BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Kursus Bimbingan Belajar Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Sharaf, I'rab & TOAFL


NUN  WIQAYAH & TAUKID (نُوْنُ الوقاية التَّوْكِيْدِ)

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.


(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.

(1) Pengertian Nun Taukid (Tsaqilah & Khafifah) (Secara Makna & Lafaz); (2) Kewajiban Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (3) Boleh Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (4) Dilarang Men-Taukid-kan Fi’il Mudhari’; (5) Hukum Nun & Fi’il yang Di-Taukid-kan Dengannya; (6) Ketentuan-Ketentuan Nun Taukid Lainnya; (7) Pengertian Nun Wiqayah atau Nun Shilah; (8) Hukum Nun Wiqayah; Soal-Soal Latihan.


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
 
PEMBAHASAN ILMU NAHWU TERLENGKAP (klik disini)


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)

 

BAB 47 : HURUF NUN WIQAYAH & TAUKID (نُوْنُ الوِقَايَةِ والتَّوْكِيْدِ) I. PENGERTIAN NUN TAUKID (تعريف نون التوكيد) Nun Taukid (نُوْنُ التَّوْكِيْدِ) adalah huruf nun (ن) yang dirangkaikan pada akhir fi’il mudhari atau fi’il amr. Diperbolehkan men-taukid-kan Fi’il Amr secara mutlak. Dan fi’il Madhi tidak boleh di-taukid secara mutlak. Adapun fi’il mudhari’, maka tidak boleh men-taukid-kannya kecuali ketika fi’il tersebut didahului perabot amar (seperti, لَيَقُوْمَنَّ), atau nahi (seperti, لاَ تَقُوْمَنَّ), atau istifham (seperti, هَلْ تَقُوْمَنَّ), atau didahului (اِنْ) syarthiyyah yang di-Idgham-kan ke- (مَا) zaidah (seperti, فَاِمَّا تَرَيِنَّ), atau fi’il tersebut menjadi jawabnya qasam (sumpah), (seperti تَا اللهِ لَأَكِيْدَنَّ اَصْنَامَكُمْ). Nun Taukid yang berfungsi menaukidi kalimah Fi’il itu ada dua bentuk: A. Nun Taukid Tsaqilah (نون التوكيد الثقيلة) (berat karena ber-tasydid) mabni Fathah. B. Nun Taukid Khafifah (نون التوكيد الخفيفة) (ringan karena sukun) mabni Sukun. Kedua Nun Taukid tersebut boleh digunakan untuk men-taukid-kan Fi’il Amr dengan tanpa syarat, tidak boleh dugunakan untuk men-taukid-kan Fi’il Madhi. Sedangkan untuk Fi’il Mudhari’ harus dirinci dengan beberapa persyaratan. Pen-taukid-an dengan Nun Taukid menimbulkan dua konsekuensi: Secara Makna dan Secara Lafaz. A. Secara Makna: Mengkhususkan Fi’il Mudhari’ pada zaman Mustaqbal (akan datang), dan menguatkan mustaqbal untuk Fi’il Amr. sedangkan makna Faidah Taukid, bahwa Nun Taukid Tsaqilah lebih kuat pen-taukid-annya daripada Nun Taukid Khafifah, sesuai kaidah: “penambahan bentuk umumnya menunjukkan penambahan pada makna”. B. Secara Lafaz: Menjadikan Fi’il Amr dan Fi’il Mudhari’ mabni Fathah, dengan ketentuan bersambung langsung tanpa ada pemisah. Contoh: A. Fi’il Mudhari’: (لَأَنْصَرَنَّ المَظْلُوْمَ) (لَا تَرْغَبَنَّ فِيْمَنْ زَهِدَ عَنْكَ).B. Fi’il Amr: (اُشْكُرَنَّ مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ).II. KEWAJIBAN MEN-TAUKID-KAN FI’IL MUDHARI’ (وجوب التوكيد في الفعل المضارع) Diwajibkan men-taukid fi’il mudhari’ dengan Nun Taukid ketika fi’il tersebut mutsbat dan mustaqbal, jatuh menjadi jawabnya qasam yang tidak