئلَنَّ بِهِ البحرَ). Si fulan ini diserupakan dengan lautan, karena mempunyai sifat yang mulia dan selalu menemani orang lain. (ما لا يكون بواسطة) Tanpa disertai dengan perantara apapun. Contoh Surah Al-Taubah ayat 12: (وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ). (ما يكون بطريق الكناية) Disertai dengan metode Kinayah. Contoh: (يا خير من ركب المَطِيَّ ولا يشربُ كأساً بكَفٍّ مَنْ بَخِلَا). (ما يكون بواسطة في التجريدية الداخلة على المنتزع منه) Disertai dengan perantara huruf Fi Tajridiyyah pada Muntaza’ Minhu. Contoh Surah Fushilat ayat 28: (ذَٰلِكَ جَزَاءُ أَعْدَاءِ اللَّهِ النَّارُ ۖ لَهُمْ فِيهَا دَارُ الْخُلْدِ). Neraka Jahanam adalah tempat yang kekal bagi orang kafir, karenanya, seakan-akan terdapat sifat lain selainnya, yaitu tempat yang tidak kekal. Sehingga dengan adanya sifat tersebut dimaksudkan sebagai Mubalâghah. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 7 : MUSYAKALAH (المُشَاكَلَةُ) I. PENGERTIAN MUSYAKALAH (تعريف المشاكلة) Menurut bahasa, Musyakalah bermakna saling membentuk, merupakan bentuk Mashdar dari kata (شاكل). Menurut istilah Ilmu Balaghah: Menurut Ahmad Al-Hasyimi, Musyakalah adalah (أن يذكر الشيء بلفظ غيره لوقوعه في صحبته كقوله تعالى تعلم ما في نفسي ولا أعلم ما في نفسك) menuturkan suatu ungkapan bersamaan dengan ungkapan lain, yang kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang, seperti firman Allah Ta’ala “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku; akan tetapi aku tidak mengetahui sesuatu yang ada pada diri-Mu.” Sesuatu yang ada pada diri-Mu di sini maksudnya adalah sesuatu yang ada pada sisi-Mu. Menurut Al-Akhdhariy dalam Kitab Jauhar Maknun, Musyakalah adalah menerangkan suatu perkara dengan lafaz lain, sebab jatuh bersamaan secara nyata atau kira-kiranya. Dalam Ilmu Badi’, dapat diartikan juga yakni menerangkan suatu hal dengan memakai lafaz lain, sebab keduanya jatuh secara bersamaan, baik secara terang-terangan maupun perkiraan. II. CONTOH (الأمثلة) Surah Al-Maidah ayat 116: (تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ). Pada ayat ini terdapat ungkapan (تعلم ما في نفسي). Setelah ungkapan tersebut, pada kalimat berikutnya terdapat ungkapan lain sebagai bendingannya yaitu ungkapan (ولا أعلم ما في نفسك). Maksud ungkapan tersebut adalah “Dan aku tidak mengetahui apa yang ada di sisi-Mu.” Kemudian kata (عندك) diganti oleh (نفسك) agar terlihat seimbang dengan ungkapan sebelumnya, yaitu (نفسي). Surah Al-Hasyr ayat 19: (نَسُوْا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ). Pada ayat ini terdapat Uslub Musyakalah, yaitu penggunaan (فأنساهم أنفسهم) sebagai pengimbang dari ungkapan sebelumnya (نسوا الله). Maksudnya dari ungkapan (فأنساهم أنفسهم) adalah Allah Ta’ala menjadikan mereka mengabaikan dirinya (الإهمال). Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala mengungkapkan (الإهمال) dengan kata (النسيان) agar terlihat kemiripan dalam susunan kata-katanya dengan kata-kata sebelumnya. Uslub seperti ini dinamakan Musyakalah. Firman Allah Ta’ala: (وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللهُ). Pada ayat ini terdapat ungkapan (ومكر الله). Jika kita telaah secara mendalam, kita tidak akan menerima pernyataan tersebut. Allah Ta’ala tidak mungkin menipu siapapun. Maksud dari ungkapan (مكر الله) adalah (يعلم مكرهم), yaitu Allah Ta’ala mengetahui rencana tipu daya mereka. Penggunaan ungkapan (ومكر الله) untuk mengimbangi ungkapan sebelumnya yaitu (ومكروا). Contoh pengertian Ketiga: Tahqiq/secara terang-terangan: (قَالُوْا اِقْتَرِحْ شَيْئًا نَجِدُ لَكَ طَبْخَهْ ... قُلْتُ اِطْبَخُوْا إِلَيَّ جُنَّةً وَقَمِيْصًا). Lafaz (اطبخوا) yang dimaksudkan adalah (خيطوا)/jahitkanlah, yang diucapkan adalah “masakkanlah” karena bersamaan dengan penyebut lafaz “memasak” sebelumnya. Taqdir/secara perkiraan: (صِبْغَةُ اللهِ). Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah adalah celupan Allah, maksudnya iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyikan. Lafaz ini adalah Mashdar yang berfaedah menguatkan/Taukid pada lafaz (أمنا بالله) mensucikan kepada Allah dengan hati, karena iman itu mensucikan hati atau pembersih jiwa. Lafaz ini muncul pada masa orang-orang Nasrani saat itu mencelupkan anak-anaknya pada air yang berwarna kuning biasa disebut dengan air kehidupan. Dan mereka mengatakan bahwa proses ini adalah dalam rangka mensucikan mereka. Kemudian Allah Ta’ala mengistilahkan dari ungkapan iman kepada Allah Ta’ala dengan lafaz Shibghah karena menyamai atau bersamaan dengan qarinah lafaz tersebut, yakni sama-sama membersihkan. Sedangkan iman dan mencelup sama-sama berfungsi membersihkan. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 8 : THAYY/LAFF & NASYR (الطَيُّ أو اللَفُّ وَالنَشْرُ) I. PENGERTIAN THAYY/LAFF & NASYR (الطي أو اللف والنشر) Menurut bahasa, Thayy artinya melipat. Nasyr artinya menyebarkan atau menggelar. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Thayy dan Nasyr adalah (أن يذكر متعدد، ثم يذكر ما لكل من أفراده شائعا من غير تعيين، اعتمادا على تصرف السامع في تمييز ما لكل واحد منها، ورده إلى ما هو له) menyebutkan beberapa makna kemudian menuturkan makna untuk masing-masing satuannya secara umum dengan tanpa menentukan, karena bersandar kepada upaya pendengar dalam membedakan makna untuk masing-masing dari padanya dan mengembalikan untuk yang semestinya. II. PEMBAGIAN JENIS THAYY & NASYR (أقسام الطي والنشر) (إما أن يكون النشر فيه على ترتيب الطي) Lafaz yang berbilang itu disebutkan menurut tertib kandungannya. Contoh: Surah Al-Qashshash ayat 73: (وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ). Pada ayat ini terdapat ungkapan (الليل والنهار). Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan fungsi masing-masing dari keduanya secara berurutan. Yaitu ungkapan (لتسكنوا فيه ولتبتغوا من فضله). Syair: (عيونٌ وأصداغٌ وفَرعٌ وقامةٌ ... وخالٌ ووجناتٌ وفرقٌ ومرشفُ) – (سيوفٌ وريحانٌ وليلٌ وبانةٌ ... ومِسْكٌ وياقوتٌ وصبحٌ وقَرْ قَفُ). Syair: (فعلُ المُدَام ولونِها ومذاقِها ... في مُقْلَتَيْهِ وَوَجْنَتَيْهِ وَريقِهِ). (إما أن يكون على خلاف ترتيبه) Lafaz yang berbilang itu disebutkan tidak menurut tertib urutannya. Contoh: Surah Al-Isra’ ayat 12: (فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ). Pada ayat ini terdapat penyebutan dua ungkapan yang berbeda, yaitu ungkapan (آية الليل وآية النهار). Setelah itu diungkapkan penjelasan untuk kedua ungkapan tersebut, yaitu ungkapan (لتبتغوا فضلا من ربكم ولتعلموا عدد السنين والحساب). Pengungkapan penjelasan untuk kedua ungkapan sebelumnya tidak sesuai dengan urutan kata yang dijelaskannya. Penjelasan untuk (النهار) lebih dahulu daripada untuk kata (الليل). Sedangkan dalam ayat ini kata (الليل) disebut terlebih dahulu, baru kemudian kata (النهار). Syair: (ولحظُهُ ومُحيَّاهُ وقامتُهُ ... بَدْرُ الدُّجا وقَضيبُ البانِ والراحِ). Lafaz (بَدْرُ الدُّجا) kembali kepada (المحيا). Lafaz (قضيب البان) kembali kepada (القامة). Lafaz (الراح) kembali kepada (اللحظ). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 9 : MUBALAGHAH (المُبَالَغَةُ)I. PENGERTIAN MUBALAGHAH (تعريف المبالغة) Menurut bahasa, Mubalaghah bermakna melebihkan. Istilah ini dalam bahasa Indonesia biasa disebut gaya bahasa Hiperbola. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Mubalaghah adalah (يدعى المتكلم لوصف بلوغه في الشدة أو الضعف حدا مستبعدا أو مستحيلا) ekspresi ungkapan yang menggambarkan sesuatu hal secara berlebihan yang tidak mungkin (tidak sesuai dengan kenyataan). II. PEMBAGIAN MUBALAGHAH (أٌقسام المبالغة) Menurut Wahbah (1984) jenis pertama, Tablîgh, masih bisa dipandang sebagai suatu bentuk keindahan (Muhassinât) imajinasi, sedangkan jenis kedua, Ighrâq, dan ketiga, Ghuluw, dinilai berlebihan dan justru kehilangan keindahannya. TABLIGH (التبليغ) Tablîgh, yakni (إذا كان ذلك الادعاء ممكنا عقلا وعادة) apabila suatu ungkapan itu mungkin terjadi baik secara logika maupun realita. Contoh: Syair: (فَــعَــادَى عِــدَاءً بَــيْــنَ ثَــوْرٍ ونَــعْــجَةٍ. دِرَاكــاً، وَلَــمْ يَــنْــضَــحْ بِــمَـاءٍ فَيُغْسَلِ). Penyair mengungkapkan bahwa kudanya menemukan banteng jantan dan banteng betina dalam sebuah persembunyiannya dan kuda itu tidak berkeringat sekalipun takut. Keadaan ini mungkin terjadi baik menurut akal maupun menurut adat. Surah Al-Nur ayat 40: (ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا). Syair: (إذا ما سابَقَتْهَا الريحُ فَرَّتْ * وأَلْقَتْ في يدِ الريحِ التُّرَابَا). IGHRAQ (الإغراء) Ighraq, yakni (إن كان الادعاء ممكنا عقلا لا عادة) apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu yang secara logika tidak mungkin terjadi tapi menurut realita mungkin terjadi. Contoh: (وَنُكرِمُ جارَنا ما دامَ فينا ... وَنُتبِعُهُ الكَرامَةَ حَيثُ مالا). GHULUW (الغلو) Ghuluw yakni (إن كان الدعاء مستحيلا عقلا وعادة) apabila suatu ungkapan menggambarkan sesuatu baik secara logika maupun realita tidak mungkin terjadi. Namun menurut Ibnu Qudâmah dalam Wahbah (1984), ungkapan berlebihan (Ghuluw) bisa digunakan apabila disisipi dengan kata Yakad (hampir-hampir) dan Lau (andaikata), dan yang sejenisnya. Contoh: Dalam syair: (وأخفْتَ أهلَ الشِّركِ حتّى إنّه ... لَتخافُكَ النُّطَفُ التي لم تُخلَقِ). Ghuluw yang disertai dengan sesuatu yang mendekatkannya kepada kebenaran, seperti lafaz (كاد). Contoh Surah Al-Nur ayat 35: (يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ النَار). Syair: (تَكادُ قِسِيُّهُ منْ غَيْرِ رامٍ ... تُمَكِّنُ في قلوبِهم النِّبَالاَ). Ghuluw yang disertai lafaz (لو). Contoh Surah Al-Hasyr ayat 21: (لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا القُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 10 : TA’KID MADH BIMA YUSYBIH DZAMM تَأْكِيْدُ المَدْحِ بِمَا يُشْبِهُ الذَمَّ) I. PENGERTIAN TA’KID MADH BIMA YUSYBIH DZAMM (تعريفه) Menurut bahasa, Uslub ini bermakna menguatkan pujian dengan menyerupai celaan. Dalam konteks komunikasi antar manusia biasanya banyak sekali ungkapan yang bisa dimunculkan. Perbedaan bentuk ekpresi