BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat muhkamaat (jamak dari muhkam) yang semuanya merupakan pokok-pokok Alquran. Yaitu ayat-ayat yang jelas dan terang pengertiannya, yang tidak ada kesamaran bagi siapa pun. Selain itu ada ayat-ayat lainnya (mutasyaabihaat – jamak dari mutasyaabih), yaitu ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kesamaran pengertian bagi kebanyakan atau sebagian orang. Maka barangsiapa mengembalikan yang samar itu kepada yang jelas dari Alquran, serta menjadikan ayat yang muhkam sebagai penentu bagi yang mutasyaabih, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa melakukan hal yang sebaliknya, maka dia pun akan memetik akibat yang sebaliknya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Itulah pokok pokok isi Alquran. “Yaitu pokok yang menjadi rujukan ketika menemukan kesamaran. “Dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyaabihaat. ” Di mana kandungan yang dimaksud oleh ayat yang mutasyaabihaat ini sesuai dengan makna yang ada pada ayat yang muhkam, sebab terkadang kesamarannya itu dari segi lafaz dan susunannya saja, bukan dari segi maknanya.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muhkamaat dan ayat-ayat mutasyaabihaat ini. Banyak ungkapan mengenai hal ini yang diriwayatkan dari para ulama Salaf. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat-ayat muhkamaat itu adalah ayat-ayat yang menasakh, ayat-ayat mengenai halal dan haram, huduud (hukuman), hukum-hukum, apa yang diperintahkan dan apa yang harus dikerjakan. Dan dikatakan pula mengenai ayat-ayat mutasyaabihaat; yaitu yang dinasakh, didahulukan, diakhirkan, perumpamaan-perumpamaan, sumpah, dan apa yang harus dipercayai tetapi bukan hal yang diamalkan. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat mutasyaabihaat adalah huruf-huruf yang terpotong di awal-awal surat. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Muqatil bin Hayyan.
Dengan demikian, ayat-ayat mutasyaabihaat adalah lawan dari ayat-ayat muhkamaat. Dan pendapat yang paling baik adalah yang akan segera kami kemukakan, yaitu yang diungkapkan oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar ketika dia mengatakan, “Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,” maka ayat-ayat muhkamaat itu adalah hujjah Allah, pegangan bagi hamba, dan penolak bantahan yang bathil. Ayat-ayat yang tidak mengenal tashrif (penyimpangan) dan tahrif (perubahan) dari apa yang telah ditetapkan atasnya. Lebih lanjut, Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata, “Ayat-ayat mutasyaabihaat dalam hal kebenaran itu tidak boleh ada tashrif, tahrif dan takwil di dalamnya. Dengan ini Allah menguji hamba-hamba-Nya sebagaimana Dia telah menguji mereka dalam masalah halal dan haram. Agar dengan demikian, benar-benar ayat-ayat tersebut tidak disimpangkan kepada (sesuatu) yang batil dan tidak pula dirubah dari kebenaran. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan,” yaitu kesesatan dan keluar dari kebenaran menuju kepada kebathilan, “Maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat.” Yaitu, mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasyaabihaat saja yang memungkinkan bagi mereka untuk merubahnya kepada maksud-maksud mereka yang rusak, lalu mereka menempatkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan maksud-maksud mereka, dikarenakan lafaznya memiliki kemungkinan (atas) kandungan tersebut. Sedangkan ayat-ayat muhkamaat tidak ada bagian untuk mereka, karena ayatnya sendiri terlindung bagi mereka sekaligus sebagai bantahan yang mengalahkan mereka.
Firman-Nya (ابتغاء الفتنة) yaitu usaha untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan memberikan kesamaran kepada para pengikutnya bahwa mereka melandasi bid’ah mereka itu dengan Alquran, padahal Alquran itu sendiri adalah hujjah yang membatalkan, bukan sebagai pendukung. Sebagaimana orang-orang Nasrani (ketika) berhujjah, Alquran telah menyatakan bahwa Isa itu adalah ruh dan kalimat Allah yang disampaikan kepada Maryam sekaligus bagian dari ruh Allah. Tetapi mereka tidak berhujjah dengan firman Allah: “’Isa itu tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).” Dan juga firman-Nya dalam Surah Ali Imraan ayat 59 yang artinya: “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia),’ maka jadilah ia. ” Dan ayat-ayat muhkam lainnya yang secara jelas menyebutkan bahwa ‘Isa bin Maryam itu merupakan salah satu makhluk Allah Ta’ala yang diciptakan dan sekaligus hamba dan Rasul dari para Rasul Allah.
