BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَرَهُمْ، أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ، قَالُوا: إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ، فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الغَضَبُ فِي وَجْهِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: 
«إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا»


Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila memerintahkan kepada para sahabat, Beliau memerintahkan untuk melakukan amalan yang mampu mereka kerjakan, kemudian para sahabat berkata: “Kami tidaklah seperti engkau, ya Rasulullah, karena engkau sudah diampuni dosa-dosa yang lalu dan yang akan datang”. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi marah yang dapat terlihat dari wajahnya, kemudian bersabda: “Sesungguhnya yang paling taqwa dan paling mengerti tentang Allah diantara kalian adalah aku”.”

PENJELASAN DALAM KITAB FATHU AL-BARIY

Hadis ini dijadikan dalil bahwa keimanan yang hanya diungkapkan dengan lisan tidak akan sempurna kecuali bila disertai dengan keyakinan yang merupakan perbuatan hati. Maksud ayat (بما كسبت قلوبكم) adalah apa yang terpendam di dalam hati. Ayat ini meskipun disebutkan dalam konteks tentang sumpah, akan tetapi penggunaannya sebagai dalil dalam masalah iman diperbolehkan karena ada kesamaan antara kedua kata tersebut yaitu bahwa keduanya (sumpah dan iman) sama-sama merupakan perbuatan hati. Dalam hal ini, Imam Al-Bukhari terpengaruh dengan pendapat Zaid bin Aslam dalam menafsirkan firman-Nya (لايؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم) dengan berkata, “Hal ini seperti perkataan seseorang, ‘jika aku berbuat seperti ini maka aku akan kafir,” akan tetapi Allah tidak akan memberikan hukuman atas perkataannya itu kecuali jika telah diyakini oleh hatinya.” Dari sini, maka jelaslah korelasi antara ayat dengan hadis tersebut. Hal ini mengandung bantahan kepada kelompok Karramiyah yang berpendapat iman hanyalah ucapan saja, dan juga merupakan dalil bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku yang paling mengetahui Allah,” menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang Allah Ta’ala bertingkat-tingkat, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada pada tingkatan yang paling atas. Pengetahuan tentang Allah Ta’ala mencakup pengetahuan tentang sifat dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Inilah yang dinamakan dengan iman yang sebenarnya.

Imam Al-Haramain berkata, “Para ulama sepakat bahwa mengetahui Allah Ta’ala adalah merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah itu kewajiban yang utama? Ada yang berpendapat bahwa kewajiban yang pertama adalah makrifah (mengetahui), tapi pendapat lain mengatakan bahwa kewajiban yang pertama adalah mencari atau melihat.” Al-Muqtarih berkata, “Telah disepakati bahwa kewajiban yang pertama maksudnya adalah makrifah dan kewajiban pertama kali yang harus dilakukan dari maksud tersebut adalah mencari.”

Dalam menukil ijma’, banyak yang harus diperhatikan. Karena dalam masalah ini banyak perbedaan pendapat, sampai-sampai ada golongan yang menukil pendapat yang bertolak belakang dalam masalah ijmak. Mereka beragumentasi dengan diterapkannya prinsip tersebut pada generasi pertama Islam ketika menerima orang yang ingin masuk Islam tanpa harus diuji, dan riwayat yang menjelaskan masalah ini banyak sekali. Jawaban kelompok pertama, bahwa golongan kafir mempertahankan dan berperang demi agamanya. Maka mundurnya mereka dari agamanya menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran. Oleh karena itu maka firman Allah Ta’ala (فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها) serta hadis, “Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah” secara eksplisit mendorong masalah ini keluar dari asalnya.

Telah dinukil dari Al-Qudwah Abu Muhammad bin Abi Hamzah dari Abu Walid Al-Baaji dari Abu Ja’far As-Sam’ani –yang merupakan salah seorang penyair besar- bahwa dia mendengar Abu Walid Al-Baaji berkata, “Masalah ini adalah salah satu masalah Mu’tazilah yang tersisa dalam mazhab Ahlu Sunnah.” Imam An-Nawawi berkata, “Dalam ayat tersebut terdapat bukti bahwa perbuatan hati dihitung jika benar-benar ada dalam hati. Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allah mengampuni apa yang ada dalam jiwa umatku selama tidak dikatakan atau dilakukan.” Mengandung pengertian jika perbuatan atau niat tersebut belum tertanam dalam hati. Menurut Ibnu Hajar, pendapat tersebut dapat didasarkan pada keumuman sabdanya (أو تعمل) (atau tidak dikerjakan), karena keyakinan adalah perbuatan hati.

