BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
 
 
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Ayat ini mengandung perintah untuk memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian wasiat itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai mawaris (pembagian harta warisan). Dan ketika turun ayat faraidh, ayat washiyat itu dihapus hukumnya, dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu hal yang wajib dari Allah Ta’ala yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa perlu adanya wasiat serta tidak mengandung kemurahan dari orang yang berwasiat. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis yang terdapat dalam Kitab As-Sunan dan lainnya, dari Amr bin Kharijah, katanya, aku pemah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, dan beliau bersabda:

«إِنِ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Al-Bukhari Bab Wasiat: 6, Abu Dawud Bab Wasiat: 6, At-Tirmidzi Bab Wasiat 5, An-Nasai Bab Wasiat: 5, Ibnu Majah Bab Wasiat: 6, Ad-Darimi Bab Wasiat: 28, Ahmad 4/186)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, katanya, ketika Ibnu Abbas duduk dan membaca SuraH Al-Baqarah hingga sampai ayat ini ia pun mengatakan, “Ayat ini sudah dihapus hukumnya.” Hadis di atas juga diriwayatkan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, dan menurutnya derajat hadits ini shahih sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.

Firman-Nya (الوصية للوالدين والأقربين), Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, “Pada mulanya tidak ada yang memperoleh warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali jika ia berwasiat kepada kaum kerabat. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mawaris, di dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk karib kerabat dengan sepertiga harta si mayit.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini telah dihapus hukumnya dengan Surah An-Nisaa’ ayat 7 yang artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”

Mengenai ini, Ibnu Katsir katakan: “Kewajiban berwasiat kepada ibu bapak dan juga karib kerabat yang termasuk ahli waris itu menurut ijma’ telah dinasakh, bahkan dilarang.” Hal itu didasarkan pada hadis:

"إِنِ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris.” (HR. At-Tirmidzi: 2121, An-Nasai: 6/247, Ibnu Majah: 2712)

Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang independen dan kewajiban dari sisi Allah Ta’ala bagi “ashhabu al-furudh” (ahli waris yang mendapat bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang menerima sisa bagian dari ashhab al-furudh). Dengan ayat ini pula hukum wasiat terhapus secara total. Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang tidak berhak memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat bagi mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan keumumannya. Selain itu, diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Artinya: “Tidak dibenarkan bagi seseorang Muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan berdiam diri selama dua malam, melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya.” (Muttafaq ‘alaih).

Ibnu Umar menuturkan: “Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah menyampaikan-hal itu melainkan wasiatku berada di sisiku.”

Firman-Nya (إن ترك خيرا), di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu disyariatkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak sepert halnya disyariatkannya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat, bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang banyak.

Firman-Nya (بالمعروف) maksudnya dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan ‘al-ma’ruf’ adalah hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan (masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Sa’ad pernah bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ". وَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ: أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ: لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"
Artinya: “Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua pertiga hartaku?” “Tidak,” jawab Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. “Apakah setengahnya?” tanyanya lebih lanjut. Beliau jawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah sepertiga?” Beliau menjawab, “Ya sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari: 2743 dan Muslim) Sedangkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Seandainya orang-orang mengurangi(nya) dari sepertiga menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”


PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)