Firman-Nya (وابتغاء تأويله) yaitu merubahnya kepada apa yang menjadi kehendak mereka. Muqatil bin Hayyan dan As-Suddi berkata; “Mereka berusaha untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan akibat dari berbagai hal melalui Alquran.” Imam Ahmad meriwayatkan dari’Aisyah, dia berkata:
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Kamil telah menceritakan kepada kami, Hammad menceritakan kepada kami, dari Abu Ghalib, di mana ia berkata, aku pernah mendengar Abu Umamah menyampaikan sebuah hadis dari Nabi, mengenai firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat,” beliau mengatakan: “Mereka itulah golongan Khawarij.” Dan juga mengenai firman-Nya dalam Surah Ali Imraan ayat 106 yang artinya: “Pada hari yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.” Beliau mengatakan: “Mereka (muka yang hitam muram) itulah golongan Khawarij.”
Hadis ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui jalur lain, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, lalu beliau menyebutkan minimal derajat hadis ini mauquf dari perkataan Sahabat. Namun demikian, makna hadis ini sahih, karena bid’ah yang pertama kali terjadi dalam Islam adalah fitnah kaum Khawarij. Yang menjadi penyebab pertama mereka dalam hal itu adalah masalah dunia, yaitu ketika Nabi membagikan ghanimah Hunain (harta rampasan perang pada perang Hunain), maka dalam akal pemikiran mereka yang rusak seolah-olah melihat bahwa beliau tidak adil dalam pembagian tersebut. Sikap mereka itu mengejutkan Nabi. Lalu juru bicara mereka, yaitu Dzul khuwaishirah (si pinggang kecil) -semoga Allah membelah pinggangnya-, berkata: “Berlaku adillah engkau, sebab engkau telah berlaku tidak adil.” Lalu Rasulullah bersabda:
Maka ketika orang itu berpaling, ‘Umar bin al-Khaththab (menurut riwayat lain, Khalid bin Al-Walid) meminta izin untuk membunuhnya, maka beliau bersabda:
Setelah itu mereka muncul pada masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dan mereka dibunuh di Nahrawan. Kemudian lahirlah dari mereka ini berbagai kelompok, golongan, pendapat, kesesatan, ungkapan-ungkapan dan aliran-aliran yang sangat banyak dan menyebar di mana-mana. Maka muncullah aliran Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan kelompok bid’ah seperti yang telah diberitahukan oleh Rasulullah melalui sabda beliau berikut ini:
Firman-Nya (وما يعلم تأويله إلا الله) para qu-ra’ (ahli dalam bacaan Alquran) berbeda pendapat mengenai wagaf (pemberhentian bacaan) di sini. Dikatakan dari Ibnu `Abbas bahwa waqaf itu pada lafaz Allah Ta’ala, dia berkata: “Tafsir itu terbagi menjadi empat macam; yakni tafsir yang tidak sulit bagi seseorang untuk memahaminya, tafsir yang dimengerti oleh bangsa Arab melalui bahasanya sendiri, tafsir yang dimengerti oleh para ulama, dan tafsir yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah saja.” Perkataan di atas diriwayatkan dari ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Sya’tsa’, Abu Nuhaik, dan lain-lainnya. Dan di antara para qurra’ ada yang berpendapat bahwa waqaf itu pada kata “war raasikhuuna fil ‘ilmi”. Pendapat mereka ini