BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ ٢٣٠
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdurrahman bin Atik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah ditalak oleh suaminya yang kedua (Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi) yan gakan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa’ah bin Wahab bin Atik) yang telah menalak tiga kepadanya. Aisyah berkata: “Abdurrahman bin Zubair telah menalak saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang pertama?” Nabi menjawab: “Tidak, kecuali kamu telah digauli suamimu yang kedua.” Kejadian ini membenarkan seorang suami yang telah menalak tiga istrinya untuk mengawini kembali istrinya, setelah istrinya itu digauli dan diceraikan oleh suaminya yang kedua.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir yang bersumber dari Muqatil bin Hibban)

Firman-Nya (فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره) maksudnya, jika seorang suami menceraikan istrinya yang ketiga kalinya, yang sebelumnya ia telah menjatuhkan dua kali talak, maka si istri haram dirujuk oleh si suami tersebut sebelum wanita itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Artinya, hingga wanita itu berhubungan badan dengan laki-laki melalui pernikahan yang sah. Jika wanita itu disetubuhi oleh laki-laki lain tanpa melalui proses pernikahan, sekalipun karena perbudakan, maka mantan suami yang pertama tidak boleh merujuk kembali mantan istrinya tersebut. Karena lelaki itu bukan sebagai suami. Demikian halnya, jika wanita itu sudah menikah kembali dengan laki-laki lain tetapi belum dicampuri oleh sang suami, maka belum halal bagi suami pertama.

Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwasanya ada seseorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, wanita itu menikah kembali dengan laki-laki lain, kemudian laki-laki itu menceraikannya sebelum menyetubuhinya, lalu ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".
Artinya: “Apakah boleh bagi mantan suaminya yang pertama merujuknya kembali? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Tidak, sehingga ia (suami kedua) itu merasakan al-‘Usailah (madu)nya sebagaimana yang telah dirasakan oleh suami pertama.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i.).

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu anha, katanya:

دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ"
Artinya: “Istri Rifa’ah al-Quradzi masuk, sedang aku dan Abu Bakar berada di samping Nabi saw, lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dengan talak tiga, dan Abdurrahman bin Zubair telah menikahiku. Dan miliknya (kemaluan Abdurrahman bin Zubair) bagaikan ujung kain jilbab, seraya memegang ujung kain jilbabnya, sedangkan saat itu Khalid bin Sa’idbin ‘Ash berada di pintu belum diizinkan masuk, ia berujar; “Hai Abu Bakar, tidakkah engkau melarang wanita ini berbicara blak-blakan di hadapan Nabi.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum seraya berkata (kepada bekas istri Rifa’ah): “Sepertinya engkau hendak kembali ke Rifa’ah. Tidak boleh, sehingga engkau merasakan madunya (kemanisannya) dan ia merasakan madumu.”

Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i. Sedangkan dalam hadis Abdur Razak, menurut riwayat Muslim, bahwa Rifa’ah menceraikannya pada kali ketiga. Hadis tersebut juga diriwayatkan jama’ah kecuali Abu Dawud, Al-Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i.

Penjelasan:

Suami kedua yang dimaksud harus benar-benar suka dan bertujuan untuk hidup berdua selamanya, sebagaimana disyaria’atkan dalam pemikahan. Dan selain itu Imam Malik mensyaratkan, suami harus menyetubuhi istrinya itu pada saat yang dibenarkan. Jika ia menyetubuhinya pada saat istrinya itu sedang menjalankan ihram atau berpuasa atau beri’tikaf atau sedang haid atau nifas. Atau pihak suami barunya itu sedang dalam keadaan puasa atau ihram atau sedang i’tikaf, maka mantan suami pertama belum diperbolehkan untuk merujuknya. Demikian juga jika suami barunya itu seorang dzimmi, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menikahinya, karena pernikahan dengan orang kafir itu tidak sah (batal), menurut beliau.

Maksud Al-‘Usailah dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam ini bukanlah air mani (sperma). Hal itu sebagaimana yang diuraikan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Nasa’i, dari Aisyah radiallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya al-‘Usailah itu berarti jima’ (persetubuhan).”

Dan jika suami yang kedua hanya bertujuan untuk menghalalkan wanita itu bagi suami pertama, maka inilah yang disebut muhallil (orang yang menikah hanya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya) yang mana beberapa hadis telah mencela dan melaknatnya. Dan jika muhallil menyatakan maksudnya secara jelas di dalam akad, maka batallah pernikahan tersebut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama. Beberapa hadis yang berkenaan dengan muhallil dan muhallallahu (suami pertama yang meminta muhallil melakukan hal itu ataupun si wanita jika ia yang memintanya):

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, muhallil dan muhallal-lahu dan orang yang memakan riba dan yang memberikannya.” (Kemudian Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i juga meriwayatkan dari jalur lain. Dan At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih)

At-Tirmidzi mengatakan, para ulama dari kalangan sahabat, di antaranya Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut. Ini juga merupakan pendapat para fuqaha dari kalangan tabi’in. Hal itu juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan Ibnu Abbas.

Dalam Kitab Al-Mustadrak, Al-Hakim meriwayatkan, dari Ibnu Umar bin Nafi’, dari ayahnya, ia pernah menceritakan:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ، فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ، لِيُحِلَّهَا لِأَخِيهِ: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: لَا إِلَّا نِكَاحَ رَغْبَةٍ، كُنَّا نَعُدُّ هَذَا سِفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Umar dan menanyakan tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu wanita itu dinikahi oleh saudaranya sendiri tanpa adanya konsultasi darinya, supaya dengan demikian menjadi halal bagi saudaranya. Bolehkah bagi mantan suami pertama itu menikahinya kembali?” Maka Ibnu Umar pun menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasarkan karena keinginan. Dan kami mengkategorikan hal itu sebagai perzinaan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini bersanad sahih, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya)

Firman-Nya (فإن طلقها) maksudnya suami yang kedua, setelah bercampur dengannya.

Firman-Nya (فلا جناح عليهما أن يتراجعا) yaitu wanita tersebut dengan suami pertama.

Firman-Nya (إن ظنا أن يقيما حدود الله) maksudnya jika keduanya dapat bermu’asyarah (berkeluarga) dengan baik. Mujahid mengatakan: “Jika keduanya beranggapan bahwa pernikahan mereka berdua itu bukan palsu.”

Firman-Nya (وتلك حدود الله) maksudnya syari’at dan ketentuan-ketentuan-Nya. Para ulama masih berbeda pendapat mengenai permasalahan, jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak dua dan kemudian meninggalkan hingga ia selesai menjalani iddahnya, setelah itu ia menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercampur dengannya, lalu diceraikan kembali oleh laki-laki tersebut, dan setelah selesai menjalani iddahnya, suaminya yang pertama menikahinya kembali. Apakah kembalinya itu berikut jumlah talak yang pernah dia jatuhkan sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, dan juga pendapat para Sahabat, ataukah suami yang kedua itu telah menghapuskan jumlah talak yang pernah dia jatuhkan sehingga ia kembali memiliki jatah talak tiga kali lagi, sebagaimana pendapat Abu Hanifah para sahabatnya. Alasan Abu Hanifah dan para sahabatnya itu adalah jika suami yang kedua dapat menghapuskan keberadaan talak tiga, tentu penghapusan talak di bawah tiga itu lebih utama.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)