BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Qatadah menerangkan tentang kaum Yahudi, yang menganggap bahwa yang baik itu salat menghadap ke barat, sedangkan kaum Nasrani menghadap ke timur, sehingga turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Abd Ar-Razzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Sehubungan dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang al-birr (kebaikan). Setelah turun ayat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil kembali orang itu, dan dibicarakannya ayat ini kepada laki-laki tadi. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan salat fardhu. Pada waktu itu apabila seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat, kemudian meninggal di saat ia tetap beriman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum Yahudi menganggap yang baik itu adalah apabila salat mengarah ke barat, sedang kaum Nasrani menghadap ke timur.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir, yang bersumber dari Qatadah)
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus. Penafsiran ayat ini adalah ketika pertama kali Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan kemudian Dia mengalihkan ke Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan. Maka Allah Ta’ala memberikan penjelasan mengenai hikmah pengalihan kiblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah Ta’ala, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari’atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Firman-Nya (ليس البر أن تولوا ... واليوم الآخر), maksudnya menghadap ke arah timur ataupun barat tidak dihitung sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya mengenai hewan sembelihan qurban dalam Surah Al-Hajja ayat 37 yang artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai [keridlaan Allah], tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
Mengenai ayat ini, Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidaklah shalat dan beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpindah dari Makkah ke Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai kewajiban dan pelaksanaannya.” Abu Al-Aliyah mengatakan, “Ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini. Lebih lanjut Abu Al-Aliyah menuturkan: “Itulah pembicaraan tentang keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan.” Mujahid mengatakan: “Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati berupa ketaatan kepada Allah Ta’ala.” Adh-Dhahhak menuturkan: “Tetapi kebaktian dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua kewajiban sebagaimana mestinya.”
Firman-Nya (ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر), Ats-Tsauri mengemukakan: “Demikian itu adalah mencakup semua jenis kebaikan.” Imam Ats-Tsauri memang benar, karena orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, serta membenarkan adanya para malaikat yang merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah dan para Rasul-Nya.
Firman-Nya (الكتاب), Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri oleh yang termulia di antara kitab-kitab itu, yaitu Al-Quran yang menjadi tolok ukur bagi kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara, meliputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan semua kitab itu dinasakh (dihapus hukumnya, diganti dengan yang baru) dengannya.
Firman-Nya (النبيين), juga beriman kepada para nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari nabi pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Firman-Nya (وآتى المال حبه), maksudnya menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyenanginya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, dan lainnya. Sebagimana telah diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, hadis marfu’ dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui firman-Nya dalam Surah Ali Imran ayat 92 yang artinya: “Sekali-sekali kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sukai.” Juga firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr ayat 9 yang artinya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Mubajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan orang lain padahal sebenarnya mereka sendiri sangat membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan makanan yang dicintainya.
Firman-Nya (ذوى القربى), maksudnya mereka ini lebih diutamakan untuk diberi sedekah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini:
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam Al-Quran.
Firman-Nya (واليتامى), yaitu mereka yang tidak mempunyai orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah, kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.
Firman-Nya (والمساكين), yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya. Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Firman-Nya (وابن السبيل), yaitu orang yang berpergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi sedekah supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang melakukan suatu perjalanan untuk berbuat ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi untuk keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu Sabil, sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ibnu Sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Ja’far al-Baqir, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.
Firman-Nya (والسائلين), maksudnya orang yang tampak meminta, maka ia diberi zakat dan sedekah. Hadis diriwayatkan dari Fatimah bin Husain, dari ayahnya, Abd Ar-Rahman Husain bin Ali menceritakan, Rasulullah bersabda:
Firman-Nya (وفي الرقاب), mereka itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak mendapatkan biaya untuk melakukan hal itu.
Firman (وقام الصلاة) maksudnya menyempurnakan pelaksanaan amalan salat secara tepat waktu berikut rukuk, sujud, thuma’ninah, dan khusyuk sesuai dengan yang disyariatkan dan diridhai.
Firman-Nya (وآتى الزكاة) maksudnya bisa berarti penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Asy-Syamsi ayat 9-10 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Demikian juga ucapan Nabi Musa ‘alaihi as-salam kepada Fir’aun dalam Surah An-Naziaat ayat 18-19 yang artinya: “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin kejalan Rabbmu supaya kamu takut kepada-Nya?” Dan firman-Nya dalam Surah Fushshilat ayat 6-7 yang artinya: “Dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan hati, kebaikan, dan silaturrahmi.
