BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

حَدَّثَنَا أَبُو الوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ»

Artinya: “Telah memberitahu kami Abul Walid, ia berkata telah meberitahu kami Syu'bah, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Adullah bin Abdullah bin Jabr, ia berkata, aku mendengar dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: "Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar dan di antara tanda-tanda munafik adalah membencinya.”

PENJELASAN DALAM KITAB FATHU AL-BARIY

Dalam bab yang lalu telah dijelaskan bahwa di antara tanda-tanda iman adalah mencintai sesamanya karena Allah Ta’ala, sedangkan di sini Imam Al-Bukhari menyebutkan hadis yang menunjukkan bahwa mencintai mereka –karena mereka telah menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah termasuk mencintai seseorang karena Allah Ta’ala. Sebenarnya mereka sudah termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mencintai seseorang karena Allah.” Akan tetapi disebutkannya mereka secara khusus dalam hadis ini menunjukkan adanya perhatian terhadap mereka.

Lafaz kalimat (آية الإيمان) (Tanda-tanda iman), demikianlah penulisan kata tersebut yang terdapat dalam semua riwayat, baik dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim, kitab-kitab sunan, mustakhraj maupun musnad. Kata (آية) berarti “tanda” seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari. Dalam Kitab I’rab Al-Hadits karya Abu Al-Baqa’ Al-Akbari disebutkan dengan lafaz “innahul iiman” yaitu dengan menggunakan kata “innahu” dan “al-iman” dalam keadaan marfu’. Kemudian Abu Al-Baqa’ Al-Akbari meng-i’rab-nya dengan mengatakan bahwa kata “inna” berfungsi sebagai “ta’kid” (penguat), kata ganti “hu” adalah sebagai kata ganti keadaan “dhamir asy-sya’ni”, sedangkan kata “iman” adalah sebagai “mubtada” (subjek) dan kata setelahnya adalah sebagai “khabar” (predikat). Dengan demikian, hadis ini mengandung pengertian bahwa yang dinamakan iman adalah mencintai kaum Anshar.

Hal ini adalah merupakan kesalahan dalam penulisan karena dari segi maknanya menimbulkan kesan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, padahal sebenarnya tidak demikian. Ada yang berpendapat bahwa lafaz yang masyhur dari hadis tersebut juga mengindikasikan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, demikian pula dengan hadis yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam bab “Fadha’il Al-Anshar (keutamaan kaum Anshar)” dari Al-Barra bin Azib yang berbunyi, “Tidak ada yang mencintai golongan Anshar kecuali orang yang beriman.”

Mengenai hadis pertama, dapat dijawab bahwa tanda-tanda (‘alamah) adalah seperti “khashah” (istilah dalam ilmu mantiq yang berarti ciri khusus) yang terdapat dalam beberapa benda dan tidak bisa diterapkan sebaliknya. Kita juga dapat menerima dakwaan adanya pembatasan tersebut, akan tetapi bukan secara hakiki melainkan hanya sebagai penekanan pada maknanya saja. Atau bisa jadi pembatasan itu bersifat hakiki, akan tetapi dikhususkan bagi orang yang membenci kaum Anshar karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan mengenai hadis kedua, dapat dijawab bahwa maksud dari hadis tersebut adalah mencintai kaum Anshar hanya terdapat dalam diri orang mukmin. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak mencintai Kaum Anshar tidak termasuk orang mukmin, akan tetapi, maksudnya adalah bahwa orang yang tidak beriman tidak akan mencintai mereka.

Apabila ada sebuah pertanyaan, “Apakah orang yang membencinya termasuk dalam golongan munafik, meskipun ia telah berikrar dan percaya kepada Allah Ta’ala?” Maka jawabannya adalah bahwa berdasarkan zahirnya kalimat tersebut memang mengandung pemahaman seperti itu. Akan tetapi maksud sebenarnya tidak demikian, karena kata “bughdhun” (benci) dalam hadis tersebut memilki batasan, yaitu jika seseorang membenci mereka hanya karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia termasuk orang munafik. Penafsiran semacam ini sesuai dengan hadis yang dikeluarkan oleh Abu Naim dari Barra’ bin Azib, “Barangsiapa yang mencintai Kaum Anshar, maka aku akan mencintainya dengan sepenuh hati, dan barangsiapa yang membenci Kaum Anshar, maka aku akan membencinya dengan sepenuh hati.” Tambahan seperti ini juga terdapat dalam bab “Al-Hubb (cinta)” seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Imam Muslim juga telah meriwayatkan dari Abu Said secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan lafaz, “Tak ada seorang mukmin pun yang beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang membenci kaum Anshar,” dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, “Mencintai Kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” Ada kemungkinan kata tersebut disebutkan dengan fungsi sebagai peringatan (tahdzir), sehingga yang dimaksud bukanlah makna zahirnya dan oleh karena itu iman yang ada tidak digantikan dengan kekafiran yang merupakan kebalikan, tapi dengan kemunafikan yang mengisyaratkan bahwa janji dan ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang menampakkan keimanannya. Sedangkan yang menampakkan kekafiran tidak termasuk dalam apa yang dimaksud, karena yang dilakukannya lebih keras dari itu.

Lafaz kalimat (الأنصار) merupakan bentuk plural dari kata (ناصر) atau (نصير) yang berarti “penolong”. Huruf “lam” dalam kata tersebut berfungsi untuk menunjukkan arti yang telah diketahui, maksudnya adalah para penolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah atau dua anak Qailah yang merupakan nenek moyang mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamakannya dengan “Anshar”, sehingga kata tersebut menjadi sebutan bagi mereka. Nama ini juga digunakan untuk menyebut keturunan, sekutu dan pengikut mereka. Pemberian gelar agung tersebut dikarenakan mereka telah memberikan pertolongan yang lebih besar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya (Muhajirin) daripada kepada kabilah-kabilah lainnya. Mereka menolongnya dengan jiwa, harta dan bahkan mereka mendahulukan kepentingan Kaum Muhajirin daripada kepentingan mereka sendiri. 
Perbuatan mereka ini menyebabkan mereka dimusuhi oleh kabilah-kabilah Arab maupun non-Arab dan juga menimbulkan kedengkian dalam diri kabilah-kabilah tersebut. Permusuhan dan kedengkian ini sebenarnya disebabkan karena kebencian kepada mereka. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan kepada manusia agar tidak membenci Kaum Anshar akan tetapi harus mencintainya, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hal itu sebagai tanda keimanan atau kemunafikan dengan maksud untuk mengingatkan akan keutamaan dan kemuliaan kaum Anshar. Bahkan orang yang ikut serta dalam apa yang mereka perbuat, juga masuk dalam keutamaan mereka yang disebutkan di atas. Ditemukan dalam Sahih Muslim dari Ali, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin dan tak ada yang membencimu kecuali orang munafik”. Hadis ini disampaikan di depan para sahabat yang menunjukkan kesetaraan mereka dalam kemuliaan karena kontribusi yang mereka berikan kepada agama. Pengarang Al-Mafhum berkata, “Perang yang terjadi di antara mereka bukan karena hal ini, akan tetapi dikarenakan suatu perkara yang menyebabkan perselisihan, oleh karena itu kedua belah pihak tidak dapat divonis munafik, karena kondisi mereka pada saat itu adalah seperti hukum 2 orang mujtahid dalam berijtihad, yaitu bagi yang benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala. 

PEMBAHASAN LENGKAP SYARAH KUTUB HADIS


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)