BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalab suatu kotoran.’ Oleb sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwasanya jika wanita orang-orang Yahudi sedang haid, maka mereka tidak mau makan dan tidur bersama. Kemudian para sahabat Nabi menanyakan tentang hal itu, maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya ini. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukan apa saja selain berhubungan badan.” Maka berita itu sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu mereka pun berkata: “Orang ini (Muhammad) tidak meninggalkan satu perkara pun dari urusan kita kecuali menyelisihinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan At-Tirmidzi, yang bersumber dari Anas. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Barudi yang bersumber dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id, yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikatakan bahwa yang bertanya itu adalah Tsabit bin Ad-Dahdah. Dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis seperti ini, yang bersumber dari As-Suddi)

Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan Ubad bin Basyar, keduanya berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَالَتْ كَذَا وَكَذَا، أَفَلَا نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا، فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا، فَسَقَاهُمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجدْ عَلَيْهِمَا

Artinya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi telah mengatakan begini dan begitu, apakah tidak kita campuri saja?” Maka berubahlah raut wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga kami kira beliau sedang marah kepada keduanya. Selanjutnya kedua orang itu pergi, lalu datanglah hadiah berupa susu untuk beliau. Kemudian beliau mengutus utusan kepada keduanya dan memanggilnya untuk diberikan kepada keduanya. Akhirnya keduanya mengetahui bahwa beliau tidak marah kepada mereka.” (HR. Muslim 302 dan Ahmad 3/132. Demikianlah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Hamad bin Zaid bin Salamah)

Firman-Nya (فاعتزلوا النساء في المحيض) yaitu pada kemaluannya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuatlah apa saja, kecuali berhubungan badan.” Oleh karena itu banyak atau bahkan mayoritas ulama berpendapat, bahwasanya dibolehkan menggauli wanita yang sedang haid kecuali pada kemaluannya.

Abu Dawud meriwayatkan dari Imarah bin Gharab, bahwa bibinya pernah memberitahukan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah, “Salah seorang dari kami sedang haid. Sementara ia dan suaminya tidak mempunyai tempat tidur kecuali hanya satu saja.” Maka Aisyah pun berkata:

أُخْبِرُكِ بِمَا صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَخَلَ فَمَضَى إِلَى مَسْجِدِهِ -قَالَ أَبُو دَاوُدَ: تَعْنِي مَسْجِدَ بَيْتِهَا -فَمَا انْصَرَفَ حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي، وَأَوْجَعَهُ الْبَرْدُ، فَقَالَ: "ادْنِي مِنِّي". فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ. فَقَالَ: "اكْشِفِي عَنْ فَخِذَيْكِ". فَكَشَفْتُ فَخِذِي، فَوَضَعَ خَدَّهُ وَصَدْرَهُ عَلَى فَخِذِي، وحنَيت عَلَيْهِ حَتَّى دَفِئَ وَنَامَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Akan kuberitahukan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan Rasulullah. Suatu hari beliau memasuki rumah dan langsung menuju ke masjidnya.” Abu Dawud mengatakan bahwa yang dimaksud masjid di sini adalah tempat salat di rumahnya. Dan ketika beliau kembali aku telah tertidur lelap. Saat itu beliau tengah diserang rasa dingin (kedinginan), maka beliau berkata kepadaku: “Mendekatlah kepadaku.” Lalu kukatakan kepada beliau: “Aku sedang haid.” Dan beliau pun berucap: “Singkaplah kedua pahamu.” Maka aku pun membuka pahaku, dan kemudian beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas pahaku. Dan aku mendekapkan tubuh beliau sehingga terasa hangat, hingga beliau tertidur. (HR. Abi Dawud 270)

Dan dalam hadis sahih disebutkan juga dari Aisyah, ia menceritakan:

كُنْتُ أَتَعَرَّقُ العَرْق وَأَنَا حَائِضٌ، فَأُعْطِيهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي وَضَعْتُ فَمِي فِيهِ، وَأَشْرَبُ الشَّرَابَ فَأُنَاوِلُهُ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي كُنْتُ أَشْرَبُ منه

Artinya: “Aku pernah menggigit daging sedang aku dalam keadaan haid. Kemudian aku berikan daging itu kepada Nabi, maka beliau menggigit pada bagian yang telah aku gigit. Aku juga pernah minum, lalu aku berikan minuman itu kepada beliau, maka beliau pun meletakkan bibirnya pada bagian yang darinya aku minum.” (HR. Muslim 300)

Sedang dalam riwayat Abu Dawud, juga dari Aisyah, ia berkata:

كنتُ إِذَا حضْتُ نَزَلْتُ عَنِ المثَال عَلَى الْحَصِيرِ، فَلَمْ نَقْرَبْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَدْنُ مِنْهُ حَتَّى نَطْهُرَ
Artinya: “Jika aku haid, aku turun dari tempat tidur ke atas tikar. Maka dia tidak mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga dia suci dari haidh.” (HR. Abu Dawud 271)