diikuti oleh banyak ahli tafsir dan ahli ilmu ushuulul fiqh. Mereka mengatakan: “Suatu percakapan yang tidak dapat dipahami adalah hal yang tidak mungkin.” Ibnu Abi Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Aku termasuk salah seorang yang mendalami ilmu (raa-sikhun) yang mengetahui takwilnya.” Dan orang-orang yang mendalami ilmu (raasikhuun) mengatakan: “Kami beriman kepadanya.” Kemudian mereka mengembalikan takwil ayat-ayat mutasyaabihaat kepada apa yang mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muhkamaat yang mana tidak ada seorang pun yang mentakwil kecuali takwil yang sama. Maka dengan pendapat mereka, serasilah seluruh isi Alquran yang mana sebagian ayat membenarkan sebagian lainnya. Dengan demikian, hujjah menjadi tegak berdiri dan alasan pun tidak bisa diterima, sedang kebathilan tersingkir, dan kekufuran pun tertolak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendo’akan Ibnu ‘Abbas:
Di antara para ulama ada yang memberikan uraian rinci mengenai hal ini. Mereka mengatakan: “Takwil itu mengandung pengertian umum, sedangkan di dalam Alquran mengandung dua makna. Salah satunya ialah takwil yang berarti hakikat sesuatu dan apa yang permasalahannya dikembalikan kepadanya,” di antaranya firman Allah Ta’ala Surah Yusuf ayat 100 yang artinya: “Wahai ayahku, inilah takwil mimpiiku yang dahulu itu.” Dan Firman-Nya dalam Surah Al-A’raaf ayat 53 yang artinya: “Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali takwil (terlaksananya kebenaran) Alquran itu. Pada hari datangnya kebenaran (takwil) pemberitaan Alquran itu.”) Yaitu, hakikat apa yang diberitahukan kepada mereka mengenai masalah hari akhir. Jika yang dimaksudkan dengan takwil adalah dalam pengertian ini, maka waqaf itu adalah ada pada lafaz Allah Ta’ala (وما يعلم تأويله إلا الله). Karena hakekat dan esensi segala sesuatu tidak diketahui secara detail kecuali oleh Allah Ta’ala demikian, firman-Nya (والراسخون في العلم) adalah mubtada’ sedangkan (يقولون آمنا به) adalah khabar (predikat).
Tetapi jika yang dimaksud dengan takwil itu adalah arti lain, yaitu tafsir, keterangan, dan penjelasan mengenai sesuatu hal, seperti firman-Nya dalam Surah Yusuf ayat 36 yang artinya: ”Berikanlah kepada kami takwilnya,” yakni tafsirnya, maka waqaf itu terletak pada (والراسخون في العلم) karena mereka mengetahui dan memahami apa yang dikatakan kepada mereka dengan ungkapan seperti itu, meskipun mereka tidak mengetahui hakikatnya secara detail.
Firman-Nya (يقولون آمنا به) atas dasar sebelumnya, maka jadilah lafaz ini kedudukannya sebagai haal, yang menerangkan keadaan mereka. Dan bisa juga menjadi ma’thuf, bukan ma’thuf ‘alaih, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr ayat 8 yang artinya: “Bagi Para kaum fakir yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta mereka –(sampai dengan firman-Nya)- mereka berdoa, “Ya Rabb kami, berikanlah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami. ” Dan seperti firman-Nya dalam Surah Al-Fajr ayat 22 yang artinya: “Dan datanglah Rabbmu, sedang Malaikat berbaris-baris.” Yaitu, Malaikat datang baris demi baris.
