BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istri pada malam hari Bulan Ramadhan hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka, Qais bin Shirmah dan Umar bin Al-Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah Salat Isya’, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Al-Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari Bulan Ramadhan. Keesokan harinya, ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim, dari Abd Ar-Rahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal. Hadis ini masyhur dari Ibnu Abi Laila, walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu’adz bin Jabal, tetapi ada sumber lain yang memperkuatnya)
Asbabun Nuzul kedua adalah: “Bahwa seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dan minum pada Bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tiba waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang sahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah ketika waktu tiba berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya, ternyata belum tersedia makanan. Karena lelahnya bekerja pada siang harinya, ia tertidur. Berkatalah ia: “Aduh celaka engkau!” Pada waktu tengah hari (keesokan harinya), ia pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat tersebut sehingga gembiralah kaum Muslimin.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’)
Asbabun Nuzul ketiga adalah: “Bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila datang Bulan Ramadhan, mereka tidak mendatangi istrinya sebulan penuh. Akan tetapi ada di antaranya yang tidak dapat menahan nafsu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’)
Asbabun Nuzul keempat adalah: “Bahwa pada Bulan Ramadhan orang yang berpuasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika Umar bin Al-Khaththab pulang dari rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah larut malam. Ia ingin menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: “Saya sudah tidur.” Umar berkata: “Engkau tidak tidur”, dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka’b berbuat seperti itu. Keesokan harinya Umar menceritakan hal dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka’b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya)
Asbabun Nuzul kelima adalah: “Bahwa penggalan (من الفجر) dalam surah ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak berpuasa. Mereka makan dan minum sampai terlihat jelas terlihat perbedaan antara kedua tali itu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa’d)
Asbabun Nuzul keenam adalah: “Bahwa penggalan (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) yang tertulis dalam ayat ini turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang beri’tikaf.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Ini merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah Ta’ala bagi kaum Muslimin serta penghapusan hukum yang sebelumnya berlaku pada permulaan Islam. Pada saat itu, jika seorang dari kaum Muslimin berbuka puasa, maka dihalalkan baginya makan, minum, dan berhubungan badan sampai Salat Isya’ atau ia tidur sebelum itu. Jika ia sudah tidur atau Salat Isya’, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan sampai malam berikutnya. Karena itu, mereka pun merasa sangat berat. Yang dimaksudkan dengan “ar-rafats” pada ayat tersebut adalah “al-jima’” (hubungan badan).
Firman-Nya (هن لباس لكم وأنتم لباس لهن), Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya, mereka itu sebagai pemberi ketenangan bagi kalian, dan kalian pun sebagai pemberi ketenangan bagi mereka.” Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan, “Mereka itu sebagai selimut bagi kalian, dan kalian pun merupakan selimut bagi mereka.”
Firman-Nya (أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نساءكم) yang dimaksud dengan ‘ar-rafats’ adalah mencampuri istri.
Firman-Nya (هن لباس لكم وأنتم لباس لهن علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم) maksudnya kalian boleh mencampuri istri, makan, dan minum setelah Salat Isya’.
Firman-Nya (فتاب عليكم وعفا عنكم فالآن باشروهن) maksudnya gaulilah mereka.
Firman-Nya (وابتغوا ماكتب الله لكم) maksudnya anak. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan yaitu jima’ (hubungan badan). Sedangkan Amr bin Malik Al-Bakri meriwayatkan, dari Abu Al-Jauza’ dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, yaitu lailatul qadar. Ibnu Jarir lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini lebih umum dari semua pengertian tersebut.
