Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. Sunnah-Sunnah Shalat Menurut Madzhab Syafi'iyyah
Sunnah menurut Syafi'iyyah ada dua macam, yaitu
sunnah ab’adh dan sunnah hai'at. Sunnah ab’adh telah kita
tuturkan dan jumlahnya delapan, bahkan sampai dua puluh ketika masuk pembahasan
sujud Sahwi. Adapun sunnah hai'at jumlahnya ada empat puluh dan berikut ini
beberapa sunnah hai'at (Tuhfatuth Thullab lil Anshari halaman 44-49; Hasyiyah
Syarqawi ‘alat Tuhfah jilid 1 halaman 199-215; Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 152-184) yang penting: -perlu diingat madzhab Syafi'iyyah sama
seperti Hanabilah, tidak membedakan antara sunnah, mandub, dan mustahab.
1. Mengangkat kedua tangan setinggi kedua bahu dalam
takbiratul ihram, takbir rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk. Diriwayatkan dari
Bukhari dan Muslim yang intinya untuk mengangkat kedua tangan hingga ujung
jari-jarinya melebihi tingginya telinga, dengan kedua ibu jari di bawah cuping telinga,
dan kedua telapak tangannya melebihi tinggi kedua bahu. Namun, pendapat yang
lebih shahih adalah dengan mengangkat kedua tangan sambil memulai takbir dan
tasmi'.
2. Memiringkan ujung-ujung jari ke arah kiblat sambil
merenggangkannya.
3. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan
menempatkannya di pertengahan antara dada dan pusar karena mengikuti hadits
riwayat Ibnu Khuzaimah.
4, 5. Membaca doa Iftitah dan ta'awwudz dalam shalat fardhu
maupun sunnah. Doa Iftitah itu contohnya seperti, “Aku hadapkan wajahku
kepada sang Pencipta langit dan bumi, mengesakan-Nya dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan-Nya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup
dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam yang tiada sekutu
bagiNya. Untuk itulah (mengesakan-Nya, penj.) aku diperintahkan dan aku
termasuk orang
yang berserah diri.” HR. Muslim
kecuali lafaz muslimah karena itu riwayat Ibnu Hibban.
6, 7. Membaca keras pada tempatnya dan membaca pelan pada
tempatnya sesuai dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Yang termasuk bacaan
keras atau jahr adalah pada shalat Subuh, shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan
Idul Adha, shalat gerhana bulan, shalat Istisqa’, dua rakaat pertama shalat Isya,
dua rakaat pertama shalat Maghrib, shalat Tarawih, shalat Witir Ramadhan, dan
dua rakaat setelah thawaf malam hari, atau waktu subuh. Adapun yang termasuk bacaan
lemah atau sirr adalah semua shalat selain yang telah disebutkan dalam shalat
jahr, kecuali shalat sunnah malam yang dianjurkan suara bacaannya sedang, antara
keras dan pelan selama tidak mengganggu
orang lain. Dalilnya firman Allah yang berbunyi, “...dan
janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah (pula)
merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.” (Al-Israa':
110) Adapun untuk shalat qadha fardhu, maka tergantung waktunya menurut
pendapat mu'tamad. Dan suara kerasnya wanita di bawah suara kerasnya laki-laki,
jika memang tidak ada orang asing di sampingnya.
8. Mengucapkan “amin” setelah selesai bacaan surah Al-Faatihah.
Pengucapan amin dilakukan dengan suara keras dalam shalat-shalat jahriyyah, dan
dilakukan dengan suara rendah atau pelan dalam shalat-shalat sirriyyah. Perlu
diperhatikan juga bahwa terdapat lima hal yang diperbolehkan
bagi makmum untuk mengangkat suara, yaitu pada waktu membaca
amin bersama imam pada shalat jahriyyah, dalam doa Qunut Subuh, dalam doa Qunut
Witir Ramadhan, doa Qunut Nazilah dalam lima waktu, dan ketika mengingatkan
kesalahan imam.
9. Membaca surah setelah Al-Faatihah pada dua rakaat
pertama (HR. Bukhari dan Muslim, dalam shalat Dzuhur dan Ashar, kiaskan dengan
shalat semacamnya) bagi imam dan selainnya, kecuali makmum dalam shalat jahriyyah.Yaitu,
ketika imam membaca dengan suara keras, maka makruh bagi makmum untuk membaca
surah. Pengecualian itu berlaku juga untuk orang yang berhadats dan dalam
shalat jenazah. Pengecualian ini juga berlaku bagi makmum masbuq yang
diperbolehkan membaca surah pada rakaat ketiga dan keempat dari shalatnya sendiri.
