BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو إِدْرِيسَ عَائِذُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ العَقَبَةِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: «بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَ تَسْرِقُوا، وَلاَ تَزْنُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ، وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ» فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris 'Aidzullah bin Abdullah, bahwa 'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya". Maka kami membai'at Beliau untuk perkara-perkara tersebut. “.

PENJELASAN DALAM KITAB FATHU AL-BARIY 

Dalam riwayat ini, dituliskan kata “Bab” tanpa disertai nama judulnya, sedangkan dalam riwayat Al-Ushaili tidak dituliskan sama sekali baik “Bab” tersebut maupun judulnya karena –menurutnya- hadis ini termasuk dalam bab sebelumnya. Demikian pula dalam riwayat ini, hadis tersebut berkaitan dengan bab sebelumnya, karena kata “Bab” jika tidak disertai dengan judulnya, maka menunjukkan bahwa hadis yang terdapat di dalamnya termasuk dalam pembahasan bab sebelumnya, dan metode ini banyak dipakai oleh pengarang kitab fikih.

Adapun korelasi antara hadis ini dengan hadis sebelumnya, bahwa dalam hadis yang lalu telah disebutkan kata “Al-Anshar”, sedangkan dalam hadis ini dijelaskan tentang sebab penamaan mereka (Suku Aus dan Khazraj) dengan nama “Al-Anshar”. Hal itu berkaitan erat dengan malam ‘Aqabah di mana mereka mengadakan kesepakatan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Aqabah yang berada di Mina pada saat musim haji sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab Sirah Nabawiyah (sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Imam Al-Bukhari juga menyebutkan hadis ini dalam bab lain yaitu Bab “man syahida badran (bab orang yang mengikuti perang Badar)” karena dalam hadis ini disebutkan, “Salah seorang yang mengikuti perang Badar”, dan juga dalam bab “Wufud Al-Anshar (para utusan kaum Anshar)” karena dalam hadis tersebut disebutkan, “Dan salah seorang utusan dalam pertemuan Aqabah”. Sedangkan dalam bab ini, Imam Al-Bukhari menyebutkannya karena berkaitan dengan hadis sebelumnya seperti yang telah kami jelaskan di atas.

Kemudian dari segi matannya, hadis ini berhubungan dengan pembahasan tentang iman dari dua segi. Pertama adalah bahwa menghindari larangan termasuk bagian dari iman, seperti halnya melaksanakan perintah. Kedua adalah bahwa hadis ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah termasuk orang kafir dan akan kekal di dalam neraka sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Lafaz kalimat (وكان شهد بدرا) (Salah seorang yang mengikuti Perang Badar), yaitu perang yang terjadi di suatu tempat yang bernama “Badar”. Perang ini adalah perang yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melawan kaum musyrikin.

Lafaz kalimat (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم) kata (قال) yang ada sebelumnya merupakan khabar (predikat) dari kata (أن) yang dihapus dalam riwayat asalnya, karena lafaz (كان) dan yang sebelumnya bertentangan. Memang biasanya para pakar hadis dengan sengaja menghilangkan kata (قال), akan tetapi jika kata tersebut disebutkan berulang seperti (قال قال رسول لله), maka mereka harus menyebutkan kata tersebut. Hadis ini juga dapat ditemukan dalam bab “man syahida badran” dengan rangkaian sanad yang sama, oleh karena itu agaknya penghapusannya di sini akan berlanjut, bergitu pula dalam riwayat Ahmad dari Abu Yaman dengan rangkaian sanad yang sama bahwa Ubadah yang mengabarkan kepadanya.

Lafaz kalimat (عصابة) berarti kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang.

Lafaz kalimat (بايعوني) (Berbaiatlah atau berjanji kalian semua kepadaku). Dalam bab “Wufud Anshar” (para utusan kaum Anshar) kalimat tersebut ditambah dengan (تعالوا بايعوني) (kemarilah dan berjanjilah kepadaku). Penggunaan kata (مبايعة) dari kata (البيع) (jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk “majaz” yaitu diqiyaskan dengan transaksi barang seperti dalam firman-Nya (إن الله اشترى من المؤمنين أنفسهم وأموالهم بأن لهم الجنة).