Lafaz kalimat (وإذا أمرهم أمرهم) (Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh para sahabatnya, maka beliau akan menyuruhnya) demikianlah lafaz yang terdapat dalam banyak riwayat. Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menyebutkan lafaz (أمرهم) sekali saja sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi tentang sebuah riwayat dari jalur Ubadah, dan dari jaluar Ibnu Numair dan yang lainnya dari Hisyam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dan juga riwayat yang disebutkan oleh Al-Ismaili dari Abu Usamah dari Hisyam dengan lafaz (كان إذا أمر الناس بالشيئ) (Jika beliau memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu)

Mereka mengatakan bahwa maksud hadis tersebut adalah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada para sahabat, maka beliau akan memerintahkan sesuatu yang mudah, karena beliau khawatir mereka tidak akan mampu melakukannya secara terus menerus. Akan tetapi, pada sahabat meminta kewajiban yang lebih berat, karena mereka berasumsi bahwa berlebihan dalam beramal dapat meningkatkan derajat mereka. Oleh karena itu mereka berkata, “Kami ini tidak sepertimu.” Perkataan ini menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah, karena ketinggian derajat seseorang tidak hanya diperoleh dengan ibadah saja, akan tetapi dapat diperoleh juga dengan menambah rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Bukankah aku seorang hamba yang bersyukur?”

Adapun maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada mereka untuk mengerjakan sesuatu yang mudah adalah agar mereka dapat melaksanakannya secara terus menerus sebagaimana disebutkan dalam hadis lain, “Amalah yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus menerus.”

Dengan pengulangan kata (أمرهم) dalam riwayat ini, maka maksud hadis tersebut adalah jika beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka maka beliau akan memerintahkan kepada mereka yang dapat dilakukan terus menerus. Dengan demikian kata (أمرهم) yang kedua berfungsi sebagai “jawabu asy-syarth”.

Lafaz kalimat (كهيئتك) (sepertimu), maksudnya bahwa status kami tidaklah sama dengan statusmu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Penggunaan kata (الهيئة) hanya sebagai penguat saja. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diintisarikan dari hadis ini, yaitu:

Pertama, perbuatan sahih dapat meningkatkan derajat orang yang melakukannya dan menghapuskan dosa-dosanya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari pendapat dan argumentasi para sahabat tersebut dari segi ini. Kedua, seorang hamba yang telah mencapai puncak ibadah dan dapat menikmatinya, maka ia akan terus melaksanakannya dengan maksud untuk menjaga nikmat tersebut dan menambah rasa syukur kepada Allah Ta’ala. Ketiga, dianjurkan untuk melaksanakan hukum azimah (hukum asal) ataupun rukhshah (keringanan) sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan syariat Allah Ta’ala dan berkeyakinan bahwa melaksanakan sesuatu yang lebih ringan tapi sesuai dengan syariat adalah lebih baik daripada melakukan sesuatu yang lebih berat tapi bertentangan dengan syariat.

Keempat, ibadah yang paling utama adalah yang dilakukan secara sederhana akan tetapi dilakukan secara terus menerus, bukan ibadah yang berlebih lebihan sehingga dapat menyebabkan rasa bosan dan ingin meninggalkannya. Kelima, hadis ini menunjukkan betapa besarnya semangat para sahabat dalam beribadah dan keinginan mereka untuk menambah kebaikan. Keenam, marah dibolehkan bagi seseorang jika ia melihat sesuatu yang bertentangan dengan syariat agama, dan dianjurkan untuk mengingatkan orang yang pintar jika ia lupa atau tidak dapat memahami sesuatu dengan maksud untuk menyadarkannya.

Ketujuh, seseorang dibolehkan untuk membicarakan tentang kelebihan dirinya sesuai dengan kebutuhan, dengan syarat tidak berniat untuk membesar-besar dirinya. Dan kedelapan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan karena dalam dirinya terdapat dua hal sekaligus yaitu, ilmu dan amal. Beliau telah mengisyaratkan tentang hal pertama (ilmu) dengan sabdanya, “Aku yang lebih mengetahui,” dan tentang hal yang kedua (amal) dalam sabdanya, “Yang paling takwa.” Dalam riwayat Abu Nu’ain lafaznya adalah (أعلمكم بالله لأنا) dengan penambahan huruf (ل) sebagai penguat. Sedangkan dalam riwayat Abu Usamah dari Al-Ismaili lafaznya adalah (والله إن أبركم واتقكم أنا) (Sesungguhnya orang yang paling baik dan bertakwa di antara kalian adalah aku). Hadis ini termasuk hadis yang hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan termasuk dalam hadis gharib yang sahih. 

PEMBAHASAN LENGKAP SYARAH KUTUB HADIS


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)