BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


۞إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرٗا وَيَهۡدِي بِهِۦ كَثِيرٗاۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٦ ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٢٧

Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itu-lah orang-orang yang rugi.”

Asbabun Nuzul ayat ini yaitu: “Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Allah Ta’ala membuat dua perumpamaan kaum munafik dalam Surah Al-Baqarah ayat 17 dan 19, berkatalah kaum munafik: ‘Mungkinkah Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Luhur membuat perumpamaan seperti itu?’ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa dengan perumpamaan-perumpamaan yang Allah Ta’ala kemukakan, orang yang beriman akan menjadi lebih tebal imannya dan hanya orang fasik yang akan semakin sesat karena menolak petunjuk Allah Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan beberapa sanad, yang bersumber dari As-Suddi)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan Surah Al-Hajj ayat 73 dan Surah Al-‘Ankabuut ayat 41, dengan reaksi kaum munafik yang berkata: ‘Bagaimana pandanganmu tentang Allah Ta’ala yang menerangkan lalat dan laba-laba di dalam Alquran yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ini buka bikinan dia?” (Diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Abd Al-Ghani bin Sa’id Ats-Tsaqafi, dari Musa bin Abd Ar-Rahman, dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Abd Al-Ghani itu sangat dhaif)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Dalam riwayat dikemukakan, ketika Allah Ta’ala menerangkan laba-laba dan lalat dalam Surah Al-Hajj ayat 73 dan Surah Al-‘Ankabuut ayat 41, kaum musyrikin berkata: ‘Apa gunanya laba-laba dan lalat diterangkan dalam Alquran?’ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Abd Ar-Razzaq di dalam tafsirnya, dari Ma’mar, yang bersumber dari Qatadah)

Asbabun Nuzul lainnya yaitu: “Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan Surah Al-Hajj ayat 73 dan Surah Al-‘Ankabuut ayat 41, dengan reaksi kaum musyrikin yang berkata: ‘Contoh macam apakah ini yang tidak patut dibuat perumpamaan?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Al-Hasan)


Abd Ar-Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, menurutnya, “Ketika Allah Ta’ala menyebutkan laba-laba dan lalat, orang-orang musyrik pun bertanya, “Untuk apa laba-laba dan lalat itu disebut?” Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat ini yang bermakna bahwa Dia memberitahukan kepada mereka agar tidak memandang remeh karena Allah Ta’ala tidak takut untuk membuat perumpamaan apa saja baik dalam bentuk yang kecil maupun besar. Kata ‘maa’ disini menunjukkan sesuatu yang kecil atau sedikit. Sedangkan kata (ba’uudhatun) dalam ayat ini berkedudukan sebagai ‘badal’ (pengganti). Sebagaimana jika kita mengatakan ‘لأضربن ضربا ما’ (Aku akan memberikan suatu perumpamaan apa pun), yang berarti sekecil apa saja. Atau ‘ما’ berkedudukan sebagai nakirah yang disifati dengan kata nyamuk.

Firman-Nya (فما فوقها) terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, “Artinya yang lebih kecil dan hina,” sebagaimana jika seseorang disifati dengan tabiat keji dan kikir, maka orang yang mendengarnya mengatakan: “Benarr, lebih dari itu“, maksudnya apa yang disifatkan. Ini merupakan pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid, menurut Ar-Razi dan mayoritas muhaqqiqin. Pendapat kedua menyatakan, “Artinya yang lebih besar darinya“, karena tidak ada yang lebih hina dan kecil daripada nyamuk. Ini pendapat Qatadah bin Di’amah dan Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat oleh hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"

Artinya: ”Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih besar darinya melainkan dicatat baginya derajat dan dihapuskan dosa dari dirinya.” (HR. Muslim)

Maka Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu apapun yang telah dijadikan-Nya sebagai perumpamaan, meskipun hal yang hina dan kecil seperti halnya nyamuk. Sebagaimana Dia tidak memandang remeh penciptaannya, Dia pun tidak segan untuk membuat perumpamaan dengan nyamuk tersebut, sebagaimana Dia telah membuat perumpamaan dengan lalat (dalam Surah Al-Hajj ayat 73) dan laba-laba (dalam Surah Al-‘Ankabuut ayat 41). Di dalam Alquran terdapat banyak perumpamaan.

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Jika aku mendengar perumpamaan di dalam Alquran, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku, karena Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ankabuut ayat 43 yang artinya: ‘Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”

Firman-Nya (فأما الذين آمنوا فيعلمون أنه الحق من ربهم) menurut Qatadah artinya mereka mengetahui bahwa demikian itu merupakan firman Allah Ta’ala dan berasal dari sisi-Nya. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ar-Rabi’ bin Anas, menurut Abu Al-‘Aliyah.

Firman-Nya (وأما الذين كفروا فيقولون ماذا أراد الله بهذا مثلا). Perumpamaan ini sama dengan makna yang terkandung dalam firman-Nya dalam Surah Al-Muddatstsir ayat 31 yang artinya: “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.”

Firman-Nya (يضل له كثيرا ويهدي به كثيرا) menurut As-Suddi dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas, Murrah, Ibnu Mas’ud dan beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang dimaksud dengan (يضل به كثيرا) adalah orang-orang munafik. Dan yang dimaksud dengan (ويهدي به كثيرا) adalah orang-orang yang beriman. Kesesatan mereka itu akan terus bertambah karena pengingkaran mereka terhadap perumpamaan yang diberikan Allah Ta’ala dan telah mereka ketahui dengan benar dan yakin. Ketika perumpamaan itu benar dan tepat, maka yang demikian itu merupakan petunjuk kepada banyak orang yang beriman, sehingga petunjuk demi petunjuk terus bertambah bagi mereka, iman pun semakin tebal, karena kepercayaan mereka atas apa yang mereka ketahui secara benar dan yakin bahwa ia pasti sesuai dengan apa yang diperumpamaan Allah Ta’ala serta pengakuan mereka atas hal itu. Yang demikian itu merupakan petunjuk bagi mereka dari Allah Ta’ala.

Firman-nya (وما يضل به إلا الفاسقين) menurut As-Suddi, mereka adalah orang-orang munafik. Secara etimologis, orang fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Masyarakat Arab biasa mengemukakan (فسقت الرطبة) jika sisi kurma keluar dari kulitnya. Oleh karena itu, tikus juga disebut sebagai (فويسقة) karena selalu keluar dari persembunyiannya untuk melakukan perusakan. Diriwayatkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"خَمْسُ فَوَاسَقَ يُقتلن فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العقور"

Artinya: “Ada lima jenis binatang fasik yang boleh dibunuh, baik di tanah halal atau pun tanah haram, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, fasik disini mencakup orang kafir dan juga orang durhaka. Namun kefasikan orang kafir lebih hebat dan keji. Yang dimaksudkan dengan kefasika dalam ayat ini adalah orang kafir, sebagaimana Allah Ta’ala menyifati mereka melalui firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 27 ini.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)