Karena, rakaat yang didapati oleh makmum masbuq adalah rakaat pertamanya. Minimal
pendek bacaan adalah satu ayat panjang atau tiga ayat yang panjangnya seperti
surah Al-Kautsar.
Disunnahkan untuk memanjangkan bacaan pada
rakaat pertama dari rakaat kedua, sebagaimana disunnahkannya berurutan dalam
dua surah yang dibaca dalam dua rakaat pertama sesuai dengan urutan mushaf.
Membaca surah dengan urutan terbalik menyalahi aturan yang afdhal.
Sebenarnya kesunnahan membaca dalam shalat bisa
dicapai dengan membaca ayat apa saja yang ada dalam Al-Qur'an, namun membaca
satu surah lebih afdhal meski surah pendek. Kecuali, dalam shalat Tarawih yang
afdhalnya membaca sebagian surah panjang, karena sunnahnya dalam Tarawih itu
membaca seluruh Al-Qur'an. Sunnahnya membaca Al-Qur'an ini juga berlaku pada
shalat sunnah dua rakaat. Jika lebih dari dua rakaat, maka pendapat yang lebih
shahih adalah tidak membaca surah pada rakaatketiga dan keempat sebagaimana
dalam shalat fardhu. Akan tetapi, pendapat ini berbeda dengan pendapat
Hanafiyyah.
Disunnahkan juga dalam dua rakaat sebelum subuh
untuk meringankan bacaan, misalnya pada rakaat pertama membaca ayat 136 dari
surah Al-Baqarah, dan pada rakaat kedua membaca ayat 64 dari surah Ali 'lmran.
Boleh juga pada rakaat pertama membaca surah Al-Kaafiruun dan rakaat kedua
membaca Al-lkhlaash sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Muslim (Al-Majmu’
jilid 1 halaman 349-352).
Untuk shalat Subuh hari Jumat disunnahkan pada
rakaat pertama membaca surah As-Sajdah, dan pada rakaat kedua membaca surah Al-lnsaan
karena mengikuti petunjuk sunnah riwayat Bukhari Muslim. Jika pada rakaat
pertama tidak membaca surah As-Sajdah, maka pada rakaat kedua tetap disunnahkan
untuk membacanya meski sebagian. Akan tetapi jika waktunya tidak memungkinkan,
maka tetap membaca surah itu namun hanya sebagian saja. Sebagian ulama
Syafi'iyyah berkata, “Tidak disunnahkan untuk selalu dan terus menerus
membaca dua surah tersebut karena agar tidak dianggap wajib.”
10. Membaca takbir tiap kali hendak rukuk dan bangkit
dari selain rukuk (posisi ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kecuali takbiratul ihram karena
hukumnya fardhu.
11. Meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lutut
saat posisi rukuk sambil merenggangkan
jari-jari. HR. Bukhari dan Muslim.
12. Membaca tasbih sebanyak tiga kali dalam rukuk (سبØان ربي العظيم) dengan tambahan (وبØمده)
sebagai penyempurna. HR. Abu Dawud.
13. Mengucapkan kalimat tasmi', yaitu ucapan (سمع الله لمن Øمده) ketika bangkit dari rukuk bagi setiap orang shalat, baik
sebagai imam maupun yang lainnya. Artinya, Allah menerima pujian dari hamba-Nya
dan akan memberi pahala atas pujian itu. Atau, bisa juga artinya Allah akan
mengampuni hamba-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi, disunnahkan bagi imam untuk
mengeraskan suaranya atau dibantu oleh orang yang menyampaikan suaranya jika
memang perlu. Karena, ucapan itu termasuk dzikir yang menandakan perpindahan
dalam shalat. Sedangkan untuk doa (ربنا ولك الØمد) sunnahnya dibaca dengan suara rendah, karena hal itu sama
seperti tasbih dan dzikir-dzikir lainnya. Akan tetapi jika sedang tertimpa bencana
maka sunnahnya mengeraskannya, tanpa mengeraskan tasmi' karena sebagian besar
imam dan muadzin tidak tahu dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Kemudian pada posisi i'tidal, yaitu berdiri dari rukuk, maka
posisi kedua tangan dibiarkan lurus ke bawah sambil mengucapkan “Wahai Tuhan
kami, hanya untuk-Mu segala puji, pujian yang memenuhi langit dan bumi dan
segala sesuatu yang Engkau kehendaki dari makhluq- makhluq-Mu yang memuji.”
