BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Firman-Nya (وإن عزموا الطلاق) di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa talak itu tidak jatuh hanya sekedar karena berlalunya waktu empat bulan, inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama muta’akhkhirin, yaitu dia harus menentukan, yakni ia dituntut untuk mencampurinya kembali atau menceraikannya. Jadi, talak itu tidak terjadi hanya karena berlalunya waktu empat bulan. Diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, pernah mengatakan: “Jika seorang laki-laki meng-ilaa’ istrinya, maka hal itu tidak menyebabkan jatuhnya talak meskipun telah berlalu empat bulan, hingga ia mempertimbangkan untuk menceraikan atau mencampurinya kembali.” Hadis tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari. Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, katanya, “Aku pernah mendapati sekitar sepuluh orang atau lebih dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: “Orang yang bersumpah harus menentukan pendiriannya.” Lebih lanjut Imam Syafi’i mengatakan: “Paling sedikit tiga belas orang sahabat.”
Imam Syafi’i juga meriwayatkan, dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya orang yang meng-ilaa’ istrinya harus dituntut untuk menentukan pendiriannya. Lalu ia mengatakan: “Demikianlah pendapat kami, dan itu sejalan dengan apa yang kami riwayatkan dari Umar, Ibnu Amr, Aisyah, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan lebih dari sepuluh orang sahabat Nabi.” Demikianlah pendapat Imam Syafi’i.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Suhail Ibnu Abi Shalih, dari ayahnya, ia menceritakan: “Pernah kutanyakan kepada dua belas orang sahabat tentang seseorang yang meng-ilaa’ istrinya. Semua mengatakan, tidak ada kewajiban apa pun baginya hingga empat bulan berlalu, lalu ia diminta untuk menentukan pendiriannya, jika berkehendak ia boleh kembali, dan jika tidak ia boleh menceraikannya. Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni melalui jalur Suhail.
Ibnu Katsir katakan, ia meriwayatkannya dari Umar, Utsman, Ali, Abu Darda’, Aisyah Ummul Mukminin, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Hal itu Pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, Thawus, Muhammad bin Ka’ab, dan al Qasim juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan para sahabat mereka, juga yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Dan merupakan pendapat Al-Laits, Ishaqbin Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Dawud. Mereka mengatakan, jika ia tidak mencampuri istrinya, maka ia harus menceraikannya, dan jika ia tidak mau menceraikannya juga maka hakim yang harus menceraikannya. Jenis talaknya adalah raj’i sehingga si suami masih boleh rujuk kepada istrinya tersebut pada masa iddah. Tetapi Imam Malik sendiri mengemukakan, “Si suami tidak diperbolehkan merujuknya sehingga ia mencampurinya pada masa iddah.” Pendapat ini jelas aneh sekali.
Berkenaan dengan masa penangguhan selama empat bulan, para fuqaha dan juga yang lainnya menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas rahimahullahu, dalam Kitab Al-Muwattha’, dari Abdullah bin Dinar, ia menceritakan, Umar bin Al-Khaththab pernah pergi pada malam hari, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan:
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
وَإِنۡ عَزَمُواْ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ
ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢٢٧
Artinya: “Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” Firman-Nya (وإن عزموا الطلاق) di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa talak itu tidak jatuh hanya sekedar karena berlalunya waktu empat bulan, inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama muta’akhkhirin, yaitu dia harus menentukan, yakni ia dituntut untuk mencampurinya kembali atau menceraikannya. Jadi, talak itu tidak terjadi hanya karena berlalunya waktu empat bulan. Diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, pernah mengatakan: “Jika seorang laki-laki meng-ilaa’ istrinya, maka hal itu tidak menyebabkan jatuhnya talak meskipun telah berlalu empat bulan, hingga ia mempertimbangkan untuk menceraikan atau mencampurinya kembali.” Hadis tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari. Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, katanya, “Aku pernah mendapati sekitar sepuluh orang atau lebih dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: “Orang yang bersumpah harus menentukan pendiriannya.” Lebih lanjut Imam Syafi’i mengatakan: “Paling sedikit tiga belas orang sahabat.”
Imam Syafi’i juga meriwayatkan, dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya orang yang meng-ilaa’ istrinya harus dituntut untuk menentukan pendiriannya. Lalu ia mengatakan: “Demikianlah pendapat kami, dan itu sejalan dengan apa yang kami riwayatkan dari Umar, Ibnu Amr, Aisyah, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan lebih dari sepuluh orang sahabat Nabi.” Demikianlah pendapat Imam Syafi’i.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Suhail Ibnu Abi Shalih, dari ayahnya, ia menceritakan: “Pernah kutanyakan kepada dua belas orang sahabat tentang seseorang yang meng-ilaa’ istrinya. Semua mengatakan, tidak ada kewajiban apa pun baginya hingga empat bulan berlalu, lalu ia diminta untuk menentukan pendiriannya, jika berkehendak ia boleh kembali, dan jika tidak ia boleh menceraikannya. Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni melalui jalur Suhail.