Firman-Nya (وكلوا واشربوا حتى ... ثم أتموا الصيام إلى الليل) kalimat ini maksudnya adalah pemaafan dan rahmat dari-Nya. Allah Ta’ala membolehkan makan, minum dan juga menggauli istri pada malam hari kapan saja seorang yang berpuasa menghendaki sampai tampak jelas sinar pagi dari gelapnya malam. Dan hal itu Dia ungkapkan dengan benang putih dan benang hitam. Kemudian kesamaran ini dijelaskan dengan, firman-Nya, “Yaitu fajar.” Imam Ahmad meriwayatkan, dari Asy-Sya’abi, dari Adi bin Hatim katanya: “Ketika ayat ini turun aku sengaja mengambil dua ikat tali, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna hitam, lalu aku letakkan keduanya di bawah bantalku. Setelah itu aku melihat keduanya, dan ketika sudah tampak olehku secara jelas antara tali yang putih dari yang hitam, maka aku langsung menahan diri (tidak makan, minum dan berjima’). Dan keesokan harinya aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuberitahukan kepada beliau apa yang telah aku lakukan itu.” Maka beliau pun bersabda:
Dan sabda Beliau, “Kalau demikian tentulah bantalmu sangat lebar,” maksudnya, jika dapat meliputi kedua benang putih dan hitam yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, yakni terangnya siang dan gelapnya malam, bararti bantalmu itu seluas timur dan barat.
Diperbolehkannya makan sampai terbit fajar merupakan dalil disunnahkannya sahur, karena itu termasuk bagian dari rukhsah, dan mengerjakannya adalah dianjurkan. Oleh karena itu dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditegaskan anjuran bersahur. Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dari Anas bin Malik, bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dan diriwayatkan dalam Sahih Muslim, dari Amr bin Al-‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Mengenai anjuran makan sahur ini sudah diterangkan oleh banyak hadis, meski sahur itu hanya dengan satu teguk air, karena hal itu disamakan dengan yang makan. Disunnahkan mengakhirkan makan sahur sampai pada saat munculnya fajar, sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan:
Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Majah, dari Hudzaifah katanya, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari sudah siang tetapi matahari belum terbit. Hadis tersebut diriwayatkan sendiri oleh Ashim bin Abu Najud. Demikian dikatakan oleh An-Nasa’i, dan dia mengartikan bahwa yang dimaksudkan adalah mendekati siang hari sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 2 yang artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.” Artinya, mereka sudah mendekati masa berakhirnya iddah. Maka merujuklah mereka dengan baik atau ceraikan mereka dengan cara yang baik pula. Dan apa yang dikemukakan inilah yang pasti, yaitu mengartikan hadis tersebut dengan pengertian bahwa mereka makan sahur, namun mereka tidak yakin akan terbitnya fajar, sampai sebagian di antara mereka menyangka sudah terbit fajar, dan sebagian lainnya belum meyakini terbitnya fajar.
Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Al-Qasim, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, dari Qais bin Thalaq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dan diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Allah Ta’ala menjadikan fajar sebagai batas akhir diperbolehkannya jima’, makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, merupakan dalil bahwa orang yang bangun pagi dalam keadaan junub, maka hendaklah ia mandi serta menyempurnakan puasanya, dan tidak ada dosa baginya. Demikian mazhab empat imam dan jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma, keduanya pernah bercerita, “Rasulullah pernah bangun pagi (setelah terbit fajar) dalam keadaan junub karena hubungan badan dan bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan berpuasa.” Dan dalam hadits Ummu Salamah disebutkan, “Kemudian beliau tidak berbuka (sebelum maghrib) dan tidak juga mengqadhanya.”
