BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيۡ‍ًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعۡتَدُوهَاۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٢٢٩
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki yang mengatakan kepada istrinya, “Aku tidak akan pernah menceraikanmu untuk selama-lamanya dan tidak juga mencampurimu untuk selama-lamanya.” “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya istrinya itu. Maka ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu hingga apabila masa iddahmu sudah dekat, aku akan merujukmu kembali.” Kemudian wanita itu pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menceritakan hal itu kepada beliau, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini. Hadis tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga Abd bin Humaid dalam tafsirnya, dan At-Tirmidzi sebagai hadis mursal, dan ia mengatakan ini lebih sahih. Selain itu, hadis tersebut juga diriwayatkan Al-Hakim dalam Kitab Al-Mustadrak, dan menurutnya hadis tersebut bersanad sahih.”

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa seorang laki-laki memakan harta benda istrinya dari maskawin yang ia berikan sewaktu nikah, dan juga harta benda lainnya. Ia menganggap bahwa perbuatan itu tidak berdosa. Maka turunlah ayat ini yang melarang merampas hak istri.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Kitab An-Nasikh wal Mansukh, yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Berkenaan dengan Habibah yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang suaminya bernama Tsabit bin Qais. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah engkau sanggup memberikan kembali kebunnya (maskawinnya)?” Ia menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Tsabit bin Qais seraya menerangkan pengaduan istrinya yang akan mengembalikan kebunnya. Maka berkatalah Tsabit bin Qais: “Apakah kebun itu halal bagiku?” Nabi menjawab: “Ya.” Ia berkata: “Saya terima.” Kejadian ini membenarkan seorang suami menerima kembali maskawin yang dikembalikan istrinya sebagai tanda sahnya si istri memutuskan hubungan perkawinan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij)

Firman-Nya (الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان) ayat mulia ini menghapus tradisi yang berlaku yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk istrinya mentalaknya seratus kali selama masih dalam menjalani masa iddah. Ketika tradisi tersebut banyak merugikan para istri, maka Allah Ta’ala membatasi mereka dengan tiga talak saja, dan membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja, dan tidak memungkinkan untuk ruju’ (kembali) lagi setelah talak yang ketiga. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat ini.

Dan dalam kitab, Sunan Abu Dawud, Bab Naskhul muraja’ah ba’dal-muthallaqaatits-tsalats (dihapuskannya ruju’ setelah talak yang ketiga), diriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya dalam ayat sebelumnya, ia mengatakan:

وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ كَانَ إِذَا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَهُوَ أَحَقُّ بِرَجْعَتِهَا، وَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَنُسِخَ ذَلِكَ فَقَالَ: {الطَّلاقُ مَرَّتَانِ} الْآيَةَ
Artinya: “Bahwasanya jika seorang laki-laki menalak istrinya, maka ia lebih berhak merujuknya meskipun ia telah menalaknya tiga kali. Lalu hal itu dinasakh (dihapus) dengan firman Allah Ta’ala ini.” (HR. Imam Nasa’i).

Firman-Nya (فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان) maksudnya, jika engkau (seorang suami) mengucapkan talak kepada istri pada saat yang pertama kalinya atau pada saat yang kedua kalinya, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa iddahnya masih tersisa, merujuknya kembali dengan niat mengadakan ishlah dan dengan berbuat baik kepadanya atau membiarkannya menyelesaikan masa iddahnya, hingga akhirnya dirimu memilih untuk menceraikannya maka ceraikanlah dengan cara yang baik, dengan tidak menzalimi haknya sedikit pun dan tidak juga merugikannya.

Dalam tafsirnya, Abd bin Humaid meriwayatkan, dari Ismail bin Sami’, bahwa Abu Razin Al-Asadi mengatakan, ada seseorang yang berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ الثَّالِثَةُ"
Artinya: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana pendapat anda mengenai firman Allah Ta’ala: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali,” lalu di mana dengan yang ketiganya?” Maka beliau menjawab, “Yang ketiga adalah (pada kalimat) menceraikannya dengan cara yang baik.” (Hadis ini juga diriwayatkan Imam Ahmad)

Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan, dari Anas bin Malik, ia menceritakan, ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah telah menyebutkan talak dua kali. Lalu di mana yang ketiga?” Maka beliau pun bersabda: “Merujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.”

Firman-Nya (ولايحل لكم أن تأخذوا مما أتيتموهن شيئا) maksudnya, kalian tidak menyusahkan, membuat mengeluh dan mempersulit mereka (wanita) dengan tujuan supaya mereka menebus apa yang telah kalian berikan kepada mereka sebagian atau seluruhnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nisaa’ ayat 19 yang artinya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” Jika seorang istri memberikan sesuatu dengan ketulusan hatinya, maka mengenai hal itu Allah Ta’ala telah berfirman dalam Surah An-Nisaa’ ayat 4 yang artinya: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Firman-Nya (ولايحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا ... فلا جناح عليهما فيما افتدى به) tetapi jika suami istri saling berselisih, di mana si istri tidak melaksanakan hak suaminya dan ia sangat membencinya, serta tidak mampu menggaulinya, maka ia (istri) dapat memberikan tebusan kepada suaminya atas apa yang pernah diberikan suaminya kepadanya. Tidak ada dosa baginya untuk mengeluarkan tebusan itu kepada suaminya, dan tidak ada dosa bagi suami untuk menerima tebusan dari istrinya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini.

Tetapi jika tidak ada alasan bagi si istri, lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan, dari Tsauban, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ"
Artinya: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.” (Hadis ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, dan ia mengatakan: hadis hasan)

Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abu Qalabah, ia menceritakan, bahwa Abu Asma’ dan Tsauban pernah berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ"
Artinya: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang tidak dibenarkan, maka diharamkan baginya wangi surga.” (Demikian pula diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, dari Hamad bin Zaid)

Kemudian banyak kelompok dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang menyatakan, bahwasanya tidak dibolehkan khulu’ (talak yang ditebus oleh si istri) kecuali terjadi syiqaq (perselisihan) dan nusyuz (kedurhakaan) dari pihak istri. Maka pada saat itu, bagi suami diperbolehkan untuk menerima fidyah (tebusan). Dalam hal itu, mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’ala dalam ayat ini (ولا يحل لكم أن تأخذوا مما ... ألا يقيم حدود الله).

Lebih lanjut mereka mengemukakan: “Khulu’ itu tidak disyariatkan kecuali dalam kondisi seperti ini, sehingga tidak diperbolehkan melakukan khulu’ dalam kondisi yang lain kecuali dengan dalil. Karena pada dasarnya khulu’ itu tidak ada.” Di antara yang berpendapat demikian itu adalah Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahim, Atha’, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Sampai Imam Malik dan Al-Auza’i mengatakan, “Seandainya suami mengambil suatu tebusan dari istrinya, sedangkan hal itu memudharatkan pihak istri, maka ia harus mengembalikannya, dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj ‘i.” Dan menurut Imam Malik, “Itulah persoalan yang sering kujumpai menimpa banyak orang.”

Dan Imam Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwa khulu’ itu diperbolehkan pada waktu terjadi perselisihan dan ketika dicapai kesepakatan dengan cara yang lebih baik dan tepat. Dan yang demikian itu merupakan pendapat seluruh sahabatnya. Ibnu Jarir rahimahullahu menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syamasy dengan istrinya, Habibah binti Abdullahbin Ubay bin Salul. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa jalan peri-wayatan hadis ini dengan berbagai perbedaan lafazhnya.

Dalam Kitab Al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan, dari Habibah binti Sahal Al-Anshari, bahwa ia pernah menjadi istri Tsabit bin Qais bin Syamasy. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam hendak berangkat mengerjakan Salat Subuh, lalu beliau menemukan Habibah binti Sahal berada di pintunya pada saat gelap gulita diakhir malam. Maka beliau bertanya: “Siapa ini?” Ia menjawab: “Aku Habibah binti Sahal.” “Apa gerangan yang terjadi padamu?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam Habibah berujar: “Aku bukan istri Tsabit lagi.” Ketika suami-nya, Tsabit bin Qais datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Ini adalah Habibah binti Sahal, ia telah menceritakan apa yang menjadi masalahnya.” Maka Habibah bertutur: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semua yang ia berikan kepadaku masih berada padaku.” Kemudian beliau berkata kepada Tsabit: “Ambillah darinya.” Maka ia pun mengambil tebusan darinya dan Habibah pun berkumpul bersama keluarganya (pulang ke rumah orang tuanya). Demikian pula diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i.

Firman-Nya (فلا جناح عليهما فيما افتدت به) para imam berbeda pendapat mengenai apakah boleh bagi seorang suami meminta tebusan kepada istrinya melebihi dari apa yang pernah ia berikan kepadanya. Jumhur ulama membolehkan hal tersebut. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala dalam ayat ini.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Katsir, Maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Umar, seorang wanita yang melakukan nusyuz (membangkang terhadap suaminya). Lalu Umar memerintahkan agar membawa wanita itu ke sebuah rumah yang banyak sampah, setelah itu wanita itu dipanggil, lalu ditanyakan: “Apa yang engkau rasakan?” Ia menjawab: “Aku tidak memperoleh ketenangan selama berada bersamanya kecuali malam ini saat engkau menahanku.” Kemudian Umar berkata kepada suaminya: “Ceraikanlah ia walaupun dengan tebusan antingnya.” Hadis ini juga diriwayatkan Abdurrazak, dari Mu’ammar, dari Katsir, budak Ibnu Samurah, lalu ia menyebutkan matan hadis tersebut seraya menambahkan, “Maka Umar menahannya di tempat itu selama tiga hari.”

Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Utsman membolehkan khulu’ dengan selain dari kepangan rambutnya. Artinya, seorang suami boleh mengambil apa pun yang berada di tangannya, sedikit maupun banyak, dan tidak meninggalkan apa pun kecuali kepangan rambutnya. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i, Qutaibah bin Dzuwaib, Hasan bin Shalih, dan Utsman Al-Batti. Dan itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, serta menjadi pilihan Ibnu Jarir. Para sahabat Abu Hanifah mengatakan: “Jika kemadharatan berasal dari pihak istri, maka suami boleh mengambil semua yang telah ia berikan. Para sahabat Abu Hanifah juga mengatakan: “Suami boleh mengambil apa yang pernah diberikan kepadanya dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahan, maka harus lewat pengadilan. Dan jika kemadharatan itu berasal dari pihak suami, maka si suami tidak diperbolehkan mengambil sesuatu apa pun darinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya, maka harus lewat pengadilan.”

Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishak bin Rahawaih mengatakan: “Suami tidak diperbolehkan mengambil melebihi dari apa yang pernah diberikan kepada istrinya.” Ini juga merupakan pendapat Sa’id bin Musayyab, Atha’, Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, Thawus, Al-Hasan Al-Bashri, Sya’bi, Hamad bin Abi Sulaiman dan Rabi’ bin Anas.

Mu’ammar dan Al-Hakam menceritakan, Ali pernah mengatakan: “Suami tidak diperbolehkan mengambil dari istri yang meminta cerai melebihi apa yang pernah ia berikan kepadanya.” Al-Auza’i pernah mengemukakan, para hakim tidak memperbolehkan suami mengambil dari istrinya melebihi apa yang telah ia berikan kepadanya.Berkenaan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir katakan, pendapat itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abd bin Humaid, dari Atha’, bahwasanya Nabi membenci seorang suami yang mengambil melebihi dari apa yang pernah ia berikan. Mereka menafsirkan makna ayat (فلا جناح عليهما فيما افتدت به) dengan pengertian dari apa yang telah diberikannya. Karena ayat itu telah didahului oleh ayat sebelumnya yang artinya: “Tidak halal bagimu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya,” dari pemberian itu.

Imam Syafi’i mengatakan, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai masalah khulu’, lalu Sufyan memberitahu kami, dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak dua, setelah itu istrinya meminta khulu’ darinya, maka ia boleh menikahinya kembali jika ia menghendaki, karena Allah Ta’ala telah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 229-230 yang artinya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yangdiberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulab hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”

Lebih lanjut Imam Syafi’i menceritakan, Sufyan memberitahu kami dari Amr, dari Ikrimah, ia mengatakan: “Segala sesuatu yang diselesaikan dengan harta kekayaan itu bukan termasuk talak.” Diriwayatkan oleh ulama lainnya (selain Imam Syafi’i) dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bertanya kepadanya, ia menuturkan, “Ada seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak dua, lalu istrinya mengkhulu’nya, apakah boleh ia menikahinya kembali?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya boleh, karena khulu’ bukanlah talak. Allah Ta’ala telah menyebutkan talak pada bagian awal dan akhir ayat, sedangkan khulu’ berada di antara keduanya. Dengan demikian, khulu’ itu bukanlah sesuatu yang dianggap sebagai talak.” Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat (الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان) dan ayat (فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره) Inilah yang menjadi pendapat Ibnu Abbas, bahwa khulu’ itu bukanlah talak melainkan hanyalah fasakh (pembatalan persetujuan). Dan hal ini diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Ibnu Umar. Ini juga merupakan pendapat Thawus, Ikrimah, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Dawud bin Ali Adz-Dzahiri. Selain itu, ia juga merupakan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i. Dan itulah makna lahiriyah ayat tersebut.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa khulu’ itu adalah talak ba’in, kecuali jika diniati lebih dari itu. Imam Malik meriwayatkan, dari Ummu Bakar Al-Aslamiyah, bahwa ia pernah meminta khulu’ dari suaminya, Abdullah bin Khalid bin Usaid, lalu keduanya mendatangi Utsman bin Affan untuk menanyakan hal itu, lalu Utsman menjawab, “Yang demikian itu sudah merupakan talak, kecuali jika ia menyebutkan sesuatu, maka ia tergantung pada apa yang ia sebut.” Imam Syafi’i mengatakan: “Aku tidak mengenal Jahman (perawi atsar ini).” Dan Imam Ahmad bin Hanbal juga melemahkan atsar tersebut. Hal senada juga diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Masud, dan Ibnu Umar. Ini juga merupakan pendapat Sa’id bin Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Syura’ih, Asy-Sya’bi, Ibrahim, Jabir bin Zaid. Juga Imam Malik, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Utsman Al-Batti, dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i. Hanya saja para pengikut Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika orang yang melakukan khulu’ itu berniat sebagai talak satu, talak dua atau talak secara mutlak, maka yang terjadi adalah talak satu raj’i dan jika berniat talak tiga, maka menjadi talak tiga.