Lafaz kalimat (ولا تقتلوا أولادكم) (Tidak membunuh anak-anakmu). Muhammad bin Al-Ismaili dan yang lainnya berkata, “Hadis ini menjelaskan tentang membunuh anak-anak, karena hal itu mengandung unsur pembunuhan dan memutuskan tali silaturrahim. Hal ini bertujuan untuk menekankan larangan tersebut, karena mengubur anak perempuan atau membunuh anak laki-laki –karena takut lapar- adalah merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Atau bisa saja dikhususkannya penyebutan kata tersebut dengan tujuan agar mereka menghindari perbuatan tersebut.

Lafaz kalimat (ولا تأتوا ببهتان) (Tidak membuat fitnah di antara kalian) Kata (بهتان) berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata (افتراء) (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki, karena mayoritas perbuatan dilakukan dengan menggunakan tangan dan kaki yang merupakan alat untuk melakukan secara langsung. Oleh karena itu perbuatan yang dihasilkan disebut dengan perbuatan tangan. Bahkan ada orang yang dihukum akibat perbuatan mulutnya, tapi dikatakan kepadanya, “Ini yang dihasilkan tanganmu.” Kemungkinan larangan untuk berbohong di sini adalah jangan berusaha membohongi manusia dan saling bersaksi di antara kalian, seperti berkata, “Aku berkata seperti ini di depan (dengan saksi) si fulan.”

Inilah pendapat Al-Khaththabi, namun yang harus diperhatikan dalam pendapat tersebut disebutkannya kata “arjul” (kaki-kaki). Al-Karamani mengatakan bahwa disebutkannya kata kaki adalah sebagai penguat, karena yang dimaksudkan adalah tangan. Artinya disebutkannya kata”arjul” (kaki-kaki) jika tidak dikehendaki, maka tidak dilarang.

Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah apa yang ada antara kaki dan tangan yaitu hati, karena apa yang ada dalam hati adalah diterjemahkan oleh lidah. Oleh karena itu, kata “iftira” (bohong) dinisbatkan kepada lidah, seakan-akan maknanya adalah jangan kalian membohongi seseorang dan mengguncang orang tersebut dengan lidah kalian.

Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, “Mungkin maksud kalimat “baina aidiikum” adalah seketika, sedangkan kata “arjulikum” adalah masa yang akan datang, karena berjalan adalah perbuatan yang dilakukan kaki. Pendapat lain mengatakan, “Asalnya kata ini dipergunakan dalam jual beli wanita. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Harawi dalam Kitab Al-Gharbiyiin, bahwa yang dijuluki dengan kata tersebut adalah wanita yang melahirkan anak dari hasil zina, lalu menisbatkan anak tersebut kepada suaminya. Ketika kata ini dipergunakan untuk jual beli laki-laki, maka makna kata tersebut diperluas kepada selain makna pertama.

Lafaz kalimat (ولا تعصوا) (Tidak durhaka) dalam riwayat Al-Ismaili disebutkan (ولا تعصوني) (Jangan mendurhakaiku) dan kalimat tersebut sesuai dengan ayat di atas, sedangkan kata (المعروف) maksudnya adalah kebaikan yang berasal dari Allah Ta’ala baik berupa perintah atau larangan.

Lafaz kalimat (في معروف) (Terhadap perintah kebaikan) An-Nawawi berkata, “Kemungkinan maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan.” Maka kata (معروف) terikat dengan sesuatu setelahnya. Ada yang berpendapat denagn kalimat tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa ketaatan kepada makhluk diwajibkan sebatas kebaikan, bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala. Pendapat semacam ini sesuai dengan perintah untuk meninggalkan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.

Lafaz kalimat (فمن وفل منكم) (Barangsiapa yang menepati), maksudnya berpegang teguh pada isi perjanjian.

Lafaz kalimat (فأجره على الله) (Maka ia akan diberi pahala oleh Allah) Kalimat tersebut diucapkan untuk menunjukkan penghormatan, karena ketika penyebutan “sumpah” berefek kepada keharusan adanya balasan, maka menyebutkan ganjaran kepada salah satu di antara kedua topik tersebut sangat sesuai. Adapun balasan tersebut, disebutkan dengan menggunakan kata “surga” dalam riwayat Ash-Shanabahi dari Ubadah yang terdapat dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim. Kemudian penggunaan kata “ala” adalah untuk menunjukkan arti “penekanan” bahwa hal tersebut benar-benar akan terwujud. Akan tetapi berdasarkan dalil-dalil yang ada, Allah Ta’ala tidak wajib melakukan sesuatu apapun, maka kata tersebut tidak dapat ditafsirkan secara zahirnya saja. Hal ini akan dijelaskan dalam hadis Mu’adz yang menjelaskan tentang hak Allah Ta’ala atas hamba-Nya.