Firman-Nya (ثم أتموا الصيام إلى الليل) maksudnya berbuka puasa pada saat matahari terbenam merupakan tuntutan hukum syar’i, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab, katanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Dan dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’di, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dalam hadits-hadits sahih disebutkan secara tegas larangan wishal, yaitu menyambung puasa hari ini dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apapun di antara kedua hari tersebut. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Abu Hurairah berkata, ketika mereka tidak juga menghentikan wishal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wishal bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal, maka beliau pun bersabda:
Telah ditegaskan melalui berbagai jalur, bahwa wishal itu dilarang. Di lain pihak ditegaskan pula, bahwa wishal itu hanya dikhususkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau tahan atas hal itu dan diberi pertolongan (oleh Allah Ta’ala). Jelas bahwa makan dan minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu bersifat immaterial dan bukan material. Sebab jika bukan makanan dan minuman immaterial, maka ia tidak dikatakan melakukan wishal, sebagaimana dikatakan seorang penyair:
Firman-Nya (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang beri’tikaf di masjid pada Bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan, Allah Ta’ala mengharamkannya mencampuri istri pada malam atau siang hari sehingga ia menyelesaikan i’tikafnya.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Ada seseorang yang jika beri’tikaf keluar dari masjid dan mencampuri istri sekendak hatinya. Maka Allah Ta’ala pun berfirman ayat ini yang berarti janganlah kalian mendekati mereka selama kalian masih dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid dan tidak pula di tempat lainnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya, yaitu bahwa mereka sebelumnya mengerjakan yang demikian itu sehingga turun ayat ini.
Ibnu Abi Hatim menuturkan, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Muhammad bin Ka’ab, Mujahid, Atha’, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan, “Seseorang tidak boleh mendekati isterinya ketika ia dalam keadaan beri’tikaf.” Apa yang disebutkan dari mereka inilah yang menjadi kesepakatan para ulama, bahwa orang yang sedang beri’tikaf diharamkan baginya isterinya selama ia masih beri’tikaf di dalam masjid. Kalau ia harus pulang ke rumah karena suatu keperluan, maka tidak diperkenankan baginya berlama-lama di rumah melainkan sekadar untuk keperluannya seperti buang hajat atau makan. Dan tidak diperbolehkan baginya mencium istrinya, juga merangkulnya, serta tidak boleh menyibukkan diri dengan sesuatu selain i’tikaf. Selain itu, ia juga tidak boleh menjenguk orang sakit, tetapi boleh menanyakan keadaannya ketika sedang melewatinya. I’tikaf ini mempunyai beberapa hukum yang secara rinci diuraikan dalam bab mengenai masalah i’tikaf, di antaranya ada yang telah disepakati para ulama dan ada juga yang masih diperselisihkan. Dan mengenai hal itu telah kami kemukakan pada akhir kitab puasa. Oleh karena itu, para fukaha yang menulil kitab puasa disertai dengan pembahasan tentang i’tikaf, mengikuti cara Al-Qur’an yang mengingatkan masalah i’tikaf setelah masalah puasa.
Dalam penyebutan i’tikaf setelah puasa oleh Allah Ta’ala terdapat bimbingan dan peringatan untuk beri’tikaf pada saat puasa atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana telah ditetapkan dalam sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mencabut nyawanya. Dan sepeninggal Beliau, istri-istri beliau pun mengerjakan i’tikaf. Hadis tersebut diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anhaa.
Juga diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Shafiyah binti Huyay pernah berkunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang beri’tikaf di dalam masjid. Lalu ia berbicara di sisi beliau beberapa saat. Hal ini terjadi pada malam hari. Setelah itu ia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri untuk mengantarnya sampai di rumahnya (Shafiyah). Tempat tinggal Shafiyah ketika itu berada di rumah Usamah bin Zaid, di pinggiran kota Madinah. Di dalam perjalanannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika mereka berdua mengetahui orang itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka keduanya mempercepat langkahnya. Dalam riwayat lain disebutkan, kedua orang itu bersembunyi karena malu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau sedang bersama istrinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pelanlah kalian, ia ini adalah Shafiyah bin Huyay.” Artinya janganlah kalian mempercepat langkah kalian dan ketahuilah bahwa ia adalah Shafiyah binti Huyay isteriku. Maka keduanya berucap, “Subhanallah, Ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya seitan itu masuk dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir ia akan melemparkan sesuatu atau keburukan dalam hati kalian.”