Permasalahan:

Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dalam suatu riwayat yang masyhur berpendapat bahwa iddah wanita yang khulu’ sama dengan iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’, jika ia termasuk wanita yang sedang haidh. Hal itu pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya’abi, Ibrahim An-Nakha’i, AbuIyyadh, Khalas bin Umar, Qatadah, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad dan Abul-Ubaid.

At-Tirmidzi mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan juga yang lainnya. Yang menjadi landasan mereka adalah bahwa khulu’ itu adalah talak, sehingga seorang wanita yang meminta khulu’ harus menjalani iddah sebagaimana wanita-wanita yang dicerai suaminya.”

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wanita yang dikhulu’ itu hanya menjalani iddah satu kali haid saja untuk memastikan kesucian rahimnya. Dari Rabi’ binti Mu’awwidz bin Afra’, bahwa ia pernah meminta khulu’ pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau memerintahkanya -atau diperintahkan- untuk menjalani iddah dengan satu kali haidh. At-Tirmidzi mengatakan: “Yang sahih adalah (kalimat) bahwa wanita tersebut diperintahkan untuk menjalani iddah selama satu kali haid.”

Permasalahan:

Menurut imam empat mazhab dan juga jumhur ulama, suami yang mengkhulu’ tidak diperbolehkan merujuk istri yang dikhulu’ pada masa iddah tanpa adanya keridhaan dari istrinya, karena pada saat itu wanita tersebut telah menguasai (memiliki hak atas) dirinya sendiri melalui tebusan yang telah ia berikan kepadanya. Namun semua ulama bersepakat bahwa si suami boleh menikahi kembali wanita (mantan istrinya) itu pada saat menjalani masa iddah.

Permasalahan:

Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lain kepada istri pada masa iddah? Mengenai hal tersebut, terdapat tiga pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa si suami itu tidak boleh menjatuhkan talak yang lain, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri dan telah terlepas dari mantan suaminya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah, Jabir bin Zaid, Al-Hasan Al-Bashri, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, dan Abu Tsaur.

Kedua, Imam Malik berpendapat, jika khulu’ itu diikuti oleh talak tanpa tenggang waktu di antara keduanya, maka jatuhlah talak, dan jika di antara keduanya (lafadz khulu’ dan talak) si suami diam sebentar, maka tidak terjadi talak. Ibnu Abdul Barr mengatakan: “Pendapat ini menyerupai apa yang diriwayatkan dari Utsman.”

Ketiga, bahwa bagaimanapun pada si istri tersebut telah jatuh talak selama dalam masa iddah. Hal ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ats-Tsauri dan Az-Auza’i. Juga menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Syuraih, Thawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam dan Hamad bin Abi Sulaiman.

Firman-Nya (تلك حدود الله فلا تعتدوها ومن يتعد حدود الله فإولئك هم الظالمون) maksudnya, semua syari’at yang telah ditetapkan bagi kalian merupakan batasan-batasan yang diberikan Allah Ta’ala, maka janganlah kalian melanggarnya. Sebagaimana hal tersebut telah ditegaskan dalam hadis sahih:

"إِنِ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا"
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai batasan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia pun telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan telah mengharamkan berbagai larangan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah membiarkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakan hal itu.” Ayat ini juga dijadikan dalil bagi orang-orang yang berpendapat bahwa yang menghimpun (mengucapkan) talak tiga dalam satu ucapan sekaligus adalah haram. Sebagaimana yang menjadi pendapat mazhab Maliki dan yang sejalan dengan mereka. Dan menurut mereka, yang sunnah adalah menjatuhkan talak satu kali, karena sebagaimana telah difirmankan Allah Ta’ala dalam ayat ini.


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)