Jika ada pertanyaan, “Mengapa hadis ini hanya menyebutkan tentang larangan saja dan tidak menyebutkan perintah?” Maka jawabnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengabaikan perintah-perintah tersebut, akan tetapi beliau menyebutkannya secara global dalam sabdanya (ولا تعصوا) (tidak durhaka) karena maksud durhaka adalah tidak melaksanakan perintah. Adapun hikmah disebutkannya larangan yang tidak disertai perintah adalah meninggalkan larangan lebih mudah daripada melakukan suatu perbuatan, atau karena menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan, atau juga meninggalkan kejelekan lebih dianjurkan sebelum melakukan kebaikan.

Lafaz kalimat (ومن أصاب من ذلك شيئا فعوقب) (Barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu maka ia akan dihukum), Imam Ahmad menambahkan dalam riwayatnya dengan lafaz (به).

Lafaz kalimat (كفارة) (Menjadi tebusan) Imam Ahmad menambahkan dengan kata “lahu” (baginya). Imam Al-Bukhari dalam bab “masyi’ah” (kehendak) juga menambahkan kata (له) dan kata (وطهور) (pembersih dari dosa). An-Nawawi berkata, “Hadis ini dikhususkan dengan firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya.” Oleh karena itu, orang murtad yang dibunuh dalam kondisi murtad, maka pembunuhan itu bukan merupakan kafarat baginya. Menurut Ibnu Hajar, pendapat ini disebabkan karena kalimat (من ذلك شيئا) (Salah satu dari perjanjian itu) jelas-jelas mencakup seluruh yang disebutkan.

Ada yang berpendapat bahwa yang disebutkan adalah selain perbuatan syirik, karena hadis tersebut ditujukan kepada kaum Muslimin. Dengan demikian, syirik tidak perlu disebutkan di dalamnya. Hal ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Abu Asy’asy dari Ubadah, “Dan barangsiapa yang melakukan perbuatan yang mengharuskan ia dihukumi dengan hukuman had,” karena hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang berbuat syirik tidak dinamakan had. Akan tetapi pendapat tersebut dapat dibantah karena huruf “fa” dalam kalimat “fa man” berfungsi untuk menunjukkan arti “kemudian”, di samping itu tidak menutup kemungkinan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kaum Muslimin agar tidak berbuat syirik. Sedangkan istilah had hanyalah merupakan istilah modern saja. Maka pendapat yang benar adalah pendapat Imam Nawawi.

Ath-Thibi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan syirik adalah syirik kecil, yaitu riya’. Hal ini diperkuat dengan disebutkannya kata “syai’an” (sesuatu) dalam bentuk “nakirah”, sehingga maksudnya adalah syirik dalam bentuk apapun. Pendapat ini dibantah karena Allah Ta’ala jika menyebut kata syirik, maka maksudnya adalah lawan dari tauhid (mengesakan Allah), sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat maupun hadis dengan maksud seperti itu.

Al-Qadhi Iyadh berkata, “Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa), dan mereka mengambil kesimpulan dari hadis ini. Akan tetapi, ada sebagian ulama tidak mengatakannya secara pasti bahwa hudud adalah sebagai kafarat. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya tidak mengetahui apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak.” Dalam hal ini, hadis Ubadah itu memiliki sanad yang lebih kuat daripada hadis Abu Hurairah. Kedua hadis tersebut juga dapat disatukan sehingga tidak terjadi kontradiksi, yaitu bahwa hadis Abu Hurairah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum Allah Ta’ala memberitahukan tentang hal tersebut, dan kemudian setelah itu Allah Ta’ala mengajarinya.

Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis Abu Hurairah diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak dan Al-Bazzar dari riwayat Ma’mar dari Ibnu Ubai Za’bi dari Sa’id Al-Maqrabi dari Abu Hurairah dan hadis tersebut dinyatakan sahih atas syarat Al-Bukhari dan Muslim. Kemudian Ahmad telah meriwayatkan hadis ini dari Abd Razak dari Ma’mar, hanya saja Daruquthni mengatakan bahwa Abd Razak seorang diri yang menyampaikan hadis tersebut. Hisyam bin Yusuf meriwayatkannya dari Ma’mar yang kemudian memursalkannya.