Ibnu Katsir katakan, ia meriwayatkannya dari Umar, Utsman, Ali, Abu Darda’, Aisyah Ummul Mukminin, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Hal itu Pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, Thawus, Muhammad bin Ka’ab, dan al Qasim juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan para sahabat mereka, juga yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Dan merupakan pendapat Al-Laits, Ishaqbin Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan Dawud. Mereka mengatakan, jika ia tidak mencampuri istrinya, maka ia harus menceraikannya, dan jika ia tidak mau menceraikannya juga maka hakim yang harus menceraikannya. Jenis talaknya adalah raj’i sehingga si suami masih boleh rujuk kepada istrinya tersebut pada masa iddah. Tetapi Imam Malik sendiri mengemukakan, “Si suami tidak diperbolehkan merujuknya sehingga ia mencampurinya pada masa iddah.” Pendapat ini jelas aneh sekali.
Berkenaan dengan masa penangguhan selama empat bulan, para fuqaha dan juga yang lainnya menyebutkan sebuah atsar yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas rahimahullahu, dalam Kitab Al-Muwattha’, dari Abdullah bin Dinar, ia menceritakan, Umar bin Al-Khaththab pernah pergi pada malam hari, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan:
تطاوَلَ هَذَا الليلُ وَاسْوَدَّ جانِبُهْ ... وَأَرَّقَنِي أَلَّا خليلَ
ألاعِبُهْ ...
فَوَاللَّهِ
لَوْلَا اللَّهُ أَنِّي أراقبهْ ... لحرِّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهْ
...
Artinya: “Malam begitu panjang dan hitam kelam sekelilingnya, aku tak dapat tidur tiada kekasih yang berkencan denganku. Demi Allah, jika bukan karena Allah yang selalu mengawasiku, niscaya sisi-sisi pelaminan ini telah bergoyang.” Kemudian Umar berkata kepada putrinya, Hafshah radhiallahu ‘anha, “Berapa lama seorang wanita dapat bersabar menunggu suaminya?” Hafshah menjawab, “Enam atau empat bulan.” Maka Umar pun berucap, “Aku tidak akan menahan seorang prajurit lebih lama dari masa tersebut.”
Muhammad bin Ishak meriwayatkan, dari Sa’id bin Jubair budak Ibnu Abbas, yang pernah bertemu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia menuturkan, aku masih tetap ingat hadis Umar, bahwa pada suatu malam ia pernah pergi mengelilingi Madinah, ia memang sering melakukan hal tersebut. Tiba-tiba ia melewati seorang wanita Arab yang pintu rumahnya tertutup seraya berucap:
تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَازْوَرَّ جَانِبُهْ ... وَأَرَّقَنِي أَلَّا
ضجيعَ ألاعِبُهْ ...
أُلَاعِبُهُ طُورًا وَطُورًا كَأَنَّمَا ... بَدَا قَمَرًا فِي ظُلْمَةِ
اللَّيْلِ حَاجِبُهْ ...
يُسَرُّ بِهِ مَنْ كَانَ يَلْهُو بِقُرْبِهِ ... لَطِيفُ الْحَشَا لَا
يَحْتَوِيهِ أَقَارِبُهْ ...
فَوَاللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ لَا شَيْءَ غَيْرُهُ ... لَنُقِضَ مِنْ هَذَا
السَّرِيرِ جَوَانِبُهْ ...
وَلَكِنَّنِي أَخْشَى رقيبًا موكلا ... بِأَنْفُسِنَا
لَا يَفْتُر الدهرَ كَاتِبُهْ ...
Artinya: “Malam ini begitu panjang, menghiasi sekelilingnya, ketiadaan teman tidur membuatku terjaga. Aku kencani ia dari masa ke masa, seakan-akan ia menutupi cahaya bulan dalam kepekatan malam. Membuat senang orang berkencan di sisinya, dalam kelembutan bantal yang tidak melindunginya, aku mendekatinya. Demi Allah jika bukan karena Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, niscaya hancurlah sisi pelaminan ini. Namun aku takut pada malaikat Raqib yang ditugaskan mengawasi diri kami, yang selalu mencatatnya sepanjang masa. Takut kepada Rabb-ku, rasa malu, dan rasa hormat kepada suami, menghalangi diriku, agar kehormatannya tidak tercemar.” Kemudian perawi melanjutkan kelengkapannya seperti yang disebutkan di atas atau semisalnya. Hal ini diriwayatkan juga melalui beberapa jalan yang masyhur.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########