Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
1. Hal-Hal Seputar Pembatas Shalat
a. Pengertian Pembatas Shalat
Maksudnya adalah sesuatu yang dijadikan pembatas
di depan orang shalat, dengan tujuan mencegah orang lain lewat di depannya.
b. Hukum Membuat Pembatas Shalat
Hukum membuat pembatas dalam shalat adalah
sunnah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
kalian hendak mendirikan shalat, maka shalatlah di belakang tirai atau
pembatas, dan jangan biarkan orang lain lewat di tengahnya. Jika ada orang hendak
melewati bagian dalam pembatas itu, maka bunuhlah karena dia itu setan.”
HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id (Nashbur Rayah jilid
2 halaman 80)
Para fuqaha sepakat bahwa membuat pembatas
shalat bukanlah hal yang wajib, karena perintah dalam hadits di atas mengacu pada
sunnah bukan wajib. Artinya, tanpa pembatas, shalat juga tidak membatalkan
shalat karena juga bukan syarat dalam shalat. Selain itu para ulama salaf juga
terkadang tidak membuat pembatas shalat, dan kalau itu wajib, mereka pasti
selalu menyiapkan pembatas shalat setiap kali hendak shalat. Dan lagi, dosa yang
ada ditimpakan kepada orang yang lewat di depan orang shalat bukan pada orang
yang shalat itu sendiri. Ini artinya, jika pembatas itu hukumnya wajib, maka
orang yang shalat dan tidak membuat pembatas shalat juga akan berdosa. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah shalat di tempat terbuka
tanpa ada pembatas di depan beliau. (HR. Bukhari)
c. Hikmah Adanya Pembatas dalam Shalat
Menahan orang lain lewat di depan orang yang
sedang shalat, karena dapat mengganggu kekhusyuannya. Selain itu juga dapat
membantunya untuk memusatkan pemikirannya dalam shalat. Pembatas shalat dapat
membantu orang yang shalat untuk tidak melayangkan pandangannya kepada benda-benda
lain, karena pandangannya dibatasi oleh pembatas itu.
d. Pendapat Para Fuqaha Mengenai Pembatas dalam Shalat
Para fuqaha mempunyai dua pendapat mengenai
pembatas dalam shalat secara mutlak atau hanya ketika takut ada orang yang akan
lewat di depannya. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah (Fathul Qadir jilid 1 halaman 288; Ad-Durrul
Mukhtar jilid 1 halaman 610; Al-Bada’i jilid 1 halaman 317; Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 334; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 56)
berkata, “Membuat pembatas dalam shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah
hukumnya mandub bagi imam dan munfarid, jika keduanya takut akan ada orang yang
lewat di depannya. Adapun bagi makmum, maka pembatas untuk imam, juga pembatas untuknya.
Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah shalat di
tanah lapang di Mekah dan menancapkan kayu pembatas di depan beliau. Namun,
para makmum tidak membuat pembatas di depan masing-masing. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Juhaifah dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajak mereka untuk shalat di tanah
lapang dan beliau menancapkan tongkat pendek di depan beliau [sebagai
pembatas]. Dan di luar pembatas itu. para wanita dan keledai bebas untuk lewat."
(Nashbur Raayah jilid 1 halaman 84)
Imam Dardiri menyebutkan bahwa pendapat yang
mu’tamad adalah sunnahnya membuat pembatas dalam shalat. Pendapat yang sama
juga dituturkan oleh ulama Malikiyah dalam pendapat yang masyhur (Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 244)
Akan tetapi, kalau memang yakin tidak akan ada
orang yang lewat di depannya selama ia shalat, maka boleh untuk tidak rnembuat
pembatas dalam shalat. Adapun bagi orang yang shalat di padang pasir, maka
disunnahkan untuk menancapkan atau meletakkan kayu atau sejenisnya sebagai
pembatas di depannya. Pembatas itu berupa tancapan, bukan garis. Karena, di
padang pasir sebuah garis tidak bisa dijadikan pembatas.