Ibnu Hajar berpendapat hadis tersebut telah dimaushulkan dari Adam bin Abi Iyas dari Abi Dzi’bi yang juga diriwayatkan oleh Al-Hakim, sehingga riwayat Ma’mar menjadi kuat. Jika hadis tersebut sahih, maka penggabungan yang dilakukan oleh Qadhi Iyadh baik sekali. Akan tetapi Qadhi Iyadh dan para pengikutnya berpendapat bahwa hadis Ubadah ini disampaikan di Makkah pada malam Aqabah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menerima baiat yang pertama di Mina, sedangkan Abu Hurairah memeluk Islam setelah 7 tahun dari peristiwa tersebut pada tahun Khaibar, lalu bagaimana mungkin hadisnya lebih dahulu dapada keislamannya?”

Dalam menjawab pertanyaan ini ada yang berpendapat, “Kemungkinan Abu Hurairah tidak mendengarkan hadis tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi dari sahabat lainnya yang mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan setelah itu Abu Hurairah tidak pernah mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa hudud memiliki kafarah seperti yang didengar oleh Ubadah, hanya saja pendapat ini terdapat kekeliruan.

Ibnu Hajar berpendapat, yang benar adalah hadis Abu Hurairah disampaikan lebih dahulu daripada hadis Ubadah. Pembaiatan yang disebutkan dalam hadis Ubadah tidak terjadi pada malam Aqabah, dan sesungguhnya teks yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada malam Aqabah adalah riwayat Abu Ishaq, yakni bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar yang hadir, “Aku baiat kalian dengan syarat melindungiku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak kalian.” Mereka pun membaiat beliau dengan syarat tersebut dan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya pindah ke negeri mereka. Kita akan menemui kembali hadis Ubadah dalam kitab fitnah dan yang lainnya, beliau berkata, “Kami pun membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengarkan dan taat dalam kesulitan, kemudahan, kerelaan dan paksaan.”

Lebih jelas lagi maksud hadis di atas adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari Ubadah, bahwa ketika terjadi pertemuan antara dia dan Abu Hurairah di hadapan Muawiyah di Syam, dia berkata, “Wahai Abu Hurairah, engkau belum bersama kami ketika kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan patuh dalam aktivitas dan kemalasan, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berkata jujur dan tidak takut kepada celaan di jalan Allah Ta’ala, mendukung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika musuh-musuh mendatangi kami serta melindungi beliau sebagaimana kami melindungi jiwa, istri dan anak kami, dan bagi kami surga. Inilah baiat yang kami lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” kemudian dia menyebutkan sisa hadis tersebut. Ath-Thabrani memiliki jalur lain dengan lafaz yang mirip dengan riwayat di atas. Dengan demikian jelaslah bahwa inilah hal-hal yang terjadi pada baiat pertama kemudian muncullah baiat-baiat lainnya.

Yang menguatkan bahwa pembaiatan tersebut terjadi setelah Fathu Makkah adalah turunnya ayat dalam Surah Mumtahanah yaitu firman-Nya, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia.” Telah disepakati bahwa ayat ini diturunkan setelah ayat perjanjian Hudaibiyah. Adapun yang mendasarinya adalah riwayat Imam Al-Bukhar dalam masalah ‘Al-Hudud” dari jalur Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dalam hadis Ubadah, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaiat mereka, beliau membacakan ayat tersebut secara lengkap. Kemudian Imam Al-Bukhari dalam Tafsir Al-Mumtahanah menyebutkan riwayat dari jalur yang sama bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat Surah An-Nisaa’.

Menurut riwayat Muslim dari jalur Ma’mar dari Az-Zuhri, “Kemudian beliau membacakan kepada kami ayat dari Surah An-Nisaa’ dan kemudian Nabi bersabda, “Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.”

Dalam riwayat An-Nasai dari jalur Al-Harits bin Fudhail dari Az-Zuhri disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian tidak ingin membaiatku dengan apa yang dilakukan oleh para wanita yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Dan dalam riwayat Thabrani dari jalur lain dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama, “Kemudian kami pun membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita pada hari Fathu Makkah.”

Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Abu Asy’asy dari Ubadah dalam hadis ini, “Rasulullah mengambil janji dari kami apa yang diambilnya daripada wanita. Semua ini merupakan dalil yang jelas bahwa baiat tersebut terjadi setelah turunnya aya di atas, bahkan setelah ditaklukkannya kota Makkah dan semua itu terjadi tidak lama setelah keislaman Abu Hurairah. Pendapat ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam kitab sejarahnya dari ayahnya dari Muhammad bin Abdurrahman At-Thafawi dari Ayub dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku baiat kalian untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Kemudian dia menyebutkan hadis yang mirip dengan hadis Ubadah dan orang-orang dalam sanadnya termasuk golongan yang terpercaya.

Ishaq bin Rawahah berkata, “Jika sahih rangkaian sanad kepada Amru bin Syuaib, maka sanad tersebut seperti Ayub bin Nafi’ dari Ibnu Umar.” Jika Abdullah bin Amru termasuk salah seorang yang menghadiri baiat ini sedangkan dia bukan termasuk golongan Anshar bahkan keislamannya tak lama setelah keislaman Abu Hurairah, maka jelaslah perbedaan antara kedua baiat ini, baiat kaum Anshar pada malam Aqabah yang terjadi sebelum hijrah dan baiat lain yang terjadi setelah Fathu Makkah yang disaksikan oleh Abdullah bin Amru yang keislamannya setelah hijrah.

Yang mirip dengan riwayat tersebut adalah hadis Jarir yang diriwayatkan oleh Thabrani, dia berkata, “Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti para wanita membaiatnya,” kemudian dia menyebutkan hadis tersebut.

Keislaman Jarir telah disepakati terjadi setelah keislaman Abu Hurairah. Kerancuan yang terjadi berasal dari pernyataan bahwa Ubadah bin Shamit menghadiri kedua baiat tersebut. Baiat Aqabah alah berfungsi untuk dipuji kemudian dia menyebutkan baiat tersebut –jika benar terjadi- merujuk kepada 2 baiat sebelumnya. Ketika dia menyebutkan baiat ini dengan menyamakannya dengan baiat para wanita, timbullah kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Yang sama dengan riwayat tersebut adalah riwayat Ahmad dari jalur Muhammad bin Ishaq, dari Ubadah bin Walid, dari Ubadah bin Shamit, dari ayah dari kakeknya –yang merupakan salah seorang utusan- dia berkata, “Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan baiat perang.” Ubadah adalah salah seorang dari 12 orang yang melaksanakan baiat Aqabah pertama yaitu, “Seperti baiat para wanita itu dan untuk mendengar dan patuh pada saat sulit dan mudah.” Hal itu jelas dalam penyatuan dua baiat tersebut. Akan tetapi hadis yang terdapat dalam 2 Kitab Sahih (Al-Bukhari dan Muslim) yang akan ditemukan dalam kitab ahkam, tidak ditemukan penambahan tersebut.

Hadis tersebut berasal dari jalur Yahya bin Sa’id Al-Anshari dari Ubadah bin Walid. Faktanya adalah baiat harb (perang) terjadi setelah baiat Aqabah, karena peperangan dalam Islam disyariatkan setelah hijrah. Dengan demikian riwayat Ibnu Ishaq dapat ditakwilkan dengan merujuk apa yang disebutkan tadi. Riwayat tersebut mencakup 3 baiat, yaitu baiat Aqabah yang telah disebutkan dengan jelas dalam riwayat Ubadah yang diriwayatkan oleh Ahmad yang terjadi sebelum diwajibkannya peperangan.

Kedua adalah baiat harb yang akan dijumpai dalam kitab jihad yaitu berjanji untuk tidak akan lari dari peperangan. Yang ketiga adalah baiat nisa’ (para wanita). Yang benar bahwa penjelasan tentang hal tersebut merupakan kesalahan dari beberapa perawi.

Penjelasan yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dari Ubadah bahwa baiat Aqabah seperti baiat nisa’ dapat dibantah karena telah disepakati bahwa baiat tersebut terjadi sebelum turunnya ayat (nisaa’). Hal yang semisal juga ditemukan dalam Sahihaini dari jaluar Ash-Shanabahi dari Ubadah yang berkata, “Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian dia berkata, “Kami baiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menyekutukan Allah Ta’ala dengan suatu apapun.”