Firman-Nya (والموفون بعهدهم إذا عاهدوا), ayat ini sama seperti firman-Nya dalam Surah Ar-Ra’ad ayat 20 yang artinya: “Yaitu orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” Lawan dari sifat ini adalah an-nifak (kemunafikan). Ditegaskan dalam hadits berikut:
Firman-Nya (والصابرين في البأساء والضراء) dijadikan manshub sebagai pujian dan anjuran untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala kondisi yang berat dan sulit tersebut. Maksudnya diberi kesabatan dalam keadaan miskin yang disebut dengan al-ba’sa dan juga kesabaran dalam keadaan sakit dan menderita yang disebut dengan adh-dharra.
Firman-Nya (وحين البأس) maksudnya ketika berada dalam peperangan dan berhadapan dengan musuh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Al-Aliyah, Murrah Al-Hamadani, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin Anas, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Abu Malik, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
Firman-Nya (أولئك الذين صدقوا) maksudnya mereka yang telah menyandang sifat-sifat tersebut di atas adalah orang-orang yang benar imannya. Karena mereka telah mewujudkan keimanan hati melalui ucapan dan perbuatan. Mereka inilah orang-orang yang benar.
Firman-Nya (وأؤلئك هم المتقون) maksudnya karena mereka menjauhi segala hal yang diharamkan, dan mengerjakan berbagai macam ketaatan.
Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
۞لَّيۡسَ
ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ
ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي
ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ
وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ
بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ
وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Qatadah menerangkan tentang kaum Yahudi, yang menganggap bahwa yang baik itu salat menghadap ke barat, sedangkan kaum Nasrani menghadap ke timur, sehingga turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Abd Ar-Razzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Sehubungan dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang al-birr (kebaikan). Setelah turun ayat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil kembali orang itu, dan dibicarakannya ayat ini kepada laki-laki tadi. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan salat fardhu. Pada waktu itu apabila seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat, kemudian meninggal di saat ia tetap beriman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum Yahudi menganggap yang baik itu adalah apabila salat mengarah ke barat, sedang kaum Nasrani menghadap ke timur.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir, yang bersumber dari Qatadah)
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus. Penafsiran ayat ini adalah ketika pertama kali Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan kemudian Dia mengalihkan ke Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan. Maka Allah Ta’ala memberikan penjelasan mengenai hikmah pengalihan kiblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah Ta’ala, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari’atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Firman-Nya (ليس البر أن تولوا ... واليوم الآخر), maksudnya menghadap ke arah timur ataupun barat tidak dihitung sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya mengenai hewan sembelihan qurban dalam Surah Al-Hajja ayat 37 yang artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai [keridlaan Allah], tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
Mengenai ayat ini, Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidaklah shalat dan beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpindah dari Makkah ke Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai kewajiban dan pelaksanaannya.” Abu Al-Aliyah mengatakan, “Ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini. Lebih lanjut Abu Al-Aliyah menuturkan: “Itulah pembicaraan tentang keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan.” Mujahid mengatakan: “Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati berupa ketaatan kepada Allah Ta’ala.” Adh-Dhahhak menuturkan: “Tetapi kebaktian dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua kewajiban sebagaimana mestinya.”
Firman-Nya (ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر), Ats-Tsauri mengemukakan: “Demikian itu adalah mencakup semua jenis kebaikan.” Imam Ats-Tsauri memang benar, karena orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, serta membenarkan adanya para malaikat yang merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah dan para Rasul-Nya.
Firman-Nya (الكتاب), Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri oleh yang termulia di antara kitab-kitab itu, yaitu Al-Quran yang menjadi tolok ukur bagi kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara, meliputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan semua kitab itu dinasakh (dihapus hukumnya, diganti dengan yang baru) dengannya.
Firman-Nya (النبيين), juga beriman kepada para nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari nabi pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Firman-Nya (وآتى المال حبه), maksudnya menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyenanginya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, dan lainnya. Sebagimana telah diriwayatkan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, hadis marfu’ dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"أَفْضَلُ
الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى،
وَتَخْشَى الْفَقْرَ"
Artinya: “Sebaik-baik sedekah adalah engkau menyedekahkan harta sedang engkau dalam keadaan sehat lagi tamak, engkau menginginkan kekayaan dan takut miskin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui firman-Nya dalam Surah Ali Imran ayat 92 yang artinya: “Sekali-sekali kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sukai.” Juga firman-Nya dalam Surah Al-Hasyr ayat 9 yang artinya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Mubajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan orang lain padahal sebenarnya mereka sendiri sangat membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan makanan yang dicintainya.