Hal itu dipahami sebagai suatu upaya pencegahan dan kehati-hatian. Ulama lainnya berpendapat bolehnya seseorang mencumbui istri yang sedang haid kecuali pada bagian di bawah kain. Sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam Kitab Sahihain, dari Maimunah bin Al-Harits Al-Hilaliyah, ia menceritakan, jika Nabi hendak mencumbui salah seorang dari istrinya yang sedang haid, maka beliau menyuruhnya mengenakan kain. Demikian lafaz yang disampaikan Imam Al-Bukhari. Hadis senada diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, dari Aisyah. Imam Ahmad, Abu Dawud, At- Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Al-‘Ala’, dari Hizam bin Hakim, dari pamannya, Abdullah bin Sa’ad Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apa yang boleh aku lakukan terhadap istriku yang sedang haid?” Maka beliau pun menjawab: “Engkau boleh berbuat apa saja terhadapnya pada bagian di atas kain.” Juga hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, dari Mu’adz bin Jabal, ia menceritakan:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّا يَحِلُّ لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ. قَالَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذَلِكَ أَفْضَلُ"
Artinya: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai apa-apa yang boleh aku lakukan terhadap istriku yang sedang haid. Maka beliau pun menjawab: “Engkau boleh berbuat apa saja terhadapnya pada bagian di atas kain, dan menghindari hal itu adalah tindakan yang lebih baik.” (HR. Abu Dawud 213. Hadis tersebut diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, dan Syuraih)

Hadis-hadis tersebut di atas dan yang senada dengannya merupakan hujjah bagi orang yang membolehkan mencumbui istri yang sedang haidh sebatas pada bagian di atas kain saja. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Syafi’i. Dan ditarjih oleh banyak ulama Irak dan lain-lainnya. Mereka menyimpulkan bahwa daerah sekitar farji adalah haram, agar tidak terjerumus melakukan hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala sebagaimana disepakati oleh para ulama bahwa haram menggaulinya pada kemaluan. Barangsiapa yang melakukan hal itu, berarti ia telah berdosa. Maka hendaklah ia segera memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.

Firman-Nya (ولاتقربوهن حتى يطهرن) merupakan penafsiran dari firman-Nya (فاعتزلوا النساء في المحيض). Allah Ta’ala melarang mencampuri wanita selama ia masih menjalani haid. Pengertiannya adalah halal melakukan hal itu jika haidnya telah berhenti.

Firman-Nya (فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله) Dalam ayat tersebut terdapat anjuran dan bimbingan untuk mencampuri istri setelah mereka mandi. Ibnu Hazm berpendapat, wajib melakukan hubungan badan setiap usai haid. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala ini. Dalam hal ini Ibnu Hazm tidak mempunyai sandaran, karena hal itu merupakan perintah setelah larangan. Dalam hal ini terdapat banyak pendapat para ulama ushul fiqih. Di antara pendapat mereka ada yang mewajibkan sebagaimana perintah mutlak, dan mereka ini memerlukan jawaban yang sama dengan Ibnu Hazm. Ada juga yang berpendapat, ayat itu untuk membolehkan hubungan badan setelah haid. Mereka beralasan dengan didahulukannya larangan atas perintah maka hukum perintah itu tidak wajib. Namun pendapat ini masih perlu dipertimbangkan. Adapun pendapat yang didukung oleh dalil ialah yang menyatakan bahwa hukum itu dikembalikan kepada hukum sebelumnya, yaitu sebelum adanya larangan, jika wajib maka wajiblah hukumnya, seperti misalnya firman Allah Ta’ala dalam Surah At-Taubah ayat 5 yang artinya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” Atau mubah, jika berhukum mubah, seperti misalnya firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Dan jika kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu.” Dan juga firman-Nya dalam Surah Al-Jumuah ayat 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.” Pendapat inilah yang diperkuat oleh banyak dalil. Hal ini telah dikemukakan oleh Al-Ghazali dan juga yang lainnya, dan menjadi pilihan sebagian imam muta’akhirin, dan itulah yang sahih.

Para ulama telah sepakat, jika seorang wanita telah selesai menjalani masa haid, maka tidak dibolehkan mencampurinya hingga ia mandi atau bertayamum jika ada alasan yang membolehkan bertayamum. Namun Abu Hanifah berpendapat lain, jika darah haid seorang wanita telah berhenti pada hari maksimal haid, yaitu 10 hari, maka menurutnya, boleh mencampurinya hanya dengan terhentinya darah tersebut, dan tidak perlu mandi terlebih dahulu.

Firman-Nya (حتى يطهرن) Ibnu Abbas mengatakan: “Suci dari darah haid.”

Firman-Nya (فإذا تطهرن) maksudnya bersuci dengan air. Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Al-Laits bin Sa’ad, dan ulama lainnya.

Firman-Nya (من حيث أمركم الله) Ibnu Abbas, Mujahid, dan ulama lainnya mengatakan: “Yaitu kemaluan.” Mengenai firman-Nya ini Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah juga mengatakan: “(Artinya) hendaklah kalian menjauhi mereka.” Pada saat yang sama, ayat ini mengandung dalil yang menunjukkan diharamkannya melakukan hubungan dari dubur. Firman-Nya (إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين) maksudnya, dari dosa meskipun percampuran itu dilakukan berkali-kali. Maksudnya juga, menyucikan diri dari berbagai macam kotoran, yaitu segala sesuatu yang dilarang, seperti mencampuri wanita yang sedang haidh atau tidak pada tempatnya (kemaluan).


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)