Jelaslah bahwa hadis ini merupakan penggabungan dari dua baiat di atas, hanya saja maksudnya sebagaimana yang saya sebutkan yaitu, “Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat –pada malam Aqabah- untuk melindungi dan mendukung beliau,” serta yang berkaitan dengan perkataan tersebut. Kemudian dia berkata, “Kami membaiatnya,” maksudnya pada lain waktu. Hal tersebut disyaratkan oleh penggunaan “waw athifah” dalam kalimatnya (وقال بايعناه) (Dan dia berkata, “Kami baiat beliau…”).

Hendaknya anda mengembalikan riwayat yang mengindikasikan bahwa baiat tersebut terjadi pada malam Aqabah kepada takwil ini, karena kita tidak menemukan adanya pertentangan antara kedua hadis di atas, yaitu hadis Abu Hurairah dan hadis Ubadah bin Shamit. Dengan demikian tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa hudud memiliki kafarah. Yang patut untuk diketahui, Ubadah bin Shamit bukan satu-satunya yang meriwayatkan makna tersebut, akan tetapi Ali bin Abu Thalid pun meriwayatkannya dalam riwayat At-Tirmidzi dan disahihkan oleh Al-Hakim, dalam riwayat tersebut terdapat kalimat, “Barangsiapa yang melaksanakan dosa kemudian mendapatkan balasan di dunia, maka Allah Mahamulia dan Pemurah untuk menjatuhkan hukuman tersebut kedua kalinya di akhirat.”

Kemudian dalam riwayat Ath-Thabrani dengan rangkaian sanad yang hasan dari hadis Abu Hamimah Al-Jahimi dan riwayat Ahmad dari hadis Khuzaimah bin Tsabit dengan sanad hasan, “Barangsiapa yang berbuat dosa dan diberi hukuman (di dunia), maka hukuman tersebut merupakan kafarat baginya.” Kemudian dari Ath-Thabrani dari Ibnu Amru, “Seseorang yang diberi balasan atas dosanya berarti ia telah diberi oleh Allah kafarah terhadap dosa tersebut.”

Lafaz kalimat (فعوقب) (Maka ia akan dihukum). Ibnu Tin berkata, “Maksud hukuman di sini adalah hukuman potong tangan dalam kasus pencurian dan hukuman cambuk atau rajam (dilempari batu) dalam kasus zina. Sedangkan dalam kasus membunuh anak kecil tidak terdapat hukuman yang pasti, dapat dianalogikan dengan membunuh jiwa. Sebagaimana dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah yang berkaitan dengan hadis ini, “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan yang haq,” akan tetapi hukuman dalam hadis ini bersifat umum dan tidak hanya terbatas pada hukuman had ataupun ta’zir. Ini adalah pendapat Ibnu Tin.

Diriwayatkan dari Al-Qadhi Ismail dan yang lainnya bahwa membunuh seorang pembunuh adalah tindakan preventif bagi orang lain. Sedangkan di akhirat nanti, tuntunan dari orang yang terbunuh akan tetap ada, karena ia belum mendapatkan haknya. Dalam hal ini, Ibnu Hajar berpendapat bahwa orang yang terbunuh telah mendapatkan haknya, lalu hak apalagi yang belum terpenuhi? Karena orang yang terbunuh secara zalim, dosanya telah diampuni dengan pembunuhan tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat yang disahihkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya, “Sesungguhnya pedang adalah penghapus kesalahan.” Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Jika terjadi pembunuhan maka segala (dosanya) terhapus.” Dalam riwayat Al-Bazzar dari Aisyah disebutkan secara marfu’, “Seseorang yang terbunuh, maka akan dihapus dosanya.” Jika tidak karena terbunuh, maka dosanya itu tidak akan terhapus.

Kemudian jika hukuman had diberikan kepada pembunuh hanya untuk tujuan preventif saja, lalu mengapa pengampunan kepada pembunuh juga disyariatkan? Apakah termasuk dalam hukuman tersebut musibah dunia, seperti sakit dan lainnya? Dalam hal ini masih diperselisihkan. Karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang tertimpa sesuatu darinya kemudian Allah menghapusnya” maka musibah tidak menghilangkan apa yang ditutup oleh Allah Ta’ala. Akan tetapi dalam banyak hadis disebutkan bahwa musibah dapat menghapus dosa, sehingga ada kemungkinan bahwa penghapusan di sini berlaku bagi dosa yang tidak memiliki had (hukuman).