HR. Bukhari dan Muslim dari Rifa’ah bin Rafi’.
Bagi munfarid dan imam yang jamaahnya terbiasa
panjang, boleh menambahkan kalimat, “Dzat
Yang memiliki sanjungan dan pujian yang merupakan keharusan diucapkan hamba.
Dan kami adalah hamba-Mu tiada yang akan mampu memberi jika Engkau mencegahnya,
dan tiada yang mampu mencegah jika Engkau akan memberi, dan tiada artinya
kemampuan siapa pun di hadapan kemampuan-Mu.” HR. Muslim.
14. Ketika hendak sujud, maka yang diletakkan ke lantai
terlebih dahulu adalah kedua lutut, kemudian kedua tangan, dan disusul dahi dan
hidung. HR. At-Tirmidzi.
15. Membaca tasbih dalam sujud sebanyak tiga kali, “subhaana
Rabbiyal A'alaa” dengan tambahan wa bihamdih sebagai penyempurna.
HR. Muslim tanpa menyebutkan “sebanya tiga kali”. HR. Abu Dawud dengan menyebut
“sebanyak tiga kali.”
16. Meletakkan kedua tangan di hadapan kedua bahu dalam
sujud dengan jari-jari merapat menghadap kiblat. HR. Abu Dawud dan dishahihkan
oleh An-Nawawi.
17. Bagi laki-laki dalam sujud dan rukuk untuk menjauhkan
kedua lengannya dari kedua sisi lambung, dan menjauhkan kedua paha dari perut.
Adapun bagi wanita dan banci, maka posisinya kebalikan posisi laki-laki. Yaitu,
merapatkan anggota-anggota tersebut karena posisi itu lebih menutup bagi wanita
dan lebih hati-hati bagi banci. Disunnahkan juga untuk merenggangkan kedua lutut
dan kedua kaki selebar satu jengkal. Keterangan ini terdapat dalam hadis-hadis
shahih.
18. Setiap shalat, baik lelaki maupun wanita disunnahkan
untuk menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. HR. Al-Bukhari.
19. Disunnahkan untuk berdoa dalam posisi dudukantara dua
sujud dengan membaca, “Ya Allah, ampuniloh dosa-dosaku, berikanlah rahmat
kepadaku, berikanlah kebaikan kepadaku, angkatlah derajatku, berikanlah rejeki,
berikanlah petunjuk dan maafkanlah kesalahanku.” HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah.
20. Duduk ifttrasy dalam duduk antara dua sujud dan duduk
tasyahud awal, yaitu dengan menduduki kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.
Hikmah duduk rftirasy adalah untuk lebih memudahkan dalam bergerak. HR.
At-Tirmidzi. Ia menambahkan riwayat duduk antara dua sujud, sedangkan mengenai
posisi duduk tasyahud awal, diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
21. Duduk istirahat dengan posisi iftirasy setelah sujud
kedua. Duduk istirahat ini lamanya selama kadar tuma'ninah dalam shalat. Namun,
boleh juga menambahkannya atau menyamakannya dengan lamanya duduk antara dua
sujud, menurut pendapat yang mu'tamad. Duduk ini tetap boleh dilakukan oleh
makmum, meski imam tidak melakukannya. Duduk istirahat ini diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, sedangkan posisi duduk iftirasy diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
ia berkata hadis itu hasan shahih.
22. Menopangkan kedua tangan ke lantai ketika hendak
bangkit dari duduk, atau dari sujud karena dapat membantu menciptakan kekhusyukan
dalam shalat. HR. Bukhari.
23. Mengangkat kedua tangan ketika bangkit dari tasyahud
awal. HR. Bukhari dan Muslim.
24. Duduk tawarruk pada tasyahud akhir; yaitu dengan
menempelkan pinggul sebelah kiri pada lantai dan menegakkan kaki kanan, kecuali
jika ingin melakukan sujud Sahwi, maka melakukan duduk tftirasy. HR. Bukhari.
