BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 236, berkatalah seorang laki-laki: “Jika keadaanku sedang baik, akan aku lakukan, tapi jika aku tidak mau, aku tidak akan melakukannya.” Maka turunlah ayat ini yang menegaskan kewajiban suami untuk memberi bekal kepada istrinya yang telah diceraikannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Zaid)
Firman- Nya (وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika turun firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 236 yang artinya: “Pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Ada seseorang yang mengatakan: “Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, maka aku akan mengerjakan, dan jika aku menghendaki aku tidak akan mengerjakannya.” Lalu turunlah ayat ini.
Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Dan pendapat ini pula yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan Ibnu jarir.
Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 236 yang artinya: “Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang masyhur.
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
وَلِلۡمُطَلَّقَٰتِ
مَتَٰعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٤١
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa.” Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 236, berkatalah seorang laki-laki: “Jika keadaanku sedang baik, akan aku lakukan, tapi jika aku tidak mau, aku tidak akan melakukannya.” Maka turunlah ayat ini yang menegaskan kewajiban suami untuk memberi bekal kepada istrinya yang telah diceraikannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Zaid)
Firman- Nya (وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika turun firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 236 yang artinya: “Pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Ada seseorang yang mengatakan: “Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, maka aku akan mengerjakan, dan jika aku menghendaki aku tidak akan mengerjakannya.” Lalu turunlah ayat ini.
Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Dan pendapat ini pula yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan Ibnu jarir.
Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 236 yang artinya: “Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang masyhur.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########