Dari hadis tersebut dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan had (hukuman) dapat menghapus dosa walaupun tanpa disertai dengan taubat. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Namun sebagian tabi’in mengharuskan adanya taubat, demikian pula pendapat Mu’tazilah yang didukung oleh Ibnu Hazm. Mereka beragumen kepada pengecualian terhadap orang yang bertaubat dalam firman Allah Ta’ala (إلا الذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم) maka jawabnya, bahwa yang dimaksud di sini adalah hukuman dunia.

Lafaz kalimat (فهو إلى الله) (Maka perkaranya terserah kepada Allah Ta’ala). Al-Muzani berpendapat bahwa kalimat ini mengandung bantahan kepada kaum Khawarij yang mengafirkan seseorang karena telah berbuat dosa dan juga bantahan kepada kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang fasik yang tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka ia akan disiksa. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa hal itu di bawah kehendak Allah Ta’ala. Ath-Thibi berkata, “Kalimat tersebut mengindikasikan larangan untuk memvonis seseorang masuk neraka atau surga, kecuali ada nash khusus yang menunjukkan hal tersebut.”

Lafaz kalimat (إن شاء عاقبه وإن شاء عفا عنه) (Jika Allah berkehendak untuk menyiksanya maka Dia akan menyiksanya, dan jika berkehendak untuk mengampuni dosanya maka Dia akan mengampuninya). Menurut satu pendapat, kalimat tersebut mencakup orang yang bertaubat dan yang tidak. Sedangkan jumhur ulama, kalimat tersebut tidak mencakup orang yang bertaubat. Oleh karena itu orang yang berbuat makar kepada Allah Ta’ala tidak akan merasa aman, karena ia tidak dapat mengetahui apakah taubatnya diterima atau tidak.

Ada yang berpendapat bahwa untuk mengetahui hal itu, dibedakan terlebih dahulu antara orang yang wajib diberi hukuman had dan yang tidak wajib. Kemudian mereka juga berbeda pendapat tentang orang yang wajib diberi had, apa yang berpendapat bahwa ia dapat saja bertaubat secara sembunyi-sembunyi, dan itu sudah cukup baginya. Sedangkan sebagian orang berpendapat bahwa ia harus menghadap seorang imam dan mengakui kesalahannya serta minta pelaksanaan had atas dirinya seperti yang dilakukan Ma’iz dan Al-Ghamidiah. Selain itu ada juga sebagian ulama yang merincikannya, yaitu jika ia berbuat dosa secara terang-terangan, maka ia harus bertaubat secara terang-terangan pula, begitu juga sebaliknya.

Dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah ditambahkan lafaz “jangan merampas” dan ini yang menjadi dalil bahwa baiat tersebut tidak dilakukan pada saat itu, karena jihad belum menjadi suatu kewajiban pada waktu baiat Aqabah. Sedangkan yang dimaksud dengan merampas di sini adalah merampas harta setelah perang. Dalam riwayat tersebut juga ditambahkan lafaz, “Jika kita melakukan semua itu maka kita akan masuk surga.” Kemudian Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam bab “Wufudul Anshar” dari Qutaibah dari Laits dengan lafaz (ولا يقضى). Sebenarnya penulisan kata tersebut keliru, hanya saja beberapa orang telah menjadikannya sebagai sandaran dan mengatakan, “Secara zahir riwayat tersebut melarang seseorang untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, larangan tersebut dibatalkan dengan diangkatnya Ubadah menjadi Qadhi di Palestina pada masa pemerintahan Umar. Ada yang berpendapat bahwa kata “bil jannah” (dengan surga) berkaitan dengan keputusan atau pengadilan, artinya jangan mengadili manusia untuk masuk surga.” Cukuplah riwayat Muslim dari Qutaibah yang membuktikan kekeliruan tersebut, dan juga riwayat Al-Ismaili dari Hasan bin Sufyan serta Abi Nu’aim dari Musa bin Harun yang keduanya berasal dari Qutaibah. Demikian pula hadis tersebut menurut Al-Bukhari dalam kitab Ad-Diyat dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits dalam sebagian besar riwayat.

PEMBAHASAN LENGKAP SYARAH KUTUB HADIS


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)