BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٢٣
Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Imam Al-Bukhari meriwayatkan, dari Ibnul Munkadir, ia menceritakan, aku pemah mendengar Jabir mengatakan, dulu, orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seorang suami mencampuri istrinya dari belakang, maka akan lahir anak bermata juling.” Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan Abu Dawud yang bersumber dari Jabir).

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Umar datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Ya Rasulullah, celakalah saya!” Nabi bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu celaka?” Ia menjawab: “Aku berjimak dengan istri dari belakang tadi malam.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam dan turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa orang-orang pada waktu itu menganggap mungkar orang yang menggauli istrinya dari belakang. Maka turunlah ayat ini yang menyalahkan sikap dan anggapan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Abu Ya’la, dan Ibnu Mardawaih, yang bersumber dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, yang bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri. Hadis seperti ini diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Umar)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa turunnya ayat ini sebagai pemberi kelonggaran menggauli istri dari belakang.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, di dalam Kitab Al-Ausath dengan sanad yang kuat, yang bersumber dari Ibnu Umar)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa penghuni kampung di sekitar Madinah, tadinya penyembah berhala, tinggal berdampingan dengan kaum Yahudi Ahli Kitab. Mereka menganggap bahwa kaum Yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan menganggap baik segala perbuatannya. Salah satu perbuatan kaum Yahudi yang dianggap baik oleh mereka adalah tidak menggauli istri dari belakang. Adapun penduduk kampung sekitar Mekkah menggauli istrinya dengan segala keleluasaannya. Ketika Kaum Muhajirin tiba di Madinah, salah seorang dari mereka menikah dengan seorang wanita Anshar. Ia berbuat seperti kebiasaannya, tetapi ditolah oleh istrinya dengan berkata, “Kebiasaan orang sini, hanya menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka turunlah ayat ini yang membolehkan menggauli istri dari depan, belakang atau terlentang, tetapi di tempat yang lazim.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Firman-Nya (نساؤكم حرث لكم) Ibnu Abbas mengatakan, ‘al-harts’ berarti tempat mengandung anak. Firman-Nya (فأتوا حرثكم أنى شئتم) maksudnya, kalian boleh mencampurinya sekehendak hati kalian, dari depan maupun dari belakang, tetapi tetap pada satu jalan (yaitu lewat kemaluan). Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam banyak hadis. Sedang dalam hadis Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya ia pernah mengatakan:
"حَرْثُكَ، ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ، غَيْرَ أَلَّا تضربَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحَ، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْمَبِيتِ
Artinya: “Ya Rasulullah, pada bagian mana istri-istri kami yang boleh kami datangi dan bagian mana yang harus kami jauhi?” Maka beliau bersabda: “(Istrimu adalah seperti) lahan kamu bercocok tanam, datangilah lahanmu itu bagaimana saja yang engkau kehendaki, dengan tidak memukul bagian wajah, tidak boleh mencelanya dan tidak juga mengisolasi(nya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 5/3, Abu Dawud 2143 dan An-Nasai 9160).

Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ayat ini turun berkenaan dengan beberapa orang Anshar yang mendatangi Nabi, lalu mereka menanyakan kepada beliau, dan beliau pun bersabda, “Datangilah mereka dengan cara bagaimanapun selama masih pada kemaluan.” (HR. Ahmad)

Masih dalam riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Sabith, ia menceritakan, aku pernah menemui Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dan kutanyakan: “Aku akan bertanya kepadamu mengenai suatu hal yang aku malu untuk mengemukakannya.” Maka Hafshah pun menyahut: “Janganlah malu, wahai keponakanku.” Abdullah bin Sabith menuturkan: “Tentang mencampuri istri dari belakang.” Ia pun mengemukakan, Ummu Salamah pernah memberitahuku bahwa kaum Anshar sangat suka menggauli istri mereka dari arah belakang, sedang orang-orang Yahudi dulu mengatakan: “Barangsiapa mendatangi istrinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir juling.” Dan ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, mereka menikahi wanita-wanita Anshar. Maka ketika mereka hendak mencampuri istrinya dari arah belakang, ada seorang wanita yang menolak mentaati suaminya seraya berkata: “Engkau jangan melakukan hal itu hingga aku mendatangi Rasulullah. Kemudian ia menemui Ummu Salamah dan menyebutkan hal itu kepadanya.” Maka Ummu Salamah pun berujar: “Duduklah hingga Rasulullah datang.” Dan ketika beliau tiba, wanita Anshar tersebut merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah, sehingga wanita itu pun keluar. Lalu Ummu Salamah bertanya kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Panggilah wanita Anshar itu.” Kemudian Ummu Salamah pun memanggilnya. Setelah itu, beliau membacakan kepadanya ayat (نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم), tetapi dengan satu tujuan (kemaluan). (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).