25. Meletakkan kedua tangan pada kedua paha dengan
menggenggam jari-jari tangan kanan, kecuali jari telunjuk yang akan digunakan sebagai
isyarat ketika mengucapkan “illallaah,” namun tanpa menggerak-gerakkannya.
Adapun jari-jari tangan kiri, posisinya lurus merapat. HR. Muslim kecuali
kalimat “tanpa menggerak-gerakkannya.” Kalimat ini dari riwayat Abu Dawud.
26. Pandangan mata tidak melampui jari telunjuk. HR. Abu
Dawud dengan sanad shahih.
27. Memohon perlindungan dari siksa neraka setelah
selesai membaca tasyahud akhir. Dalilnya hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Jika
kalian membaca tasyahud, maka mohon perlindunganlah kepada Allah dari empat
perkara,. Lantas beliau berdoa, ‘Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzaabil qabri
wa ‘adzaabin naar, wa min fitnatil mahyaa wal mamaat, wa min fitnati masihid
dajjal.”
Namun sunnah juga membaca doa selain itu,
misalnya doa, “Ya Allah, ampunilah dosaku yang terdahulu dan yang akan
datang, apa yang aku nampakkan dan apa yang aku sembunyikan. Engkaulah Dzat
Yang Paling Awal dan Engkaulah Dzat yang Paling Akhir tidak ada Tuhan selain
Engkau, aku memohon ampun, dan bertobat kepada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku
telah banyak berbuat aniaya terhadap diriku sendiri. Dan tidak ada yang mompu
mengampuninya kecuali engkau, karenanya ampunilah segala kesalahan dan dosaku
dari sisi-Mu dan anugerahilah kasih sayang-Mu karena sesungguhnya Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
28, 29. Mengucapkan salam kedua (HR. Muslim), dan niat keluar
dari shalat ketika salam pertama. Jika niat keluar shalat sebelum itu, maka shalatnya
batal. Dan jika niatnya dalam pertengahan salam pertama atau setelahnya, maka
tidak mendapatkan sunnah.
30. Menolehkan wajah ke kanan dan ke kiri ketika
mengucapkan dua salam. Ke kanan pada salam pertama dan ke kiri pada salam kedua
hingga pipi kanan dan kirinya terlihat oleh orang di belakangnya. Salam itu
diniatkan untuk orang-orang di sebelah kanan dan kiri, baik malaikat maupun orang-orang
mukmin dari jin dan manusia. Bagi makmum, salamnya diucapkan setelah salamnya
imam. Boleh juga salamnya berbarengan dengan salamnya imam, sebagaimana
rukun-rukun lainnya selain takbiratul ihram.
31. Memakai siwak ketika hendak melaksanakan shalat,
meski dengan kain, tidak dengan jari. Perincian mengenai siwak telah dijelaskan
di depan bahwa memakai siwak termasuk sunnah di luar shalat. HR. Bukhari dan
Muslim, “Jika saja tidak memberatkan umatku, maka aku akan memerintahkan
mereka untuk menggunakan siwak setiap kali hendak shalat.” Perintah di sini
artinya mewajibkan.
32. Khusyuk dalam shalat, yaitu menghadirkan hati dan
menenangkan anggota tubuh dengan perasaan bahwa ia sedang berada di hadapan
Allah Ta’ala Yang Maha Melihat. Karena, Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (Al-Mu'minuun:
1-2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Seorang
hamba Muslim mana saja yang berwudhu dengan sempurna kemudian mendirikan shalat
dua rakaat dengan khusyuk, makoa wajib baginya untuk masuk surga.” HR.
Muslim.
33. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ketika melihat seorang lelaki memain-mainkan janggutnya
dalam shalat, beliau bersabda, “Jika orang ini khusyuk, niscaya anggota
tubuhnya juga akan khusyuk.” HR. At-Tirmidzi, namun hadisnya dhaif.