tersebut ada dan digunakan oleh bahasa apa pun di dunia. Untuk mengekpresikan perasaan atau pikirannya seseorang dapat mengungkapkannya dengan Uslûb yang bervariasi. Penggunaan suatu Uslûb dalam komunikasi biasanya didasarkan pada konteks pembicaraannya. Konteks biasanya berkaitan dengan kondisi Mukhâthab, pesan yang akan disampaikan, dan aspek-aspek kebahasaan lainnya baik yang bersifat linguistik maupun non linguistik. Pada awalnya, ketika seseorang akan memuji dia memilih kata-kata atau ungkapan yang langsung menunjukkan kepada tujuan tersebut. Akan tetapi seiring perkembangan budaya dan tingkat intelektual manusia, cara pengungkapan pujian tersebut bervariasi. Orang mulai berpaling dari yang jelas kepada yang samar, dari yang hakiki kepada Majâzî, dan dari yang mudah dipahami kepada yang sulit dipahami. Salah satu variasi tersebut adalah Ta’kîd Al-Madh Bimâ Yusybih Al-Dzamm. Ta’kîd Al-Madh Bimâ Yushbih Al-Dzammm merupakan salah satu bentuk dari Muhassinât Maknawiyyah yang bertujuan untuk memuji (pujian). Model pujian dengan cara ini merupakan salah satu dari beberapa bentuk pengungkapan yang memiliki nilai Balâghah yang sangat tinggi. II. PEMBAGIAN USLUB TA’KID AL-MADH BIMA YUSYBIH AL- DZAMM (أقسامه) (أَنْ تُسْتَتْثنَى مِنْ صِفَةٍ مَدْحِ فِيْ أَمْرٍ مَا مِنْ صِفَةٍ ذَمٍّ مَنْفِيَّةِ عَنْهُ، بِتَقْدِيْرِ دُخُوْلِهَا فِيْهَا) Mengecualikan suatu sifat pujian dari sifat celaan yang dinafikan dengan cara bahwa sifat pujian itu termasuk kepada sifat celaan. Jenis pertama berupa me-nafyi-kan suatu sifat tercela, kemudian setelah itu mendatangkan sifat pujian. Dalam kaidah Ilmu Balâghah jenis pertama ini biasa didefinisikan dengan mengecualikan sifat sanjungan dari sifat pencelaan yang di-nafi-kan dengan cara memperkirakan bahwa sifat sanjungan itu masuk dalam sifat pencelaan. Dalam ungkapan keseharian kita sering mendengar ucapan seseorang: Dia tidak bodoh, akan tetapi dia seorang yang cerdas. Ungkapan jenis ini banyak kita temukan dalam bahasa Arab, baik dalam Syair maupun Natsar. Ibnu Al-Rumi berkata: (لَيْسَ بِهِ عَيْبٌ سِوَى أَنَّهُ ... لَا تَقَعُ العَيْنُ عَلَى شِبْهِهِ). Pada contoh ini, Ibnu Rumi mengawali pembicaraannya dengan meniadakan kecacatan dari orang yang dipujinya, artinya Ibnu Rumi benar-benar memuji akhlak orang yang dipujinya tersebut. Tiba-tiba Ia datangkan Huruf Al-Istitsna yaitu kata (سِوَى), sehingga seolah-olah dengan Huruf Al-Istitsna tersebut ada akhlak pada diri yang dipuji Ibnu Rumi tersebut yang dikecualikan, dalam artian ada sedikit akhlak yang tercela pada diri yang dipuji Rumi tersebut, kesan kepada pendengar seperti itu. Tetapi kalau kita perhatikan kata-kata Rumi selanjutnya pada contoh di atas, justru Ia mengecoh pendengar, ia tidak hendak menyebutkan kecacatan diri yang dipujinya tersebut, melainkan justru Rumi menguatkan pujiannya dengan kalimat yang memberi kesan mencela, Rumi benar-benar memuji diri yang dipujinya tersebut. Dalam syair: (وَلَا عَيْبٌ فِيْهِ غَيْرَ أَنَّ خُدُوْدَهُ ... بِهِنَّ احْمِرَارًا مِنْ عُيُوْنِ المَتِيْمِ). (لَيْسَ بِهِ عَيْبٌ سِوَى أَنَّهُ لَا تَقَعُ العَيْنُ عَلَى شِبْهِهِ) (لَا عَيْبَ فِيْهِمْ سِوَى أَنَّ التَنْزِيْلَ بِهِمْ ... يسْلُو عَنِ الأَهْلِ وَالأَوْطَانِ وَالحَشم) (وَلَا عَيْبَ فِيْكُمْ غَيْر أَنَّ ضُيُوْفَكُمْ ... تُعَابُ بِنِسْيَانِ الأَحبةِ وَالوَطَنْ) (وَلَا عَيْبَ فِي مَعْرُوْفِهِمْ غَيْرَ أَنَّهُ ... يُبَيِّنُ عَجْزَ الشَاكِرِيْنَ عَنِ الشُكْرِ). (إثبات صفة مدح لشيئ معين ، و ذكر أداة إستثناء بعدها، تليها صفة مدح أخرى للشيء نفسه) Menetapkan sifat pujian, kemudian diikuti oleh Istitsna dan sifat pujian lainnya, yaitu menetapkan sifat sanjungan terhadap sesuatu, dan sesudahnya didatangkan perabot pengecualian yang diikuti oleh sifat sanjungan lain yang dikecualikan dari semisalnya. Contoh: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: (أَنَا أفْصَحُ الْعَرَبِ {بَيْدَ} أَنّىِ مِنْ قُرَيْشٍ). Contoh ini adalah kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. yang unik, kita lihat penjelasannya. Beliau memuji dirinya dengan pujian, yakni beliau menyatakan bahwa saya ini orang Arab yang paling fasih, tapi setelah kalimat tersebut ada Huruf Al-Istitsna “hanya saja” seolah-olah Beliau hendak menyebutkan kata-kata yang tidak menyenangkan setelah Huruf Al-Istitsna tersebut, namun pendengar kali ini pun akan terkecoh apabila tidak memperhatikan kata-kata selanjutnya yang diucapkan Beliau dalam contoh ini, lengkapnya beliau mengatakan “Saya adalah orang Arab yang paling fasih, hanya saja saya seorang Quraisy”, telah diketahui secara umum bahwa Quraisy adalah kabilah Arab yang paling fasih. Dengan demikian, mendatangkan Huruf Al-Istitsna dan kata-kata selanjutnya justru memperkuat pujian pada kalimat pertama. Syair: (وَلَا عَيْبَ فِيْهِ غَيْرَ أَنَّى قَصَدْتُهُ ... فَأَنْستنِىَ الأَيَّامُ أَهْلًا وَمَوْطِنَا) dan (فَتًى كَمُلَتْ أَخْلَاقُهُ غَيْرَ أَنَّهُ ... جَوَادّ فَمَا يُبْقَى عَلَى المَالِ بَاقِيَا). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 11 : TA’KID DZAMM BIMA YUSYBIH MADH (تَأْكِيْدُ الذَمِّ بِمَا يُشْبِهُ المَدْحَ) I. PENGERTIAN TA’KID DZAMM BIMA YUSYBIH MADH (تعريفه) Uslub ini bermakna pemberian sifat celaan terhadap sesuatu, kemudian datang lagi sifat celaan kedua menggunakan Huruf Istitsna. Menurut Ali Musthafa Ali Jarim, Uslub ini bermakna memperkuat celaan dengan kalimat yang menyerupai pujian. II. PEMBAGIAN (أقسامه) (أنْ تُسْتَثْنَى صِفَةُ ذَمٍّ فِيْ أَمْرٍ مَا مِنْ صِفَةٍ مَدْحً مَنْفِيَّةٍ عَنْهُ بِتَقْدِيْرِ دُخُوْلِهَا عَلَى صِفَةِ الْمَدْحِ) Mengecualikan sifat celaan dari sifat pujian yang di-nafi-kan. Meng-istitsna dari sifat celaan yang di-nafi-kan dari suatu sifat pujian dengan memperkirakan masuk padanya atau mengecualikan sifat celaan dari sifat pujian yang di-nafi-kan. Contoh: Kalimat: (فُلَانٌ لَا خَيْرَ فِيْهِ إِلَّا أَنَّهُ يُسِىءُ إِلَى مَنْ أَحْسَنُ إِلَيْهِ). Kata-kata tiada kebaikan si Fulan itu celaan, lalu diikuti dengan kata-kata suka menjelekkan kepada orang yang berbuat baik kepadanya, sepintas lalu merupakan pujian, padahal menambah celaan. Kalimat: (لَا حُسْنَ فِي المَنْزِلِ إِلَّا أَنَّه ُمُظْلِمٌ ضَيِّقُ الحُجُرَاتِ). Perhatikan contoh ini, kita menemukan Mutakallim mencela sebuah rumah dengan ungkapan (لا حسن في المنزل) setelah menggunakan Huruf Istitsna yang mengisyaratkan akan datang pujian setelah Istitsna’. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Mutakallim justru memberi sifat celaan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan ungkapan (مظلم ضيق الحجرات). Pemberian celaan yang kedua itu sebenarnya dimaksudkan sebagai penguat terhadap celaan yang pertama. Kalimat: (لَا عِزَّةَ لَهُمْ بَيْنَ العَشَائِرِ غَيْرَ أَنَّ جَارَهُمْ ذَلِيْلٌ). Pada contoh ini, Mutakallim memberi sifat celaan kepada suatu kaum dengan cara meniadakan sifat mulia bagi mereka, ungkapan yang digunakan adalah (لا عزة لهم), setelah itu digunakan Huruf Istitsna’ yang mengisyaratkan akan datang pujian bagi mereka, namun yang terjadi adalah sebaliknya, Mutakallim mendatangkan celaan yang lain dengan meniadakan sifat baik bagi tetangganya, ungkapan yang digunakan adalah (أن جارهم ذليل). Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa peniadaan sifat baik pada kalimat yang kedua memperkuat peniadaan sifat baik pada kalimat pertama. Kalimat: (لَا فَضْلَ لِقَوْمٍ إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُوْنَ لِلْجَارِ حَقَّهُ). Pada contoh ini, Mutakallim mencela suatu kaum dengan cara meniadakan sifat keutamaan bagi mereka dengan ungkapan (لا فضل لقوم), setelah itu menyebut huruf Istitsna’ yang mengisyarakan akan datang pujian bagi mereka, namun yang terjadi sebaliknya, Mutakallim mendatangkan celaan yang lain, yaitu bahwa kaum itu juga tidak mengetahui hak-hak tetangganya dengan ungkapan (أنهم لا يعرفون للجار حقه). (أن يُثْـبَت لِشيء صفةُ ذمٍّ، ثمّ يُؤتَى بعدَها بأداةِ اسْتـثـناءٍ تَلِيْها صفةُ ذمٍّ أُخرى) Menetapkan sifat celaan atas sesuatu, lalu mendatangkan Huruf Istitsna’, diikuti sifat celaan yang lain. Contoh: Kalimat: (الكلامُ كثيرُ التَّعْقِيدِ سِوَى أنّه مُبْتَذَلُ المعَانِي). Pada contoh ini, Mutakallim mengawali pembicaraannya dengan mencela sebuah kalimat, artinya Mutakallim benar-benar mencela. Tiba-tiba Mutakallim mendatangkan Huruf Istitsna’ yaitu kata (سِوَى), sehingga seolah-olah dengan Huruf Istitsna’ ada sisi bagus dari kalimat tersebut yang dikecualikan, dalam artian ada sedikit sisi bagus meskipun kalimat tersebut berbelit-belit, kesan kepada pendengar seperti itu. Tetapi kalau kita perhatikan kata-kata Mutakallim selanjutnya pada contoh tersebut, justru ia mengecoh pendengar, ia tidak hendak menyebutkan sisi kebagusan kalimat tersebut, melainkan justru menguatkan celaannya dengan kalimat yang memberi kesan memuji, Mutakallim tersebut benar-benar mencela. Kalimat: (هُوَ بَذِئُ اللِّسَانِ غَيْرَ أَنَّ صَدْرَهُ مَجْمَعَ اْلأَضْغَانِ). Pada contoh ini, Mutakallim memberikan sifat jelek kepada seseorang dengan ungkapan (بذئ اللسان), setelah itu didatangkan Huruf Istitsna’ yang memberi kesan akan datang sifat terpuji setelahnya, namun kenyataannya, Mutakallim mendatangkan sifat jelek lagi kepada orang tersebut dengan ungkapan (صدره مجمع الأضغان). Sifat jelek yang kedua ini tentu akan memperkuat sifat jelek yang pertama. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 12 : ILTIFAT (الاِلْتِفَاتُ) I. PENGERTIAN ILTIFAT (تعريف الالتفات) Kata Iltifat adalah bentuk Mashdar dari kata (التفت), mengikuti wazan (افتعل) dengan tambahan Hamzah dan Ta’. Kata dasarnya adalah (لفت). Secara bahasa, kata (لفت) memiliki arti (الصرف) perubahan, (القبض) genggaman, (الفتل) lilitan, (الآكل) makan, (النظر) melihat, (المزج) campuran dan (الخلط) campuran. Menurut istilah: Menurut Al-Hasimiy, definisi Iltifat adalah (نقل الكلام من وِجهة إلى أُخرى من ضمير المتكلم إلى المخاطب أو العكس، ومن المخاطب إلى الغائب، وهكذا) perpindahan dari semua Dhamîr; Mutakallim, Mukhâthab atau Ghâib kepada Dhamîr lain, karena tuntutan dan keserasian yang lahir melalui pertimbangan dalam menggubah perpindahan itu, untuk menghiasi percakapan dan mewarnai seruan, agar tidak jemu dengan satu keadaan dan sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan, karena dalam setiap yang baru itu ada kenyamanan, sedangkan sebagian Iltifât memiliki kelembutan, pemiliknya adalah rasa bahasa yang sehat. Menurut Al-Zamakhsyariy, definisi Iltifat adalah menyalahi realita dalam mengungkapkan sesuatu dengan jalan menyimpang dari salah satu jalan yang tiga kepada yang lainnya. Menurut Abd Al-Qadir Husen dalam kitabnya Fann Al-Balaghah. definisi Iltifat adalah perpindahan gaya bahasa dari bentuk Mutakallim atau Mukhâthab atau Ghâib kepada bentuk yang lainnya, dengan catatan bahwa Dhamîr yang dipindahi itu dalam masalah yang sama kembali kepada Dhamîr yang dipindahkan, dengan artian bahwa Dhamîr kedua itu dalam masalah yang sama kembali kepada Dhamîr pertama. Dalam Kitab Jauhar Maknan, definisi Iltifat adalah perpindahan dari sebagian gaya bahasa kepada gaya bahasa lain yang mendapat perhatian. Dalam Kitab Al-Balaghah wa Al-Uslubiyyah karya Muhammad Abdul Muththallib, definisi Iltifat adalah penyimpangan dari suatu gaya bahasa dalam kalâm kepada gaya bahasa lain yang berbeda dengan gaya bahasa yang pertama. II. KEINDAHAN SASTRA ILTIFAT (بلاغة الالتفات) Jika kita perhatikan tempat-tempat Iltifat dalam Kitab Badii’u Al-Quraan karya Ibnu Abi Al-Ashba’ Al-Mishriy (654 H), Kitab Al-Burhaan fii Uluumi Al-Quraan karya Muhammad bin ‘Abdillah Al-Zarkasyiy (794 H) dan Kitab Al-Itqaan fii Uluumi Al-Quraan karya ‘Abdurrahman Al-Suyuthiy (911 H), kita dapatkan bahwa semua contohnya berasal dari Alquran. Umumnya ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat Makkiyyah, tapi ada pula beberapa di antaranya yang termasuk ayat Madaniyyah. Bahwa tiga kitab tersebut, Al-Badî’, Al-Burhân, dan Al-Itqân, mereka sepakat tentang urgensi Iltifât dan Balâghah-nya. Ketiga kitab ini juga sepakat ihwal ragam Iltifât serta keterkaitan Iltifât dengan makna, gaya bahasa, susunan, dan pengaruh psikologis. Dan semua itu menegaskan kemukjizatan Alquran. Sebab, semua ayat Alquran tidak terdapat dalam semua surah Alquran. Karena itu, dipandng baik berkelanjutannya kajian tentang fenomena Iltifât dalam Alquran seluruhnya. Dengan begitulah adanya kajian berbagai tema yang digunakan Balâghah dalam memahami kemukjizatan Alquran, dan menjadi salah satu bentuk kritik bahasa Arab. Ciri yang umum adalah: Ayat-ayat Makkiyyah berhubungan dengan: Jiwa dan emosi manusia serta mengatasi masalah pembentukan akidah agama Seruan kepada tauhid dan penegasian syirik Peletakan prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan masyarakat Pemberantasan tindak kejahatan kaum musyrikin yang suka menumpahkan darah Pemaparan kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu supaya menjadi peringatan bagi mereka sehingga mereka pun mengambil pelajaran atas akibat yang dialami oleh orang-orang yang mendustakan itu. Ayat-ayat Madaniyyah yang ada juga tidak terlepas dari ciri yang dimiliki ayat-ayat Makkiyyah tersebut. Sebab, ayat-ayat tersebut kebanyakan pendek-pendek Mempunyai pengaruh tertentu terhadap telinga dan jiwa. Menumbuhkan rasa gentar, takut, serta perasaan akan makna keagungan dan kegagahan. Padahal, kebanyakan ayat-ayat Madaniyyah itu membahas masalah hukum dan syariat yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, had, dan sebagainya. Akan tetapi dalam ketiga kitab yang tadi disebutkan, ayat-ayat Madaniyyah yang mengandung Iltifât itumemiliki kesamaan dengan ayat-ayat Makkiyyah. Maksudnya, ayat-ayat tersebut menerangkan tentang umat-umat dan azab, padahal umumnya penjelasan ayat-ayat Madaniyyah itu membahas masalah had dan kewajiban, menyingkap perilaku kaum munafik, menelanjangi niat dan persekongkolan mereka, meruntuhkan nilai-nilai mereka yang buruk, serta menjelaskan bahaya mereka terhadap agama dan masyarakat. Demikian pula kita lihat keumuman ayat-ayat tersebut berisi perdebatan ahli kitab serta bantahan atas berbagai pemikiran mereka yang kadang banyak bertentangan dengan hakikat iman dan sejarah. Sekiranya kita coba mengikuti perhatian Ibnu Abi Al-Ashba’, Al-Zarkasyi, dan Al-Suyuthi dalam tiga kitab yang khusus mengemukakan contoh-contoh Iltifât dalam Alquran, niscaya kita dapati mereka memperhatikan nilai Balâghah dari sisi kejiwaan yang dibentuk dengan gaya bahasa yang benar dan aturan yang lurus sebagai upaya menunjukkan kemukjizatan Alquran. Contoh kajian mereka, yang menjelaskan karaktersitik pemahaman mereka tentang Iltifât adalah sebagai berikut: Kitab Badii’u Al-Quraan karya Ibnu Abi Al-Ashba’ Al-Mishriy (654 H) Dalam Bab Iltifât mengemukakan firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 24: (فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوْا النَارَ). Allah Ta’ala bermaksud menjamin ayat tantangan ini sebagai bentuk kemukjizatan yang lain dengan mengabarkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi berupa ketidakberdayaan bangsa Arab dalam menghadapi tantangan membuat satu surah Alquran, supaya Khabar yang benar ini keluar dari lisan nabi-Nya. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, maka menjadi bukti atas kebenarannya. Dengan begitu, ia bisa membantah orang-orang yang mendustakan, serta mengukukan orang-orang yang beriman. Itu sebabnya, Dia berfirman: (لن تفعلوا) sebelum menuntaskan Kalam yang pertama dengan firman-Nya (فاتقوا النار). Jelaslah bahwa Ibnu Abi Al-Ashba’ memperhatikan Iltifât dari segi makna yang dikandung gaya bahasa dalam suatu susunan. Semua ini merupakan bentuk penyajian kemukjizatan Alquran. Dengan demikian nilai Iltifât itu terkait dengan upaya melayani Alquran. Tujuan pertama ini memacu pada pakar Balâghah untuk bersatu dalam ilmu Balâghah. Oleh karena itu, kita lihat bahwa Abu Hilal Al-‘Askari dalam Mukadimah Kitab (الصناعتين), berkata: “Kita tahu, sekiranya manusia mengabaikan ilmu Balaghah dan tidak mengetahui (فصاحة), niscara pengetahuannya tidak akan bisa menjangkau kemukjizatan Alquran sebagaimana yang Allah Ta’ala khususkan berupa kebagusan susunan, kehebatan struktur, Ijaz Badi’ yang dimuatnya, keringkasan yang halus, keindahan yang dikandungnya, keelokan fleksibilitas rangkumannya, kemudahan dan keluwesan pelafalannya, kelembutan dan pesonanya, serta keindahan-keindahan lain yang tak bisa ditandingi oleh makhluk dan mencengangkan akal mereka. Bahwa di antara nilai Iltifât dalam Balâghah yang telah kita bicarakan tadi itu juga terdapat dalam kalâm orang-orang Arab. Namun, tidak sampai pada tingkatan nilai seperti yang bisa dinikmati dalam Alquran. Dari sini kita dapatkan Alquran merupakan mukjizat dengan gaya bahasa Bayâni-nya. Namun demikian, keindahan Bayân itu juga terdapat dalam kalâm orang-orang Arab, hanya saja mereka tidak sanggup menampilkan yang sepadan dengan Alquran. Katakanlah: “Sekiranya jin dan manusia bersatu untuk menampilkan yang sepadan dengan Alquran ini, niscaya mereka tidak akan mampu menampilkan yang sepadan dengannya." Dalil lain yang terdapat dalam kajian kami tentang Iltifât ini menegaskan bahwa Iltifât yang ada dalam Alquran tidaklah tertandingi dengan Iltifât yang ada dalam kalâm orang-orang Arab. Inilah sikap yang diambil oleh Ibnu Abi Al-Ashba’ Al-Mishriy. Yaitu ketika ia berkata: “Di dalam Alquran terdapat jenis Iltifât yang sangat mengagumkan. Belum pernah saya menemukan yang sepadan dengannya dalam syair. Allah telah memberi saya pentunjuk sehingga bisa memahaminya. Bahwa Iltifât adalah seorang pembicara mengungkapkan dua hal, kemudian menjelaskan yang pertama seraya beralih dari penjelasan yang pertama. Kitab Al-Burhaan fii Uluumi Al-Quraan karya Muhammad bin ‘Abdillah Al-Zarkasyiy (794 H) Pandangan Al-Zarkasyi tentang Iltifât juga tidak keluar dari para ahli Balâghah terdahulu. Al-Zarkasyi memandang Iltifât sebagai peralihan Kalâm dari satu gaya bahasa ke gaya bahasa lain untuk menarik perhatian dan memberi penyegaran kepada pendengar, memperbarui vitalitas pendengar, serta menghindari kebosanan dan kejenuhan dalam benak pendengar akibat gaya bahasa yang monoton terdengar di telinganya. Al-Zarkasyi menggabungkan Iltifât ke dalam ilmu Ma’âni. Ia mensyaratkan adanya keterkaitan antara makna Multafat Ilaihi dan Multafat Minhu. Ia berkata: “Kalâm yang terus-menerus menggunakan kata ganti orang pertama dan orang kedua tidaklah dipandang baik. Yang baik adalah adanya peralihan dari satu kata ganti ke kata ganti lainnya. Dan ini merupakan peralihan Maknawi, bukan Lafzhi. Pemahaman tersebut tidak lantas membuat Al-Zarkasyi mengabaikan terpeliharanya hubungan kejiwaan antara Iltifât dan nilai Balaghah-nya dalam beberapa bukti yang ditunjukkan kepadanya. Pandangan terhadap ayat berikut menjelaskan apa yang dikatakannya itu: (وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ). Asalnya (وإليه أرجع) artinya: “Dan hanya kepada-Nya aku akan dikembalikan,” lalu beralih dari bentuk orang pertama ke bentuk orang kedua. Faedahnya ialah untuk mengeluarkan Kalâm dari memberi nasihat kepada diri sendiri, padahal yang dimaksud adalah memberikan nasihat kepada kaumnya secara halus dengan memberi tahukan bahwa maksud penyampaian nasihat ini untuk diri sendiri. Tapi kemudian dialihkan kepada mereka, sebab ia dalam posisi orang yang mempertakuti dan mengajak mereka kepada Allah Ta’ala ketika kaumnya menolak untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, maka perkataan bersama mereka pun diakhiri lantaran keadaan mereka itu. Maka jadilah ditujukan kepada mereka sebab ia telah menganggap buruk orang yang tak mau menyembah Penciptanya. Ia kemudian mengingatkan mereka dengan berkata: (وإليه ترجعون). Kitab Al-Itqaan fii Uluumi Al-Quraan karya ‘Abdurrahman Al-Suyuthiy (911 H) Al-Suyuthi sangat memperhatikan hubungan psikologis antara Iltifât dan nilai Balâghah-nya. Ia