An-Nasa’i meriwayatkan, dari Ka’ab bin Alqamah, dari Abu Nadhr, bahwa ia pernah berkata kepada Nafi’ budak Ibnu Umar, “Sesungguhnya banyak yang menyebutkan bahwa engkau menceritakan Ibnu Umar pernah memberikan fatwa yang membolehkan mendatangi istri dari dubur mereka.” Maka ia pun menuturkan: “Mereka telah berbohong mengenai diriku. Tetapi akan kuberitahukan kepadamu kejadian yang sebenarnya. Pada suatu hari, Ibnu Umar membaca Al-Qur’an dan aku berada di sisinya. Ketika ia sampai pada bacaan (نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم) ia (Ibnu Umar) mengatakan: “Hai Nafi’, apakah engkau mengetahui siapa yang diperintahkan oleh ayat ini?” “Tidak”, jawab Nafi’. Maka Ibnu Umar mengatakan: “Sesungguhnya kami kaum Quraisy terbiasa mendatangi istri dari belakang (tapi tetap pada kemaluan). Ketika tiba di Madinah, kami menikahi wanita-wanita Anshar.Dan kami menghendaki dari mereka (berhubungan badan) seperti yang kami inginkan. Tetapi hal itu menyakitkan mereka, maka mereka menolak dan bahkan memperbesar persoalan. Dan wanita-wanita Anshar sudah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Yahudi, yaitu mendatangi istri-istri mereka dari arah depan.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini.” (Sanad hadis ini sahih).

Kami juga pernah meriwayatkan suatu hal yang secara jelas bertentangan dengan hal itu, dari Ibnu Umar, bahwa mendatangi istri dengan cara seperti itu tidak boleh dan bahkan dilarang. Sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Dan banyak hadis yang diriwayatkan dari berbagai jalur, yang semuanya mencela dan melarang perbuatan semacam itu. Imam Ahmad meriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang suami mendatangi istrinya dari duburnya. Abu Isa At-Tirmidzi dan An-Nasa’i meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ"
Artinya: “Allah tidak akan melihat orang yang mendatangi seorang laki-laki atau istri-nya pada bagian dubur.” (HR. At-Tirmidzi 1165 dan Nasa’i 9001. Lebih lanjut At-Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan gharib. Demikianlah diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab, Sahih Ibnu Hibban, dan disahih-kan oleh Ibnu Hazm)

Abd meriwayatkan dari Abdur Razaq, dari Mu’ammar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mendatangi istri dari duburnya. Maka ia menjawab: “Engkau menanyakan kepadaku mengenai kekufuran.” Sanad hadis itu sahih. Dan An-Nasa’i juga meriwayatkan hal senada.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى"
Artinya: “Mencampuri istri dari bagian dubur adalah homoseksual kecil.”

Qatadah menceritakan, Uqbah bin Wisaj memberitahuku, dari Abu Darda’, ia mengatakan: “Dan tidaklah hal itu dilakukan kecuali oleh orang kafir.” Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Ali bin Thalaq, ia menceritakan: “Rasulullah melarang seseorang mencampuri istri dari duburnya, dan Allah tidak malu membicarakan kebenaran.” Hadis tersebut juga diriwayatkan Ahmad, dari Abu Mu’awiyah, dan Abu Isa At-Tirmidzi juga melalui jalan Abu Mu’awiyah, dari Ashim Al-Ahwal, yang di dalamnya terdapat tambahan. Dan ia (At-Tirmidzi) mengatakan, hadis ini hasan. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dalam sebuah hadis marfu’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

"لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ جَامَعَ امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا"
Artinya: “Allah Ta’ala tidak akan melihat kepada orang yang mencampuni istrinya dari duburnya.” (HR. Ahmad 2/344 dan An-Nasai 1923)

Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Majah melalui jalur Suhail. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

"مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا"
Artinya: “Terlaknat orang yang mencampuri istrinya dari duburnya.” (HR. Ahmad 2/444, Abu Dawud 2162 dan An-Nasai 9015 melalui jalur Waki’)

Ats-Tsauri meriwayatkan, dari As-Shalt bin Bahram, dari Abul Mu’tamar, dari Abu Juwairah, ia menceritakan, ada seseorang yang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang mencampuri istri dari duburnya. Maka ia mengatakan: “Engkau telah berbuat kehinaan, maka Allah akan menghinakanmu. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-A’raaf ayat 80 yang artinya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu (homoseksual), yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu?’”.

Ibnu Mas’ud, Abu Darda’, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu `Amr berpendapat tentang haramnya perbuatan tersebut. Dan tidak diragukan lagi, bahwa inilah yang benar dari Abdullah bin Umar, yaitu bahwa ia mengharamkannya. Abu Muhammad Abdurrahman bin Abdullah Ad-Darimi dalam Musnadnya, dari Sa’id bin Yasar Abu Hibab, ia menceritakan: “Aku pernah mengatakan kepada Ibnu Umar: “Bagaimana pendapat anda tentang budak perempuan apakah boleh dicampuri dari tahmidh?” Ibnu Umar pun bertanya, “Apa yang dimaksud dengan tahmidh itu?” “Tahmidh berarti dubur,” jawab Sa’id. Maka Ibnu Umar mengatakan: “Apakah ada dari kalangan kaum muslimin yang melakukannya?” Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Wahab dan Qutaibah, dari Al-Laits. Sanad hadis ini sahih dan sebagai nash yang sharih (jelas) dari Ibnu Umar yang mengharamkan sodomi. Dengan demikian, setiap keterangan dari Ibnu Umar yang membolehkan atau mengandung kemungkinan yang membolehkan perbuatan tersebut tertolak oleh nash muhkam (jelas) ini. Dan diriwayatkan oleh Mu’ammar bin Isa dari Malik bahwa perbuatan tersebut adalah haram.

Abu Bakar bin Ziyad An-Naisaburi berkata, telah mengabarkan kepadaku Ismail bin Husain, telah mengabarkan kepadaku Israil bin Ruh (katanya), aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik: “Bagaimana pendapat anda tentang mencampuri istri dari dubur?” Anas menjawab: “Kalian adalah bangsa Arab, bukanlah ladang itu melainkan tempat bercocok tanam. Janganlah kalian melampaui batas kemaluan.” Kutanyakan lagi, “Hai Abu Abdillah, mereka mengatakan bahwasanya engkau telah mengatakan hal itu.” Ia punmenjawab: “Mereka telah berbohong dengan mengatas namakan diriku, mereka telah berbohong dengan mengatas namakan diriku.” Demikianlah riwayat yang kuat dari Anas bin Malik. Hal itu juga menjadi pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan seluruh para sahabatnya. Juga menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Abu Salamah, Ikrimah, Thawus, Atha’, Sa’id bin Jubair, Urwah bin Zubair, Muhajid bin Jabar, Al-Hasan Al-Bashri, dan lain-lainnya dari kalangan ulama salaf, bahwa mereka semua secara tegas dan keras menentang perbuatan tersebut, bahkan sebagian dari mereka menganggap kufur perbuatan sodomi dan itulah pendapat jumhur ulama.

Firman-Nya (وقدموا لأنفسكم) yaitu dengan berbuat ketaatan dan meninggalkan semua perbuatan yang dilarang Allah Ta’ala

Firman-Nya (واتقوا الله واعلموا أنكم ملاقوه) maksudnya, Dia akan menghisab semua amal perbuatan kalian.

Firman-Nya (وبشر المؤمنين) yaitu orang-orang yang menaati Allah Ta’ala dengan menjalankan semua perintah-Nya, dan yang meninggalkan semua larangan-Nya. Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari telah ditegaskan, dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبنا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا"
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, maka hendaklah ia mengucapkan (doa): “Dengan nama Allah, Ya Allah hindarkanlah kami dari syaitan, dan jauhkan-lah syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.” Karena sesungguhnya jika dari hubungan itu keduanya ditakdirkan mempunyai anak, maka anak itu tidak akan pernah dicelakakan oleh setan selamanya.”


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)