BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Allah Ta’ala memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Adhim. Dia memberikan keistimewaan ini pada Bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam hadis bahwa Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah diturunkan kepada para Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada Nabi penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.”Dia juga berfirman dalam Surah Ad-Dukhan ayat 3 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.” Setelah itu, Al-Quran diturunkan bagian demi bagian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, melalui beberapa jalur.
Firman-Nya (هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان) maksudnya ini merupakan pujian bagi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Dan sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.
Firman-Nya (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) maksudnya ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan Bulan Ramadhan, artinya bermukim di tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk Bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa. Ayat ini menghapus dibolehkannya orang sehat yang berada di tempat tinggalnya untuk tidak berpuasa tetapi mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia berbuka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Firman-Nya (ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر) dan tatkala menutup masalah puasa, Allah Ta’ala kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya. Artinya juga, barangsiapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat atau terganggu jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan.
Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد يكم العسر) maksudnya, Dia memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka ketika dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada di tempat tinggalnya dan sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.
Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di atas: pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa:
Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman-nya dalam ayat ini. Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam puasa sebagian dari mereka. Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu. Berdasarkan hadis dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’, katanya:
Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih utama daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sebagaimana disebutkan pada hadis di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu utama, sebagai realisasi rukhsah, dan berdasarkan hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau pun menjawab:
Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya:
Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa:
Keempat, mengenai masalah mengganti puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, mengganti puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan. Kedua, tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah diwajibkan dalam Bulan Ramadhan, karena pentingnya pelaksanaannya pada waktu itu.
Firman-Nya (فعدة من أيام أخر) maksudnya ada pun setelah berakhirnya Ramadhan yang dituntut adalah qadha’ puasa pada hari-hari lain sejumlah yang ditinggalkan.
Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر) Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abu At-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas bin Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Diriwayatkan pula dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman:
Dan dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:
Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة) maksudnya, Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan, atau disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan perintah untuk mengqadha puasa itu dimaksudkan untuk menggenapkan bilangan puasa kalian menjadi sebulan.
Firman-Nya (لتكبروا الله على ما هداكم) maksudnya supaya kamu mengingat Allah Ta’ala sesuai ibadah kalian. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 200 yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadab hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana yang menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” Oleh karena itu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Ibnu Abbas mengatakan: “Kami tidak mengetahui berakhimya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan takbir.”
Firman-Nya (ولتكملوا العدة لتكبروا الله على ما هداكم) banyak ulama yang mengambil pensyariatan takbir pada Hari Idul Fitri dari ayat ini. Bahkan Daud bin Ali Al-Asbahani Az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan takbir pada Hari Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam firman-Nya ini. Sebaliknya, madzhab Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada Hari Idul Fitri. Sementara ulama lainnya menyatakan sunnah, dengan beberapa-perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di antara mereka.
Firman-Nya (ولعلكم تشكرون) maksudnya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ
ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ
فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ
وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Allah Ta’ala memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Adhim. Dia memberikan keistimewaan ini pada Bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam hadis bahwa Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah diturunkan kepada para Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
"أُنْزِلَتْ
صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ
التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ
خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ
خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Artinya: “Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhan, dan al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad: 4/107) Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada Nabi penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada Bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Qadr ayat 1 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.”Dia juga berfirman dalam Surah Ad-Dukhan ayat 3 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.” Setelah itu, Al-Quran diturunkan bagian demi bagian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas, melalui beberapa jalur.
Firman-Nya (هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان) maksudnya ini merupakan pujian bagi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Dan sebagai dalil dan hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.
Firman-Nya (فمن شهد منكم الشهر فليصمه) maksudnya ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan Bulan Ramadhan, artinya bermukim di tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk Bulan Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa. Ayat ini menghapus dibolehkannya orang sehat yang berada di tempat tinggalnya untuk tidak berpuasa tetapi mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia berbuka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Firman-Nya (ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر) dan tatkala menutup masalah puasa, Allah Ta’ala kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus menggantinya. Artinya juga, barangsiapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat atau terganggu jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan.
Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد يكم العسر) maksudnya, Dia memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka ketika dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada di tempat tinggalnya dan sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.
Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di atas: pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa:
خرَجَ فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ لِغَزْوَةِ الْفَتْحِ، فَسَارَ حَتَّى بَلَغَ الكَديد، ثُمَّ
أَفْطَرَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِالْفِطْرِ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada Bulan Ramadhan untuk perang pembebasan Kota Makkah. Beliau berjalan hingga sampai di Al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk berbuka.” (HR. Al-Bukhari: 1948/4279 dan Muslim: 1113) Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman-nya dalam ayat ini. Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam puasa sebagian dari mereka. Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa dalam keadaan seperti itu. Berdasarkan hadis dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’, katanya:
خَرَجْنَا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي شَهْرِ رَمَضَانَ] فِي
حَرٍّ شَدِيدٍ، حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ [مِنْ
شِدَّةِ الْحَرِّ] وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
Artinya: “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali, sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. AL-Bukhari 1945 dan Muslim: 1122) Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih utama daripada berbuka. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sebagaimana disebutkan pada hadis di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan itu utama, sebagai realisasi rukhsah, dan berdasarkan hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka beliau pun menjawab:
"مَنْ
أَفْطَرَ فحَسَن، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ"
Artinya: “Barangsiapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barangsiapa tetap berpuasa, maka tiada dosa baginya.” (HR. Muslim: 1121) Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya:
يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنِّي كَثِيرُ الصِّيَامِ، أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ:
"إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ"
Artinya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (Hadits Al-Bukhari 1943 dan Muslim 1121) Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ،
فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ
الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ"
Artinya: “Rasulullah pernah menjumpai seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya, “Mengapa dia ini?” Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari 1946 dan Muslim 1121) Keempat, mengenai masalah mengganti puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, mengganti puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’ mengekspresikan pelaksanaan. Kedua, tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah diwajibkan dalam Bulan Ramadhan, karena pentingnya pelaksanaannya pada waktu itu.
Firman-Nya (فعدة من أيام أخر) maksudnya ada pun setelah berakhirnya Ramadhan yang dituntut adalah qadha’ puasa pada hari-hari lain sejumlah yang ditinggalkan.
Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر) Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami, dari Syu’bah, dari Abu At-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas bin Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
"يَسِّرُوا،
وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا"
Artinya: “Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Tenangkanlah dan janganlah membuat (orang) lari.” (HR. Al-Bukhari 69 dan Muslim 1734) Diriwayatkan pula dalam kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus keduanya ke Yaman:
"بَشِّرَا
وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا
تَخْتَلِفَا"
Artinya: “Sampaikanlah berita gembira dan janganlah kalian menakut-nakuti, berikanlah kemudahan dan janganlah mempersulit, bersepakatlah dan janganlah kalian berselisih.” (HR. Al-Bukhari 4341/4342 dan Muslim 1733) Dan dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:
"بُعِثْتُ
بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Artinya: “Aku diutus dengan membawa agama tauhid yang ramah.” Firman-Nya (يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة) maksudnya, Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada kalian untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan, atau disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan perintah untuk mengqadha puasa itu dimaksudkan untuk menggenapkan bilangan puasa kalian menjadi sebulan.
Firman-Nya (لتكبروا الله على ما هداكم) maksudnya supaya kamu mengingat Allah Ta’ala sesuai ibadah kalian. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 200 yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadab hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana yang menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu.” Oleh karena itu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk bertasbih, bertahmid dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Ibnu Abbas mengatakan: “Kami tidak mengetahui berakhimya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan takbir.”
Firman-Nya (ولتكملوا العدة لتكبروا الله على ما هداكم) banyak ulama yang mengambil pensyariatan takbir pada Hari Idul Fitri dari ayat ini. Bahkan Daud bin Ali Al-Asbahani Az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan takbir pada Hari Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam firman-Nya ini. Sebaliknya, madzhab Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada Hari Idul Fitri. Sementara ulama lainnya menyatakan sunnah, dengan beberapa-perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di antara mereka.
Firman-Nya (ولعلكم تشكرون) maksudnya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########