BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

2. Menghalangi Orang yang Hendak Lewat di Depan Orang Shalat

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang yang sedang shalat boleh menghalangi atau menahan orang lain yang hendak lewat di depannya. Karena, ada hadits yang menganjurkan
akan hal ini. Di antaranya adalah hadits riwayat lbnu Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian sedang shalat, maka jangan biarkan orang lain lewat di depan kalian. Dan jika ia tetap memaksa lewat, maka bunuhlah orang itu karena dia bersama jin Qarin.” HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah. Qarin adalah jenis setan yang selalu bersama manusia dan tidak pernah meninggalkannya (Nailul Authar jilid 3 halaman 5)
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian mendirikan shalat di balik pembatas, lantas ada orang lain hendak melewati bagian dalam pembatas itu, maka halangilah. Dan jika memaksa lewat, maka bunuhlah karena dia itu sesungguhnya setan.” HR. Jama’ah kecuali Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Penyebutan setan terhadap orang yang lewat di depan orang shalat sangatlah populer. Sebab, penyebutan itu karena ia melakukan perbuatan setan.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai keutamaan menghalangi orang yang
lewat di depan orang shalat.
Ulama Hanafiyyah (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 596; Al-Bada’i jilid 1 halaman 217; Fathul Qadir jilid 1 halaman 289) berkata, menghalangi orang yang lewat di depan orang shalat termasuk rukhshah, sedangyang utama adalah membiarkannya. Adapun yang azimahnya adalah meninggalkan pertentangan dengannya. Adapun perintah untuk membunuh orang yang lewat di depan orang shalat, seperti dalam hadits itu, hanya berlaku pada awal munculnya Islam, yaitu ketika boleh melakukan sesuatu dalam shalat. Namun, hal itu sudah dihapus dan tidak berlaku lagi.
Jadi, jika orang shalat hendak menghalangi orang yang lewat di depannya, karena mengamalkan rukhshah, maka caranya dengan memberikan isyarat untuk menghalangi, atau dengan membaca tasbih, atau dengan mengeraskan bacaan. Namun, tidak boleh menambahkan selain ketiga hal itu. Dan makruh hukumnya menggunakan ketiga hal itu sekaligus. Adapun bagi wanita, maka caranya adalah dengan isyarat atau dengan bertepuk tangan. Namun, bukan dengan seperti tepuk tangan biasa. Tepuk tangan di sini maksudnya adalah dengan menepukkan telapak tangan kanan pada punggung tangan kiri.
Dalilnya menghalangi dengan isyarat diambil dari tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau shalat dan menghalangi kedua anak Ummu Salamah yang hendak lewat di depan beliau. HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dari Ummu Salamah (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 85)
Adapun dalil menghalangi dengan membaca tasbih diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “Siapa saja yang sedang shalat dan hendak mengingatkan orang akan sesuatu, maka bertasbihlah. Karena, dengan mendengar tasbih, maka orang itu akan menoleh kepadanya. Adapun bagi wanita, maka caranya dengan bertepuk tangan.” HR. Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa’d (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 75)
Ulama Malikiyyah (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 56; Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarhil Kabir jilid 1 halaman 246) berkata, menghalangi orang yang hendak lewat di depan orang shalat, mandub hukumnya. Dengan syarat, gerakannya itu sederhana atau ringan, karena kebanyakan gerak dapat membatalkan shalat. Jika ia menghalangi atau menahan orang yang hendak lewat hingga menimbulkan kerusakan, seperti misalnya menyebabkan bajunya sobek atau terjatuh, maka orang yang shalat harus menanggung kerugian itu, menurut pendapat yang mu'tamad meskipun ada izin untuk menghalangi orang lewat di depannya.
Ulama Syaf iyyah dan Hanabilah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 200; Al-Mughni jilid 2 halaman 245; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 438) berkata, disunnahkan bagi orang yang sedang shalat untuk menghalangi orang yang hendak lewat di depannya yang termasuk dalam pembatas shalat. Hukum sunnah sesuai dengan perintah dalam hadits-hadits di atas. Akan tetapi, orang yang shalat harus menanggung jika orang yang lewat itu sampai meninggal atau menderita sakit gara-gara didorong ketika hendak lewat. Hukum atau anjuran untuk menghalangi ini tidak berlaku di Mekah dan Masjidil Haram, dalilnya hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan An-Nasa'i dari Muththalib bin Wada'ah, ia berkata bahwa ia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di samping pintu Bani Sahm, dan beliau membiarkan orang-orang lewat di depan beliau, padahal tidak ada pembatas shalatnya.

a. Berjalan Lewat Depan Orang Shalat

Ulama Hanafiyyah (Fathul Qadir jilid 1 halaman 287; Al-Bada’i jilid 1 halaman 217; Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 594) berkata, lewat di depan orang yang sedang shalat hukumnya makruh tahrim, dan lewat di tempat sujud orang yang sedang shalat dianggap melakukan dosa jika orang shalat itu sudah membuat pembatas. Namun, antara keduanya tidak ada tiang ataupun dinding, dan anggota tubuh yang lewat bersentuhan dengan anggota tubuh orang shalat. Hal ini jika memang shalat di padang pasir. Kemudian jika yang lewat ada dua orang, maka yang berdosa adalah orang yang tepat di sebelah orang yang shalat.
Jika ada seseorang yang lewat di depan tempat sujud atau orang yang shalat tidak membuat pembatas shalat, atau menemukan pembatas meski berupa tirai, atau anggota tubuh orang yang lewat tidak bersentuhan dengan anggota tubuh orang yang shalat karena lewatnya di bagian samping, atau lewat di belakang tirai masjid, maka orang yang lewat tidak mendapatkan dosa, karena tidak dianggap lewat di depan orang shalat. Adapun lewat di depan orang shalat dengan tujuan mengisi celah kosong dalam barisan, maka hukumnya boleh.
Demikian juga dimakruhkan bagi orang shalat yang dengan shalatnya menghalangi orang
lewat, misalnya shalat di tengah jalan tanpa membuat pembatas di depannya, sehingga jika ada orang lewat di depannya akan berdosa. Ia sendiri tidak berdosa, karena membuat pembatas shalat itu bukan satu yang wajib.
Dari contoh di atas, siapakah yang berdosa? Orang yang shalat di tengah jalan atau orang yang lewat? Di sana kita bisa melihat empat bentuk dosa. Pertama, dosa yang di-tanggung orang yang lewat, yaitu jika ia tetap lewat di depan orang shalat padahal ia punya pilihan lain selain itu, dan juga orang yang shalat itu tidak menghalangi jalannya. Dalam hal ini dosanya ditanggung sendiri oleh orang yang lewat. Kedua, dosanya ditanggung sendiri oleh orang yang shalat, kebalikan yang pertama, yaitu jika orang yang shalat sengaja menghalangi orang-orang yang hendak lewat dan tidak ada pilihan lain bagi orang itu selain melewati orang shalat itu. Ketiga, dosanya ditanggung berdua, orang yang shalat dan orang yang lewat, yaitu jika orang shalat itu sengaja menghalangi jalan. Namun, ada pilihan lain bagi orang lewat selain melewati depan orang shalat itu, tetapi dia memilih melewati orang shalat. Keempat, jika orang yang shalat tidak menghalangi jalan, namun orang yang lewat tidak punya pilihan lain. Dalam hal ini keduanya tidak berdosa.
Ulama Malikiyyah (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 336) berkata, “Seseorang yang lewat di depan orang shalat akan berdosa jika tepat melewati tempat shalat, baik ada pembatasan maupun tidak. Akan tetapi, boleh melewati depan orang shalat untuk mengisi barisan yang kosong, atau untuk membasuh mimisan. Hal itu selama bukan sedang thawaf di Baitul Haram, karena tidak haram bagi orang thawaf untuk lewat di depan orang shalat, meskipun keduanya punya pilihan lain atau terdapat jalan yang luas lainnya. Hukum haram di sini jika memang orang yang lewat itu punya pilihan lain, namun ia tetap lewat di depan orang shalat. Jika tidak ada pilihan lain kecuali di depan orang shalat itu, maka tidak dosa baginya untuk lewat di depannya kalau memang butuh. Dan iika tidak butuh, maka ia tetap berdosa.
Adapun jika orang yang shalat itu sengaja menghalangi orang lewat dengan tidak mem-buat pembatasan, maka ia sendiri yang berdosa jika ada orang lain lewat di depannya. Terkadang keduanya berdosa jika orang yang shalat sengaja tanpa membuat pembatasan dan orang yang lewat sengaja lewat di depannya, padahal ada pilihan lain.
Terkadang juga hanya salah satu yang menanggung dosa, yaitu ditanggung oleh orang shalat jika ia sengaja menghalangi dan tidak ada pilihan lain bagi orang yang lewat. Bisa juga dosa itu ditanggung oleh orang yang lewat, jika ia sengaja lewat di depan orang shalat. Padahal, ia punya pilihan lain. Artinya, jika salah satu dari keduanya yang sengaja membuat kesalahan, maka hanya salah satu yang berdosa.
Terkadang juga keduanya tidak mendapat dosa, yaitu jika orang yang lewat sangat terpaksa
dan memang harus lewat, sedangkan orang yang shalat itu tidak sengaja menghalangi.
Ulama Syafi'iyyah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 200) berkata, pendapat yang benar adalah haram hukumnya melewati depan orang shalat jika ia telah membuat batasan tempat shalat, meskipun orang yang lewat tidak punya jalan lain selain itu. Dalilnya hadits riwayat Abu fahm Al-Anshari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika orang yang lewat tahu dosa apa yang akan dia dapat dengan melewati orang yang sedang shalat, niscaya berdirinya menunggu selama empat puluh masa (tahun) lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” HR. Bukhari dan Muslim.
Makruh bagi orang yang shalat untuk sengaja memilih tempat shalat yang dijadikan tempat lewat, sehingga dengan sendirinya ia menghalangi orang lewat.
Ulama Hanabilah (Al-Mughni jilid 1 halaman 245 dan setelahnya) berkata, orang yang lewat di depan orang shalat akan berdosa jika tidak ada pembatasnya. Dalilnya hadits riwayat Abu Jaham Al-Anshari yang telah lalu. Dan makruh hukumnya sengaja shalat di tempat yang biasa digunakan untuk lewat, sebagaimana pendapat Syafi'iyyah.