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 200; Al-Mughni jilid 1 halaman 237-244; Syarhul
Hadramiyyah halaman 56 dan setelahnya) berkata, “Disunnahkan bagi orang
yang hendak shalat untuk mendirikan shalat di belakang pembatas. Jika shalat di
masjid ataupun di rumah, maka disunnahkan untuk shalat di belakang tembok atau
tiang. Jika shalat di tanah lapang, maka disunnahkan untuk shalat membuat pembatas
di depannya, seperti menancapkan batang kayu atau tombah atau shalat di
belakang tunggangannya menurut Hanabilah. Akan tetapi jika tidak menemukan apa
pun, maka boleh membuat pembatas dengan menggaris tanah di depannya, atau boleh
dengan membentangkan sajadah atau sejenisnya sebagai
pembatas shalat, sebagaimana disebutkan oleh ulama
Syafi'iyyah.
Dalil yang mereka pakai adalah hadits riwayat
Abu Juhaifah. Ia berkata, “Aku pernah menancapkan sebatang kayu untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau maju mendekati kayu itu dan
shalat Zhuhur dua rakaat. Kemudian di tengah shalat ada keledai dan anjing
lewat di depan beliau di luar kayu pembatas dan beliau tidak mencegahnya.“ Muttafaqun
‘alaihi.
Juga hadits riwayat Thalhah bin Ubaidillah, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah
satu kalian [shalat] dan meletakkan pembatas sepanjang kira-kira panjangnya ekor
hewan tunggangan, maka shalatlah dan jangan pedulikan orang yang lewat di belakangnya.”
HR. Muslim.
Adapun pembatas bagi imam juga termasuk pembatas
bagi makmum di belakangnya, menurut pendapat yang telah disepakati ulama. Karena,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah mencontohkan hal
itu. Beliau shalat di belakang pembatas dan tidak menyuruh para sahabat yang menjadi
makmum untuk membuat pembatas lain bagi mereka sendiri. Pendapat ini sama dengan
pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah seperti disebutkan di atas.
Dalam hadits lain Ibnu Abbas berkata, “Suatu
hari aku datang ke Mina dengan naik keledai betina, dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam waktu itu sedang mendirikan shalat bersama para sahabat tanpa
ada dinding pembatas di depan beliau. Kemudian aku berjalan di depan sebagian barisan
shalat, lantas aku turun dan membiarkan keledaiku untuk merumput. Setelah itu, aku
ikut shalat dan masuk ke dalam barisan, dan tidak ada seorang pun yang
menyalahkan tindakanku.” Muttafaqun ‘alaihi.
Ulama Hanabilah menuturkan bahwa shalat di
Mekah tanpa pembatas hukumnya boleh. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mendirikan shalat di Mekah tanpa ada pembatas antara beliau
dan orang-orang yang sedang thawaf. Hadits ini menjelaskan bahwa hukum ini
khusus di Mekah.
e. Bentuk Pembatas Shalat dan Ukurannya
Dalam hal ini, pendapat para fuqaha tidak jauh
berbeda. Ulama Hanafiyyah berkata, ukuran
minimal untuk kayu atau tongkat pembatas shalat adalah satu
hasta, yaitu sekitar 46,2 cm atau lebih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika engkau telah membuat [pembatas shalat] meski
sepanjang ekor hewan tunggangan, maka tidak mengapa jika ada orang yang lewat di
depan kalian.” Riwayat Muslim dari Thalhah bin Ubaidillah. Juga, diriwayatkan
dari Abu Dzar. ta berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian shalat di belakang kayu atau tongkat
sepanjang ekor hewan tunggangan, maka benda itu sudah dianggap sebagai pembatas."
Batang kayu yang ditancapkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai pembatas shalat ketika di tanah lapang panjangnya
sekitar satu hasta. Pembatas itu caranya ditancapkan, bukan digariskan ke tanah
sebagaimana telah kami jelaskan.
Menurut Hanafiyyah, boleh hukumnya menjadikan orang
yang sedang duduk atau berdiri di depannya sebagai pembatas shalat. Boleh juga
dengan hewan tunggangan, namun tidak boleh dengan pedang atau mushaf. Misalnya jika
sedang naik hewan tunggangan dan hendak lewat di depan orang shalat, maka hewan
itu boleh dijadikan pembatas antara dia dan orang yang sedang shalat. Jika
sedang berjalan kaki dan perlu untuk melewati orang yang sedang shalat maka
jatuhkanlah atau lemparkanlah sesuatu di depan orang yang shalat untuk
membatasinya, setelah itu berjalanlah di luar batas itu.