tonjolkan dalam pembahasan seputar firman Allah Ta’ala: : (وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ). Asalnya (وَإِلَيْهِ أُرْجَعُ) artinya: “Dan hanya kepada-Nya aku akan dikembalikan,” lalu beralih dari bentuk orang pertama ke bentuk orang kedua. Titik pentingnya adalah untuk mengeluarkan Kalam dari memberi nasihat kepada diri sendiri, padahal yang dimaksud adalah memberikan nasihat kepada kaumnya secara halus dengan memberi tahukan bahwa maksud penyampaian nasihat ini untuk diri sendiri. Tapi kemudian dialihkan kepada mereka, sebab ia dalam posisi orang yang mempertakuti dan mengajak mereka kepada Allah. Yang mendorong kami mengutip pendapat tersebut ialah pengamatan kami bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat Al-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan. Dan ini pula yang dikutip oleh Al-Suyuthi. Semua itu mengisyaratkan kesepakatan dua orang tadi (Al-Zarkasyi dan Al-Suyuthi) ihwal keterkatian Iltifât dengan makna, pengaruhnya kepada jiwa, serta faedah dan titik penting yang didapat dalam berbagai gaya bahasa dan konteks di antara jiwa. Sekaitan dengan keindahan Iltifât yang menjelaskan pengaruh psikologis, Al-Suyuthi mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam Surah Al-Fatihah: Apabila seorang hamba hanya mengingat Allah Ta’ala semata, lalu menerangkan sifat-sifat-Nya yang kesemuanya dapat menumbuhkan intensitas kehadiran. Selanjutnya menyebutkan: (مَالِكِ يَوْمِ الدِيْنِ) artinya: “Yang menguasai hari pembalasan.” menjelaskan bahwa Dia adalah Raja yang menguasai segala perkara pada hari pembalasan. Maka si hamba akan merasakan dalam dirinya sesuatu yang tak bisa ditolak karena pesan dari sifat-sifat-Nya secara khusus menumbuhkan puncak ketundukan dan permohonan bantuan dari berbagai tugas. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 13 : ILTIFAT AL-DHAMIR (اِلْتِفَاتُ الضَمِيْرِ) I. PENGERTIAN ILTIFAT AL-DHAMIR (تعريف التفات الضمير)Yang dimaksud dengan Iltifât Al-Dhamîr adalah perpindahan dari satu Dhamîr (pronomina) kepada Dhamîr lain di antara Dhamîr-Dhamîr yang tiga; Mutakallim (orang pertama), Mukhâthab (orang kedua), dan Ghâib (orang ketiga), dengan catatan bahwa Dhamîr baru itu kembali kepada Dhamîr yang sudah ada dalam materi yang sama. II. MACAM-MACAM ILTIFAT AL-DHAMIR (أقسام التفات الضمير) Iltifat dari Mutakallim (orang pertama) kepada Mukhathab (orang kedua). Contoh Surah Yasin ayat 22: (وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan Dhamir, yaitu dari Dhamir Mutakallim (وما لي), kepada Dhamir Mukhathab (ترجعون) kamu akan dikembalikan, dan ternyata Dhamir baru itu, Dhamir Mukhathab pada (ترجعون) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Mutakallim pada (ومالي). Iltifat dari Mutakallim (orang pertama) kepada Ghaib (orang ketiga). contoh-contohnya: Surah Al-Baqarah ayat 23: (وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ ...). Ayat di atas menggunakan gaya bahasa Iltifât, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamîr, yaitu dari Dhamîr Mutakallim (نزلنا), kepada Ghaib (من دون الله), dan Dhamir Ghaib pada kalimat tersebut kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir pada (نزلنا). Surah Al-Kautsar ayat 1-2: (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الكَوْثَرَ – فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamir, yaitu dari Dhamir Mutakallim (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ), kepada Dhamir Ghaib (لربك), dan Dhamir Ghaib pada (لربك) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Mutakallim pada (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ). Iltifat dari Mukhathab (orang kedua) kepada Ghaib (orang ketiga). Contoh-contohnya: Surah Al-Baqarah ayat 187: (تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا وَكَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آيتِهِ لِلنِّاسِ ...). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamir, yaitu dari Dhamir Mukhathab (فلا تقربوها), kepada Dhamir Ghaib (للناس), dan Dhamir Ghaib pada (للناس) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab pada (فلا تقربوها). Surah Al-Insyiqaq ayat 20: (لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamir, yaitu dari Dhamir Mukhathab (لَتَرْكَبُنَّ), kepada Dhamir Ghaib (فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ), dan Dhamir Ghaib pada (فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab pada (لَتَرْكَبُنَّ). Iltifat dari Ghaib (orang ketiga) kepada Mukhathab (orang kedua). Contoh-contohnya: Surah Al-Fatihah ayat 1-5: (الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ – الرَحْمَنِ الرَحِيْمِ – مَلِكِ يَوْمِ الدِيْنِ – إِيَّاكَ نَعْبُدُ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifât, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamîr, yaitu dari Dhamîr Ghâib (الحمد لله), kepada Dhamir Mukhathab (إياك نعبد), dan Dhamir Mukhathab pada (إياك نعبد) kembali pada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Ghaib pada (الحمد الله). Surah ‘Abasa ayat 2-3: (عَبَسَ وَتَوَلَّى أَنْ جَاءَهُ الأَعْمَى وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifât, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamîr, yaitu dari Dhamîr Ghâib (عَبَسَ), kepada Dhamir Mukhathab (وَمَا يُدْرِيْكَ), dan Dhamir Mukhathan pada (وَمَا يُدْرِيْكَ) kembali pada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Ghaib pada (عَبَسَ). Iltifat dari Ghaib (orang ketiga) kepada Mutakallim (orang pertama). Contoh-contohnya: Surah Al-Baqarah ayat 252: (تِلْكَ آيَاتُ اللهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالحَقِّ ...). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamir, yaitu dari Dhamir Ghaib (آيات الله), kepada Dhamir Mutakallim (نتلوها), dan Dhamir Mutakallim pada (نتلوها) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Ghaib pada (آيات الله). Surah Al-Isra’ ayat 1: (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إِلَى المَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ ...). Ayat ini menggunakan gaya bahasa Iltifat, berupa perpindahan dalam penggunaan Dhamir, yaitu dari Dhamir Ghaib (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى) kepada Dhamir Mutakallim (الَّذِي بَارَكْنَا), dan Dhamir Mutakallim pada (الَّذِي بَارَكْنَا) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam ayat yang sama, yaitu Dhamir Ghaib pada (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 14 : ILTIFAT ‘ADAD AL-DHAMIR (إِلْتِفَاتُ عَدَدِ الضَمِيْرِ) I. PENGERTIAN ILTIFAT ‘ADAD AL-DHAMIR (تعريف التفات عدد الضمير) Yang dimaksud dengan Iltifât ’Adad Al-Dhamîr adalah perpindahan dari satu ’Adad Al-Dhamîr (bilangan pronomina) kepada ’Adad Al-Dhamîr lain di antara ’Adad Al-Dhamîr yang tiga; Mufrad (tunggal), Mutsannâ (dual), dan Jamak (banyak), dengan catatan bahwa Dhamîr baru itu kembali kepada Dhamîr yang sudah ada dalam materi yang sama. II. MACAM-MACAM ILTIFAT ‘ADAD AL-DHAMIR (أقسام التفات عدد الضمير) Iltifat dari Mutakallim Mufrad kepada Mutakallim Ma’al Ghair. Contoh Surah Al-Kahfi ayat 102: (أَفَحَسِبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنْ يَتَّخِذُوْا عِبَادِي مِنْ دُوْنِي أَوْلِيَاءَ، إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِيْنَ نُزُلًا). Ayat di atas menggunakan gaya bahasa ‘Udûl yang berpola kepada Iltifât. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamîr; berupa perpindahan dari Mutakallim Mufrad (orang pertama tunggal) (عبادي), kepada Mutakallim Jamak (orang pertama jamak) (إنا), dan Dhamir Mutakallim Jamak pada (إنا) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mutakallim Mufrad pada (عبادي). Iltifat dari Mutakallim Ma’al Ghair kepada Mutakallim Mufrad. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 38: (قُلْنَا اهْبِطُوْا مِنْهَا جَمِيْعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى). Ayat di atas menggunakan gaya bahasa ‘Udûl yang berpola kepada Iltifât. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir, berupa perpindahan dari Mutakallim Jamak (orang pertama jamak) (قلنا), kepada Mutakallim Mufrad (orang pertama tunggal) (منى هدى), dan Dhamir Mutakallim Mufrad Jamak pada (منى هدى) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mutakallim Jamak pada (قلنا). Iltifat dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Mutsanna. Contoh Surah Al-Mujadalah ayat 1: (قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir, berupa perpindahan dari Mukhatab Mufrad (orang kedua tunggal) (التي تجادلك), kepada Mukhathab Mutsanna (orang kedua mutsanna) (تحاوركما), dan Dhamir Mukhathab Mutsanna pada (تحاوركما) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab Mufrad pada (التي تجادلك). Iltifat dari Mukhathab Mufrad kepada Mukhathab Jamak. Contoh Surah Al-Thalaq ayat 1: (يَا أَيُّهَا النَبِيُّ إِذَا طَلَقْتُمُ النِسَاءَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Mukhathab Mufrad (orang kedua tunggal) (يا أيها النبي), kepada Mukhathab Jamak (orang kedua jamak) (إذا طلقتم), dan Dhamir Mukhathab Jamak pada (إذا طلقتم) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu (النبي). Iltifat dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Mufrad. Contoh Surah Thaha ayat 117: (فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الجَنَّةِ فَتَشْقَى). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Mukhathab Mutsanna (orang kedua mutsanna) (فلا يخرجنكما), kepada Mukhathab Mufrad (orang kedua tunggal) (فتشقى), dan Dhamir Mukhathab Mufrad pada (فتشقى) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab Mutsanna pada (فلا يخرجنكما). Iltifat dari Mukhathab Mutsanna kepada Mukhathab Jamak. Contoh Surah Al-Syu’ara’ ayat 15: (فَاذْهَبَا بِآيَاتِنَا إِنَّا مَعَكُمْ مُسْتَمِعُوْنَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Mukhathab Mutsanna (orang kedua mutsanna) (فاذهبا), kepada Mukhathab Jamak (orang kedua jamak) (إنا معكم), dan Dhamir Mukhathab Jamak pada (معكم) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab Mutsanna pada (فاذهبا). Iltifat dari Mukhathab Jamak kepada Mukhathab Mufrad. Contoh Surah Al-Anfal ayat 17: (فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Mukhathab Jamak (persona kedua jamak) (فلم تقتلوهم) b, kepada Mukhathab Mufrad (orang kedua tunggal) (وما رميت), dan Dhamir Mukhathab Mufrad pada (وما رميت) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab Jamak pada (فلم تقتلوهم). Iltifat dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Mutsanna. Contoh Surah Al-Hasyr ayat 16-17: (كَمَثَلِ الشَيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيْئٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ العَالَمِيْنَ فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَارِ خَالِدِيْنَ فِيْهَا). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Ghaib Mufrad (orang ketiga tunggal) (فلما كفر), kepada Ghaib Mutsanna (orang ketiga mutsanna) (فكان عاقبتهما), dan Dhamir Mukhathab Mutsanna pada (عاقبتهما) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Mukhathab Mufrad pada (فلما كفر). Iltifat dari Ghaib Mufrad kepada Ghaib Jamak. Contoh Surah Al-Muthaffifin ayat 13-14: (إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيْرُ الأَوَّلِيْنَ كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Ghaib Mufrad (orang ketiga tunggal) (إذا تتلى عليه), kepada Ghaib Jamak (persona ketiga jamak) (ران على قلوبهم), dan Dhamir Ghaib Jamak pada (قلوبهم) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Ghaib Mufrad pada (إذا تتلى عليه). Iltifat dari Ghaib Mutsanna kepada Ghaib Jamak. Contoh Surah Al-Shaffat ayat 115: (وَنَجَّيْنَاهُمَا وَقَوْمَهُمَا مِنَ الكَرْبِ العَظِيْمِ وَنَصَرْنَاهُمْ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Ghaib Mutsanna (orang ketiga mutsanna) (ونجيناهما), kepada Ghaib Jamak (orang ketiga jamak) (ونصرناهم), dan Dhamir Ghaib Jamak pada (ونصرناهم) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Ghaib Mutsanna pada (ونجيناهما). Iltifat dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mufrad. Contoh Surah Al-Syura ayat 48: (وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيْهِمْ فَإِنَّ الإِنْسَانَ كَفُوْرٌ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Ghaib Jamak (orang ketiga jamak) (وإن تصبهم), kepada Ghaib Mufrad (orang ketiga tunggal) (فإن الإنسان), dan Dhamir Ghaib Mufrad pada (فإن الإنسان) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Dhamir Ghaib Jamak pada (وإن تصبهم). Iltifat dari Ghaib Jamak kepada Ghaib Mutsanna. Contoh Surah Al-Hujurat ayat 10: (إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ). Ayat ini menggunakan gaya bahasa ‘Udul yang berpola kepada Iltifat. Perpindahannya terjadi pada bilangan Dhamir; berupa perpindahan dari Ghaib Jamak (orang ketiga jamak) (المؤمنون), kepada Ghaib Mutsanna (orang ketiga mutsanna) (بين أخويكم), dan Dhamir Ghaib Mutsanna pada (بين أخويكم) kembali kepada Dhamir yang sudah ada dalam materi yang sama, yaitu Ghaib Jamak pada (المؤمنون). MUHASSINAT MAKNAWIYYAH 15 : ILTIFAT ANWA’ AL-JUMLAH (إِلْتِفَاتُ أَنْوَاعِ الجُمْلَةِ) I. PENGERTIAN ILTIFAT ANWA’ AL-JUMLAH (تعريف التفات أنواع الجملة) Yang dimaksud dengan Iltifât Anwa’ Al-Jumlah adalah perpindahan dari satu Jumlah (kalimat) kepada Jumlah lain di antara macam-macam Jumlah yang ada; dengan catatan bahwa materi pada Jumlah baru itu kembali kepada Jumlah yang sudah ada. II. MACAM-MACAM ILTIFAT ANWA’ AL-JUMLAH (أقسامها) Iltifat dari Jumlah Fi’liyyah kepada Jumlah Ismiyyah. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 102: (وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَيَاطِيْنَ كَفَرُوْا). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari Jumlah Fi’liyyah (وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ) terdiri dari Fi’il dan Fa’il, kepada Jumlah Ismiyyah (وَلَكِنَّ الشَيَاطِيْنَ كَفَرُوْا) terdiri dari Mubtada’ dan Khabar, kalimat kedua merupakan penjelasan dari pernyataan pada kalimat pertama. Iltifat dari Jumlah Ismiyyah kepada Jumlah Fi’liyyah. Contoh Surah Al-Fatihah ayat 4-5: (الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ الرَحْمَنِ الرَحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari Jumlah Ismiyyah (الحَمْدُ لِلهِ) terdiri dari Mubtada’ dan Khabar, kepada Jumlah Fi’liyyah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) terdiri dari Fi’il, Fa’il dan Maf’ul Bih, kalimat kedua merupakan penjelasan tentang keadaan orang ketiga pada kalimat pertama. Iltifat dari Kalimat Berita kepada Kalimat Melarang. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 147: (الحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ المُمْتَرِيْنَ). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari kalimat berita (الحَقُّ مِنْ رَبِّكَ), kepada kalimat melarang (لَا تَكُوْنَنَّ مِنَ المُمْتَرِيْنَ), kalimat kedua merupakan penjelasan tentang sikap Mukhathab terhadap pernyataan pada kalimat pertama. Iltifat dari Kalimat Berita kepada Kalimat Perintah. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 148: (وَلِكُلِّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari kalimat berita (لِكُلِّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا), kepada kalimat perintah (فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ), kalimat kedua merupakan penjelasan tentang sikap Mukhathab terhadap pernyataan pada kalimat pertama. Iltifat dari Kalimat Perintah kepada Kalimat Berita. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 153: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اسْتَعِيْنُوْا الصَبْرِ وَالصَلَاةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَابِرِيْنَ). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari kalimat perintah (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اسْتَعِيْنُوْا الصَبْرِ وَالصَلَاةِ), kepada kalimat berita (إِنَّ اللهَ مَعَ الصَابِرِيْنَ), kalimat kedua merupakan penjelasan tentang perintah pada kalimat pertama. Iltifat dari Kalimat Melarang kepada Kalimat Berita. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 154: (وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يَقْتُلُ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari kalimat melarang (وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يَقْتُلُ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ), kepada kalimat berita (بَلْ أَحْيَاءٌ), kalimat kedua merupakan penjelasan tentang keadaan objek pada kalimat pertama. Iltifat dari Kalimat Bertanya kepada Kalimat Berita. Contoh Surah Al-Nisa ayat 139: (أَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ العِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلهِ جَمِيْعًا). Ayat ini menggunakan pola Iltifat, berupa perpindahan pada Anwa’ Al-Jumlah (ragam kalimat), yaitu dari kalimat bertanya (أَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ العِزَّةَ), kepada kalimat berita (فَإِنَّ العِزَّةَ لِلهِ جَمِيْعًا), kalimat kedua merupakan penjelasan tentang materi pertanyaan pada kalimat pertama. MUHASSINAT MAKNAWIYYAH LAINNYA: (المُحَسِّنَاتُ المَعْنَوِيَّةُ الأُخْرَى) 16. ISTITHRAD (الاِسْتِطْرَادُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Istithrad adalah (أَنْ يَخْرُجَ المُتَكَلِّمُ مِنْ الغَرْضِ الَّذِي هُوَ فِيْهِ إِلَى آخَرِ لِمُنَاسَبَةٍ بَيْنَهُمَا ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى إِتْمَامِ الأَوَّلِ) ketika seorang pembicara berpindah dari maksud ungkapan yang sedang diucapkannya kepada ungkapan lain yang masih mempunyai keterkaitan dengannya. Setelah itu ia kembali kepada ungkapan yang ditujunya sejak awal. Contoh: Dalam syair: (وَأَنَا أُنَاسٌ لَا نَرَى القَتْلَ سِبَةً ... إِذَا مَا رَأَتْهُ عَامِرُ وَسَلُوْلُ) – (يُقْرِبُ حُبُّ المَوْتِ آجَالَنَا لَنَا ... وَتُكْرِهُهُ آجَالُهُمْ فَتَطُوْلَ) – (وَمَا مَاتَ مِنَّا سَيِّدٌ حَتْفًا نَفِهِ ... وَلَا طَلٌّ مِنَّا حَيْثُ كَا قَتِيْلُ). Pada susunan kasidah di atas penyair bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan, kemudian penyair berpindah dari ungkapan tersebut kepada upaya untuk menyindir dua kelompok suku, yaitu suku Amir dan Salul. Kemudian setelah itu ia kembali lagi kepada tujuan semula, yaitu menampilkan kemuliaan kaumnya. Dalam syair: (لَنَا نُفُوْسٌ لِنَيْلِ المَجْدِ عَاشِقَةٌ ... فَإِنْ تَسَلَّتْ أَسَلْنَاهَا عَلَى الأَسَلِ) - (لَا يَنْزِلُ المَجْدُ إِلَّا فِي مَنَازِلِنَا ... كَالنَوْمِ لَيْسَ لَهُ مَأْوَى سِوَى المُقَلِ). 17. IFTINAN (الإفتنان) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Iftinan adalah (الجمع بين فنين مختلفين، كالفخر والتعزية) mengumpulkan dua hal yang saling berlawanan, seperti antara kebanggaan dan belasungkawa. Contoh: Surah Al-Rahman ayat 26-27: (كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ... وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ). Bahwasanya Allah Ta’ala melipur lara seluruh makhluk-Nya dari manusia, jin, malaikat serta seluruh bagian yang hidup dan memuji dengan kekekalan setelah kefanaan yang ada dalam sepuluh kata bersamaan dengan sifat Dzat-Nya setelah Dia menyendiri dalam kekekalan dalam kemuliaan dan kebesaran, Maha Suci. Seperti lipuran dan ucapan selamat dalam perkataan Abdullah bin Hammam Al-Saluli pada Yazid bin Mu’awiyah ketika ayatnya wafat dan kemudian ia menggantikannya sebagai khalifah: (آجَرَكَ اللهُ عَلَى الرَزِيَّةِ، وَبَارَكَ لَكَ فِي العَطِيَّةِ، وَأَعَانَكَ عَلَى الرَعِيَّةِ فَقَدْ رُزِئْتَ عَظِيْماً، وَأٌعْطِيْتَ جَسِيْمًا، فَاشْكُرِ اللهُ عَلَى مَا أُعْطِيْتَ، وَاصْبِرْ عَلَى مَا رُزِئْتَ، فَقَدْ فُقِدْتَ الخَلِيْفَةَ، وَأُعْطِيْتَ الخِلَافَةَ، فَفَارَقْتَ خَلِيْلًا وَوُهِبْتَ جَلِيْلاً). 