Imam Syafi’i mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengajarkan kepada umatnya untuk menghindarkan diri dari tuduhan yang tidak pada tempatnya agar keduanya tidak terperangkap ke dalam bahaya, padahal keduanya termasuk orang yang amat takut kepada Allah Ta’ala dari berprasangka buruk terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan yang dimaksud dengan kata al-mubasyarah dalam ayat ini adalah jima’ (bersetubuh) dan berbagai faktor penyebabnya, seperti ciuman, pelukan dan lain sebagainya. Sedangkan sekedar memberikan sesuatu dan yang semisalnya tidak apa-apa hukumnya. Diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya
Firman-nya (تلك حدود الله) maksudnya, apa yang telah Kami (Allah) jelaskan, wajibkan, dan tentukan, berupa ihwal puasa dan hukum-hukumnya, apa yang Kami bolehkan dan Kami haramkan, dan yang Kami sebutkan pula tujuan-tujuannya, rukhsah dan kewajiban-kewajibannya adalah ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala, artinya disyariatkan dan dijelaskan langsung oleh Allah Ta’ala sendiri.
Firman-Nya (فلا تقربوها) maksudnya, janganlah kalian melampaui dan melanggarnya. Abdur rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Ayahku dan beberapa guru kami mengemukakan hal itu dan membacakan firman Allah Ta’ala kepada kami.”
Firman-Nya (كذلك يبين الله آياته للناس) maksudnya sebagaimana Dia telah menjelaskan tentang puasa, (tentang) hukum, syarat dan rinciannya, Dia juga menjelaskan hukum-hukum lainnya melalui hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Firman-Nya (لعلهم يتقون) maksudnya mereka mengetahui bagaimana memperoleh petunjuk dan bagaimana pula berbuat taat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Hadiid ayat 9 yang artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahapenyantun lagi Mahapenyayang kepada kamu“.
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
أُحِلَّ
لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ
وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ
أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ
وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ
ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ
وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ
فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isterimu, mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlab hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istri pada malam hari Bulan Ramadhan hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka, Qais bin Shirmah dan Umar bin Al-Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah Salat Isya’, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Al-Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari Bulan Ramadhan. Keesokan harinya, ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim, dari Abd Ar-Rahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal. Hadis ini masyhur dari Ibnu Abi Laila, walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu’adz bin Jabal, tetapi ada sumber lain yang memperkuatnya)
Asbabun Nuzul kedua adalah: “Bahwa seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dan minum pada Bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tiba waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang sahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah ketika waktu tiba berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya, ternyata belum tersedia makanan. Karena lelahnya bekerja pada siang harinya, ia tertidur. Berkatalah ia: “Aduh celaka engkau!” Pada waktu tengah hari (keesokan harinya), ia pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat tersebut sehingga gembiralah kaum Muslimin.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’)
Asbabun Nuzul ketiga adalah: “Bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila datang Bulan Ramadhan, mereka tidak mendatangi istrinya sebulan penuh. Akan tetapi ada di antaranya yang tidak dapat menahan nafsu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’)
Asbabun Nuzul keempat adalah: “Bahwa pada Bulan Ramadhan orang yang berpuasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika Umar bin Al-Khaththab pulang dari rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah larut malam. Ia ingin menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: “Saya sudah tidur.” Umar berkata: “Engkau tidak tidur”, dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka’b berbuat seperti itu. Keesokan harinya Umar menceritakan hal dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka’b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya)
Asbabun Nuzul kelima adalah: “Bahwa penggalan (من الفجر) dalam surah ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak berpuasa. Mereka makan dan minum sampai terlihat jelas terlihat perbedaan antara kedua tali itu. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa’d)
Asbabun Nuzul keenam adalah: “Bahwa penggalan (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) yang tertulis dalam ayat ini turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang beri’tikaf.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Ini merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah Ta’ala bagi kaum Muslimin serta penghapusan hukum yang sebelumnya berlaku pada permulaan Islam. Pada saat itu, jika seorang dari kaum Muslimin berbuka puasa, maka dihalalkan baginya makan, minum, dan berhubungan badan sampai Salat Isya’ atau ia tidur sebelum itu. Jika ia sudah tidur atau Salat Isya’, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan sampai malam berikutnya. Karena itu, mereka pun merasa sangat berat. Yang dimaksudkan dengan “ar-rafats” pada ayat tersebut adalah “al-jima’” (hubungan badan).