Firman-Nya (ذوى القربى), maksudnya mereka ini lebih diutamakan untuk diberi sedekah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini:
"الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذَوِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ"
Artinya: “Sedekah kepada orang-orang miskin itu hanya (berpahala satu) sedekah saja. Sedangkan sedekah kepada kerabat (berpahala) dua, yaitu sedekah dan silaturrahmi. Mereka itu orang yang paling utama untukmu dan untuk mendapatkan kebaikan serta pemberianmu.” Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam Al-Quran.
Firman-Nya (واليتامى), yaitu mereka yang tidak mempunyai orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah, kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.
Firman-Nya (والمساكين), yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya. Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
"لَيْسَ
الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ
وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ،
وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ
Artinya: “Orang miskin itu bukanlah orang yang berjalan mengelilingi orang-orang, lalu memperoleh [dari meminta-minta] satu atau dua butir kurma, sesuap nasi atau dua suap makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang mencukupinya, serta tidak mendapatkan jalan untuk mem-perolehnya sehingga ia diberi sedekah.” (HR. Al-Bukhari: 1479 dan Muslim: 1039) Firman-Nya (وابن السبيل), yaitu orang yang berpergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi sedekah supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang melakukan suatu perjalanan untuk berbuat ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi untuk keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu Sabil, sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ibnu Sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Ja’far al-Baqir, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.
Firman-Nya (والسائلين), maksudnya orang yang tampak meminta, maka ia diberi zakat dan sedekah. Hadis diriwayatkan dari Fatimah bin Husain, dari ayahnya, Abd Ar-Rahman Husain bin Ali menceritakan, Rasulullah bersabda:
"لِلسَّائِلِ
حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ"
Artinya: “Orang yang meminta memiliki hak meskipun ia datang dengan menunggang kuda.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Firman-Nya (وفي الرقاب), mereka itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak mendapatkan biaya untuk melakukan hal itu.
Firman (وقام الصلاة) maksudnya menyempurnakan pelaksanaan amalan salat secara tepat waktu berikut rukuk, sujud, thuma’ninah, dan khusyuk sesuai dengan yang disyariatkan dan diridhai.
Firman-Nya (وآتى الزكاة) maksudnya bisa berarti penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Asy-Syamsi ayat 9-10 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Demikian juga ucapan Nabi Musa ‘alaihi as-salam kepada Fir’aun dalam Surah An-Naziaat ayat 18-19 yang artinya: “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin kejalan Rabbmu supaya kamu takut kepada-Nya?” Dan firman-Nya dalam Surah Fushshilat ayat 6-7 yang artinya: “Dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan hati, kebaikan, dan silaturrahmi.
Firman-Nya (والموفون بعهدهم إذا عاهدوا), ayat ini sama seperti firman-Nya dalam Surah Ar-Ra’ad ayat 20 yang artinya: “Yaitu orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” Lawan dari sifat ini adalah an-nifak (kemunafikan). Ditegaskan dalam hadits berikut:
"آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ". وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ:"إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ "
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara, bohong. Jika berjanji mengingkari. Dan jika diberi kepercayaan berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim: 58) Firman-Nya (والصابرين في البأساء والضراء) dijadikan manshub sebagai pujian dan anjuran untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala kondisi yang berat dan sulit tersebut. Maksudnya diberi kesabatan dalam keadaan miskin yang disebut dengan al-ba’sa dan juga kesabaran dalam keadaan sakit dan menderita yang disebut dengan adh-dharra.
Firman-Nya (وحين البأس) maksudnya ketika berada dalam peperangan dan berhadapan dengan musuh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Al-Aliyah, Murrah Al-Hamadani, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin Anas, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Abu Malik, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
Firman-Nya (أولئك الذين صدقوا) maksudnya mereka yang telah menyandang sifat-sifat tersebut di atas adalah orang-orang yang benar imannya. Karena mereka telah mewujudkan keimanan hati melalui ucapan dan perbuatan. Mereka inilah orang-orang yang benar.
Firman-Nya (وأؤلئك هم المتقون) maksudnya karena mereka menjauhi segala hal yang diharamkan, dan mengerjakan berbagai macam ketaatan.
PEMBAHASAN LENGKAP TAFSIR ALQURAN & ASBABUN NUZUL
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########