b. Lewat di Depan Orang Shalat Ketika Sedang Thawaf

Para fuqaha sepakat bahwa boleh hukumnya untuk lewat di depan orang yang shalat, bagi orang yang sedang thawaf di Baitul Haram atau di dalam Ka'bah, atau di belakang maqam Ibrahim, meski ada pembatas di depannya. Ulama Hanabilah menambahkan bahwa tidak haram hukumnya untuk lewat di depan orang shalat selama berada di Mekah.

c. Tempat yang Haram untuk Dilewati

Ulama Hanafiyyah (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 593) berkata, jika seseorang shalat di padang pasir atau dalam masjid besar, maka haram hukumnya lewat di depan orang itu, yaitu mulai dari tempat pijakan kaki hingga tempat sujud. Jika orang itu shalat di
rumah atau masjid kecil yang ukurannya tidak lebih dari empat puluh hasta, maka haram hukumnya lewat di depannya mulai dari pijakan kaki hingga dinding kiblat. Karena, hal itu termasuk satu tempat dan jika memang tidak ada pembatas lain di depannya. Namun jika ada pembatas lain selain tembok dinding mushalla, maka pembatas itu yang jadi patokan. Masjid besar atau padang pasir tidak dianggap seperti satu tempat sebagaimana masjid kecil, karena jika dianggap seperti satu tempat akan mempersulit orang yang hendak lewat. Karena itu, batasannya hanyalah sampai pada tempat sujud saja.
Ulama Malikiyyah (Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 246) berkata, jika terdapat pembatas shalat, maka haram hukumnya melewati pertengahan antara orang shalat dan pembatas itu sendiri, boleh lewat tapi di luar pembatas shalat. Jika tidak ada pembatas, maka haramnya lewat hanya dari tempat berdiri, rukuk, dan sujud saja.
Ulama Syaf iyyah (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 200; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 69; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 230) berkata, haram hukumnya melewati bagian dalam antara pembatas dan orang shalat yang jaraknya minimal tiga hasta.
Ulama Hanabilah (Al-Mughni jilid 2 halaman 239; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 439) berkata, jika ada pembatas, maka haram hukumnya melewati bagian dalam pembatas itu meski jaraknya jauh. Namun jika tidak ada pembatasnya, maka tempat yang haram dilewati hanyalah jarak tiga hasta dari kaki orang yang shalat.

d. Apakah Lewat di Depan Orang Shalat Dapat Membatalkan Shalat?