Firman-Nya (هن لباس لكم وأنتم لباس لهن), Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya, mereka itu sebagai pemberi ketenangan bagi kalian, dan kalian pun sebagai pemberi ketenangan bagi mereka.” Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan, “Mereka itu sebagai selimut bagi kalian, dan kalian pun merupakan selimut bagi mereka.”
Firman-Nya (أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نساءكم) yang dimaksud dengan ‘ar-rafats’ adalah mencampuri istri.
Firman-Nya (هن لباس لكم وأنتم لباس لهن علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم) maksudnya kalian boleh mencampuri istri, makan, dan minum setelah Salat Isya’.
Firman-Nya (فتاب عليكم وعفا عنكم فالآن باشروهن) maksudnya gaulilah mereka.
Firman-Nya (وابتغوا ماكتب الله لكم) maksudnya anak. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan yaitu jima’ (hubungan badan). Sedangkan Amr bin Malik Al-Bakri meriwayatkan, dari Abu Al-Jauza’ dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, yaitu lailatul qadar. Ibnu Jarir lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini lebih umum dari semua pengertian tersebut.
Firman-Nya (وكلوا واشربوا حتى ... ثم أتموا الصيام إلى الليل) kalimat ini maksudnya adalah pemaafan dan rahmat dari-Nya. Allah Ta’ala membolehkan makan, minum dan juga menggauli istri pada malam hari kapan saja seorang yang berpuasa menghendaki sampai tampak jelas sinar pagi dari gelapnya malam. Dan hal itu Dia ungkapkan dengan benang putih dan benang hitam. Kemudian kesamaran ini dijelaskan dengan, firman-Nya, “Yaitu fajar.” Imam Ahmad meriwayatkan, dari Asy-Sya’abi, dari Adi bin Hatim katanya: “Ketika ayat ini turun aku sengaja mengambil dua ikat tali, satu berwarna putih dan satu lagi berwarna hitam, lalu aku letakkan keduanya di bawah bantalku. Setelah itu aku melihat keduanya, dan ketika sudah tampak olehku secara jelas antara tali yang putih dari yang hitam, maka aku langsung menahan diri (tidak makan, minum dan berjima’). Dan keesokan harinya aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kuberitahukan kepada beliau apa yang telah aku lakukan itu.” Maka beliau pun bersabda:
"إِنَّ
وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ
وَسَوَادُاللَّيْلِ"
Artinya: “Kalau demikian tentulah bantalmu itu sangat lebar, sebenarnya yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam.” (HR. Ahmad: 4/377 Al-Bukhari: 1916/4509 dan Muslim: 1090) Dan sabda Beliau, “Kalau demikian tentulah bantalmu sangat lebar,” maksudnya, jika dapat meliputi kedua benang putih dan hitam yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, yakni terangnya siang dan gelapnya malam, bararti bantalmu itu seluas timur dan barat.
