BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Ilmu Balaghah Ma'ani, Bayan & Badi'

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

(1) Pengertian Hakikat (Menurut Bahasa & Istilah); (2) Hakikat Ditinjau dari Segi Berbagai Objek Pembahasannya (Hakikat Lughawiyyah: Wadh’iyyah & ‘Urfiyyah), (Hakikat Ishthilahiyyah: Syai’yyah, ‘Urfiyyah Khassah & ‘Urfiyyah ‘Amah); (3) Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat.

PEMBAHASAN ILMU BALAGHAH TERLENGKAP : klik disini

Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)

BAB 3 : HAKIKAT (الحقيقة) I. PENGERTIAN HAKIKAT (تعريف الحقيقة) Menurut bahasa adalah makna yang dipakai menurut makna yang seharusnya. Atau memahami setiap lafaz sesuai dengan arti atau makna yang tersurat di dalamnya. Menurut istilah: Ulama Ushul mendefinisikan Hakikat adalah (الكلمة المستعملة فيما وضعت له) lafaz yang digunakan pada asal peletakannya. Menurut Syeikh Abu Al-Yasr Al-Abidin, Hakikat adalah sebuah Isim/nama bagi setiap lafaz yang dinginkan untuk arti yang sebenarnya, yang mencakup tiga macam yaitu Lughawiyah, Syariyah, dan ‘Urfiyah. Jadi, dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Hakȋkat adalah pengembalian atau penempatan makna sebuah kata sesuai dengan maksud dan tujuan tertulis tanpa adanya pen-tahwil-an atau pemutaran makna dari makna asalnya. II. HAKIKAT DITINJAU DARI SEGI BERBAGAI OBJEK PEMBAHASANNYA (أقسام الحقيقة ) Hakikat Lughawiyyah (الحقيقة اللغوية) adalah memaknai suatu lafaz dengan menggunakan pendekatan bahasa, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli linguistik. Contoh dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia (إنسان) pada hewan yang berbicara (الحيوان الناطق) dan serigala pada hewan yang buas. Hakikat Lughawiyyah dibagi menjadi dua jenis: Hakikat Lughawiyyah Wadh’iyyah (الحقيقة اللغوية الوضعية), yaitu lafaz yang digunakan sesuai makna aslinya ditinjau dari asal bahasanya. Contoh dari hakikat ini adalah kata singa yang diartikan sebagai hewan buas yang berani dan sebagai raja hutan, dan kata manusia diartikan sebagai hewan yang dapat berbicara. Hakikat Lughawiyyah ‘Urfiyyah (الحقيقة اللغوية العرفية), yaitu suatu lafaz yang digunakan sesuai maknanya, dan disesuaikan dengan kebiasaan penggunaannya dalam bahasa. Jenis ini terbagi menjadi dua macam: Jika suatu kata pada awalnya digunakan dalam istilah yang umum, kemudian dikhususkan dengan cakupan nominanya sendiri oleh kebiasaan penggunaan ahli bahasa. Contohnya adalah pengkhususan penggunaan lafaz Al-Dabbah pada hewan yang berkaki empat saja (sesuai kebiasaan), padahal jika dilihat dari makna aslinya secara bahasa, Al-Dabbah adalah seluruh hewan yang dapat berjalan. Jika suatu kata telah memiliki makna secara bahasa, tetapi makna yang terkenal secara kebiasaan adalah makna Majaz yang tidak sesuai dengan hakikat bahasanya. Contohnya adalah penggunaan lafaz al-ghaa`ith yang secara bahasa pada asalnya berarti tempat yang rendah di atas bumi, kemudian secara ‘urf (kebiasaan) yang terkenal memiliki arti kotoran yang keluar dari tubuh manusia. Sampai-sampai lafadz ini tidak diketahui artinya kecuali makna baru yang terkenal karena kebiasaan penggunaan ini. Hakikat Ishthilahiyyah (الحقيقة الاصطلاحية) adalah suatu lafaz yang digunakan sesuai makna aslinya secara istilahnya. Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya, bahwa Hakikat Ishthilahiyyah terbagi menjadi dua: Hakikat Syar’iyyah (الحقيقة الشرعية) adalah memaknai suatu lafaz dengan menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli syari’at (fikih), seperti penggunaan kata salat pada suatu ibadah yang tertentu yang memuat perkataan, dan pekerjaan yang telah diketahui. Hakikat Urfiyyah Khassah (الحقيقة العرفية الخاصة) adalah lafaz yang di dalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang tertentu. Hakikat ini juga bisa disebut dengan Hakikat Istilahiyyat. Contoh dari hakikat ini adalah seperti sebutan Nashab, Rafa’ dan Jar yang oleh ulama Nahwu biasa disebut dengan perubahan-perubahan I’rab (حركات الإعراب). Hakikat ‘Urfiyyah ‘Amah (لحقيقة العرفية العامة) adalah lafaz yang di dalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang umum dilakukan maupun dilakukan, seperti penggunaan kata binatang pada hewan yang berkaki empat. III. PENYEBAB TIDAK BERLAKUNYA HAKIKAT Adanya petunjuk penggunaan secara “urf” atau kebiasaan dalam penggunaan lafaz. Dalam hal ini, Hakȋkat lafaz ditinggalkan, maka yang dipegang adalah apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut. Misalnya kata “Shalat” menurut Hakȋkat-nya, maknanya adalah doa, tetapi karena sudah diketahui bahwa yang dimaksud dengan shalat adalah suatu bentuk dari perbuatan ibadah, maka makna Hakȋkat-nya sebagai doa tidak lagi digunakan. Contoh firman Allah Ta’ala: (وَأَقِمِ الصَلَاةَ لِذِكْرِي). Pada ayat di atas, makna shalat tidak lagi doa, tetapi untuk ibadat tertentu yang dinamakan dengan shalat. Adanya petunjuk lafaz. Dalam hal ini, lafaz memberikan petunjuk kepada sesuatu secara Hakȋkat, namun yang dimaksud bukan untuk itu. Contoh, jika seseorang berkata: “Demi Allah saya tidak makan daging”, ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar sumpah, karena pengertian daging berlaku untuk seluruh macam daging secara Hakȋkat-nya, tetapi pengertian menurut Hakȋkat disini menghendaki daging itu selain dari daging ikan dan belalang. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu bacaan. Dalam mengucapkan suatu bacaan ada aturannya, sehingga meskipun diungkapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk Hakȋkat-nya, namun harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun di luar Hakȋkat-nya. Contoh firman Allah Ta’ala: (وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا). Secara Hakȋkat-nya ungkapan ayat ini memberikan pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir, namun karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim yang kafir, maka ayat ini tidak dipahami secara Hakȋkat-nya, tetapi dengan arti lain yaitu “kaharusan” beriman dan tidak ada pilihan. Adanya petunjuk dari sifat. Meskipun pembicara menyuruh sesuatu yang menurut Hakȋkat-nya, namun dari sifat pembicara dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesuatu menurut apa yang di ucapkan. Contoh firman Allah Ta’ala: (وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ). Meskipun pada ayat di atas mengandung perintah, namun setiap orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir, jelaslah di sini yang dimaksud yaitu memberi kemungkinan.