Firman-Nya tersebut memberitahukan bahwa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) mengatakan: “Kami beriman kepadanya,” yakni ayat-ayat mutasyaabihaat. Semuanya berasal dari Rabb kami. Yakni, baik yang muhkam maupun yang mutasyaabih adalah haq dan benar. Keduanya saling membenarkan dan menguatkan, karena semuanya itu berasal dari Allah Ta’ala sebab tidak ada sesuatu pun yang berasal dari-Nya saling berbeda dan bertentangan antara satu dengan lainnya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisaa’ ayat 82 yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Firman-Nya (وما يذكروا إلا أولوا الألباب) maksudnya, yang dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan mempunyai pemahaman yang benar. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar suatu kaum bertengkar maka beliau bersabda:
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ
ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ
مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ
وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ
رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Alquran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.”Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” Allah Ta’ala memberitahukan bahwa di dalam Alquran terdapat ayat-ayat muhkamaat (jamak dari muhkam) yang semuanya merupakan pokok-pokok Alquran. Yaitu ayat-ayat yang jelas dan terang pengertiannya, yang tidak ada kesamaran bagi siapa pun. Selain itu ada ayat-ayat lainnya (mutasyaabihaat – jamak dari mutasyaabih), yaitu ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kesamaran pengertian bagi kebanyakan atau sebagian orang. Maka barangsiapa mengembalikan yang samar itu kepada yang jelas dari Alquran, serta menjadikan ayat yang muhkam sebagai penentu bagi yang mutasyaabih, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa melakukan hal yang sebaliknya, maka dia pun akan memetik akibat yang sebaliknya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Itulah pokok pokok isi Alquran. “Yaitu pokok yang menjadi rujukan ketika menemukan kesamaran. “Dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyaabihaat. ” Di mana kandungan yang dimaksud oleh ayat yang mutasyaabihaat ini sesuai dengan makna yang ada pada ayat yang muhkam, sebab terkadang kesamarannya itu dari segi lafaz dan susunannya saja, bukan dari segi maknanya.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muhkamaat dan ayat-ayat mutasyaabihaat ini. Banyak ungkapan mengenai hal ini yang diriwayatkan dari para ulama Salaf. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat-ayat muhkamaat itu adalah ayat-ayat yang menasakh, ayat-ayat mengenai halal dan haram, huduud (hukuman), hukum-hukum, apa yang diperintahkan dan apa yang harus dikerjakan. Dan dikatakan pula mengenai ayat-ayat mutasyaabihaat; yaitu yang dinasakh, didahulukan, diakhirkan, perumpamaan-perumpamaan, sumpah, dan apa yang harus dipercayai tetapi bukan hal yang diamalkan. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat mutasyaabihaat adalah huruf-huruf yang terpotong di awal-awal surat. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Muqatil bin Hayyan.
Dengan demikian, ayat-ayat mutasyaabihaat adalah lawan dari ayat-ayat muhkamaat. Dan pendapat yang paling baik adalah yang akan segera kami kemukakan, yaitu yang diungkapkan oleh Muhammad bin Ishaq bin Yasar ketika dia mengatakan, “Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,” maka ayat-ayat muhkamaat itu adalah hujjah Allah, pegangan bagi hamba, dan penolak bantahan yang bathil. Ayat-ayat yang tidak mengenal tashrif (penyimpangan) dan tahrif (perubahan) dari apa yang telah ditetapkan atasnya. Lebih lanjut, Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata, “Ayat-ayat mutasyaabihaat dalam hal kebenaran itu tidak boleh ada tashrif, tahrif dan takwil di dalamnya. Dengan ini Allah menguji hamba-hamba-Nya sebagaimana Dia telah menguji mereka dalam masalah halal dan haram. Agar dengan demikian, benar-benar ayat-ayat tersebut tidak disimpangkan kepada (sesuatu) yang batil dan tidak pula dirubah dari kebenaran. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan,” yaitu kesesatan dan keluar dari kebenaran menuju kepada kebathilan, “Maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat.” Yaitu, mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasyaabihaat saja yang memungkinkan bagi mereka untuk merubahnya kepada maksud-maksud mereka yang rusak, lalu mereka menempatkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan maksud-maksud mereka, dikarenakan lafaznya memiliki kemungkinan (atas) kandungan tersebut. Sedangkan ayat-ayat muhkamaat tidak ada bagian untuk mereka, karena ayatnya sendiri terlindung bagi mereka sekaligus sebagai bantahan yang mengalahkan mereka.
Firman-Nya (ابتغاء الفتنة) yaitu usaha untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan memberikan kesamaran kepada para pengikutnya bahwa mereka melandasi bid’ah mereka itu dengan Alquran, padahal Alquran itu sendiri adalah hujjah yang membatalkan, bukan sebagai pendukung. Sebagaimana orang-orang Nasrani (ketika) berhujjah, Alquran telah menyatakan bahwa Isa itu adalah ruh dan kalimat Allah yang disampaikan kepada Maryam sekaligus bagian dari ruh Allah. Tetapi mereka tidak berhujjah dengan firman Allah: “’Isa itu tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).” Dan juga firman-Nya dalam Surah Ali Imraan ayat 59 yang artinya: “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia),’ maka jadilah ia. ” Dan ayat-ayat muhkam lainnya yang secara jelas menyebutkan bahwa ‘Isa bin Maryam itu merupakan salah satu makhluk Allah Ta’ala yang diciptakan dan sekaligus hamba dan Rasul dari para Rasul Allah.