Diperbolehkannya makan sampai terbit fajar merupakan dalil disunnahkannya sahur, karena itu termasuk bagian dari rukhsah, dan mengerjakannya adalah dianjurkan. Oleh karena itu dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditegaskan anjuran bersahur. Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan, dari Anas bin Malik, bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"
Artinya: “Makan sahurlah kalian; karena di dalam sahur itu terdapat berkah.” (HR. Al-Bukhari: 1923 dan Muslim: 1095) Dan diriwayatkan dalam Sahih Muslim, dari Amr bin Al-‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"إن
فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
"
Artinya: “Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim: 1096) Mengenai anjuran makan sahur ini sudah diterangkan oleh banyak hadis, meski sahur itu hanya dengan satu teguk air, karena hal itu disamakan dengan yang makan. Disunnahkan mengakhirkan makan sahur sampai pada saat munculnya fajar, sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan:
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى
الصَّلَاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ
وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
Artinya: “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan setelah itu kami berdiri untuk mengerjakan salat.” Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?” Zaid menjawab, “Sekitar lima puluh ayat.” (HR. Al-Bukhari: 1921 dan Muslim 1097) Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Majah, dari Hudzaifah katanya, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hari sudah siang tetapi matahari belum terbit. Hadis tersebut diriwayatkan sendiri oleh Ashim bin Abu Najud. Demikian dikatakan oleh An-Nasa’i, dan dia mengartikan bahwa yang dimaksudkan adalah mendekati siang hari sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Ath-Thalaq ayat 2 yang artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.” Artinya, mereka sudah mendekati masa berakhirnya iddah. Maka merujuklah mereka dengan baik atau ceraikan mereka dengan cara yang baik pula. Dan apa yang dikemukakan inilah yang pasti, yaitu mengartikan hadis tersebut dengan pengertian bahwa mereka makan sahur, namun mereka tidak yakin akan terbitnya fajar, sampai sebagian di antara mereka menyangka sudah terbit fajar, dan sebagian lainnya belum meyakini terbitnya fajar.
Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Al-Qasim, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
"لَا
يَمْنَعُكُمْ أذانُ بِلَالٍ عَنْ سَحُوركم، فَإِنَّهُ يُنَادِي بِلَيْلٍ، فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا
يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"
Artinya: “Azan Bilal tidak menghalangi makan sahur kalian, karena ia mengumandangkan azan pada malam hari. Maka makan dan minumlah sehingga mendengar azan Ibnu Ummi Maktum, karena ia tidak mengumandangkan azan melainkan waktu fajar telah terbit.” (HR. Al-Bukhari: 1918/622 dan Muslim: 1092. Demikian menurut teks Al-Bukhari) Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan, dari Qais bin Thalaq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"لَيْسَ
الفجرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ"
Artinya: “Fajar itu bukanlah garis memanjang di ufuk, tetapi ia adalah melintang berwarna merah.” (HR. Imam Ahmad: 4/23 dan At-Tirmidzi) Dan diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"لَا
يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بلال ولا هذا البياض، تعمدوا الصبح حين يَسْتَطِيرَ"
Artinya: “Janganlah kalian tertipu oleh adzan Bilal dan tidak juga oleh warna putih ini, maksudnya cahaya subuh, sehingga merekah.” (HR. Muslim 1094) Allah Ta’ala menjadikan fajar sebagai batas akhir diperbolehkannya jima’, makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, merupakan dalil bahwa orang yang bangun pagi dalam keadaan junub, maka hendaklah ia mandi serta menyempurnakan puasanya, dan tidak ada dosa baginya. Demikian mazhab empat imam dan jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu anhuma, keduanya pernah bercerita, “Rasulullah pernah bangun pagi (setelah terbit fajar) dalam keadaan junub karena hubungan badan dan bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan berpuasa.” Dan dalam hadits Ummu Salamah disebutkan, “Kemudian beliau tidak berbuka (sebelum maghrib) dan tidak juga mengqadhanya.”
Firman-Nya (ثم أتموا الصيام إلى الليل) maksudnya berbuka puasa pada saat matahari terbenam merupakan tuntutan hukum syar’i, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab, katanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
"إِذَا
أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ
أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Artinya: “Jika malam telah tiba dari sini, dan siang pun telah berlalu dari sini, maka orang yang berpuasa dapat berbuka.” (HR Al-Bukhari 1954 dan Muslim 1100). Dan dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’di, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"لَا
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"
Artinya: “Kaum muslimin tetap berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari 1954 dan Muslim 1098). Dalam hadits-hadits sahih disebutkan secara tegas larangan wishal, yaitu menyambung puasa hari ini dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apapun di antara kedua hari tersebut. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"لَا
تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ. قَالَ:
"فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي
وَيَسْقِينِي"
Artinya: “Janganlah kalian melakukan wishal.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau melakukan wishal.” Beliaupun menjawab, “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, pada malam hari aku diberi makan dan juga minum oleh Rabbku.” Abu Hurairah berkata, ketika mereka tidak juga menghentikan wishal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wishal bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal, maka beliau pun bersabda:
"لَوْ
تَأَخَّرَ الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ"
Artinya: “Seandainya hilal itu tidak segera datang, niscaya akan kutambah wishal ini. Hal itu beliau lakukan sebagai peringatan dan pelajaran bagi mereka.” (HR. Al-Bukhari 6851 dan Muslim 1105) Telah ditegaskan melalui berbagai jalur, bahwa wishal itu dilarang. Di lain pihak ditegaskan pula, bahwa wishal itu hanya dikhususkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau tahan atas hal itu dan diberi pertolongan (oleh Allah Ta’ala). Jelas bahwa makan dan minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu bersifat immaterial dan bukan material. Sebab jika bukan makanan dan minuman immaterial, maka ia tidak dikatakan melakukan wishal, sebagaimana dikatakan seorang penyair:
لَهَا أحاديثُ
مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلها ... عَنِ الشَّرَابِ وتُلْهيها عَن الزادِ ...
Artinya: “Ia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu Yang menjadikannya lupa minum dan perbekalan.” Firman-Nya (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang beri’tikaf di masjid pada Bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan, Allah Ta’ala mengharamkannya mencampuri istri pada malam atau siang hari sehingga ia menyelesaikan i’tikafnya.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Ada seseorang yang jika beri’tikaf keluar dari masjid dan mencampuri istri sekendak hatinya. Maka Allah Ta’ala pun berfirman ayat ini yang berarti janganlah kalian mendekati mereka selama kalian masih dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid dan tidak pula di tempat lainnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya, yaitu bahwa mereka sebelumnya mengerjakan yang demikian itu sehingga turun ayat ini.
Ibnu Abi Hatim menuturkan, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Muhammad bin Ka’ab, Mujahid, Atha’, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan, “Seseorang tidak boleh mendekati isterinya ketika ia dalam keadaan beri’tikaf.” Apa yang disebutkan dari mereka inilah yang menjadi kesepakatan para ulama, bahwa orang yang sedang beri’tikaf diharamkan baginya isterinya selama ia masih beri’tikaf di dalam masjid. Kalau ia harus pulang ke rumah karena suatu keperluan, maka tidak diperkenankan baginya berlama-lama di rumah melainkan sekadar untuk keperluannya seperti buang hajat atau makan. Dan tidak diperbolehkan baginya mencium istrinya, juga merangkulnya, serta tidak boleh menyibukkan diri dengan sesuatu selain i’tikaf. Selain itu, ia juga tidak boleh menjenguk orang sakit, tetapi boleh menanyakan keadaannya ketika sedang melewatinya. I’tikaf ini mempunyai beberapa hukum yang secara rinci diuraikan dalam bab mengenai masalah i’tikaf, di antaranya ada yang telah disepakati para ulama dan ada juga yang masih diperselisihkan. Dan mengenai hal itu telah kami kemukakan pada akhir kitab puasa. Oleh karena itu, para fukaha yang menulil kitab puasa disertai dengan pembahasan tentang i’tikaf, mengikuti cara Al-Qur’an yang mengingatkan masalah i’tikaf setelah masalah puasa.
Dalam penyebutan i’tikaf setelah puasa oleh Allah Ta’ala terdapat bimbingan dan peringatan untuk beri’tikaf pada saat puasa atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana telah ditetapkan dalam sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mencabut nyawanya. Dan sepeninggal Beliau, istri-istri beliau pun mengerjakan i’tikaf. Hadis tersebut diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anhaa.
Juga diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Shafiyah binti Huyay pernah berkunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang beri’tikaf di dalam masjid. Lalu ia berbicara di sisi beliau beberapa saat. Hal ini terjadi pada malam hari. Setelah itu ia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdiri untuk mengantarnya sampai di rumahnya (Shafiyah). Tempat tinggal Shafiyah ketika itu berada di rumah Usamah bin Zaid, di pinggiran kota Madinah. Di dalam perjalanannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika mereka berdua mengetahui orang itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka keduanya mempercepat langkahnya. Dalam riwayat lain disebutkan, kedua orang itu bersembunyi karena malu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau sedang bersama istrinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pelanlah kalian, ia ini adalah Shafiyah bin Huyay.” Artinya janganlah kalian mempercepat langkah kalian dan ketahuilah bahwa ia adalah Shafiyah binti Huyay isteriku. Maka keduanya berucap, “Subhanallah, Ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya seitan itu masuk dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir ia akan melemparkan sesuatu atau keburukan dalam hati kalian.”
Imam Syafi’i mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermaksud mengajarkan kepada umatnya untuk menghindarkan diri dari tuduhan yang tidak pada tempatnya agar keduanya tidak terperangkap ke dalam bahaya, padahal keduanya termasuk orang yang amat takut kepada Allah Ta’ala dari berprasangka buruk terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan yang dimaksud dengan kata al-mubasyarah dalam ayat ini adalah jima’ (bersetubuh) dan berbagai faktor penyebabnya, seperti ciuman, pelukan dan lain sebagainya. Sedangkan sekedar memberikan sesuatu dan yang semisalnya tidak apa-apa hukumnya. Diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدْني إِلِيَّ رَأْسَهُ فأرجِّلُه
وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ.
قَالَتْ عَائِشَةُ: وَلَقَدْ كَانَ المريضُ يَكُونُ فِي الْبَيْتِ فَمَا أَسْأَلُ
عَنْهُ إِلَّا وَأَنَا مَارَّةٌ
Artinya: “Rasulullah mendekatkan kepalanya kepadaku lalu aku menyisir rambutnya, sedang aku dalam keadaan haid. Dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk kepentingannya.” Aisyah mengatakan, “Pernah ada orang sakit di rumah, dan aku tidak bertanya mengenai keadaannya kecuali aku dalam keadaan sambil berlalu.” (HR. Al-Bukhari 2029 dan Muslim 297) Firman-nya (تلك حدود الله) maksudnya, apa yang telah Kami (Allah) jelaskan, wajibkan, dan tentukan, berupa ihwal puasa dan hukum-hukumnya, apa yang Kami bolehkan dan Kami haramkan, dan yang Kami sebutkan pula tujuan-tujuannya, rukhsah dan kewajiban-kewajibannya adalah ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala, artinya disyariatkan dan dijelaskan langsung oleh Allah Ta’ala sendiri.
Firman-Nya (فلا تقربوها) maksudnya, janganlah kalian melampaui dan melanggarnya. Abdur rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Ayahku dan beberapa guru kami mengemukakan hal itu dan membacakan firman Allah Ta’ala kepada kami.”
Firman-Nya (كذلك يبين الله آياته للناس) maksudnya sebagaimana Dia telah menjelaskan tentang puasa, (tentang) hukum, syarat dan rinciannya, Dia juga menjelaskan hukum-hukum lainnya melalui hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Firman-Nya (لعلهم يتقون) maksudnya mereka mengetahui bagaimana memperoleh petunjuk dan bagaimana pula berbuat taat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Hadiid ayat 9 yang artinya: “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahapenyantun lagi Mahapenyayang kepada kamu“.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########