34. Menadaburi bacaan Al-Qur'an karena dapat membantu
menghasilkan khusyuk dan adab. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tidakkah mereka
menghayati Al-Qur'an, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (Muhammad: 24) Bagi
orang yang membaca Al-Qur'an, baik dalam shalat maupun tidak disunnahkan untuk
berdoa memohon rahmat jika melewati ayat tentang rahmat, dan memohon
perlindungan dari siksa jika melewati ayat tentang siksa. HR. Ahrnad dari
Aisyah, ia berkata, “Aku pernah melakukan qiyamul lail bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika membaca surah Al-Baqarah, Ali 'lmran, dan
An-Nisaa', tiap kali melewati ayat tentang adzab yang menakutkan, beliau selalu
berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari adzab itu. Dan tiap kali melewati
ayat tenang kabar gembira, beliau berdoa agar mendapatkannya." (Nailul
Authaar jilid 2)
Atau membaca tasbih ketika melewati ayat
tentang tasbih. Dan jika membaca ayat, “Bukankah Allah hakim yang paling
adil?” (At-Tiin: 8) beliau mengucapkan, “Balaa wa ana'alaa
dzaalika minasy syaahidiin.” Dan jika membaca ayat, “Maka kepada ajaran manakah (selain
Al-Qur'an) ini mereka akan beriman?” (Al-Mursalaat 50), beliau mengucapkan,
“Aamantu billaah.” Dan jika membaca ayat “Katakanlah (Muhammad), 'Terangkanlah
kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu
air yang mengalir?”' (Al-Mulk: 30), beliau mengucapkan, 'Allaahu Rabbul
'aalamiin.”
35. Menadaburi dzikir karena dianalogikan dengan bacaan Al-Qur'an.
36. Memasuki shalat dengan giat, semangat, dan menjauhkan
hati dari kesibukan dunia, karena ada celaan bagi yang tidak bersemangat. Allah
Ta’ala berfirman mengenai sifat orang munafik, “Sesungguhnya orang munafik
itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka
berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas....” (An-Nisaa': 142) Malas
adalah lawan kata dari kata giat, sedangkan jernihnya
hati akan membantu menciptakan khusyuk dan khudhu’. Di dalam shalat, makruh
hukumnya memikirkan masalah dunia atau masalah fiqih. Dalam shalat boleh
hukumnya memikirkan masalah akhirat, namun sunnahnya memikirkan atau
mentadaburi apa yang ia baca.
37. Mengingatkan kesalahan imam dalam shalat atau
sejenisnya. Bagi lelaki yang hendak mengingatkan sesuatu dalam shalat, seperti
mengingatkan imam ketika lupa, atau mengizinkan seseorang yang hendak masuk,
atau memberi peringatan pada orang buta yang akan mendapat kecelakaan atau
bahaya dan sejenisnya, maka disunnahkan baginya untuk mengucapkan tasbih, yaitu
kalimat Subhaanallah, dengan syarat tidak berniat hanya untuk
mengingatkan. Karena kalau niatnya hanya untuk mengingatkan, maka shalatnya
batal.
Adapun bagi wanita, jika hendak mengingatkan, maka
disunnahkan untuk bertepuk tangan; menepukkan telapak tangan kanan pada tangan
kiri atau sebaliknya. Dalilnya hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
yang berbunyi, “Siapa saja yang hendak mengingatkan akan sesuatu dalam
shalat dan dia sendiri sedang shalat, maka bagi lelaki untuk bertasbih dan
menepuk tangan bagi wanita.” HR. An-Nasa’i dan Abu Dawud (Nailul Authar jilid
2 halaman 320)
Demikian juga bagi banci. Hukum sunnah ini
telah disepakati oleh para ulama. Namun, ulama Malikiyyah berkata, “Seorang lelaki yang hendak mengingatkan sesuatu
dalam shalat, dan dia sendiri sedang shalat, maka sunnahnya bertasbih membaca Subhaanallaah.
Dan bagi wanita yang hendak mengingatkan dalam shalat, makruh hukumnya bertepuk
tangan.” (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 197; Al-Mughni jilid
2 halaman 17; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 444; Fathul Qadir jilid
1 halaman 285; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 342)
Perkara-Perkara yang Berbeda Antara Lelaki dan Wanita
dalam Shalat
Dalam shalat, lelaki dan wanita berbeda beberapa
hal, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi lelaki untuk merenggangkan antara kedua siku dari
kedua lambungnya dan mengangkat perut agar menjauh dari kedua paha ketika rukukdan
sujud. Adapun bagi wanita, bagian-bagian tersebut disempitkan agar saling
merapat. Artinya, perutnya menempel pada kedua paha, dan ketika rukuk dan sujud
kedua lututnya saling menempel, begitu juga kedua kakinya karena posisi ini
lebih menutup baginya.