dipisah dengan lam jawabnya oleh sesuatu, seperti (تَاللهِ لأَكِيْدَنَّ اَصْناَمَكُمْ). Mentaukidi fi’il mudhari’ dengan nun dan memberi lam pada jawab dalam keadaan seperti itu adalah suatu kewajiban yang tidak boleh berpindah darinya. III. BOLEH MEN-TAUKID-KAN FI’IL MUDHARI’ (جواز التوكيد في الفعل المضارع) A. Fi’il mudhari’ jatuh setelah perabot thalab, yaitu lam amar, (لاَ) nahi, perabot istifham, tamanni, tarajji, ‘aradl dan tahdlil. Contoh: (لَأَجْتَهِدَنَّ), (لاَ تَكْسُلَنَّ), (هَلْ تَفْعَلَنَّ الْخَيْرَ), (لَيْتَكَ تَجِدَنَّ), (لَعَلَّكَ تَفُوزَنَّ), (أَلاَ تَزُورَنَّ الْمَدَارِسَ الْوَطَنِيَّةَ) dan (هَلاَّ يَرْعَوِنَّ الْغاَوِي عَنْ غَيِّهِ). B. Fi’il mudhari’ menjadi syarat yang jatuh setelah perabot syarat yang dibarengi dengan (ماَ) zaidah. Jika perabot yang digunakan adalah (إِنْ), maka men-taukid-kannya dengan nun adalah dekat dengan wajib, hingga ada sebagian ulama mengatakan wajib. Contoh: (فَإِماَّ يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطاَنِ نَزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ). Dan jika perabot yang digunakan bukan (إِنْ),maka men-taukid-kannya adalah sedikit, seperti (حَيْثُماَ تَكُونَنَّ آتِكَ مَتَى تُسَافِرَنَّ اُسَافِرْ). C. Fi’il mudhari’ di-nafi-kan dengan (لاَ) dengan syarat dia menjadi jawabnya qasam, seperti (وَ اتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً). Dan jarang terjadi jika fi’il mudhari’ di-nafi-kan dengan (لَمْ) lalu di-taukid-kan dengan nun. Contoh: (يَحْسَبُهُ الْجاَهِلُ ماَ لَمْ يَعْلَماَ * شَيْخاً عَلَى كُرْسِيِّهِ مُعَمَّماَ). D. Fi’il mudhari’ jatuh setelah (ماَ) zaidah yang tidak didahului perabot syarat. Contoh: (بِعَيْنٍ ماَ اَرَيَنَّكَ). IV. DILARANG MEN-TAUKID-KAN FI’IL MUDHARI’ (ممنوع التوكيد في الفعل المضارع) A. Ketika fi’il mudhari’ tidak didahului perabot yang memperbolehkannya untuk di-taukid-kan, seperti qasam, perabot thalab, nafi, jaza’ dan (ماَ) zaidah. B. Fi’il mudhari’ di-nafi-kan dan jatuh setelah jawabnya qasam. Contoh: (وَ اللهِ لاَ اَنْقُضُ عَهْدَ اُمَّتِي). Tidak ada bedanya jika huruf nafi itu disebutkan, seperti dalam contoh, atau dikira-kirakan. Contoh: (تَاللهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ) yang artinya (لاَ تَفْتَأُ). C. Fi’il mudhari’ itu untuk zaman haal. Contoh: (وَ اللهِ لَتَذْهَبُ الْآنَ). D. Fi’il mudhari’ dipisah dari lam jawab qasam. Contoh: (وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى). V. HUKUM NUN & FI’IL YANG DI-TAUKID-KAN DENGANNYA (أحكام النون والفعل المؤكد عليه) A. Nun Taukid khafifah tidak boleh jatuh setelah dhamir tatsniyyah, sehingga tidak boleh diucapkan (وَ اللهِ لَتَذْهَباَنِنْ), atau setelah Nun Niswah, sehingga tidak boleh diucapkan (لاَ تَذْهَبْنَنْ). Dan setelah waw jamak dan ya’ mukhathabah, maka Nun Taukid khafifah bisa jatuh setelahnya. Contoh: (لاَ تَذْهَبُنَّ وَ اذْهُبُنَّ وَ لاَ تَذْهِبِنَّ وَ اذْهَبِنَّ). B. Ketika Nun Taukid tsaqilah jatuh setelah dhamir tatsniyyah, maka alif kita tetapkan dan Nun Taukid tsaqilah di-kasrah, karena untuk menyerupakan nun itu dengan nun tatsniyyah dalam isim. Contoh: (اُكْتُباَنِّ) dan (لِيَكْتُباَنِّ). Jika fi’il mudhari’-nya di-rafa’, maka nun alamat rafa’ juga dibuang supaya tiga nun tidak berulang dalam satu kalimah. Contoh: (تَكْتُباَنِّ) yang asalnya adalah (تَكْتُباَنِنَّ). C. Ketika Nun Taukid jatuh setelah waw jamak yang di-dhammah huruf sebelumnya, atau ya’ mukhathabah yang di-kasrah huruf sebelumnya, maka waw jamak atau ya’ mukhathabah dibuang, karena kuatir dari berkumpulnya dua huruf mati, dan harakatnya huruf sebelum waw dan ya’ kita tetapkan seperti keadaannya semula. Contoh: (اُكْتُبُنَّ), (اكْتُبِنَّ), (لِيَكْتُبُنَّ), (ادْعُنَّ), (ادْعِنَّ), (لِيَدْعُنَّ), (ارْمُنَّ), (ارْمِنَّ), dan (لِيَرْمُنَّ) yang asalnya adalah (اُكْتُبُونَّ), (اكْتُبِيْنَّ), (لِيَكْتُبُونَّ), (اُدْعُونَّ), (اَدْعِينَّ), (لِيَدْعُونَّ), (ارْمُونَّ), (ارْمِيْنَّ), dan (لِيَرْمُونَّ). Jika fi’il mudhari’-nya marfu’, maka nun alamat rafa’ pertama kali yang dibuang lalu waw dan ya’ dibuang karena berkumpulnya dua huruf mati setelah membuang nun. Contoh: (هَلْ تَذْهَبُنَّ) dan (هَلْ تَذْهَبِنَّ) yang asalnya adalah (تَذْهَبُونَنَّ) dan (تَذْهَبِيْنَنَّ). D. Jika huruf sebelum waw jamak dan ya’ mukhathabah yang bertemu dengan nun adalah di-fathah, maka waw dan ya’ kita tetapkan. Contoh:, (هَلْ تَخْشَوُنَّ؟), (اِخْشَوُنَّ؟), (هَلْ تَرْضَيِنَّ؟), dan (اِرْضِيِنَّ؟). Tetapi waw jamak di-dhammah dan ya’ mukhathabah di-kasrah, dan huruf sebelum keduanya ditetapkan seperti keadaannya semula, yaitu di-fathah. Perlu diketahui bahwa nun yang di-tasydid adalah dua huruf yang huruf pertama adalah mati. Karena huruf yang di-tasydid adalah dua huruf dalam pelafalan meskipun satu dalam penulisan. E. Ketika Nun Taukid masuk pada huruf akhirnya fi’il yang di-isnad-kan kepada Fa’il dhamir mustatir atau isim zahir, maka huruf terakhir fi’il di-fathah. Contoh: (هَلْ تَكْتُبَنّ؟), (لِيَكْتُبَنَّ زُهَيْرٌ) dan (اُكْتُبَنَّ). Dan jika berupa fi’il yang mu’tal akhir dengan alif, maka alif kita ganti ya’. Contoh: (هَلْ تَسْعَيِنَّ؟) dan (اِسْعَيِنَّ). F. Ketika kita men-taukid-kan Fi’il Amr yang di-mabni-kan dengan membuang huruf akhirnya, atau fi’il mudhari’ yang di-jazm-kan dengan membuang huruf akhirnya, maka kita kembalikan huruf terakhirnya –jika huruf tersebut adalah ya’ atau waw- dengan di-mabni-kan fathah. Sehingga, kita ucapkan pada (اُدْعُ), (لاَ تَدْعُ), (اِمْشِ) dan (لاَ تَمْشِ), dengan (اُدْعُوَنَّ), (لاَ تَدْعُوَنَّ), (إِمْشِيَنَّ) dan (لاَ تَمْشِيَنَّ). Jika yang dibuang adalah alif, maka alif itu kita ganti ya’, sehingga kita ucapkan pada (إِخْشَ) dan (لِيَخْشَ) dengan (إِخْشَيِنَّ) dan (لِيَخْشَيِنَّ). G. Ketika Nun Niswah menyandingi Nun Taukid tsaqilah, maka diwajibkan untuk memisah keduanya dengan alif karena tidak menyukai berkumpulnya beberapa nun. Contoh: (يَكْتُبْناَنِّ) dan (اكْتُبْناَنِّ). Ketika itu, maka Nun Taukid wajib di-kasrah, karena untuk menyerupakan dengan nun yang jatuh setelah alif tatsniyyah. Adapun Nun Taukid khafifah, maka tidak diperbolehkan jatuh setelah Nun Niswah. H. Nun taukid khafifah ketika disandingi huruf mati, maka nun itu dibuang karena untuk menyelamatkan dari bertemunya dua huruf mati. Contoh: (اَكْرِمَ الْكَرِيْمَ) yang asalnya adalah (اَكْرِمَنْ). Dan diperbolehkan untuk menggantinya dengan alif ketika Waqf. Contoh: (اُكْتُباَ) yaitu pe-Waqf-an dari (اُكْتُبَنْ). VI. KETENTUAN NUN TAUKID LAINNYA A. Membuang Nun Taukid Khafifah, ada pada dua tempat, yaitu: 1. Apabila bertemu dengan huruf yang mati, untuk menghindari bertemunya dua huruf yang mati. Contoh: (اِضْرِبَ الرَجُلَ) asalnya (اِضْرِبَنْ الرَجُلَ). 