Firman-Nya (وابتغاء تأويله) yaitu merubahnya kepada apa yang menjadi kehendak mereka. Muqatil bin Hayyan dan As-Suddi berkata; “Mereka berusaha untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan akibat dari berbagai hal melalui Alquran.” Imam Ahmad meriwayatkan dari’Aisyah, dia berkata:
قَرَأَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {هُوَ الَّذِي أَنزلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ [فَأَمَّاالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ] (5) } إِلَى قَوْلِهِ:
{أُولُو الألْبَابِ} فَقَالَ: "فَإِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يُجَادِلُون
فِيهِ فَهُمُ الَّذِينَ عَنَى اللهُ فَاحْذَرُوهُمْ .
Artinya: “Rasulullah pernah membaca ayat, “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Alquran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Alquran. Dan (isi) yang lain adalah ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, dan semuanya itu dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya melainkan orang-orang yang berakal.” Lalu beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan tentang Alquran, maka mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.” (HR. Ahmad 6/48, Imam Al-Bukhari ketika menafsirkan ayat ini, Imam Muslim dalam kitab Al-Qadar dari Kitab Sahihnya, Ibnu Majah 47 dan Abu Dawud dalam As-Sunnah pada Kitab Sunannya) Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Kamil telah menceritakan kepada kami, Hammad menceritakan kepada kami, dari Abu Ghalib, di mana ia berkata, aku pernah mendengar Abu Umamah menyampaikan sebuah hadis dari Nabi, mengenai firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian dari ayat-ayat yang mutasyaabihaat,” beliau mengatakan: “Mereka itulah golongan Khawarij.” Dan juga mengenai firman-Nya dalam Surah Ali Imraan ayat 106 yang artinya: “Pada hari yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.” Beliau mengatakan: “Mereka (muka yang hitam muram) itulah golongan Khawarij.”
Hadis ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih melalui jalur lain, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, lalu beliau menyebutkan minimal derajat hadis ini mauquf dari perkataan Sahabat. Namun demikian, makna hadis ini sahih, karena bid’ah yang pertama kali terjadi dalam Islam adalah fitnah kaum Khawarij. Yang menjadi penyebab pertama mereka dalam hal itu adalah masalah dunia, yaitu ketika Nabi membagikan ghanimah Hunain (harta rampasan perang pada perang Hunain), maka dalam akal pemikiran mereka yang rusak seolah-olah melihat bahwa beliau tidak adil dalam pembagian tersebut. Sikap mereka itu mengejutkan Nabi. Lalu juru bicara mereka, yaitu Dzul khuwaishirah (si pinggang kecil) -semoga Allah membelah pinggangnya-, berkata: “Berlaku adillah engkau, sebab engkau telah berlaku tidak adil.” Lalu Rasulullah bersabda:
"لَقَدْ
خِبْتُ وخَسرْتُ إنْ لَمْ أَكُنْ أَعدل، أيأمَنُني عَلَى أَهْلِ الْأَرْضِ وَلَا
تَأمَنُونِي"
Artinya: “Sungguh telah gagal dan merugilah aku, jika aku tidak berlaku adil. Mengapa Allah saja mempercayaiku memimpin penduduk bumi ini, sedang kalian tidak mempercayaiku?” Maka ketika orang itu berpaling, ‘Umar bin al-Khaththab (menurut riwayat lain, Khalid bin Al-Walid) meminta izin untuk membunuhnya, maka beliau bersabda:
"دَعْهُ
فَإِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئ هَذَا-أَيْ: مِنْ جِنْسِهِ -قَوْمٌ يَحْقِرُ
أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ، وَصِيَامَهِ مَعَ صِيَامِهِمْ،
وَقِرَاءَتَهُ مَعَ قِرَاءَتِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنَ الرّمِيَّة، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ
فِي قَتْلِهِمْ أجْرًا
لِمَنْ قَتَلَهُمْ.
Artinya: “Biarkan Baja dia. Sesungguhnya akan keluar dari kalangan dia, -maksudnya dari kelompoknya- suatu kaum yang mana salah seorang di antara kalian memandang remeh shalatnya dibandingkan shalat mereka, dan bacaannya dibandingkan bacaan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Maka di mana pun kalian menemukan mereka, bunuhlah mereka, karena sesungguhnya tersedia pahala bagi orang yang dapat membunuh mereka.” Setelah itu mereka muncul pada masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Dan mereka dibunuh di Nahrawan. Kemudian lahirlah dari mereka ini berbagai kelompok, golongan, pendapat, kesesatan, ungkapan-ungkapan dan aliran-aliran yang sangat banyak dan menyebar di mana-mana. Maka muncullah aliran Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan kelompok bid’ah seperti yang telah diberitahukan oleh Rasulullah melalui sabda beliau berikut ini:
"وَسَتَفْتَرِقُ
هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ
إِلَّا وَاحِدَةً" قَالُوا: [مَنْ] هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"
Artinya: “Umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, semuanya berada di Neraka kecuali satu.” Para Sahabat bertanya: “Siapakah mereka itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang mengikuti jalanku dan para Sahabatku.” (HR. Al-Hakim 1/28 dalam kitabnya, al-Mustadrak dengan tambahan ini) Firman-Nya (وما يعلم تأويله إلا الله) para qu-ra’ (ahli dalam bacaan Alquran) berbeda pendapat mengenai wagaf (pemberhentian bacaan) di sini. Dikatakan dari Ibnu `Abbas bahwa waqaf itu pada lafaz Allah Ta’ala, dia berkata: “Tafsir itu terbagi menjadi empat macam; yakni tafsir yang tidak sulit bagi seseorang untuk memahaminya, tafsir yang dimengerti oleh bangsa Arab melalui bahasanya sendiri, tafsir yang dimengerti oleh para ulama, dan tafsir yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah saja.” Perkataan di atas diriwayatkan dari ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu Sya’tsa’, Abu Nuhaik, dan lain-lainnya. Dan di antara para qurra’ ada yang berpendapat bahwa waqaf itu pada kata “war raasikhuuna fil ‘ilmi”. Pendapat mereka ini diikuti oleh banyak ahli tafsir dan ahli ilmu ushuulul fiqh. Mereka mengatakan: “Suatu percakapan yang tidak dapat dipahami adalah hal yang tidak mungkin.” Ibnu Abi Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Aku termasuk salah seorang yang mendalami ilmu (raa-sikhun) yang mengetahui takwilnya.” Dan orang-orang yang mendalami ilmu (raasikhuun) mengatakan: “Kami beriman kepadanya.” Kemudian mereka mengembalikan takwil ayat-ayat mutasyaabihaat kepada apa yang mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muhkamaat yang mana tidak ada seorang pun yang mentakwil kecuali takwil yang sama. Maka dengan pendapat mereka, serasilah seluruh isi Alquran yang mana sebagian ayat membenarkan sebagian lainnya. Dengan demikian, hujjah menjadi tegak berdiri dan alasan pun tidak bisa diterima, sedang kebathilan tersingkir, dan kekufuran pun tertolak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendo’akan Ibnu ‘Abbas:
"اللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ"
Artinya: “Ya Allah, berikanlah pemahaman kepadanya mengenai masalah agama dan ajarkanlah takwil (tafsir) kepadanya.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Fadhaailush Shahaabah, dan Ahmad) Di antara para ulama ada yang memberikan uraian rinci mengenai hal ini. Mereka mengatakan: “Takwil itu mengandung pengertian umum, sedangkan di dalam Alquran mengandung dua makna. Salah satunya ialah takwil yang berarti hakikat sesuatu dan apa yang permasalahannya dikembalikan kepadanya,” di antaranya firman Allah Ta’ala Surah Yusuf ayat 100 yang artinya: “Wahai ayahku, inilah takwil mimpiiku yang dahulu itu.” Dan Firman-Nya dalam Surah Al-A’raaf ayat 53 yang artinya: “Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali takwil (terlaksananya kebenaran) Alquran itu. Pada hari datangnya kebenaran (takwil) pemberitaan Alquran itu.”) Yaitu, hakikat apa yang diberitahukan kepada mereka mengenai masalah hari akhir. Jika yang dimaksudkan dengan takwil adalah dalam pengertian ini, maka waqaf itu adalah ada pada lafaz Allah Ta’ala (وما يعلم تأويله إلا الله). Karena hakekat dan esensi segala sesuatu tidak diketahui secara detail kecuali oleh Allah Ta’ala demikian, firman-Nya (والراسخون في العلم) adalah mubtada’ sedangkan (يقولون آمنا به) adalah khabar (predikat).
Tetapi jika yang dimaksud dengan takwil itu adalah arti lain, yaitu tafsir, keterangan, dan penjelasan mengenai sesuatu hal, seperti firman-Nya dalam Surah Yusuf ayat 36 yang artinya: ”Berikanlah kepada kami takwilnya,” yakni tafsirnya, maka waqaf itu terletak pada (والراسخون في العلم) karena mereka mengetahui dan memahami apa yang dikatakan kepada mereka dengan ungkapan seperti itu, meskipun mereka tidak mengetahui hakikatnya secara detail.
Firman-Nya (يقولون آمنا به) atas dasar sebelumnya, maka jadilah lafaz ini kedudukannya sebagai haal, yang menerangkan keadaan mereka. Dan bisa juga menjadi ma’thuf, bukan ma’thuf ‘alaih, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr ayat 8 yang artinya: “Bagi Para kaum fakir yang berhijrah, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta mereka –(sampai dengan firman-Nya)- mereka berdoa, “Ya Rabb kami, berikanlah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami. ” Dan seperti firman-Nya dalam Surah Al-Fajr ayat 22 yang artinya: “Dan datanglah Rabbmu, sedang Malaikat berbaris-baris.” Yaitu, Malaikat datang baris demi baris.
Firman-Nya tersebut memberitahukan bahwa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) mengatakan: “Kami beriman kepadanya,” yakni ayat-ayat mutasyaabihaat. Semuanya berasal dari Rabb kami. Yakni, baik yang muhkam maupun yang mutasyaabih adalah haq dan benar. Keduanya saling membenarkan dan menguatkan, karena semuanya itu berasal dari Allah Ta’ala sebab tidak ada sesuatu pun yang berasal dari-Nya saling berbeda dan bertentangan antara satu dengan lainnya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nisaa’ ayat 82 yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Firman-Nya (وما يذكروا إلا أولوا الألباب) maksudnya, yang dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan mempunyai pemahaman yang benar. Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar suatu kaum bertengkar maka beliau bersabda:
"إِنَّمَا
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِهَذَا، ضَرَبُوا كِتَابَ اللَّهِ بَعْضَهُ
بِبَعْضٍ، وَإِنَّمَا أُنْزِلَ كِتَابُ اللَّهِ لِيُصَدِّقَ بَعْضُهُ بَعْضًا،
فَلَا تُكَذِّبُوا بَعْضَهُ بِبَعْضٍ، فَمَا عَلِمْتُمْ مِنْهُ فقولوا، وما جهلتم
فَكِلُوهُ إلى عَالِمِه"
Artinya: “Sesungguhnya dengan sebab (pertengkaran) inilah orang-orang sebelum kalian itu binasa. Mereka mempertentangkan sebagian isi Kitab Allah dengan sebagian lainnya. Sesungguhnya Kitab Allah itu diturunkan untuk saling membenarkan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, janganlah kalian mendustakan sebagiannya dengan sebagian lainnya. Apa saja yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah. Dan apa saja yang kalian tidak ketahui darinya, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 2/185, Ibnu Majah 85, Al-Baghawi dalam Syarhu As-Sunnah 1/260) Ibnu Al-Mundzir berkata dalam tafsirnya, Muhammad bin ‘Abdillah bin Abdil Hakam menceritakan kepada kami, dari Ibnu Wahb, dari Nafi’ bin Yazid, ia berkata: “Orang-orang yang mendalam ilmunya adalah yang tunduk patuh kepada Allah, dan yang merendahkan diri mencari keridhaan-Nya, mereka tidak sombong kepada orang-orang yang di atas mereka dan tidak pula menghina orang-orang yang berada di bawah mereka.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########