Para ulama empat madzhab sepakat bahwa lewat di depan orang yang sedang shalat tidak membatalkan shalat. Hanya saja, shalatnya kurang sempurna jika ia tidak menghalangi orang yang hendak lewat di depannya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak ada apa pun yang dapat memotong shalat, dan halangilah [orang yang hendak lewat ketika sedang shalat] semampu kalian..” HR. Abu Dawud dengan sanad dhaif dari Abu Sa’id Al-Khudri (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 227; Nashbur Rayah jilid 3 halaman 76)
Ibnu Mas'ud berkata, “Lewatnya seseorang di depan orang shalat itu menghilangkan setengah shalat. Abdullah sendiri selalu menghalangi setiap lelaki yang hendak lewat di depannya ketika ia sedang shalat.” HR. Bukhari.
Qadhi Abu Ya'la Al-Hambali berkata, “Berkurangnya shalat hanya pada orang shalat yang mampu menghalangi orang lewat, tetapi ia tidak menghalanginya. Adapun jika ia telah berusaha menghalangi, namun tetap tidak berhasil, maka shalatnya sempurna karena tidak ada yang mengurangi kesempunaan shalatnya. Dosa yang dilakukan oleh orang yang lewat di depannya tidak berpengaruh pada shalatnya, karena ia telah berusaha untuk menghalanginya.”
Imam Ahmad dan Ishaq berkata, “Tidak ada yang membatalkan shalat, kecuali lewatnya anjing hitam dan bahaim (hewan tidak punya warna lain selain hitam), di depan orang shalat.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Ubadah ibnush Shamit, dari Abu Dzar, ia berkata, “Wahai Abu Dzar, mengapa [yang membatalkan shalat itu] hanya anjing hitam, tidak anjing merah atau anjing kuning?” Ia menjawab, “Saudaraku, aku pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau bersabda, Anjing hitam itu setan.”'    
Mu'adz dan Majad berkata, “Anjing hitam itu setan dan dapat membatalkan shalat.” Mayoritas ulama -Malik, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i- baik dari kalangan salaf maupun khalaf selain Zhahiriyyah dan Hasan Al-Bashri berpendapat, bahwa shalat tidak batal hanya karena ada anjing atau hewan lain lewat di depan orang yang sedang shalat, sebagaimana lewatnya seorang Muslim ataupun non-Muslim yang juga tidak membatalkan shalat. Dalil pendapat ini adalah hadits riwayat Imam Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar dengan sanad shahih. Ia berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang dapat membatalkan shalat.” Imam Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir meriwayatkan dari Abu Umamah dan Ad-Daruquthni, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang dapat membatalkan shalat.” Dalam sanad hadis ini terdapat Afir bin Ma’dan yang dianggap rawi dhaif.
Imam Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, “Shalat seseorang tidak batal hanya karena ada wanita, anjing, ataupun keledaiyang lewat di depannya. Akan tetapi, halangilah semampu kalian.” Hadis ini riwayat Ismail bin Ayyasy, dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, dari Zaid bin Aslam, dari Atha' bin Yasar, dari Abu Hurairah. Jika memang shahih, maka hadits ini bisa digunakan untuk dalil menasakh hadits lain yang bertentangan, kalau memang datang belakangan (Nailul Authaar jilid 3 halaman 13).
Hadits ini dikuatkan oleh hadits riwayat Masruq. Ia berkata, “Aisyah pernah mendengar penuturan tentang sesuatu yang membatalkan shalat, di antaranya adalah anjing, keledai, dan wanita. Lantas Aisyah berkata, “Kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing padahal waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat aku berada di arah kiblat sambil berbaring dan memerhatikan beliau.” HR. Bukhari dan Muslim.
Para sahabat juga tidak pernah mengatakan batalnya shalat karena ada keledai atau hewan lainnya yang lewat di depan orang shalat. Abu Dawud berkata, “Jika ada dua hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertentangan, maka kita harus mengikuti pendapat atau sikap para sahabat mengenai dua hadits itu.”
Imam An-Nawawi membantah dalil yang dipakai oleh Hanabilah, Zhahiriyyah, dan Hasan
al-Bashri dengan jawaban Imam Asy-Syafi'i, Al-Khathabi, para fuqaha, dan ahli hadits, yaitu bahwa hadits tersebut menggunakan kata Al-Qath'u [memotong], dan pemahamannya bukan berarti membatalkan shalat, melainkan memotong kekhusyukan dalam shalat. Jadi pemahamannya, kekhusyukan orang yang sedang shalat akan terputus karena lewatnya anjing keledai, dan wanita di depannya, namun bukan berarti shalatnya batal (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 232).




PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)