2. Apabila Nun Taukid Khafifah di-Waqf-kan dan terletak setelah harakat dhammah atau kasrah. Contoh: (اُخْرُجُوْا) asalnya (اُخْرُجُنْ). B. Fi’il Madhi tidak diperbolehkan di-taukid-i dengan Nun Taukid, karena akan menyebabkan bertentangan zamannya. C. Hukum men-taukid-i Fi’il Mudhari’, yaitu: 1. Wajib, apabila di dalam Fi’il Mudhari’ berzaman mustaqbal, mutsbat dan digunakan sebagai jawab dari qasam. Contoh: (وَاللهِ لَتَضْرِبَنَّ زَيْدًا). 2. Mendekati wajib, apabila dalam Fi’il Mudhari’ yang menjadi syarth yang terletak setelah (إِمَّا) In Syarthiyyah yang bersama Ma Ziyadah. Contoh: (إَمَّا تَضْرِبَنَّ زَيْدًا أَضْرِبُهُ). 3. Banyak berlaku, apabila dalam Fi’il Mudhari’ berzaman istiqbal dan bermakna thalab. Contoh: (لِتَضْرِبَنَّ زَيْدًا). 4. Sedikit berlaku, apabila dalam Fi’il Mudhari’ yang terletak setelah Maa Ziyadah atau Laa Nafi. Contoh: (بِعَيْنٍ مَا أَرَيَنَّكَ هَهُنَا) (وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً) 5. Sangat sedikit berlaku, apabila dalam Fi’il Mudhari’ yang terletak setelah huruf Lam atau Syarth selainnya Imma. Contoh: (يَجْسَبُهُ الجَاهِلُ مَالَمْ يَعْلَمَا) (مَنْ يَثْقَفَنَّ مِنْهُمْ فَلَيْسَ بآيِبٍ) 6. Tercegah untuk di-taukid-i, apabila dalam Fi’il Mudhari’ yang menjadi qasam yang di-nafi-kan, atau Fi’il Mudhari’ yang berzaman haal. Contoh: (وَاللهِ لَا تَفْعَلُ كَذَا) (وَاللهِ لِيَقُوْمَ زَيْدٌ الآنَ). VII. PENGERTIAN NUN WIQAYAH ATAU NUN SHILAH (تعريف نون الوقاية أو الصلة) Adalah huruf Nun yang memisahkan antara Ya’ Mutakallim dan Fi’il atau selain Fi’il. Dinamakan dengan nama ini karena menjaga Fi’il dari terbaca Kasrah, sedang untuk selain Fi’il karena menjaga dari perubahan akhir kalimatnya. Huruf Nun ini juga berfungsi untuk menjaga keserupaan di dalam sesamanya. VIII. HUKUM NUN WIQAYAH (أحكام نون الوقاية) A. Dalam Fi’il Madhi, Mudhari’ dan Amar. Hukumnya wajib memasang Nun Wiqayah jika bertemu Ya’ Mutakallim. B. Dalam lafaz (ليس). Hukumnya dibuang jika darurat wazan, jika tidak darurat maka diucapkan (ليسني). Contoh: (عَدِدْتُ قَوْمِي كَعَدِيْدِ الطَيْسِ # إِذْذَهَبَ القَوْمُ الكِرَامُ لَيْسَنِي).C. Dalam Lafaz (ليت) dan (لعل). Contoh: Hukum yang banyak terjadi (لَيْتَنِي) dan (لَعَلِّي). Dan yang jarang/sedikit terjadi adalah (ليَتْيِ) dan (لَعَلَّنِي). D. Dalam Lafaz (إِنَّ), (أَنَّ), (كَأَنَّ) dan (لَكِنَّ). Contoh: (إِنِّي – إِنَّنِي – أَنِّي – أَنَّنِي – كَأَنِّي – كَأَنَّنِي – لَكِنِّي - لَكِنَّنِي) E. Dalam Lafaz (لَدُنْ). Contoh: (لَدُنِّي) F. Dalam Lafaz (قد) dan (قط). Contoh: (قَدْنِي). Dikecualikan apabila: 1. Apabila (قد) Harfiyyah dan (قط) Zharfiyyah. 2. Apabila (قد) dan (قط) yang merupakan Isim Fi’il yang bermakna (يكفي)