BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Firman-Nya (والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين) ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan.
Firman-Nya (لمن أراد أن يتم الرضاعة) maksudnya, kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan. Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan Ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Katsir katakan: “Hadis ini terdapat dalam Kitab Al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh Ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.” Makna yang terkandung dalam hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Ta’ala dalam Surah Luqman ayat 14 yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku.” Dan dalam Surah Al-Ahqaaf ayat 15 yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”
Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enam bulan.”
Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari Al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah perbuatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik.
Dalam Kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadis, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, Al-Laits dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadis Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Aisyah, adalah hadis yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan Surah An-Nisaa’ ayat 23 yang artinya: “Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”
Firman-Nya (وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف) maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 7 yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan istrinya, dan ia memperoleh anak dari istrinya tersebut, lalu mantan istrinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan istrinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Firman-Nya (لا تضار والدة بولدها) yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara.
Firman-Nya (ولا مولود له بولده) oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini karena si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Adh-Dahhak, Az-Zuhri, As-Suddi, Ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman-Nya (وعلى الوارث مثل ذلك) ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, Asy-Sya’bi dan Adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut mazhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Al-Khaththab dan jumhur ulama salaf. Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.
Firman-Nya (فإن أراد فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليمها) maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh Ats-Tsauri dan ulama lainnya. Hal ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 6 yang artinya: “Dan jika mereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Firman-Nya (وإن أردتم أن تسترضعوا ... ماآتيتم بالمعروف) maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Firman-Nya (واتقوا الله) yaitu dalam segala hal dan keadaan kalian. Firman-Nya (واعلموا أن الله بما تعملون بصير) maksudnya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
۞وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ
يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ
بِوَلَدِهَا
وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ
وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ
مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن
تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ
ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ
بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٢٣٣
Artinya: “Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” Firman-Nya (والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين) ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan.
Firman-Nya (لمن أراد أن يتم الرضاعة) maksudnya, kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan. Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan Ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"لا
يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ"
Artinya: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.” (HR. Ad-Daruquthni 4/174. Kemudian Ad-Daruquthni mengatakan: “Hadis tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh Al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafiz.”) Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Katsir katakan: “Hadis ini terdapat dalam Kitab Al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh Ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.” Makna yang terkandung dalam hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Ta’ala dalam Surah Luqman ayat 14 yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku.” Dan dalam Surah Al-Ahqaaf ayat 15 yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”
Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enam bulan.”
Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari Al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah perbuatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik.
Dalam Kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadis, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, Al-Laits dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadis Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Aisyah, adalah hadis yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"انظرْنَ
مِنْ إِخْوَانِكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ"
Artinya: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan Surah An-Nisaa’ ayat 23 yang artinya: “Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”
Firman-Nya (وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف) maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 7 yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan istrinya, dan ia memperoleh anak dari istrinya tersebut, lalu mantan istrinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan istrinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Firman-Nya (لا تضار والدة بولدها) yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara.
Firman-Nya (ولا مولود له بولده) oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini karena si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya. Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Adh-Dahhak, Az-Zuhri, As-Suddi, Ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman-Nya (وعلى الوارث مثل ذلك) ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, Asy-Sya’bi dan Adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut mazhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Al-Khaththab dan jumhur ulama salaf. Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.
Firman-Nya (فإن أراد فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليمها) maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh Ats-Tsauri dan ulama lainnya. Hal ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 6 yang artinya: “Dan jika mereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Firman-Nya (وإن أردتم أن تسترضعوا ... ماآتيتم بالمعروف) maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Firman-Nya (واتقوا الله) yaitu dalam segala hal dan keadaan kalian. Firman-Nya (واعلموا أن الله بما تعملون بصير) maksudnya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########