18. MURA’AH AL-NAZHIR (مُرَاعَاةُ النَّظِيْرِ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Mura’ah Al-Nadzir adalah (الجمع بين أمرين أو أمور متناسبة لا على جهة التضاد، وذلك إما بين اثنين أو أكثر) menyebutkan dua hal atau lebih yang mengandung kesesuaian, tetapi tidak dengan cara perbandingan. Contoh: Antara dua hal. Contoh Surah Al-Syura ayat 11: (وَهُوَ السَمِيْعُ البَصِيْرُ). Lebih dari dua hal. Contoh Surah Al-Baqarah ayat 2: (أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ). Cakupannya (اشتمال مراعاة النظير): (ما بني على المناسبة في المعنى بين طرفي الكلام يعني أن يختم الكلام بما يناسب أوله في المعنى) Lafaz yang mempunyai kesesuaian dalam segi arti antara dua bagian (Athraf) nya. Atau mengakhiri kalimat dengan lafaz yang sesuai dengan kalimat itu dari segi makna. Contoh Surah Al-An’am ayat 103: (لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ). Lafaz (اللطيف) pada akhir ayat ini sesuai dengan makna kalimat (لا تدركه الأبصار). Dan lafaz (الخبير) sesuai dengan makna kalimat (وهو يدرك الأبصار). (بني على المناسبة في اللفظ باعتبار معنى له غير المعنى المقصود في العبارة) Lafaz yang mempunyai kesesuaian dalam bentuk lafaz kalimat sebelumnya. Contoh Surah Al-Rahman 5-6: (الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ ... وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ). Jika lafaz (النجم) diartikan tumbuh-tumbuhan, tidak sesuai dengan pengertian lafaz (الشمس) dan (القمر). Tetapi karena lafaz (النجم) dapat berarti bintang, maka dari segi lafaz sesuai dengan kedua lafaz itu. 19. IRSHAD (الإِرْصَادُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Irshad adalah (أن يذكر قبل الفاصلة من الفقرة أو القافية من البيت ما يدل عليها إذا عرف الروي وقد يستغني عن معرفة الروي) menyebutkan kalimat yang dapat menunjukkan kalimat terakhir dari faqrah atau Qafiyah dari bait syair dari apa yang ditunjukkan kepadanya jika diketahui perawinya. Dan terkadang tidak membutuhkan untuk mengetahui perawinya. Contoh: Surah Qaf ayat 39: (فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ). Surah Al-Ankabut ayat 40: (وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ). Surah Al-A’raf ayat 34: (وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ). Syair: (أَحَلَّتْ دمي مِنْ غَيْرِ جُرْمٍ وَحَرَّمَتْ ... بِلَا سَبَبٍ عِنْدَ اللِقَاءِ كَلَامِي) – (فَلَيْسَ الَّذِي حَلَّلْتِهِ بِمُحَلَّلِ ... وَلَيْسَ الَّذِي حَرَّمْتِهِ بِمُحَرَّمِ) – (إِذَا لَمْ تَسْتَطِعْ شَيْئًا فَدَعْهُ ... وَجاوِزْهُ إِلَى ما تَسْتَطِيْعُ). 20. IDMAJ (الإِدْمَاجُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Idmaj adalah (أَنْ يُضَمَّنَ كَلَامٌ سيق لمعنى معنى آخرَ لَمْ يُصرَّحْ به) memasukkan makna pada kalimat yang telah mempunyai makna tertentu dengan tidak menyebutkan dengan jelas di dalamnya. Contoh: Syair perkataan Ibnu Al-Mu’taz: (قدْ نَفَضَ العاشِقونَ ما صنعَ ... الهَجْرُ بألوانهمْ على وَرَقِهْ). Syair: (أُقَلِّبُ أَجْفَانِي كَأَنِّي ... أَعُدُّ بِهَا عَلَى الدَهْرِ الذُنُوْبَا). Pada syair itu, dimasukkan makna “pengaduan dosa-dosa kepada masa”, pada kalimat yang telah mempunyai makna tertentu, yaitu sifat malam yang panjang. 21. MADZHAB AL-KALAMI (المَذْهَبُ الكَلَامِي) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Madzhab Al-Kalami adalah (أن يورد المتكلم على صحة دعواه حجة قاطعة مسلمة عند المخاطب بأن تكون المقدمات بعد تسليمهما مستلزمة للمطلوب) perkataan yang dapat menunjukkan alasan bagi sesuatu yang dicari menurut cara berpikir ahli Kalam, yaitu terdiri dari Mukadimah dan Malzum untuk yang diinginkan. Contoh: Surah Al-Hajj ayat 5: (يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ). Surah Al-Rum ayat 27: (وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ). Surah Al-Anbiya’ ayat 22: (لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللهُ لَفَسَدَتَا). Kerusakan bumi dan langit adalah lazim, dan banyaknya Tuhan selain Allah adalah malzum. Dari perkataan (لفسدتا) timbul suatu alasan, bahwa menurut kenyataan tidak terjadi kerusakan, yang berarti keluar dari hukum alam, maka berarti tidak terdapat tuhan selain Allah. 22. MUZAWAJAH (المُزَاوَجَةُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Muzawajah adalah (أن يزاوج المتكلم بين معنيين في الشرط والجزاء، بأن يرتب على كل منهما معنى، رتب على الآخر) menyebutkan dua makna pada kalimat syarat dan kalimat jawab, yang keduanya dapat menimbulkan makna lain. Contoh: Syair: (إِذَا اِحْتَرَبَتْ يَوْمًا فَفَاضَتْ دِمَاؤُهَا ... تَذَكَّرَتِ القُرْبَى فَفَاضَتْ دُمُوْعُهَا). Syair: (إِذَا مَا نَهَى النَاهِي فَلَجَّ بِيَ الهَوَى ... أَصَاخَتْ إِلَى الوَاشِي فَلَجَّ بِهَا الهَجْرُ). Dua makna yang dimaksud pada syair ini adalah lafaz (نهى الناهي) yang dapat menimbulkan makna lain, yaitu (لج الهوى), dan lafaz (أصاخت إلى الواشي) yang menimbulkan makna lain (لج الهجر). 23. JAM’U (الجَمْعُ) Pengertian: Jam’u adalah seorang Mutakallim menghimpun beberapa lafaz di bawah satu hukum. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Jam’u adalah (أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ مُتَعَدِّدٍ فِي حُكْمٍ وَاحِدٍ) seorang Mutakallim menghimpun di antara makna lafaz yang berbilang di bawah satu hukum. Contoh Gabungan dua lafaz: (المَالُ وَالبَنُوْنُ زِيْنَةُ الحَيَوةِ الدُنْيَا) (وَاعْمَلُوْا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ) Gabungan lebih dari dua lafaz. Contoh: (إِنَّمَا الخَمْرُ وَالمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَيْطَانِ) (إِنَّ الشَبَابَ وَالفَرَاغَ وَالجِدَّةَ ... مَفْسَدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيَّ مَفْسَدَةٍ) (آراءه وعطاياه ونعمته ... وعفوه رحمة للناس كلهم) (آراؤكُمْ ووجوهكُمْ وسيوفكم ... في الحادثات إذا دجونَ نجومُ) 24. TAFRIQ (التَفْرِيْقُ) Pengertian: Tafriq merupakan kebalikan dari Jam’u, yaitu seorang Mutakallim menyebut dua hal kemudian dia menjelaskan perbedaan dari kedua hal tersebut. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tafriq adalah (أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ شَيْئَيْنِ مِنْ نَوْعٍ وَاحِدٍ) seorang Mutakallim sengaja menyebut dua hal yang sejenis, kemudian dia mengungkapkan perbedaan dan permisahan di antara keduanya. Pengungkapan penjelas ini bertujuan untuk memuji, mencela, menisbatkan dan tujuan-tujuan lainnya. Contoh: Surah Fathir ayat 12: (وَمَا يَسْتَوِي البَحْرَانِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَازٌ). Dalam syair: (مَا نَوَالُ الغَمَامِ وَقْتَ رَبِيْعٍ ... كَنَوَالِ الأَمِيْرِ يَوْمَ سَخَاءٍ) dan (فَنَوَالُ الأَمِيْرِ بَدْرَةُ عَيْنٍ ... وَنَوَالُ الغَمَامِ قَطْرَةُ مَاءٍ). 25. TAQSIM (التَقْسِيْمُ) Pengertian: Menurut istilah Ilmu Balaghah, Taqsim adalah (أن يذكر متعدد، ثم يضاف إلى كل من افراده، ماله على جهة التعيين) menyebutkan lafaz yang banyak, kemudian disandarkan pada sifat atau keadaan yang terjadi pada masing-masing dengan maksud menjelaskan. Contoh Surah Al-Haqqah ayat 4-6: (كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ ... فَأَمَّا ثَمُودُ فَأُهْلِكُوا بِالطَّاغِيَةِ ... وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ ). Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan lafaz yang banyak, yaitu kaum Tsamud dan kaum ‘Âd, kemudian masing-masing disandarkan pada kejadian yang menimpanya. Seperti kaum Tsamûd yang disandarkan pada kejadian yang luar biasa, dan kaum Âd yang disandarkan pada angin yang sangat dingin lagi kencang. Pembagian: (أن تستوفى أقسام الشيء) Memenuhi pembagian sesuatu. Contoh Surah Taha ayat 6: (لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ). (أن تذكر أحوال الشيء، مضافاً إلى كل منها ما يليق به) Menutur keadaan sesuatu, kemudian dimasukkan sifat yang pantas pada masing-masing. Contoh: Surah Al-Maidah ayat 54: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ). Syair: (سأطلبُ حَقي بالقَنَا ومشايخ ... كَأَنَّهُمْ مِنْ طول ما التَثَمُوْا مُرْدُ) dan (ثِقَالٌ إِذَا لَاقُوْا خِفافٌ إذا دُعُوْا ... كثير إذا شدُّوا قليلٌ إذا عُدُّوْا). Syair: (ولا يقيم على ضَيم يُرادُ به ... إلا الأَذَلَّان عِيْرُ الحيِّ والوَتَد) dan (هذا على الخسف مربوطٌ برُمَّته وذا يُشَجُّ فلا يَرثى له أَحَدُ). 26. JAM’U MA’A TAFRIQ (الجَمْعُ مَعَ التَفْرِيْقِ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Jam’u Ma’a Tafriq adalah (أن يجمع المتكلم بين شيئين في حكم واحد ثم يفرق بينهما في ذلك الحكم) mengumpulkan dua hal dalam satu hukum yang sama, kemudian dibedakan dengan keadaan masing-masing. Contoh: Surah Al-A’raf ayat 12: (قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ). Perihal iblis dan Adam pada ayat ini dikumpulkan dalam satu hukum yang sama, yaitu diciptakan (خلق), kemudian dibedakan dengan keadaan masing-masing, yaitu (نار) dari api untuk iblis dan (طين) dari tanah untuk Adam.Syair: (فوجهك كالنّار في ضوئها ... وقلبي كالنّار في حرها). 27. JAM’U MA’A TAQSIM (الجَمْعُ مَعَ التَقْسِيْمِ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Jam’u Ma’a Taqsim adalah (أن يجمع المتكلم بين شيئين أو أكثر تحت حكم واحد، ثم يقسم ما جمع – أو يقسم أولا ثم يجمع) mengumpulkan dua hal atau lebih dalam satu hukum yang sama, kemudian satu hukum ini dibagi-bagi atau dirinci pada dua hal tersebut, atau membagi hukum yang sama pada dua hal atau lebih, kemudian mengumpulkan. Pembagian: (يقسم ما جمع) membagi-bagi/merinci yang telah dikumpulkan. Contoh: Surah Al-Zumar ayat 42: (اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ). Dua hal (jiwa yang mati dan yang belum mati) pada ayat ini di kumpulkan dalam satu hukum yang sama, yaitu maut, kemudian hukum ini dirinci pada masing-masing, yaitu menahan (يمسك) untuk jiwa yang telah mati, dan melepaskan (يرسل) untuk yang belum mati. Syair: (حَتَّى أَقَامَ عَلَى أَرْبَاضِ خَرْشَنَةٍ ... تَشْقَى بِهِ الرُوْم والصُلْبانُ وَالبِيَعُ) – (للرِّق مَا نَسَلُوْا وَالقتلِ مَا وَلَدُوْا ... وَالنَّهْبِ مَا جَمَعُوْا وَالنَارِ مَا زَرَعُوْا). (يقسم أولا ثم يجمع) membagi-bagi kemudian mengumpulkan. Contoh: Syair: (قَوْمٌ إِذَا حَارَبُوْا ضَرُّوْا عَدُوَّهُمْ ... أَوْ حَاوَلُوْا النَفْعَ فِي أَشْيَاعِهِمْ نَفَعُوْا). Sifat terpuji (mamduh: memerangi) pada syair ini dibagi-bagi pada dua hal, yaitu menyiksa musuh-musuhnya (ضروا عدوهم) dan mencari keuntungan bagi pengikut-pengikutnya (حاولوا النفع في أشياعهم). Syair: (سَجِيَّةٌ تِلْكَ فِيْهِمْ غَيْرُ مُحْدَثَةٍ ... إِنَّ الخَلَائِقَ فَاعْلَمْ شَرُّها البِدَع). Hukum yang sama (watak sahabat) pada syair ini dibagi pada beberapa hal, kemudian dikumpulkan menjadi satu pada watak sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. 