2. Bagi lelaki untuk mengeraskan suara bacaan pada
shalat-shalat jahriyyah dan membaca dengan suara rendah pada shalatshalat sirriyyah
sebagaimana telah kami jelaskan di atas. Sedangkan wanita, jika shalat di
sekitar para lelaki lain –bukan mahram- maka sunnahnya untuk merendahkan
suaranya, sehingga orang di sekitarnya tidak mendengar
bacaannya. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan fitnah atau sesuatu yang
tidak diinginkan, meskipun memang pendapat yang lebih shahih mengatakan bahwa
suara wanita bukanlah aurat. Jadi, mendengarkan suara penyanyi wanita tidaklah
haram hukumnya, kecuali jika takut menimbulkan fitnah, seperti terjadinya
khalwat antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.
3. Bagi lelaki dalam shalat, jika ingin mengingatkan sesuatu,
maka ia bertasbih dengan bacaan subhaanallaah dengan niat dzikir atau
disertai dengan niat mengingatkan, ataupun boleh dengan memutlakkannya, dan itu
tidak membatalkan shalatnya. Akan tetapi jika berniat hanya untuk mengingatkan
maka shalatnya batal.
Adapun bagi wanita, jika ingin mengingatkan sesuatu
dalam shalat, maka caranya dengan menepuk tangannya, meski tidak ada lelaki
bukan mahram menurut pendapat mu'temad, yaitu dengan memukulkan telapak tangan
kanan pada punggung tangan kiri. Jika memukulkan telapak tangan kanan pada
telapak tangan kiri dengan niat main-main, meski sedikit dan tahu bahwa hal itu
haram, maka shalatnya batal. Namun jika niatnya untuk mengingatkan, bukan untuk
main-main, maka shalatnya tidak batal. Adapun bagi banci caranya sama dengan
cara wanita.
Bertepuk tangan untuk mengingatkan meski
berulang-ulang boleh dilakukan asal sesuai dengan kebutuhan. Demikian juga jika
yang bertepuk tangan itu seorang lelaki, maka shalatnya juga tidak batal karena
gerakan tepuk tangan itu termasuk gerakan ringan, seperti halnya menggerakkan tasbih
dengan jari-jari.
Bertepuk tangan juga tidak membatalkan shalat
meski disertai niat untuk mengingatkan. Demikian juga jika yang bertepuk tangan
itu seorang lelaki, menurut pendapat mu'tamad. Hukum bertepuk tangan ini
berbeda dengan hukum membaca tasbih dengan niat mengingatkan. Maka, hal ini
membatalkan shalat karena tasbih adalah kalimat yang digunakan untuk dzikir,
sedangkan tepuk tangan tidak digunakan untuk dzikir.
Adapun hukum bertepuk tangan di luar shalat
adalah makruh, meski tanpa niat main-main, menurut pendapat Imam Ramli yang
mu'tamad, dan makruh dengan niat bermain-main-menurut pendapat Ibnu Hajar yang
mu'tamad. Hukum makruh ini karena mencegah agar tidak menyerupai orang-orang Arab
pada masa jahiliyyah, yang menggunakan tepuk tangan untuk ibadah. Allah SWT
berfirman, “Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah
siulan dan tepuk
tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Al-Anfaal: 35)
4. Aurat laki-laki yang harus ditutup dalam shalat,
ketika thawaf, dan di depan lelaki lain dan para wanita mahram adalah antara pusar
dan kedua lututnya. Sedangkan auratnya di depan wanita lain-bukan mahram-
adalah seluruh tubuhnya. Sedangkan auratnya ketika sepi atau sendirian hanyalah
dua aurat inti. Adapun untuk budak wanita, auratnya sama dengan lelaki.
Sebenarnya pusar dan lutut bukanlah termasuk aurat,
namun harus tetap ditutup agar sempurna dalam menutup aurat. Keduanya termasuk
aurat karena kalau tidak ditutup, maka auratnya tetap akan kelihatan, juga
karena kaidah yang berbunyi, “Sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan suatu
hukum wajib juga, maka hal itu juga termasuk wajib.”
Adapun wanita merdeka, auratnya dalam shalat
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan di
luar shalat, maka auratnya adalah seluruh badannya.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments