Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
(1) Pengertian Majaz (Secara Bahasa & Istilah, Contoh Ungkapan Majaz); (2) Konsep Majaz; (3) Keterkaitan Yang Menjadi Syarat Penggunaan Majaz; (4) Kedudukan Hukum Antara Hakikat & Majaz; (5) Faedah Majaz Dalam Al-Quran; (6) Sebab Lafaz Atau Ungkapan Disebut Majaz (Sebab Lafzi & Sebab Tarkibi/Isnadi); (7) Pembagian Majaz Secara Garis Besarnya (Majaz Lughawi & Majaz Aqli) (Majaz ‘Aqli: Sababiyyah, Zamaniyyah, Makaniyyah, Mashdariyyah, Isnad Lafaz Mabni Ma’lum kepada Maf’ul-nya & Isnad Lafaz Mabni Majhul kepada Fa’il-nya); (8) Pembagian Majaz Lughawi (Majaz Isti’arah & Majaz Mursal) (Majaz Mursal: Sababiyyah, Musababiyyah, Juz’iyyah, Kuliyyah, I’tibaru Ma Kana, I’tibaru Ma Yakunu, Mahaliyyah, Haliyyah, Aliyah, Mujawirah, Lazimiyyah, Malzumiyyah, Taqyid kemudian Ithlaq, Umum, Khusus, Badaliyyah, Mubdaliyyah, Ta’alluq Isytiqaqi & Majaz Bi Musyarafah) ; (9) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Musta’ar Lahu & Minhu: Isti’arah Tashrihiyyah & Isti’arah Makniyyah; (10) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Bentuk Lafaznya (Isti’arah Ashliyyah & Isti’arah Taba’iyyah); (11) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Dari Kata Yang Mengikutinya (Isti’arah Murasysyahah, Isti’arah Muthlaqah & Isti’arah Mujarradah); (12) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Dari Wajh Al-Syibh: Isti’arah Qaribah/’Ammiyyat & Isti’arah Gharibah/Khashiyyat; (13) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Dari Kedua Ujungnya: Isti’arah Inadiyah & Isti’arah Wifaqiyah; (14) Pembagian Isti’arah Berdasarkan Jami’ dan Kedua Tharf-nya: Jami’ dan kedua Tharf-nya Hissi, Jami’-nya Aqli dan kedua Tharf-nya Hissi, Jami’-nya Mukhtalif, baik Hissi maupun ‘Aqli dan kedua Tharf-nya Hissi, Jami’ dan Kedua Tharf-nya ‘Aqli, Jami’ dan Musta’ar Lahu Berupa Aqli dan Musta’ar Minhu-nya Hissi, Jami’ dan Musta’ar Minhu-nya Aqli dan Musta’ar Lahu-nya Hissi; (15) Isti’arah Tamtsiliyyah (Pengertian, Pembagian Isti’arah Tamtsiliyyah: Tahqiqiyah & Tahliliyah, Perbedaan Tasybih Tamtsili & Isti’arah Tamtsiliyyah).
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
BAB 4 : MAJAZ (المجاز) I. PENGERTIAN MAJAZ (تعريف المجاز) Secara bahasa adalah Majaz berasal dari kata Al-Jawaz (الجواز) yang berarti melampui, sebagaimana dikatakan juga “aku melampui tempat ini” artinya melewati atau melampui. Menurut istilah (اللفظ المستعمل في غير ما وضع له لعلاقة مع قرينة دالة على عدم إرادة المعنى الأصلي): Menurut Syarkasyi: Majaz adalah nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Menurut Ibnu Qudamah: Majaz adalah lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Menurut Al-Subki: Majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan. Menurut Wahbah Suhaili: Majaz adalah lafaz yang dipakai untuk arti lain yang bukan arti hakiki. Contoh ungkapan Majâz pada syair yang diucapkan Ibnu Al-Amid: (قَامَتْ تُظَلِّلُنِي مِنَ الشَّمْسِ ... نَفْسٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي) dan (قَامَتْ تُظَلِّلُنِي وَمِنْ عَجَبٍ ... شَمْسٌ تُظَلِّلُنِي مِنَ الشَّمْسِ). Ungkapan, "Matahari melindungiku dari matahari". Kata "matahari" yang pertama tidak dimaksudkan pengertiannya yang asli yaitu matahari yang menyinari di siang hari, karena hal ini mustahil menurut kebiasaan. Maksud matahari di sini adalah manusia. Dia mempunyai keagungan dan dapat melindungi orang lain, karenanya ia disamakan dengan matahari. II. KONSEP MAJAZ Menurut bahasa Majâz bermakna melewati. Majâz adalah suatu perkataan yang dipakai bukan pada makna aslinya karena ada hubungan serta adanya qarînah yang melarang penggunaan makna asal. Majâz (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki (denotatif). Makna hakiki adalah makna asal dari suatu lafaz atau ungkapan yang pengertiannya difahami orang pada umunya. Lafaz atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri. Sedangkan makna Majâzî adalah perubahan makna dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada proses perubahan makna. Murâdif atau munâsabah tidak dikatakan memiliki makna Majâzî karena di dalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru. Suatu ungkapan atau teks bisa dinilai mengandung makna hakiki jika si pengucap atau penulisnya menyatakan secara jelas bahwa maksudnya sesuai dengan makna asalnya; atau juga tidak adanya qarînah-qarînah (indikator) yang menunjukkan bahwa ungkapan dari teks tersebut mempunyai makna Majâzî. Akan tetapi jika ada qarînah-qarînah yang menunjukkan bahwa lafaz atau ungkapan tersebut tidak boleh dimaknai secara hakiki, maka kita harus memaknainya secara Majâzî. III. KETERKAITAN YANG MENJADI SYARAT PENGGUNAAN MAJAZ Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna Hakikat dan makna Majaz dalam satu lafaz, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar. Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi Muhammad Shallallu ‘Alaihi Wa Sallam. Lafaz (الكون) artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafaz sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat Al-Qur’an dalam Surah Al-Nisa’ ayat 2: (وأتوا اليتامى اموالهم). Ayat di atas didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang lain pada Surah Al-Nisa’ ayat 6: (وَابْتَلُوا اليَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوْا إِلَيْهِمْ أَمْوَالهم). Lafaz (الأول) adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contoh mimpi Nabi Yusuf ‘Alaihi Wassalam: (إنّى أرَانِى أعْصِرٌ خَمْرًا). Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang ditakwil dengan khamr. Lafaz (الاستعداد) adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam menyebabkan kematian. Lafaz (الحلول) adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat Al-Qur’an: (واسأل القرية) maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut. Lafaz (الجزئية وعكسها) adalah menyebutkan sebagian untuk menjelaskan keseluruhan dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja. Contoh pertama pada ayat: (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya. Contoh kedua pada ayat: (يَجْعَلُوْنَ أَصَابِعَهُمْ فِى أَذَانِهِمْ) maksud dari lafaz (أصابعهم) adalah (أناملهم). Lafaz (السببية) adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya. Contoh pertama: (فُلَانٌ أَكَلَ دَمَ أَخِيْهِ). Maksud di sini adalah diyat atau denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (Musabbab). Contoh kedua: (إعتدي) artinya kamu dalam masa iddah. Maksud di sini adalah maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabbab dari wanita yang ditalak. IV. KEDUDUKAN HUKUM ANTARA HAKIKAT DAN MAJAZ (الحكم بين الحقيقة والمجاز) Majaz adalah cabang, sedang Hakikat adalah pokoknya. Karena itu Majaz tidak bisa ditetapkan menjadi sebuah hukum kecuali adanya kesulitan ketika menggunakan Hakikat, oleh karena itu Majaz masih membutuhkan qarinah. Para ulama banyak yang berbeda pendapat tentang penggunaan Majaz sebagai ganti dari Hakikat. Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Majaz bisa mengganti kedudukan Hakikat hanya dari segi lafaznya saja tidak sampai kepada hukumnya, karena Hakikat dan Majaz adalah merupakan sifat suatu lafaz dan bukan sifat suatu makna. Contohnya adalah lafaz (الشجاعة) yang mengganti lafaz (هذا أسد). Lafaz (الشجاعة) menurut Abu Hanifah hanya mengganti dari segi bahasanya saja, sedang lafaz (هذا أسد) menurutnya adalah hewan yang terkenal mempunyai sifat berani. Dua orang ulama berpendapat bahwasanya pergantian itu adalah pada hukum atau maknanya juga, bukan pada lafaz atau bahasanya saja, karena pergantian yang menyentuh aspek hukum itu lebih utama daripada hanya sekedar lafaz atau bahasanya saja. Contohnya seperti lafaz di atas yang menunjukan konsistensi sifat harimau yang berani. V. FAEDAH MAJAZ DALAM AL-QURAN (فوائد المجاز في القرآن) Al-Ittisa’ fil Ma’na/memperluas makna (الاتساع في المعنى). Keberadaan Majaz di dalam Al-Qur’an akan menunjukkan bahwa bahasa Arab itu mempunyai makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada satu makna saja. Oleh karena itu, ketika kalimat itu tidak bisa lagi dipahami dengan hakiki, maka akan berpindah pemahamannya terhadap Majaz. Sungguh dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali kata yang bisa dipahami secara Majazi. Kemudian, jika seandainya suatu lafadz tidak di-majaz-kan, maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi. Al-Taukid/menguatkan (التوكيد). Adanya Majaz akan dapat menguatkan makna dari sebuah kalimat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ia juga menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal pikiran. Al-Tasybih/menyerupakan (التشبيه). Adanya Majaz ini, akan memperdalami makna yang Muhkam dan Mutasyabih. VI. SEBAB LAFAZ ATAU UNGKAPAN DISEBUT MAJAZ (أنواع سبب المجاز) Sebab Lafzi (السبب اللفظي), yaitu bahwa lafaz-lafaz tersebut tidak bisa dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika lafaz-lafaz tersebut dimaknai secara hakiki, maka akan muncul pengertian yang salah. Qarînah pada ungkapan Majâz jenis ini bersifat lafzhî pula. Contoh: (خَطَبَ الأَسَدُ أَمَامَ النَّاسِ). Sebab Tarkibi/Isnadi (السبب التركيبي أو الإسنادي), yaitu bahwa ungkapan Majâz terjadi bukan karena lafaz-lafaz-nya yang tidak bisa difahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan Fi’il kepada Fa’il-nya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan. Contoh firman Allah Ta’ala: (وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا). Tidak bisa menisbatkan (وَأَخْرَجَتِ) kepada (الأَرْضُ) karena yang mengeluarkan benda-benda itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala. VII. PEMBAGIAN MAJAZ SECARA GARIS BESARNYA (تقسيم المجاز) Majaz Lughawi (المجاز اللغوي), yaitu (استعمالُ اللفظ في غير ما وضع له لعلاقةٍ) salah satu jenis Majâz yang ‘illah-nya didasarkan pada aspek bahasa. Majâz ini terbagi kepada dua jenis, yaitu Majâz Isti'arah dan Majâz Mursal. Macam-macamnya: Menyebutkan isim juz’i atas kulli (إطلاق إسم الجزء على الكل), tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Contoh: (وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ). Wajah disini menunjukkan keseluruhan Dzat-nya. Menyebutkan isim kulli atas juz’i (إطلاق الكل على الجزئي) yaitu yang dimaksud adalah sebagian saja. Contoh: (أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاء فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصْابِعَهُمْ فِي آذَانِهِم مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ واللّهُ مُحِيطٌ بِالْكافِرِينَ). Yakni hanya ujung-ujung jari saja, bukan keseluruhannya. Menyebutkan isim khas atas ‘am (إطلاق إسم الخاص على العام), yang bersifat khusus, tetapi yang dimaksud adalah ‘am. Contoh: (فَأْتِيا فِرْعَوْنَ فَقُولَا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ). Yakni para Rasul-Nya. Bersifat umum, tetapi yang dimaksud adalah isim khas (العام على الخاص إطلاق). Contoh: (وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا). Yakni mereka dahulunya yatim, dan setelah baligh mereka bukan yatim lagi. Memahami sesuatu dengan mentakwilkannya (تسميته باسم ما يؤول إليه). Contoh: (وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانَ قَالَ أَحَدُهُمَآ إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا وَقَالَ الآخَرُ إِنِّي أَرَانِي أَحْمِلُ فَوْقَ رَأْسِي خُبْزًا تَأْكُلُ الطَّيْرُ مِنْهُ نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ). Yang dimaksud disini adalah anggur yang maknanya ditakwilkan menjadi arak. Suasana, tetapi yang dimaksud adalah tempat terjadinya suasana itu (إسم الحال على المحال). Contoh: (وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ). Yakni di surga karena disanalah rahmat terjadi. Menamai sesuatu dengan alatnya (الشيء باسم الته). Contoh: (وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ). Yakni bahasa kaumnya. Menamai sesuatu dengan antonim (تسمية شيء باسم ضده). Contoh: (فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ). Yakni “busyra” itu sebenarnya adalah untuk berita yang membahagiakan. Penisbatan suatu perbuatan kepada sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh karenanya penyerupaan (إضافة الفعل إلى مالا يصح منه تشبيها). Contoh: (فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا). Yakni Allah mensifati dinding dengan sifat berkehendak , padahal itu adalah sifat makhluk hidup, karena menyerupakan kemiringannya karena akan roboh dengan kehendaknya. Menyebutkan suatu pekerjaan yang sudah jadi, tetapi yang dimaksud adalah proses menuju pekerjaan itu (الفعل والمرد مشارفته وإرادته تسمية). Contoh: (وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا). Yakni apabila hampir saja meninggalkan anak-anak yang lemah, maka harus takut kepada Allah. Menyebutkan sighat pada tempat sighat yang lain. Ini terdiri dari beberapa macam (إقامة صيغة مقام أخرى). Pembagiannya: Menyebutkan yang (الفاعل) tetapi yang dimaksud adalah (المفعول) (إطلاق الفاعل على المفعول). Contoh: (الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ لَا عَاصِمَ). Maksudnya adalah (معصوم). Menyebutkan yang (الفعيل) tetapi bermakna (المفعول) (إطلاق الفعيل بمعنى المفعول). Contoh: (وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا). Menyebutkan yang Mufrad untuk Mutsanna (إطلاق المفرد على المثنى). Contoh: (وَاللّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَن يُرْضُوهُ). Menyebutkan yang Mufrad untuk Jamak (إطلاق المفرد على الجمع). Contoh: (لَفِي خُسْرٍ إِنَّ الإِنْسَانَ). Yang dimaksud adalah (الناس). Menyebutkan yang Mutsanna untuk Mufrad (إطلاق المثنى على المفرد). Contoh: (يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ). Yang dimaksud adalah (من أحدهما). Menyebutkan yang Jamak untuk Mufrad (إطلاق الجمع على المفرد). Contoh: (حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُون). Yang dimaksud adalah (أرجعني). Majaz Aqli (المجاز العقلي), yaitu (يجري في الإسنادِ، بمعنى أن يكونَ الإسنادُ إلى غير من هوَ لهُ) menyandarkan Fi’il (kata kerja) atau yang semakna dengannya kepada yang bukan seharusnya karena ada ‘alâqah (hubungan) serta adanya qarînah yang mencegah dari penyandaran yang sebenarnya. Penyandaran Fi’il atau yang semakna dengannya dilakukan kepada sebabnya, waktunya, tempatnya, Mashdar-nya, Mabni Fâ’il kepada Maf’ûl, dan Mabni Maf’ûl kepada Fâ’il. Penyandaran Fi’il kepada Sebab (السببية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada penyebab langsung (pelaku). Contoh: Surah Al-Ghafir ayat 36-37: (وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (٣٦) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (٣٧)). Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses pembangunan itu. Kalimat: (بَنَى عَمْرُو بْنِ العَاصِ مَدِيْنَةَ فُسْطَاطَ). Pada contoh tersebut dinisbatkan kata kerja (بنى) kepada (عمرو بن العاص) yang bukan sebenarnya, karena yang membangun kota Fusthath adalah para insinyur dan pekerja. Namun demikian, Amru bin Ash adalah orang yang memerintahkan pembangunan kota tersebut. Penisbatan kepada Waktu (الزمانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada masa/waktu terjadinya. Contoh: (نَهَارُ الزَاهِدِ صَائِمٌ وَلَيْلُهُ قَائِمٌ). Pada contoh tersebut, puasa dinisbatkan kepada siang dan salat malam dinisbatkan kepada malam. Penisbatan kepada Tempat (المكانية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada tempat terjadinya. Contoh: Surah Al-Taubah ayat 72: (وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ). Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) mengalir disandarkan kepada sungai-sungai padahal sungai-sungai itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalir itu adalah air-air yang bertempat di sungai-sungai. Kalimat: (ازْدَحَمَتْ شَوَارِعِ القَاهِرَةِ). Penisbatan kepada Mashdar (المصدرية), yaitu penyandaran suatu perbuatan kepada mashdarnya (kata dasar/asal). Contoh: Syair: (سَيَذْكُرُنِي قَوْمِيْ إِذَا جَدَّ جِدُّهُمْ ... وَفِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ يُفْتَقَدُ البَدْرُ). Pada syair ini disebutkan bahwa aktivitas menghadapi kesusahan disandarkan kepada mashdar (kata dasar) yaitu kata (جِدُّ) padahal mashdar itu bukan pelaku sebenarnya, tetapi yang mengalami kesusahan adalah orang-orang yang susah. Kalimat: (جَدَّ جَدُّكَ وَكَدَّ كَدُّكَ). Meng-isnad-kan lafaz Mabni Ma’lum kepada Maf’ul-nya. Contoh: (عيشة راضية). Kata (راضية) yang merupakan lafaz Mabni Ma’lum di-isnad-kan pada Dhamir yang kembali pada lafaz (عيشة) dikatakan Majaz Aqli karena asalnya: (عِيْشَةٌ رَاضٍ صَاحِبُهَا إِيَّهَا). Meng-isnad-kan lafaz Mabni Majhul kepada Fa’il-nya. Contoh: (سَيْلٌ مُفْعَمٌ). Kata (مفعم) yang merupakan lafaz Mabni Majhul, di-isnad-kan pada Dhamir yang kembali kepada lafaz (سيل) dikatakan Majaz Aqli karena asalnya: (سَيْلٌ مُفْعِمٌ الوَادِيَ). VIII. PEMBAGIAN MAJAZ LUGHAWI (تقسيم المجاز اللغوي) Majaz Isti’arah (المجاز الاستعارة) Isti’ârah adalah (استعمالُ اللفظُ في غير ما وضعَ له لعلاقةِ (المشابهةِ) بين المعنَى المنقولِ عنه والمعنِى المستعملِ فيهِ، مع (قرينةٍ) صارفةٍ عن إرادةِ المعنَى الأصليِّ) Majâz yang ‘alâqah -nya (hubungan) antara makna asal dan makna yang dimaksud adalah Musyâbahah (keserupaan). Rukun-rukun Isti’arah adalah: Musta’ar minhu (مُسْتَعَار مِنْه), yaitu kata yang dipinjam darinya atau Musyabbah Bih. Musta’ar lahu (مُسْتَعَار لَه), yaitu kata yang dipinjam untuknya atau Musyabbah. Musta’ar (مُسْتَعَار), yaitu sifat yang dipinjamkan. Untuk diingat bahwa Isti‘arah merupakan bagian dari Majaz. Kesamaannya dengan Majaz Mursal dan Majaz Aqli terletak pada keharusan adanya Qarinah (redaksi kalimat) yang mencegah suatu kata dari makna aslinya. Adapun perbedaannya terletak pada ‘Alaqah, di mana pada Majaz Mursal dan Majaz Aqli, ‘Alaqah (hubungan) antara makna asli dan makna baru adalah Ghair Musyabahah (tidak ada unsur kesamaan). Sedangkan pada Isti‘arah, hubungan antara makna asli dan makna baru adalah Musyabahah (adanya unsur kesamaan). Pada hakikatnya, Majâz Isti’ârah itu adalah Tasybîh yang dibuang salah satu tharafain-nya (Musyabbah atau Musyabbah bih) dan dibuang pula Wajh Al-Syibh dan Adat Tasybîh-nya. Perbedaan antara keduanya juga terletak pada penamaan pada kedua Tharafain-nya. Dalam Isti’ârah, Musyabbah dinamai Musta'ar Lah dan Musyabbah Bih dinamai Musta'ar Minhu. Lafaz yang mengandung Isti’ârah dinamakan Musta’ar dan Wajh Al-Syibh-nya dinamakan Jâmi’. Sedangkan mengenai qarînah-nya ada dua jenis yaitu qarînah Mufrad dan qarinah Jamak. Majaz Mursal (المجاز المرسل), yaitu (الكلمةُ المستعملةُ قصداً في غير معناها الأصليِّ لملاحظةِ علاقةٍ غيرِ (المشابهةِ) مع قرينةٍ دالّةٍ على عدمِ إرادة المعنى الوضعيِّ) suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya ‘Alaqah Ghair Musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai Qarinah (alasan/bukti) yang mencegahnya dari makna asli. Majaz Mursal berbeda dengan Kinayah karena pada kalimat yang berbentuk Kinayah tidak harus ada Qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya. Dinamakan “Mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu. Dalam Majaz Mursal terdapat banyak Alaqah dan juga Qarinah-nya yang banyak, di antaranya: Mujawirah (المجاورة), yaitu (كونُ الشيءِ مجاوراً لشيءٍ آخر) menjadikan sesuatu yang berdampingan/berdekatan sesuatu yang lain. Contoh: (كلَّمتُ الجدارَ والعامودَ), yakni aku duduk berdekatan dengan keduanya. Lazimiyyah (اللازمية), yaitu (كونُ الشيء يجبُ وجودُه، عند وجودِ شيءٍ آخر) wajib adanya sesuatu saat adanya sesuatu yang lain. Contoh: (طلعَ الضَّوءُ), yakni Matahari sesuatu yang wajib karena adanya cahaya. Malzumiyyah (الملزومية), yaitu (كون الشيءِ يجبُ عند وجودهٍ وجودُ شيءٍ آخر) wajib menjadikan sesuatu saat keberadaannya dengan adanya sesuatu yang lain. Contoh: (ملأتِ الشمسُ المكانَ), yakni cahaya. Hal tersebut berarti saat matahari menerangi suatu tempat, maka disitu ada cahaya. Taqyid kemudian Ithlaq (التقييد والإطلاق), yaitu (كون الشيءِ مُقَيّداً بقيدٍ أو أكثرَ) menjadikan sesuatu diikat dengan satu ikatan atau lebih. Contoh: (مِشْفرُ زيدٍ مَجْرُوحٌ). Lafaz (مشفر) adalah bibir unta, tapi yang dimaksud di sini adalah semua bibir. Umum (العموم), yaitu (كون الشيءِ شاملاً لكثيرٍ) menjadikan sesuatu yang mencakup lainnya, maksudnya, disebutkan umum dimaksudkan khusus. Contoh Surah Al-Nisa’ ayat 54: (أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ). Apa ayat ini disebutkan lafaz (الناس) sebagai bentuk umum, namun maksudnya adalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sebagai bentuk khusus, karena adanya qarinah yaitu ayat sebelumnya (ayat 49, 50 dan 51) yang tertuju kepada Beliau. Dan yang dimaksudkan dengan lafaz (فضله) adalah kenabian, Al-Quran dan kemenangan. Khushush (الخصوص), yaitu (كون اللفظِ خاصاً بشيءٍ واحدٍ) menjadikan suatu lafaz khusus untuk satu hal. Contoh: menggeneralisasi nama orang kepada nama suatu kabilah, seperti Quraisy dan Rabi’ah. Badaliyyah (البدلبة), yaitu (كونُ الشيءِ بدلاً عن شيءٍ آخر) sesuatu yang menjadi ganti dari yang lain. Maksudnya, disebutkan Badal dimaksudkan Mubdal (yang diganti), atau sebaliknya disebutkan Mubdal dimaksudkan Badal. Contoh Surah Al-Nisa’ ayat 103: (فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ). Lafaz (قضيتم) sebagai lafaz yang diganti, dimaksudkan (أديتم) sebagai lafaz yang diganti. Mubdaliyyah (المبدلية), yaitu (كون الشيءِ مبدلاً منه شيءٌ آخر) menjadikan sesuatu digantikan dengan sesuatu yang lain. Contoh: (أكلتُ دمَ زيدٍ). Lafaz (دم) yakni (دية) diyat. Ta’alluq Isytiqaqi (التعلق الاشتقاقي), yaitu (إقامةُ صيغةٍ مقامَ أخرى) suatu Shighah berdiri pada tempat lain yang bukan tempatnya. Contoh: (إطلاق المصدرِ على اسم المفعولِ) Mashdar dimaksudkan Isim Maf’ul. Contoh: (صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ). Lafaz (صنع الله) dimaksudkan (مصنوع). (إطلاقِ اسم الفاعلِ على المصدرِ) Isim Fa’il dimaksudkan Mashdar. Contoh: (لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ). Lafaz (كاذبة) dimaksudkan (تكذبة). (إطلاق اسمِ الفاعل على اسم المفعول) Isim Fa’il dimaksudkan Isim Maf’ul. Contoh: (قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ). Lafaz (عاصم) dimaksudkan (معصوم). (إطلاق اسمِ المفعولِ على اسم الفاعلِ) Isim Maf’ul dimaksudkan Isim Fa’il. Contoh: (وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا). Lafaz (مستور) dimaksudkan (ساتر). (إطلاقُ اسمِ المفعولِ على المصدرِ) Isim Maf’ul dimaksudkan Mashdar. Contoh: (بمنصورِ النبيِّ على الأعادي). Lafaz (منصور) dimaksudkan (نصرة). Majaz Bi Musyarafah (المجاز بالمشارفة), yaitu (كون المشارفةُ لخصوصِ القريبِ من المجاز) menjadikan lafaz lebih khusus dari makna qarib. Contoh: (مَنْ قَتَلَ قَتِيلاً فَلَهُ سَلَبُهُ). Bahwasanya korban tidak dibunuh tetapi maksudnya mengawasi dalam pembunuhan, yang mempunya saksi. Sababiyyah (السببية), yaitu (ذِكْرُ السَّبَبِ وَإِرَادَةُ الْمُسَبَّبِ) menyebutkan sebab sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang disebabkan. Contoh: Kalimat & syair: (لِفُلَانٍ عَلَيَّ يَدٌ لَا أُنْكِرُهَا) dan (لَهُ أَيادٍ عَلَيَّ سَابِغَةٌ ... أُعَدُّ مِنْهَا وَلَا أُعَدِّدُهُ). Dari dua contoh di atas, ada kata (يَدٌ) dan (أَيادٍ) yang artinya tangan. Namun yang dimaksud pada kedua ungkapan di atas adalah sesuatu yang dihasilkan oleh tangan yakni berupa pemberian, jasa, sedekah, dll. Qarinahnya adalah seseorang tidak memiliki tangan orang lain. Jadi, maksudnta adalah "tangan yang menyebabkan terwujudnya suatu pemberian atau nikmat." Kalimat: (عَظَمَتْ يَدُ فُلَانٍ عِنْدِي). Pada ungkapan Majaz tersebut yang disebut adalah kata (يد), sedangkan yang dimaksud adalah (النعم) yakni nikmat yang disebabkan oleh tangan. Musababiyyah (المسببية), yaitu (ذِكْرُ الْمُسَبَّبِ وَإِرَادَةُ السَّبَبِ)menyebutkan sesuatu yang disebabkan, sedangkan yang dimaksud adalah sebabnya. Contoh: Surah Al-Ghafir ayat 13: (هُوَ الَّذِي يُرِيكُمْ آَيَاتِهِ وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقًا وَمَا يَتَذَكَّرُ إِلَّا مَنْ يُنِيبُ). Lafaz (رِزْقًا) yang artinya rezeki dipergunakan dengan makna (غَيْثًا) yang artinya hujan, karena rezeki yang berupa buah-buahan dan tanaman itu tumbuh disebabkan adanya air hujan. Air hujan menjadi penyebab rezeki itu tumbuh. Qarinahnya adalah tidak mungkin langit menurunkan secara langsung rezeki dalam bentuk buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Artinya rezeki yang merupakan akibat dari adanya sebab yaitu hujan. Kalimat: (أَمْطَرَتْ السَمَاءُ نَبَاتًا). Pada ungkapan Majaz tersebut, disebutkan akibatnya yakni (نباتا). Sedangkan yang dimaksudkannya adalah (الماء). Juz’iyyah (الجزئية), yaitu (ذِكْرُ الْجُزْءِ وَإِرَادَةُ الْكُلَّ) menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang dimaksudnya adalah keseluruhan. Contoh: Surah Al-Nisa’ ayat 92: (وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا). Kata (رَقَبَةٍ) yang artinya leher dipergunakan dengan makna hamba secara keseluruhan. Qarinahnya tidak mungkin memerdekakan sebagian dari anggota tubuhnya yaitu leher saja, tetapi yang dimerdekakan adalah seluruh anggota tubuh seorang. Kalimat: (أَرْسَلْتُ العُيُوْنَ لِتَطْلُعَ أَحْوَالَ العَدُوِّ). Kuliyyah (الكلية), yaitu (ذِكْرُ الْكُلَّ وَإِرَادَةُ الْجُزْءِ) menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan yang dimaksud adalah sebagiannya. Contoh Firman Allah Ta’ala ketika mengisahkan tentang Nabi Nuh yang berdakwah kepada kaumnya tetapi sebagian dari mereka tidak mau beriman. Sikap mereka yang menolak dakwah Nabi Nuh dengan cara menutup telinga mereka dengan jari-jari tangan, Surah Nuh ayat 7: (وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا). Lafaz (أَصَابِعَهُمْ) yang artinya jari-jari tangan pada ayat di atas maksudnya adalah (الأَنَامِلُ) yang artinya ujung jari. Qarinahnya karena seseorang tidak mungkin memasukkan semua jari tangannya ke dalam telinganya, tetapi yang dimasukkan adalah ujung jari. I’tibaru Maa Kaana (اعتبار ماكان), yaitu (اِعْتِبَارُ مَا كَانَ وَإِرَادَةُ مَا يَكُوْنُ) menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau yang belum terjadi. Contoh Surah Al-Nisa ayat 2: (وَأَتُوْا اليَتَامَى أَمْوَالَهُمْ). Pada potongan ayat tersebut terdapat kata (اليتامى) anak yatim. Maksud yang sebenarnya adalah berikanlah harta itu kepada anak yatim ketika mereka sudah dewasa. Disebutkan kata (اليتامى) anak yatim yaitu keadan masa yang sudah lalu, tetapi yang dimaksud adalah masa berikutnya ketika anak sudah dewasa, karena selama masih kecil tidak boleh menguasai harta benda itu. I’tibaru Maa Yakuunu (اعتبار ما يكون), yaitu (اِعْتِبَارُ مَا يَكُوْنُ وَإِرَادَةُ مَا كَانَ) menyebutkan sesuatu dengan keadaan yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang keadaan sebelumnya. Contoh: (وَدَخَلَ مَعَهُ السِجْنِ فَتَيَانَ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا). Kata (خَمْرًا) yang artinya arak sedang yang dimaksud adalah (عَصِيْرا) yang artinya sari atau perasan. Qarinahnya adalah arak itu tidak diperas tetapi yang diperas adalah buah anggur yang menghasilkan jus atau sari yang selanjutnya dicampur dengan zat-zat lain sehingga berubah menjadi khamar. Mahaliyyah (المحلية), yaitu (ذِكْرُ الْمَحَالِ وَإِرَادَةُ الْحَالِ) menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang menempatinya. Contoh: Surah Yusuf ayat 82: (وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا). Disebutkan desa tapi yang dimaksud adalah penduduk desanya. Kalimat: (قَرَّرَ المَجْلِسُ ذَلِكَ). Secara zahirnya, yang memutuskan adalah majelis, sedangkan yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang menempati majelis. Haliyyah (الحالية), yaitu (كونُ الشيء حالاً في غيره، وذلك فيما إذا ذكرَ لفظُ الحالِ، وأريدَ المحلَّ لما بينهما من الملازمةِ) menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keadannya. Contoh: Surah Al-Muthaffifin ayat 22: (إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ). Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan yaitu surga. Surah Ali Imran ayat 107: (وَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللهِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ). Pada ayat tersebut terdapat ungkapan (ففي رحمة), sedangkan yang dimaksudkannya adalah (الجنة). Pada Majaz ini disebut keadaannya, sedangkan yang dimaksud adalah tempatnya, yaitu surga yang di dalamnya ada rahmat. Aliyah (الآلية), yaitu (كونُ الشيء واسطةً لإيصالِ أثر شيءٍ إلى آخر، وذلك فيما إذا ذكرَ اسمُ الآلةِ، وأريدَ الأثرُ الذي ينتجُ عنه) apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sesuatu yang dihasilkan oleh alat tersebut. Contoh kata (اللسان) sebagai alat, dimaksudkan pada “buah tutur yang baik”, sebagai sesuatu yang diperoleh dengan alat itu, karena adanya qarinah lafziyyah, yaitu kata (الصدق) bait. Kenyataannya memang tidak terdapat mulut yang baik, tapi yang ada adalah buah tutur yang baik: Surah Maryam ayat 50: (وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا). Surah Al-Syu’ara’ ayat 84: (وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ). IX. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN MUSTA’AR LAHU & MINHU (في تقسيم الاستعارة باعتبار المستعار له ومنه) Isti’arah Tashrihiyyah (الإستعارة التصريحية). Pada jenis ini yang ditegaskan adalah Musta'âr Minhu-nya; sedangkan Musta’ar-nya dibuang, dengan istilah lain, pada jenis ini disebut Musyabbah Bih dan dibuang Musyabbah-nya (ما صُرَّحَ فيها بلَفظِ المشبَّه بهِ). Contoh: Kalimat: (رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ). Pada contoh ini, seorang yang pemberani (رَجُل شُجَاع) diserupakan dengan (أسدا) (singa), karena sama-sama memiliki sifat keberanian. Surah Ibrahim ayat 4: (كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ). Pada ayat di atas terdapat kata (الظُّلُمَاتِ) dan (النُّوْرِ). Kedua kata pada ayat di atas digunakan untuk makna Majâzî. Makna sebenarnya dari kedua kata itu adalah (الضلال) untuk makna (الظُّلُمَاتِ) dan (الهدى) untuk makna (النُّوْرِ). Jika kita tela’ah, kata (الضلال) dan (الهدى) keduanya merupakan Musyabbah, sedangkan kata (الظُّلُمَاتِ) dan (النُّوْرِ) keduanya sebagai Musyabbah Bih. Pada ungkapan Majâz di atas kata yang dibuangnya adalah (الضلال) dan (الهدى) yang kedudukannya sebagai Musyabbah. Untuk men-taqrir ungkapan Majaz Isti’arah Tashrihiyyah dilakukan hal-hal sebagai berikut: Kesesatan dan hidayah diserupakan dengan kegelapan dan cahaya karena sama-sama dalam kegelapan dan terangnya. Musyabbah Bih disebut, yaitu kata (الظُّلُمَاتِ) dan (النُّوْرِ). Sedangkan Musyabbah-nya dibuang, yaitu kata (الضلال) dan (الهدى) melalui bentuk Isti’arah Tashrihiyyah. Isti’arah Makniyyah (الإستعارة المكنية). Pada jenis ungkapan Isti’ârah Makniyyah yang dibuang adalah Musyabbah Bih (ما حُذِفَ فيها المشَبَّهُ بهِ ورُمِزَ لهُ بشيء مِنْ لوازمه). Hal ini dapat diketahui dari kelaziman kata-kata yang terkandung di sana. Contoh: Surah Maryam ayat 4: (قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا). Pada ayat ini, kata uban disamakan dengan api yang sama-sama menyala dan disiratkan dengan kata (اشْتَعَلَ). Kalimat: (غَرَّدَ الشاعر بِقَصِيْدَة). Pada contoh ini, penyair diserupakan dengan burung karena sama-sama bernyanyi yang disiratkan dengan kata (غَرَّدَ) yang artinya berkicau. Syair: (إِنِّي لَرَأَيْتُ رُؤُوْسًا قَدْ أَيْنَعَتْ ... وَحَانَ قِطَافُهَا وَإِنِّي لَصَاحِبُهَا). Pada syair di atas, kita menemukan ungkapan (رُؤُوْسًا قَدْ أَيْنَعَتْ) yang artinya kepala-kepala yang sudah ranum. Dari perkataan (أَيْنَعَتْ) yang artinya sudah ranum, kita dapat mengetahui bahwa ada penyamaan kepala dengan buah-buahan. Di sini hanya disebut Musta'ar Lah (Musyabbah) saja yaitu "kepala", sedang Musta'ar Minhu tidak ada, hanya diisyârahkan dengan kata ranum dimana kelaziman dari kata tersebut adalah untuk buah-buahan Kata "buah-buahan" sebagai Musta'ar Minhu-nya dibuang. Cara men-taqrir Isti’ârah Makniyyah adalah: Kepala diserupakan kepada buah-buahan pada segi bentuk, Musyabbah disebut, yaitu kepala, sedangkan Musyabbah bih dibuang, yaitu buah-buahan dan di-isyârah-kan kepadanya dengan salah satu kelazimannya yaitu kata ranum; menurut jalan Isti’ârah Makniyyah. X. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN BENTUK LAFAZNYA (في تقسيم الاستعارة باعتبار لفظه) Isti’arah Ashliyyah (الإستعارة الأصلية), yaitu (إِذا كان اللفظُ الذي جَرَتْ فيه اسماً جامدًا) jenis Isti’arah yang lafaz Musta’ar-nya Isim Jamid, bukan Musytaq/Isim Sifat. Isti’arah Ashliyyah Qarinah-nya Tashrihiyyah. Contoh: Kalimat: (رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْفَصْلِ), (رَأَيْتُ بَحْرًا فِي السُّوْق) dan (كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ). Syair: (أُحِبُّكَ يَا شَمْسَ الزَمَانِ وَبَدْرَهُ ... وَإِنْ لَا مَنِى فِيْكَ السُهَا وَالفَرَاقِدَ). Pada syair di atas, Saif Al-Daulah diserupakan dengan matahari dan bulan karena sama-sama berkedudukan tinggi dan jelas. Sedangkan orang-orang di bawahnya disamakan dengan bintang karena jauh dan tidak jelas. Lafaz (الشمس) dan (البدر) keduanya termasuk lafaz Jamid. Isti’arah Taba’iyyah (الإستعارة التبعية), yaitu (إِذا كانَ اللفظُ الذي جَرَتْ فيه مُشْتَقًّا أَوْ فِعْلا) suatu ungkapan Majaz yang Musta’ar-nya berupa Fi’il, Isim Musytaq atau Harf. Isti’arah Taba’iyyah Qarinah-nya Makniyyah. Taba’iyyah dengan Fi’il. Contoh: Kalimat: (عَضُّنَا الدهر). Makna (عض) yang mempunyai makna asal menggigit, sedang yang dimaksud adalah menyakiti. Kalimat: (غَرَدَ الشَّاعِرُ بِقَصِيْدَةٍ). Taba’iyyah dengan Isim Musytaq. Contoh: (حَالَي نَاطِقَةٌ بِأَحْزَانِي). Yang dimaksud mengucapkan adalah menunjukkan. Taba’iyyah dengan Harf. Contoh: (لَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوْعِ النَحْلِ). Makna dari huruf (في) pada potongan ayat ini adalah di atas. XI. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN DARI KATA YANG MENGIKUTINYA (تقسيم الاستعارة باعتبار الملائم) Isti’arah Murasysyahah (الإستعارة المرشحة), yaitu (ما ذُكِرَ معها مُلائم المشبَّهِ بهِ) suatu ungkapan Majaz yang diikuti oleh kata-kata yang cocok untuk Musyabbah Bih. Contoh: (أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَلَالَةَ بِالهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مَهْتَدِيْنَ). Pada ayat ini, terdapat ungkapan Majaz, yaitu lafaz (اشتروا). Lafaz tersebut merupakan bentuk Majaz dari kata (تبادلوا) yang bermakna menukar. Pada kalimat berikutnya terdapat kata-kata yang sesuai untuk Musyabbah atau Musyabbah Bih, yaitu ungkapan (ربحت تجارتهم). Ungkapan tersebut sesuai untuk Musyabbah yaitu (اشتروا). Isti’arah Muthlaqah (الإستعارة المطلقة), yaitu (ما خَلَتْ منْ مُلائماتِ المشبَّهِ به أو المشبَّه) Isti’arah yang tidak diikuti oleh kata-kata baik yang cocok bagi Musyabbah Bih maupun Musyabbah. Contoh: Surah Al-Haqqah ayat 11: (إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاء حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ). Kata (طَغَى) bermakna (زَادَ) dan setelahnya tidak ada tanda yang menjelaskan keduanya. Kalimat: (يُنْقِذُوْنَ عَهْدَ اللهِ). Pada potongan ayat ini terdapat ungkapan Majaz yaitu kata (ينقذون). Kata tersebut bermakna menyalahi yang diserupakan dengan (يفتحون) yang bermakna membuka tali. Isti’arah Mujarradah (الإستعارة المجردة), yaitu (ما ذكِرَ معها مُلائمُ المشبَّهِ) Isti’arah yang disertai dengan kata yang cocok bagi Musyabbah. Contoh: Syair: (ولَيْلَةٍ مَرِضَتْ من كُلِّ ناحِيَةٍ ... فلا يُضيءُ لها نَجْمٌ ولا قَمَرُ). Kata (مَرِضَتْ) yang berarti sakit merupakan penyerupaan dari (ظلم) yang berarti gelap. Kata (ظلم) sebagai musyabbah diisyaratkan dengan kalimat (فلا يُضيءُ) yang berarti tidak menerangi. Kalimat: (فِي بيَتْيِ أَسَدٌ يَصْلُحُ دَرَاجَتَهُ). Maksudnya adalah ada orang yang seperti singa. Kata memperbaiki sepeda pantas dan cocok bagi Musyabbah, yaitu orang yang berani. XII. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN DARI WAJH AL-SYIBH ATAU SIFAT JAMI’-NYA (تقسيم الاستعارة باعتبار وجه الشبه) Isti’arah Qaribah/’Amiyyat (الإستعارة القريبة أو العامية), yaitu Isti’arah yang mudah dimengerti sisi perpaduannya sehingga tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Contoh: (رَأَيْتُ أَسَدًا يَخْطُبُ). Isti’arah Gharibah/Khashiyyat (الإستعارة الغريبة الخاصية), yaitu Isti’arah yang sulit dimengerti sisi perpaduannya sehingga tidak bisa diketahui maksudnya kecuali bagi orang-orang tertentu saja. Bentuk-bentuknya adalah: Kedua ujungnya Hissi dan Wajh Al-Syibh-nya Hissi. Contoh: (فَأَخْرَجَ لَهُمْ عَجَلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ). Semua ujungnya Hissi dan Wajh Al-Syibh-nya Aqli (abstrak). Contoh: (وَآيَةٌ لَهُمُ الليل نَسْلَخُ مِنْهُ النَهَارَ). Semua ujungnya Hissi dan Wajh Al-Syibh-nya berbeda (ikhtilaf). Contoh: (رَأَيْتُ شَمْسًا وَأَنْتَ تُرِيْدُ إِنْسَانًا كَالشَمْسِ). Semua ujungnya Aqli (abstrak) dan Wajh Al-Syibh-nya Aqli. Contoh: (مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا). Musta’ar Minhu Hissi, Musta’ar Lah Aqli dan Wajh Al-Syibh-nya Aqli. Contoh: (فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرْ). Musta’ar Minhu Aqli, Musta’ar Lah Hissi dan Wajh Al-Syibh-nya Aqli. Contoh: (إنّا لمّا طغى الماء). XIII. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN DARI KEDUA UJUNGNYA (تقسيم الاستعارة باعتبار الطرفين ) Isti’arah Inadiyah (الإستعارة العنادية), yaitu (التي لا يمكن اجتماع طرفيها في شيء واحد لتنافيهما عقلا) yang kedua ujungnya tidak bisa bersatu sebab bertolak belakang (berlawanan), seperti meng-isti’arah-kan yang ma’dum pada yang maujud, orang yang mati kepada yang hidup. Terbagi menjadi dua macam: Tamlihiyah (agar tampak lucu). Contoh: (رَأَيْتُ فِي المَسْجِدِ أَسَدًا). Tahakkumiyah (mengolok-olok). Contoh: (رَأَيْتُ أَسَدًا أَيْ تُرِيْدُ جُبَّانًا). Isti’arah Wifaqiyah (الإستعارة الوفاقية), yaitu (التي يمكن اجتماع طرفيها في شيءواحد لعدم التنافي) yang kedua ujungnya itu dapat bersatu, seperti peng-isti’arah-an penghidupan pada pemberian hidayah. Contoh Surah Al-An’am ayat 122: (أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ). Lafazh (فَأَحْيَيْنَاهُ) yang dimaksudkan (هديناه), “menunjukkan”, adalah dua Tharf yang dapat disatukan dalam satu Jamî’, yaitu sama-sama mendapat dan memperoleh manfaat. XIV. PEMBAGIAN ISTI’ARAH BERDASARKAN JAMI’ DAN KEDUA THARF-NYA (تقسيم الاستعارة باعتبار الجميع وطرفين) Jami’ dan kedua Tharf-nya Hissi (indrawi). Contoh: (فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ). Kedua Tharf-nya, yaitu Musta‟ar Minhu, yang berupa anak sapi dan Musta’ar Lahu, yang berupa hewan yang terbikin dari perhiasan orang Qibthi adalah sesuatu yang hissi dan Jami’-nya, yaitu kesamaan bentuk antara anak sapi dan hewan yang terbikin dari perhiasan orang qibthi juga Hissi. Jami’-nya Aqli dan kedua Tharf-nya Hissi. Contoh: (وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ). Kedua Tharf, yaitu Musta’ar Minhu, yang berupa mengupas kulit kambing, dan Musta’ar Lahu, yang berupa menghilangkan terangnya siang dari gelapnya malam, adalah sesuatu yang Hissi, karena keduanya dapat dilihat oleh mata. Sedang Jamî’, yang berupa perubahan keduanya, yaitu tampaknya kulit kambing setelah dikupas kulitnya dan tampaknya gelap setelah hilang terang siang adalah sesuatu yang ‘Aqli, karena hanya dapat diketahui berdasarkan pemikiran. Jami’-nya Mukhtalif, baik Hissi maupun ‘Aqli dan kedua Tharf-nya Hissi. Contoh perkataan: “Saya melihat matahari di toko”. Kedua Tharf pada contoh itu, yaitu Musta’ar Minhu, yang berupa matahari dan Musta’ar Lahu, yang berupa seorang lelaki adalah sesuatu yang Hissi, karena masing-masing dapat disaksikan mata. Sedang Jamî’-nya, yang berupa indah wajahnya, adalah sesuatu yang Hissi dan luhur budinya adalah sesuatu yang ‘Aqli, merupakan dua hal yang berbeda (mukhtalif). Jami’ dan kedua Tharf-nya Aqli. Contoh: (قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا). Kedua Tharf pada ayat itu, Musta’ar Minhu, yang berupa tidur, dan Musta’ar Lahu, yang berupa mati, adalah dua hal yang ‘Aqli. Demikian juga, Jamî’-nya: tidak terdapatnya perbuatan pada masing-masing atau tidak bergerak, merupakan sesuatu yang ‘Aqli. Jami’ dan Musta’ar Lahu berupa Aqli dan Musta’ar Minhu-nya Hissi. Contoh: (فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ). Musta’ar MinhU pada ayat ini, yaitu lafaz (فَاصْدَعْ) yang berarti memecahkan kaca dan sesamanya, adalah sesuatu yang Hissi. Sedang Musta’ar Lahu-nya, yaitu menyampaikan adalah sesuatu yang ‘Aqli, seperti juga Jami’-nya, yaitu memberikan pengaruh, yang merupakan sesuatu yang adalah ‘Aqli. Jami’ dan Musta’ar Minhu-nya Aqli dan Musta’ar Lahu-nya Hissi. Contoh Surah Al-Haqqah ayat 11: (إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ). Musta’ar Minhu-nya, yaitu lafaz (طَغَى) adalah sesuatu yang ‘Aqli, sedang Muata’ar lahu-nya, yaitu air adalah sesuatu yang Hissi. Sementara Jamî’-nya, yaitu merasa tinggi yang melewati batas adalah sesuatu yang ‘Aqli. XV. ISTI’ARAH TAMTSILIYYAH (الإستعارة التمثيلية) Isti’arah Tamtsiliyah adalah (التي يصرح فيها بذكر المشبه به على أن يكون صورة مركبة من أشياء) suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna hakiki dan makna majazi) disertai adanya qarinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli. Contoh-contohnya: Kalimat: (الصيف ضيعت اللبن). Pada lafaz di atas diketahui lafaz yang berupa Dhamir (ت) itu adalah Qarinah yang mencegah untuk memberikan makna asal, sedang makna asalnya dari lafaz (ضيعت اللبن). Itu adalah: (أَنَّ اِمْرَأَةً كَانَتْ مُتَزَوِّجَةً بِشَيْخٍ غَنِيٍّ، فَطَلَبَتْ طَلَاقَهَا مِنْهُ فِي زَمَنِ الصَيْفِ لِضُعْفِهِ، فَطَلَّقَهَا وَتَزَوَّجَتْ بِشَابٍّ فَقِيْرٍ). Kalimat: (أنت ترقم على الماء) artinya “Engkau melukis di permukaan air.” Kalimat ini disampaikan kepada orang yang menekuni suatu urusan yang tidak mungkin dapat ia capai dengan tuntas. Pembagian Isti’arah Tamtsiliyyah: Isti’arah Tahqiqiyah (الإستعارة التحقيقية), yaitu (ما كان المستعار له فيها محققا حسا أو عقلا بأن كان اللفظ منقولا إلى أمر معلوم وذلك الأمر يمكن الإشارة إليه إشارة حسية أو إشارة عقلية) Isti’arah yang meminjam makna yang mana makna yang mana makna itu dapat di indera atau di akal. Contoh: (رأيت أسدا يرمي). Pada lafaz di atas kata (أسد) meminjam makna kepada seseorang laki-laki yang berani dengan adanya Qarinah yang berupa lafaz (يرمي). Isti’arah Tahliliyah (الإستعارة التحليلية), yaitu (ما كان المستعار له فيها غير محقق لا حسا ولا عقلا بل هو صورة وهمية محضة لا يشوبها شيء من التحقيق) Isti’arah yang meminjam makna yang mana makna itu tidak dapat dipanca indera atau diakal. Contoh: (اشرقت حضرتنا أنوارها) artinya: “Makrifah itu telah memancarkan cahaya.” Pada lafaz (حضرتنا) meminjam makna dari kata (شمس), sedang Qarinah-nya adalah lafaz (أنوارها). Perbedaan Tasybih Tamtsili dan Isti’arah Tamtsiliyyah (الفرق بين التشبيه التمثيلي والاستعارة التمثيلية): Tasybih Tamtsili menyebutkan Musyabbah dan Alat Tasybih-nya. sedangkan Isti’arah Tamtsiliyyah tidak ada kecuali pada susunan kalimat. Tasybih Tamtsili boleh memakai dua kata dalam kalimatnya. sedangkan Isti’arah Tamtsiliyyah, cabang Majaz yang mana itu masuk dalam kategori Majaz yang sangat baik (Baligh). Tasybih Tamtsili tidak membutuhkan Qarinah yang menunjukkan makna yang dituju. sedangkan Isti’arah Tamtsiliyyah membutuhkan Qarinah untuk menolak makna aslinya. Dan membuang Musyabbah dan Adat Tasybih, namun hanya menyebut Musyabbah Bih-nya saja.
){kind=link}
0 Comments