28. JAM’U MA’A TAFRIQ WA TAQSIM (الجَمْعُ مَعَ التَفْرِيْقِ وَالتَقْسِيْمِ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Jam’u Ma’a Tafriq wa Taqsim adalah (الجمع بين شيئين أو أشياء في حكم واحد، ثم التفريق بينها في ذلك الحكم، ثم التقسيم بين الشيئين أو الأشياء المفرقة بأن يضاف إلى كل ما يلائمه ويناسبه) mengumpulkan beberapa hal dalam satu hukum yang sama, kemudian dipisah-pidahkan dan dibagi-bagi. Contoh: Syair: (لِمُخْتَلِفِي الْحَاجَاتِ جَمْعٌ بِبَابِهِ ... فَهَذَا لَهُ فَنٌّ وَهذا لَهُ فَنُّ) – (فَلِلْخَامِلِ الْعُلْيَا وَلِلْمُعْدِمِ الْغِنَى ... ولِلْمُذْنِبِ الْعُتْبَى ولِلْخَائِفِ الأَمْنُ). Dalam Surah Huud 105-108: (يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ ... فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ ... خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ ... ۞ وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۖ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ). Lafaz (نفس) mempunyai cakupan banyak, dikumpulkan dalam satu hukum yang sama, yaitu tidak dapat berbicara. Kemudian dipisahkan menjadi dua golongan; celaka (شقي) dan bahagia (سعيد). Keduanya dibagi; ada yang mendapat nikmat di surga dan ada yang mendapat siksa di neraka. 29. MUGHAYARAH (المُغَايَرَةُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Mughayarah adalah (مدح الشيء بعد ذمه أو عكسه) memuji sesuatu setelah mencelanya atau kebalikannya. Contoh perkataan Al-Haririy dalam memuji Al-Dinar: (أَكْرِمْ بِهِ أَصْفَرَ رَاقَتْ صُفْرَتُهُ). Setelah mengejeknya dalam perkataannya: (تبَّا لَهُ مِنْ خَادِعٍ مُمَارِقٍ). 30. TAUJIH/IHAM (التَوْجِيْهُ أَوِ الإِيْهَامُ) Pengertian: Menurut bahasa, Taujih bermakna pengarahan atau bimbingan Menurut istilah Ilmu Balaghah, Taujih adalah (أن يؤتي بكلام يحتمل معنيين متضادين على السواء كهجاء ومديح ليبلغ القائل غرضه بما لا يمسك عليه) mendatangkan kalimat yang memungkinkan dua makna yang berlawanan secara seimbang, seperti mengejek, memuji, agar orang yang mengucapkan dapat mencapai tujuannya, yaitu tidak memaksudkan pada salah satunya secara eksplisit. Selain definisi di atas, ada yang menyebutkan bahwa Taujîh adalah mengucapkan suatu Kalâm Ihtimal yang memungkinkannya mempunyai dua makna yang berbeda. Al-Akhdhary dalam syairnya berkata: (وَمِنْهُ قَصْدُ الجِدِّ بِالهَزْلِ كَمَا ... يُثْنَى عَلَى الفُخُوْرِ ضِدٌّ مَا عْتَمَا). Perbedaan Taujih dan Tauriyah adalah: Tauriyah terdapat pada kata, sedangkan Taujih terdapat pada Kalam. Pada Tauriyah, dari pengertian yang dikandungnya hanya satu yang dimaksud, yaitu makna jauh. Sedangkan pada Taujih tidak jelas mana makna yang dimaksudnya. Contoh: Ucapan Basyr yang menceritakan Amru, seorang yang matanya buta: (خَاطَ لِي عَمْرٌو قُبَاءً ... لَيْتَ عَيْنَيْهِ سَوَاءٌ). Ungkapan syair di atas mempunyai dua makna. Pertama, bisa bermakna do’a agar Amr sembuh; sedangkan kedua bisa bermakna sebaliknya, yaitu agar buta keduanya. Dalam syair: (بَارَكَ اللهُ لِلْحَسَنِ ... وَلِبُوْرَانَ فِي الخِتَنِ) dan (يَا إِمَامَ الهُدَى ظَفَرْ ... تَ لَكِنْ بِبِنْتِ مَنْ). Pada syair ini terdapat Kalam yang menjelaskan permohonan keberuntungan Hasan dan Buron berupa pertunangan. Hanya pada ungkapan (ببنت من), menjadikan ungkapan tersebut bermakna Taujih, bisa berupa keagungan dan kemuliaan. Dan bisa pula berupa kerendahan dan kehinaan. Dan dari kedua makna tersebut tidak diketahui makna mana yang dimaksud oleh penyair. 31. NAFYU SYAI’ BI IJAB (نَفْيُ الشَيْءِ بِإِيْجَابٍ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Nafyu Syai’ bi Ijab adalah (أن ينفى متعلق أمر عن أمر فيوهم إثباته له والمراد نفيه عنه أيضا) me-nafyi-kan perihal yang berhubungan atas suatu perihal dan dikira menetapkan untuknya, padahal maksudnya me-nafyi-kannya juga. Contoh Surah Al-Nur ayat 37: (لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ). Disangka bahwa bagi mereka perniagaan, tetapi mereka tidak lalai dengannya, tetapi maksudnya mereka tidak mempunyai perniagaan sampai melalaikan mereka karena lelaki surga mempraktekkan perniagaan. Bahwasanya me-nafi-kan kelalaian perniagaan kepada mereka dikira menetapkan untuk mereka, padahal maksudnya untuk me-nafi-kannya juga. 32. QAUL BI AL-MUJAB (القَوْلُ بِالمُوْجَبِ) Definisi Pertama: (أن يقع في كلام الغير إثبات صفة لشيء وترتيب حكم عليها فينقل السامع تلك الصفة إلى غير ذلك الشيء من غير تعرض لثبوت ذلك الحكم له أو انتفائه) menetapkan sifat yang telah dipakai sebagai Kinâyah terhadap sesuatu dan telah mempunyai hukum (Musnad) pada sesuatu yang lain tanpa memakai (menerangkan) ada tidaknya hukum di atas. Contoh Surah Al-Munafiqun ayat 8: (يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ ۚ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ). Kata (الْأَعَزُّ) adalah sifat yang dipakai sebagai Kinayah dari orang munafik, dan lafaz (الْأَذَلَّ) Kinayah dari orang Mukmin. Kedua sifat itu telah mempunyai hukum, yaitu (لَيُخْرِجَنَّ). Namun kemudian keduanya ditetapkan pada sesuatu yang lain, yaitu (الْأَعَزُّ) untuk Allah dan lafaz (الْأَذَلَّ) untuk orang munafik, tanpa menerangkan ada tidaknya hukum di atas. Dengan demikian, seakan-akan dapat dikatakan; orang-orang yang mulia (الْأَعَزُّ) mengusir orang-orang yang hina (الْأَذَلَّ), namun kemulaian (الْعِزَّةُ) itu hanyalah bagi Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin, sedang kehinaan hanyakah bagi orang-orang munafik. Definisi Kedua: (حمل لفظ وقع في كلام الغير على خلاف مراده بذكر متعلق له) mengartikan suatu lafaz dalam pembicaraan orang lain pada selain makna yang dikehendaki, selama makna itu masih termasuk pada lafaz itu dan disebutkan lafaz yang menjadi hubungannya. Contoh: Syair: (وَقَالُوْا قَدْ صَفَتْ مِنَّا قُلُوْبٌ ... لَقَدْ صَدَقُوْا وَلَكِنْ عَنْ وِدَادِي). Syair: (قُلْتُ ثَقَّلْتُ إِذَا أَتَيْتُ مِرَارًا ... قَالَ ثَقَّلْتُ كَاهِلِي بِالأَيَادِي). Sepintas selalu, bahwa kedatangan seorang tamu dengan berulang-ulang adalah sesuatu yang memberatkan. Namun menjadi tidak berat, karena ia membawa pemberian yang banyak (rahmat). 33. I’TILAF AL-LAFZI MA’A AL-MA’NA (اِئْتِلَافُ اللَفْظِ مَعَ المَعْنَى) Pengertian: Menurut istilah Ilmu Balaghah, Uslub ini adalah (أَنْ تَكُوْنَ الأَلْفَاظُ مُوَافِقَةً للِمَعَانِي، فَتُخْتَارَ الأَلْفَاظُ الجَزِلَةُ وَالعِبَارَاتُ الشَدِيْدَةُ، لِلْفَخْرِ، وَالحَمَاسَةِ، وَالكَلِمَاتُ الرَقِيْقَةُ، وَالعِبَارَاتُ اللَيِّنَةُ لِلْغَزَلِ) keadaan beberapa lafaz sesuai dengan beberapa makna. Karena itu dipilih lafaz-lafaz yang agung dan kata-kata yang keras untuk menunjukkan kemegahan dan kesemangatan. Selain itu pula dipilih lafaz-lafaz yang lunak dan lembut untuk sanjungan. Uslub ini artinya menghimpun dua perkataan yang saling terkait, baik lafaznya maupun maknanya. Istilah ini dinamai juga dengan istilah Tanasub/keterkaitan, Tawafuq/kesesuaian dan I’tilaf/adanya pertalian. Uslub ini juga artinya menghimpun dua hal atau beberapa hal yang bersesuaian. Hal-hal tersebut tidak dilihat dari aspek tersusunnya Dari definisi ini, kita bisa mengambil beberapa poin. Pertama, adanya kesesuaian antara dua lafaz atau ungkapan. Kedua, makna kesesuaian pada konsep ini tidak dimaknai sebagai kebalikan dari lawan kata/Mudhad. Contoh: Penggabungan pada dua hal. Contoh: (الشَمْسُ وَالقَمَرُ بِحُسْبَانِ) dan (هُوَ السَمِيْعُ البَصِيْرُ). Penggabungan pada beberapa hal. Contoh: Surah Al-Baqarah ayat 16: (أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ). Pada contoh ini terdapat ungkapan (أولئك الذين اشتروا الضلالة بالهدى). Setelah ungkapan ini dilanjutkan dengan ungkapan (فما ربحت تجارتهم). Ungkapan terakhir tersebut dimunculkan sebagai penutup yang sesuai dengan ungkapan sebelumnya Surah Al-An’am ayat 103: (لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ). Pada ayat ini diakhiri dengan ungkapan (اللطيف الخبير). Ungkapan (اللطيف) sesuai untuk ungkapan (لا تدركه الأبصار) dan ungkapan (الخبير) sesuai untuk ungkapan (وهو يدرك الأبصار). 34. TAFRI’ (التَفْرِيْعُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tafri’ adalah (أن يثبت حكم لمتعلق أمر بعد إثباته لمتعلق له آخر) menetapkan suatu hukum pada makna yang berhubungan dengan perkara lain setelah terlebih dahulu ditetapkan pada yang lain dengan cara-cara yang menunjukkan adanya Tafri’/Tasybih. Contoh: Syair: (أَحْلَامُكُمْ لِسَقَامِ الجَهْلِ شَافِيَةٌ ... كَمَا دِمَائُكُمْ تُشْفِي مِنَ الكَلْبِ). Syair ini bermaksud menetapkan hukum Tasyfr/menyembuhkan pada maka (دماء) darah yang berhubungan dengan perkara lain (Dhamir Kum, Ahli Bait), setelah terlebih dahulu ditetapkan lafaz (الشافية) pada yang lain, yaitu (أحلامكم) dengan cara Tasybih. Syair: (فَاضَتْ يَدَاهُ بِالنَضَارِ كَمَا ... فَاضَتْ ظِبَاه ُفِي الوغَى بِدَمِي). 35. ISTITBA’ (الاسْتِتْبَاعُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Istitba’ adalah (الوصف بشيء على وجه يستتبع الوصف بشيء آخر مدحا أو ذما يعني أن الاستتباع هو المدح على وجه يستتبع المدح بأمر آخر) memuji seseorang dengan satu perkara, kemudian diikuti pujian yang lain. Contoh: Pujian/Madh Syair: (نَهَبْتَ مِنَ الأَعْمَارِ مَا لَوْ حَوَيْتُهُ ... لَهَنَّئَتِ الدُنْيَا بِأَنَّكَ خَالِدٌ). Mulanya penyair ini memuji kegagahan Khalid, karena mampu merampas banyak nyawa. Kemudian diikuti pujian yang lain, bahwa dengannya dunia menjadi tentram dan aman. Syair: (أَلَا أَيُّهَا المَال الَّذِي قَدْ أَبَادَهُ ... تَسَلَّ فَهَذَا فِعْلُهُ بِالكتَائِب). Syair: (سَمْحُ البَدِيْهَةِ لَيْسَ يُمْسِكُ لَفْظَهُ ... فَكَأَنَّمَا أَلْفَاظُهُ مِنْ مَالِهِ). Syair: (الحَرْبُ نُزْهَتُهُ وَالبَأْسُ هَمَّتُّهُ ... وَالسَيْفُ عَزْمَتُهُ وَاللهُ نَاصِرُهُ). Celaan/Zhamm. Syair: (أَتَرَى القَاضِيَ أَعْمَى ... أَمْ تَرَاهُ يَتَعَامَى) – (سَرَقَ العِيْدَ كَأَنَّ الــــــ ... ــــعيدَ أَمْوَالُ اليَتَامَى). 