Ulama Malikiyyah berkata, batas minimal panjangnya
pembatas adalah satu hasta setebal
tombak dengan syarat pembatas itu tetap diam, bersih
-makruh hukumnya menggunakan pembatas yang najis- dan tidak mengganggu kekhusyukan
hati. Dengan syarat itu, maka tidak boleh menggunakan anak kecil sebagai
pembatas karena ia tidak tetap, dan juga tidak boleh menggunakan wanita sebagai
pembatas, tidak juga dengan lingkaran orang-orang yang sedang berbicara. Tidak
boleh juga menggunakan cambuk tali, sapu tangan, dan hewan yang tidak terikat.
Tidak boleh menggunakan garis ataupun galian di tanah untuk pembatas. Dalilnya
hadits riwayat lbnu Umar, ia berkata, “Jika datang hari raya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar dan menyuruh seseorang untuk menancapkan tombak. Lantas
beliau mengambil air wudhu dan shalat di belakang tombak itu, sedang para
sahabat shalat di belakang beliau. Hal ini juga beliau lakukan di dalam perjalanan.”
Muttafaqun ‘alaihi (Nailul Authar jilid 3 halaman 2)
Dari Abu Juhaifah, ia berkata, “Dan di
depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertancap sebuah tombak pendek.”
Adapun hadits riwayat Abu Hurairah mengenai garis di tanah itu haditsnya dhaif
mudhtharib (Nailul Authar jilid 3 halaman 4).
Menurut Malikiyyah, makruh hukumnya menjadikan
punggung wanita bukan mahram atau orang kafir sebagai pembatas shalat. Namun, boleh
hukumnya jika orang yang dijadikan pembatas shalat itu seorang lelaki Muslim
atau wanita mahram, menurut pendapat yang rajih.
Ulama Syafi'iyyah berkata, disunnahkan untuk
shalat di hadapan sesuatu yang tingginya sekitar dua pertiga hasta. Dalilnya,
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “Buatlah
pembatas dalam shalat kalian meski dengan anak panah.” (HR. Al-Hakim ‘alaa
Syarhi Muslim). Dan tidak boleh membuat pembatas dengan hewan tunggangan.
Ulama Hanabilah pendapatnya sama dengan pendapat
Hanafiyyah dan Malikiyyah, yaitu panjang pembatas dalam shalat itu satu hasta.
Adapun ukuran tebal dan tepatnya, tidak ada batasan tertentu menurut mereka.
Artinya, boleh menggunakan anak panah, tombak atau tembok sebagai pembatas
shalat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
menjadikan tombak kecil
sebagai pembatas.
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
pembatas bisa dibuat dari garis di tanah. Dalilnya adalah hadits riwayat Abu
Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
salah seorang kalian hendak shalat, maka letakkanlah sesuatu di hadapannya. Dan
jika tidak menemukan, maka tancapkanlah tongkat untuk pembatas, dan jika tidak
mempunyai tongkat, maka buatlah garis di tanah. Setelah itu, boleh orang lain
lewat di sebelah garis itu.” HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Malah, Al-Baihaqi,
dishahihkan oleh lbnu Hibban, Ahmad, dan lbnul Madani. Akan tetapi, Suffan bin Uyainah,
Imam Al-Baghawi, dan lainnya mengatakan bahwa hadits itu dhaif. lbnu Shalah
menjadikan hadits ini sebagai contoh hadits mudhtharib (Nailul
Authaar jilid 3 halaman 4).
Sifat garis tanah yang dijadikan pembatas menurut
Syafi'iyyah adalah garis itu harus lurus. Sedangkan menurut Hanabilah, garis itu
melengkung seperti bulan sabit. Sebagian Hanabilah berkata, “Bagaimanapun
bentuknya, garis tetap boleh dijadikan pembatas shalat, boleh membentang dan
boleh juga memanjang.”
Jika ia mempunyai tongkat, tetapi susah untuk
ditancapkan, maka menurut mayoritas ulama, boleh baginya untuk melemparkannya dalam
posisi melintang, karena posisinya sama dengan garis. Ulama Malikiyyah berkata,
“Tongkat itu harus diletakkan tegak berdiri.”
Ulama Hanabilah membolehkan manusia atau hewan
sebagai pembatas shalat, karena Ibnu Umar dan Anas juga melakukan hal itu. Dalilnya
hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
di belakang unta. HR. Bukhari dan Muslim. Dalam hadits lain, dikatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan hewan tunggangan
menyamping di depan beliau dan dijadikan pembatas shalat. Lantas beliau shalat
di belakangnya, Aku bertanya, “Bagaimana jika hewan itu pergi?” Beliau
menjawab, “Hadapkan dan shalat di belakangya.” Boleh juga menjadikan
manusia sebagai pembatas shalat. Dari Nafil ia berkata, “Ketika tidak mendapatkan
jalan untuk menuju tiang di masjid, Ibnu Umar akan berkata, “Balikkan punggungmu
untukku!”
Diriwayatkan dari Hamid bin Hilal, ia berkata,
“Suatu ketika Umar ibnul Khaththab melihat seorang lelaki sedang shalat. Dan
ketika melihat banyak orang lewat di depannya, maka Umar membalikkan
punggungnya sambil memberikan isyarat dengan kainnya. Lantas ia berkata, “Shalatlah
dan jangan tergesa-gesa!“ HR. Bukhari.
Kesimpulannya, boleh atau sah hukumnya membuat
pembatas dengan punggung lelaki atau wanita, menurut pendapat Hanafiyyah dan
Malikiyyah. Ulama Hanabilah pendapatnya lebih umum, yaitu boleh membuat
pembatas shalat dengan punggung manusia atau selainnya. Ulama Syafi'iyyah
berpendapat bahwa membuat pembatas shalat dengan punggung manusia secara mutlak
tidak sah hukumnya. Menurut mayoritas ulama, sah hukumnya membuat pembatas
dengan sesuatu yang didapat dari cara ghashab. Namun, menurut Hanabilah tidak
sah dan bahkan makruh hukumnya shalat dengan pembatas dari ghashab. Membuat
pembatas dengan benda najis, sah hukumnya menurut mayoritas ulama. Namun menurut
Malikiyyah, tidak sah. Para ulama sepakat bahwa membuat pembatas shalat dengan
dinding sah hukumnya.
f. Jarak Antara Orang Shalat dan Pembatasnya
Menurut mayoritas ulama, jarak antara orang shalat
dan pembatasnya sunnahnya sekitar tiga hasta, dihitung mulai dari kedua kakinya.
Dalilnya dari hadits riwayat Bilal. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah masuk ke dalam Ka'bah. Lantas beliau shalat beliau dan
dinding Ka'bah hasta.” HR. Ahmad dan An-Nasa’i (Nailul Authar jilid
3 halaman 3) satu hasta sama dengan 61,834 cm.
Ismail meriwayatkan dari Salamah, ia berkata, “Dahulu
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jarak antara mimbar dan
dinding kiblat hanyalah sebatas cukup lewatan kambing betina.” Yaitu, sekitar
tiga hasta.
Ulama Malikiyyah berkata, “Jarak antara orang
shalat dan pembatasnya sekitar cukup tempat lewat kucing atau kambing, yaitu
tiga hasta.” Dalilnya hadits muttafaqun ‘alaihi riwayat Sahal bin Sa'd. Ia
berkata, “Jarak antara tempat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan dinding sekitar tempat lewatan kambing.”
g. Posisi Antara Orang Shalat dan Pembatas Shalat
Ulama empat madzhab sepakat bahwa sunnahnya
posisi orang shalat itu agak miring ke kiri atau ke kanan dari pembatasnya,
sehingga tidak tepat di hadapannya. Hukum sunnah ini diambil dari hadits
riwayat Abu Dawud dari Miqdad ibnul Aswad. Ia berkata, “Aku tidak pernah
melihat Rastilullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dengan tepat menghadapi
kayu [pembatas shalat], tidak juga pohon kecuali agak ke kanan atau ke kiri,
tidak tepat menghadapinya.”
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments