BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam Al-Qur’an.

Firman-Nya (ياأيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه) ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi. Dan Allah telah memperingatkan hal tersebut pada akhir ayat, di mana Dia berfirman yang artinya: “Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.”

Mengenai firman Allah Ta’ala ini juga, Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan pemberian utang salam dalam batas waktu yang ditentukan. Utang salam adalah uang pembayaran lebih dulu, dan barangnya diterima kemudian. Sedangkan Qatadah menceritakan, dari Abu Hasan Al-A’raj, dari Ibnu Abbas, aku bersaksi bahwa pemberian hutang yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu, telah dihalalkan dan diizinkan Allah Ta’ala Kemudian ia membacakan ayat ini, demikian riwayat Al-Bukhari. Dan disebutkan di dalam Kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: “Bahwa Nabi pernah datang di Madinah sedang masyarakat di sana biasa mengutangkan buah untuk tempo satu, dua, atau tiga tahun. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ، ووزن معلوم، إلى أجل معلوم"
Artinya: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu, maka hendaklah ia melakukannya dengan takaran dan timbangan yang disepakati sampai batas waktu yang ditentukan.” (HR. Al-Bukhari 2240 dan Muslim 1604)

Firman-Nya (فاكتبوه) ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala supaya dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya. Abu Sa’id, As-Sya’bi, Rabi’ bin Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya mengatakan, sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh (dihapuskan) dengan firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 283 yang artinya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” Dalil lain yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang menceritakan tentang syariat yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syariat kita, serta tidak diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk) penulisan dan persaksian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bercerita: “Ada seorang dari Bani Israil yang meminta kepada salah seorang Bani Israil (lainnya) agar meminjamkan kepadanya uang seribu dinar. Kemudian orang yang dimintai pinjaman itu berkata: ‘Datangkanlah saksi-saksi kepadaku sehingga aku dapat menjadikan mereka sebagai saksi.’ Lalu orang yang meminjam itu pun berujar: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Si pemberi pinjaman itu berkata lagi: ‘Datangkan kepadaku orang yang dapat memberi jaminan.’ Orang itu berujar pula: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Si pemberi pinjaman itu berujar lagi: ‘Engkau benar.’ Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan kepadanya seribu dinar dengan batas waktu tertentu. Kemudian orang (peminjam uang) itu pun pergi ke laut untuk menunaikan keperluannya. Kemudian ia sangat memerlukan perahu guna mengantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun ia tidak juga mendapatkan perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melubanginya. Selanjutnya ia memasukkan uang seribu dinar ke dalam kayu tersebut berikut selembar surat yang ditujukan kepada pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia membawa kayu itu ke laut. Selanjutnya ia berucap: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia meminta kepadaku pemberi jaminan, maka kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Selanjutnya ia meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirimkan uang pinjaman itu. Namun aku tidak mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu.’ Maka orang itu pun melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian ia kembali pulang. Dan ia masih tetap mencari perahu untuk kembali ke negerinya. Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk memperhatikan barangkali ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya terdapat uangnya, maka ia pun mengambilnya untuk diberikan kepada keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan selembar surat. Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa seribu dinar. Peminjam itu berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi anda sekarang ini, aku secara terus-menerus berusaha mencari perahu untuk mengembalikan uang anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama sekali.’ Si pemberi pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab: ‘Bukankah telah kuberitahukan kepada anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku ini.’ Si pemberi pinjaman itu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang telah engkau letakkan dalam kayu. Maka kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.’” (HR. Ahmad 2/348. Sanad hadis ini sahih. Telah diriwayatkan Al-Bukhari dalam tujuh tempat melalui jalan yang sahih secara muallaq dan dengan memakai sighat jazm (ungkapan yang tegas).

Firman-Nya (وليكتب بينكم كاتب بالعدل) maksudnya dengan adil dan benar serta tidak boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa menambah atau menguranginya.

Firman-Nya (ولا يأبى كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب) maksudnya, orang yang mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah Ta’ala telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak mengenal tulis-menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
"إِنَّ مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ تُعِينَ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعَ لأخْرَق"
Artinya: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang bodoh.” (HR. Al-Bukhari 2518 dan Ahmad).

Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمه ألْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ"
Artinya: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad 2/304)

Mujahid dan Atha’ mengatakan: “Orang yang dapat menulis berkewajiban untuk menuliskan.”

Firman-Nya (وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه) maksudnya, hendaklah orang yang menerima pinjaman mendiktekan kepada juru tulis jumlah hutang yang menjadi tanggungannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah melakukan hal itu.

Firman-Nya (ولا يبخس من شيئا) maksudnya, tidak menyembunyikan sesuatu apa pun darinya.

Firman-Nya (فإن كان الذي عليه الحق سفيها) maksudnya sebagai upaya mencegahnya dari tindakan penghamburan uang dan lain sebagainya.

Firman-Nya (أو ضعيفا) maksudnya masih dalam keadaan kecil atau tidak waras.

Firman-Nya (أو لا يستطيع أن يمل هو) maksudnya baik karena cacat atau tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Firman-Nya (فليملل وليه بالعدل) maksudnya, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”

Firman-Nya (واستشهدوا شهيدين من رجالكم) maksudnya ini adalah perintah untuk memberi kesaksian disertai penulisan untuk menambah validitasnya (kekuatannya).

Firman-Nya (فإن لم يكونا رجلين وامرأتان) hal ini hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya akal kaum wanita.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam kitab sahihnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

"يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رأيتكُن أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ"، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلة: وَمَا لَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: "تُكْثرْنَ اللَّعْنَ، وتكفُرْنَ الْعَشِيرَ، مَا رأيتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُب مِنْكُنَّ". قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟ قَالَ: "أَمَّا نُقْصَانُ عَقْلِهَا فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدل شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي لَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ الدين"
Artinya: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar, karena aku melihat kebanyakan dari kalian sebagai penghuni neraka.” Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: “Mengapa kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menaklukkan seorang lelaki yang berakal daripada kalian.” Wanita itu bertanya: “Apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh dan nifas). Dan yang demikian itu termasuk dari kekurangan agama.” (HR. Muslim 80)

Firman-Nya (ممن ترضون من الشهداء) dalam potongan ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah muqayyad (terbatas). Makna ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam Al-Qur’an tanpa ada persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas pribadinya potongan ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai (diterima).

Firman-Nya (أن تضل إحداهما) maksudnya kedua orang wanita tersebut jika salah seorang lupa atas kesaksiannya.

Firman-Nya (فتذكر إحداهما الأخرى) maksudnya, mengingatkan kesaksian yang pernah diberikan.

Firman-Nya (ولا يأب الشهداء إذا مادعوا) ada yang mengatakan, makna ayat ini adalah, jika mereka dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Qatadah dan Rabi’ bin Anas. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala sebelumnya yang artinya: “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.” Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum memberikan kesaksian adalah fardhu kifayah. Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya ini yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi hakekatnya adalah yang bertanggung-jawab. Jika dipanggil, maka ia berkewajiban untuk memenuhinya, jika hal itu hukumnya fardhu ‘ain. Jika tidak, maka berkedudukan sebagai fardhu kifayah. Mujahid, Abu Majlaz, dan ulama lainnya mengatakan, “Jika anda dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka anda boleh memilih (boleh bersedia dan boleh juga tidak). Namun jika anda telah menjadi saksi, lalu dipanggil, maka penuhilah panggilan itu.” Fardu kifayah ialah, suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa. Fardu ‘ain ialah, kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa).

Dalam Kitab Sahih Muslim dan Kitab As-Sunan telah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari jalan Malik, dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ؟ الَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا"
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi ? Yaitu orang yang datang dengan mempersiapkan kesaksiannya sebelum diminta kesaksiannya.” (HR. Muslim 1719, Abu Dawud 3596, At-Tirmidzi 2295/2296, An-Nasai 6029 dan Ibnu Majah 2364)

Adapun hadis yang disebutkan dalam kitab Shahihain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الشُّهَدَاءِ؟ الَّذِينَ يَشْهَدُونَ قَبْلَ أَنْ يُستْشْهَدوا"
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu seburuk-buruk saksi? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta untuk memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Juga diriwayatkan tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"ثُمَّ يَأْتِي قَوْمٌ تَسْبِقُ أيمانُهم شَهَادَتَهُمْ وَتَسْبِقُ شهادَتُهم أَيْمَانَهُمْ"
Artinya: “Kemudian datang suatu kaum yang sumpah mereka mendahului kesaksian mereka dan kesaksian mereka mendahului sumpah mereka.”

Dan dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"ثُمَّ يَأْتِي قَوْمٌ يَشْهَدُون وَلَا يُسْتَشْهَدون"
Artinya: “Kemudian datang suatu kaum yang memberikan kesaksian, padahal mereka tidak diminta memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari 6428 dan Muslim 2535)

Maka mereka itu adalah saksi-saksi palsu. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Bashri bahwa hal itu mencakup dua keadaan, yaitu menyampaikan dan memberikan (kesaksian).

Firman-Nya (ولا تسئموا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله) ini merupakan bagian dari kesempurnaan bimbingan, yaitu perintah untuk menulis kebenaran baik yang kecil maupun yang besar. Dia berfirman: “Janganlah kamu merasa bosan untuk menulis kebenaran bagaimanapun kondisinya, baik yang kecil maupun yang besar sampai batas waktu pembayarannya.”

Firman-Nya (ذلكم أقسط عند الله وأقوم للشهادة وأدنى ألا ترتابوا) maksudnya, inilah yang kami perintahkan kepada kalian yaitu untuk menulis kebenaran, jika hal itu dilakukan secara tunai. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah Ta’ala, maksudnya, lebih adil. Dan lebih dapat menguatkan persaksian, maksudnya, lebih menguatkan kesaksian. Yakni lebih memantapkan bagi saksi, jika ia meletakkan tulisannya dan kemudian melihatnya, niscaya ia akan ingat akan kesaksian yang pernah ia berikan. Karena jika tidak menulisnya, maka ia lebih cenderung untuk lupa, sebagaimana yang sering terjadi. Dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, maksudnya lebih dekat kepada ketidakraguan. Dan jika terjadi perselisihan kamu akan kembali kepada catatan yang pernah kamu tulis sehingga dapat menjelaskan di antara kamu tanpa ada keraguan.

Firman-Nya (إلا أن تكون تجارة حاضرة تديرونها بينكم فليس عليكم جناح أن لا تكتبوها) maksudnya, jika jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak ada dosa jika kalian tidak menulisnya, karena tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan jika tidak dilakukan penulisan terhadapnya.

Firman-Nya (وأشهدوا إذا تبايعتم) sedangkan mengenai pemberian kesaksian terhadap jual beli, maka Allah Ta’ala telah berfirman dalam lafaz ini. Menurut jumhur ulama, masalah tersebut diartikan sebagai bimbingan dan anjuran semata dan bukan sebagai suatu hal yang wajib.

Dalil yang menjadi landasan hal itu adalah hadis Khuzaimah bin Tsabital-Anshan, diriwayatkan Imam Ahmad, dari Az-Zuhri, Imarah bin Khuzaimahal-Anshari pernah memberitahuku bahwa pamannya pernah memberitahunya, dan pamannya itu adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli seekor kuda dari seorang Badui. Lalu Nabi memintanya ikut untuk membayar harga kudanya tersebut. Maka Nabi berjalan dengan cepat, sedangkan orang Badui itu berjalan lambat. Kemudian ada beberapa orang yang menghadang orang Badui tersebut dengan tujuan agar mereka dapat menawar kudanya itu. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Sehingga sebagian mereka ada yang menawar dengan lebih tinggi dari harga kuda yang telah dibeli oleh Rasulullah tersebut. Kemudian si Badui itu berujar kepada Nabi: “Jika engkau benar-benar membeli kuda ini, maka belilah. Jika tidak, maka aku akan menjualnya.” Maka Nabi pun berdiri ketika beliau mendengar seruan Badui itu, lalu beliau berkata: “Bukankah aku telah membelinya darimu.” “Tidak demi Allah, aku tidak menjualnya kepadamu,” sahut si Badui itu. Kemudian beliau berkata: “Aku telah membelinya darimu.” Setelah itu, orang-orang mengelilingi Nabi dan si Badui itu. Keduanya saling mengulangi ucapan mereka. Kemudian si Badui itu berkata: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.” Lalu ada seorang Muslim yang hadir berkata kepada si Badui itu: “Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi tidak berbicara kecuali kebenaran.” Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah, ia mendengar ucapan Nabi dan bantahan si Badui tersebut, di mana si Badui itu mengatakan: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.” Maka Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau telah menjualnya kepada beliau.” Maka Nabi menatap kepada Khuzaimah seraya bertanya: “Dengan apa engkau hendak bersaksi?” “Dengan membenarkanmu, ya Rasulullah,” jawab Khuzaimah. Maka Rasulullah menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua orang laki-laki.” Keterangan yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

Firman-Nya (ولا يضار كاتب ولا شهيد) ada yang mengatakan, makna ayat tersebut adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk memperumit permasalahan, di mana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang didiktekan, dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia menyembunyikannya secara keseluruhan. Demikianlah pendapat yang disampaikan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan ulama-ulama lainnya. Ada juga yang mengatakan, artinya, keduanya (penulis dan saksi) tidak boleh mempersulit. Mengenai firman-Nya ini, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ada seseorang datang. Lalu ia memanggil keduanya untuk menjadi penulis dan saksi. Kemudian kedua orang tersebut berucap, “Kami sedang ada keperluan.” Lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah diperintahkan untuk memenuhinya.” Maka orang itu tidak boleh mempersulit keduanya. Lebih lanjut ia menceritakan, hal senada juga telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahak, Athiyyah, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan As-Suddi.

Firman-Nya (وإن تفعلوا فإنه فسوق بكم) maksudnya, jika kamu menyalahi apa yang telah Allah Ta’al perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah dilarang-Nya, maka yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan dan melepaskan diri dari kefasikan tersebut.

Firman-Nya (واتقوا الله) maksudnya, hendaklah kamu takut dan senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-Nya, dan jauhilah semua yang dilarang-Nya.

Firman-Nya (يعلمكم الله) maksudnya penggalan ayat ini adalah seperti firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Anfaal 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan.” Al-Furqan artinya, petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Dapat juga diartikan di sini dengan pertolongan.

Firman-Nya (والله بكل شيء عليم) maksudnya, Allah Ta’ala mengetahui hakikat seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam semesta.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)