36. SALB & IJAB (السَلْبُ وَالإِيْجَابُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Uslub ini adalah (أن يقصد المتكلم اختصاص شيء بصفة، فينفيها عن جميع الناس ثم يثبت له مدحا أو ذما) Mutakallim bermaksud mengkhususkan sesuatu dengan suatu sifat, lalu me-nafi-kannya atas seluruh manusia kemudian menetapkan baginya suatu pujian atau hinaan. Contoh: Pujian. Contoh: (وَمَا بَلَغَتْ كَفُّ امرئٍ مُتَنَاوَلَا ... مِنَ المَجْدِ إِلَّا وَالَّذِي نِلْتَ أَطْوَلُ) dan (وَلَا بَلَغَ المُهْدُوْنَ للنَاسِ مِدْحَةً ... وَإِنْ أَطْنَبُوْا إِلَّا الَّذِي فِيْكَ أَفْضَلُ). Celaan. Contoh: (خُلِقُوْا وَمَا خُلِقُوْا لِمَكْرُمَةٍ ... فَكَأَنَّهُمْ خُلِقُوْا وَمَا خُلِقُوْا) dan (رُزِقُوْا وَمَا رُزِقُوْا سَمَا يَدٍ ... فَكَأَنَّهُمْ رُزِقُوْا وَمَا رُزِقُوْا). 37. IBDA’ (الإبداع) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Ibda’ adalah (أن يكون الكلام مشتملا على عدة أنواع من البديع) pembicaraan Mutakallim melingkupi beberapa macam dari Badi’. Contoh syair: (فَضَحْتَ الحَيَا وَالبَحْرَ جُوْدًا فَقَدْ بَكَى الــــــ ... ــحَيَا مِنْ حَيَاءٍ مِنْكَ وَالْتَطَمَ البَحْرُ). 38. USLUB AL-HAKIM (الأَسْلُوْبُ الحَكِيْمُ) Pengertian: Menurut bahasa, kata Uslub artinya jalan, cara, sistem dan metode. Kata Hakim artinya orang yang mengetahui serta teliti dalam semua perkara. Menurut istilah Ilmu Balaghah, Uslub Al-Hakim adalah (تلقي المخاطب بغير ما يترقبه إما بترك سؤاله والإجابة عن سؤال لم يسأله وإما بحمل كلامه على غير ما كان يقصد إشارة إلى أنه كان ينبغي له أن يسأل هذا السؤال أو يقصد هذا المعنى) melontarkan kepada Mukhatab pembicaraan yang tidak diinginkan, baik dengan cara meninggalkan pertanyaannya dan memberi jawaban yang tidak ditanyakan, atau dengan membelokan pembicaraan kepada masalah yang tidak ia maksudkan. Hal ini sebagai pertanda bahwa selayaknya Mukhatab itu menanyakan atau membicarakan masalah yang kedua (pembicaraan orang yang melayani) itu. Contoh: Surah Al-Baqarah ayat 189: (يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالحَجِّ). Bila kita perhatikan contoh di atas, kita dapatkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bertanya kepada beliau tentang keadaan bulan yang semula kecil lalu menjadi besar dan akhirnya menjadi kecil kembali. Hal ini adalah salah satu masalah ilmu falak, yang untuk memahaminya diperlukan pengkajian detail dan serius. Oleh karena itu, Al-Qur’an memalingkan mereka dari masalah itu dengan menjelaskan bahwa bulan itu merupakan tanda untuk mengetahui waktu bekerja dan beribadah. Ini merupakan sebuah isyarat bahwa sebaiknya mereka bertanya tentang faedah ini, juga menunjukkan bahwa pembahasan ilmu harus sedikit diundurkan hingga suasana menjadi mantap dan kekuatan Islam tidak tergoyahkan. Ibnu Hajjaj berkata: (قُلْتُ: ثَقَّلْتُ إِذَ أتَيْتُ مِرَارًا قَالَ: ثَقلتَ كاهلي بالايادي) – (قَلْتُ: طَوَّلْتُ، قَالَ: أوليت طُوْلًا قُلْتُ: أَبْرَمْتُ، قَالَ: حَبْلَ وِدَادِي). Pada contoh Uslub Al-Hakim ini teman Ibnu Hajjaj berkata bahwa ia telah memberatkannya sering berkunjung kepadanya. Maka Ibnu Hajjaj memalingkannya dari pernyataannya itu dengan cara menjawab ungkapan yang mengandung nilai seni dan lembut. Lalu ia berkata dengan makna lain: “Kamu telah memberatkan punggungku dengan banyak nya kenikmatan yang kamu berikan.” Keindahan bahasa yang demikian disebut Uslub Al-Hakim (gaya bahasa orang yang bijaksana). Kalimat: (قِيْلَ لِشَيْخٍ هَرِمٍ: كَمْ سِنُّكَ؟ فَقَالَ: إِنِّي أَنْعَمُ بِالعَافِيَةِ). Pada contoh ini, si penanya bertanya kepada kakek itu tentang usianya dan kakek itu tidak memberikan jawaban seperti yang diharapkan oleh si penanya, justru ia memberikan jawaban lain yang berhubungan dengan kesehatannya. Seolah-olah kakek itu mengingatkan bahwa masalah yang terpenting baginya bukan jumlah usia, tetapi kesehatan yang dapat membuatnya bahagia. 39. TASYABUH AL-ATHRAF (تشابه الأطراف) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tasyabih Al-Athraf Maknawi adalah (أن يختم المتكلم كلامه بما يناسب ابتداءه في المعنى) Mutakallim mengakhiri pembicaraannya dengan apa yang sesuai dengan permulaannya dalam maknanya. Contoh: (أَلَذُّ مِنَ السِحْرِ الحَلَالِ حَدِيْثُهُ ... وَأَعْذَبُ مِنْ مَاءِ الغَمَامَةِ رِيْقُهُ). Makna (الريق) sesuai dengan lafaz (اللذة) di awal bait. Tasyabuh Al-Athraf Lafzi dibagi dua: (أن ينظر الناظم أو الناثر إلى لفظة وقعت في آخر المصراع الأول أو الجملة فيبدأ بها المصراع الثاني أو الجملة التالية) Nadzim atau Natsir melihat kepada lafaz yang terdapat di akhir pertengahan awal bait syair atau kalimat maka dimulai dengannya tengah kedua bait syair atau kalimat berikutnya. Contoh Surah Al-Nur ayat 35: (مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ). (أن يعيد الناظم لفظة القافية من كل بيت في أول البيت الذي يليه) Nadzim mengulangi lafaz Qafiyah dari setiap bait dalam awal bait yang setelahnya. Contoh: Syair: (رمَتْنِي وسِتْرُ الله بيني وبينها ... عَشِيَةَ آرام الكناس رَمِيْمُ) dan (رميم التي قالت لجيران بيتها ... ضمنت لكم ألا يزال يهيمُ ). Syair: (اذا نزل الحجَّاجُ أرضاً مريضة ... تتبّع أقصى دائِها فشفاها) (شفاها من الدّاء العضال الذي بها ... غلامٌ إذا هزَّ القناة سقاها) dan (سقاها فروَّاها بِشُرْبٍ سَجَالها ... دماءَ رجالٍ حيثُ مال حَشَاهَا). 40. AL-‘AKS (العكس) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Al-‘Aks adalah (أن تُقَدِّمَ في الكلام جزءا ثم تعكس بأن تقدم ما أخرت وتؤخر ما قدمت) mendahulukan satu unsur kalimat dan mengakhirkan yang lain, kemudian menyebutkan keduanya secara terbalik. Pembagian Al-‘Aks: (أن يقع بين أحد طرفي جملة وما أضيف إليه ذلك الطرف) Terjadi diantara salah satu dari dua ujungnya kalimat dan lafaz yang di-idhafah-kan padanya. Contoh: (إذا أمطرَتْ مِنْهُمْ وَمِنْكَ سحابةٌ ... فوابلُهمْ طَلٌّ وَطَلُّكَ وَابِلُ). (أن يقع بين متعلقي فعلين في جملتين) Terjadi pada dua lafaz yang berhubungan (Muta’alliq) dengan Fi’il dalam dua Jumlah. Surah Yunus ayat 31: (وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ). (أن يقع بين لفظين في طرفي الجملتين) Terjadi diantara dua lafaz pada dua ujung nya dua jumlah. Contoh Surah Al-Mumtahanah ayat 10: (لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ). (أن يقع بين طرفي الجملتين) Terjadi diantara dua ujungnya dua jumlah. Contoh: (طَوَيْتُ بإحرازِ الفنون ونَيْلها ... رداءَ شَبَابٍ وَالجُنونُ فُنُوْنُ) dan (فحين تَعاطَيْتُ الفنون وحظَّها ... تَبَيَّنَ لِي أَنَّ الفنونَ جُنُوْنُ). (أن يكون بترديد مصراع البيت معكوسا) Terjadi dengan pengulangan setengah bait syair secara berkebalikan. Contoh: (إِنَّ للوَجد فِي فُؤَادِي تَرَاكُمْ ... لَيْتَ عيني قَبْلَ المَمَاتِ تَرَاكُمْ) dan (فِي هَوَاكُمْ يَا سَادَتِي مِتُّ وَجٍدًا ... مِتُّ وَجَدَا يَا سادتي في هَوَاكُمْ). 41. TAJAHUL ‘ARIF (تجاهل العارف) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tajahul ‘Arif adalah (سؤال المتكلم عما يعلمه حقيقة تجاهلا منه لنكتة كالتوبيخ) pertanyaan seseorang tentang sesuatu yang pada hakekatnya telah ia ketahui, karena terdapat maksud tertentu, seperti Mubalaghah atau Ta’ajjub. Contoh: Mubalaghah: (أَلَمْعُ بَرْقٍ سَرَى أَمْ ضَوْءُ مِصْبَاحٍ ... أَمِ ابْتِسَامَتُهَا بِالمَنْظَرِ الضَاحِى). Pada hakekatnya, penyair mengetahui, bahwa yang gemerlapan adalah senyuman kekasihnya. Namun karena untuk memujinya lebih banyak, seakan-akan ia tidak mengetahuinya, sehingga ia meraba-raba pada selainnya. Ta’ajjub: (أَفَسِحْرٌ هَذَا أَمْ أَنْتُمْ لَا تُبْصِرُوْنَ). 42. ITHTHIRAD (الاطراد) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Iththirâd adalah (أن يأتي بأسماء الممدوح أو غيره وآبائه على ترتيب الولادة من غير تكلف في السبك حتى تكون الأسماء في تحدرها) suatu ungkapan yang mengandung penyebutan nama dari beberapa bapak atau anak secara tertib dan mutlak serta berturut-turut. Contoh ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: (يَا الكَرِيْمُ! يَا الكَرِيْمُ! يَا الكَرِيْمُ! يَا الكَرِيْمُ! يُوْسُفُ، يَعْقُوْبُ، إِسْحَاقُ، إِبْرَاهِيْمُ. أَنْ يَقْتُلُوْكَ فَقَدْ ثَلَّلَتْ عُرُوْشَهُمْ ... بِعُتَيْبَةَ بْنَ الحَارِسَ بْنَ شِهَابٍ). Pada kedua contoh di atas terdapat aspek Badî’, Iththirâd. Jenis ungkapan tersebut pada contoh pertama terdapat pada penyebutan nama Yusuf, Ya'qub, Ishak, dan Ibrahim. Sedangkan pada contoh kedua terdapat pada ungkapan 'Uthaibah bin Harits bin Syihab. Pada keduanya terdapat pengungkapan nama ayah dan anak secara tertib. 43. AL-HAZL ALLADZI YURADU BIHI AL-JIDD (الهَزْلُ الَّذِي يُرَادُ بِهِ الجِدُّ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Uslub ini adalah (أن يذكر الشيء على سبيل اللعب والمباسطة ويقصد به أمر صحيح في الحقيقة) bermaksud (mencela) sungguh-sungguh dengan cara bermain-main dan sederhana padahal dimaksudkan dengannya pada hakikatnya perihal yang benar. Contoh: Syair: (إِذَا مَا تَمِيْمِيٌّ أَتَاكَ مُفَاخِرًا ... فَقُلْ عُدَّ عَنْ ذَا كَيْفُ أَكْلُكَ لِلضَّبِّ). Penyair ini sebenarnya mencela seseorang (golongan Tamim) yang suka menerima pemberian orang lain dan suka memakan daging biawak. Namun penyair hanya memakai perkataan “yang main-main”. Syair: (وَقَدْ علمتْ سَلْمَى وَإِنْ كَانَ بَعْلَهَا ... بِأَنَّ الفَتَى يَهْذِي وَلَيْسَ بِفَعَّالٍ). 44. RUJU’ (الرجوع) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Ruju’ adalah (العود على الكلام السابق بالنقض لنكتة) kembali kepada kalam yang sebelumnya dengan bantahan/sangkalan untuk lelucon/anekdot. Contoh: Perkataan Zuhair: (قِفْ بِالدِيَارِ الَّتِي لَمْ يَعْفُهَا القِدَمُ # بَلَى وَغَيَّرَهَا الأَرْوَاحُ وَالدِيَمُ). Syair: (أليس قليلًا نظرةٌ إِنْ نظرتُهَا # إليك وكَلَّا ليس منكِ قليل). Perkataan: (فَأُفٍّ لِهَذَا الدَهْرِ لَا بَلْ لِأَهْلِهِ). 45. TADBIJ (التدبيج) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Tadbij adalah (التقابل بين ألفاظ الألوان) menghadapkan antara lafaz-lafaz warna-warna. Syair: (تَرَدَّى ثِيَابَ المَوْتِ حُمْرًا فَمَا أَتَى # لَهَا الليلُ إِلَّا وَهْيَ مِنْ سُنْدُسٍ خُضْرُ). 46. IRSAL AL-MITSAL WA AL-KALAM AL-JAMI’ (إِرْسَالُ المِثَالِ وَالكَلَامُ الجَامِعُ) Menurut istilah Ilmu Balaghah, Uslub ini adalah (أن يؤتي بكلام صالح لأن يتمثل به في مواطن كثيرة) datang dengan Kalam bermanfaat untuk mengikuti dengannya dalam banyak tempat. Yang pertama berupa sebagian bait, yang kedua berupa bait sempurna. Contoh: Uslub Pertama: (........ # ليس التَكَحُّلُ فِي العَيْنَيْنِ كَالكَحَلِ). Uslub Kedua: (إِذَا جَاءَ مُوْسَى وَأَلْقَى العَصَا # فَقَدْ بَطَلَ السِحْرُ وَالسَاحِرُ).