Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
PENJELASAN SUNNAH-SUNNAH DI DALAM SHALAT
5. Doa Iftitah (Pembuka)
Ulama Malikiyyah berkata, doa Iftitah hukumnya
makruh karena ada hadits riwayat Anas yang menegaskan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar memulai bacaan shalat langsung dengan
Surah Al-Faatihah. Muttafaqun ‘alaihi.
Mayoritas ulama berkata, doa Iftitah setelah
takbiratul ihram hukumnya sunnah pada rakaat pertama. Pendapat ini adalah
pendapat yang rajih. Redaksi doa Iftitah itu bermacam-macam, namun yang dipilih
oleh madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah adalah doa yang berbunyi seperti berikut,
(سبحانك اللهم وبحمدك
وتبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك) “Mahasuci
Engkau ya Allah lagi Maha Terpuji. Maha Agung nama-Mu lagi Mahaluas kekuasaan-Mu
dan tidak ada Tuhan selain Engkau.”
Doa ini mereka pilih karena ada hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah. Ia berkata “Jika memulai shalat, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berdoa, Maha Suci Engkau ya Allah lagi Maha Terpuji. Maha
Agung nama-Mu lagi Maha Luas kekuasaan-Mu dan tidak ada Ttthan selain Engkau.”
HR Abu Dawud dan Ad-Daruquthni dengan redaksi yang serupa tetapi dari Anas.
Lima perawi juga meriwayatkan hadits yang sama, tetapi lewat Abu Sa'id. Dalam
kitab Shahih-nya, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Umar membaca doa itu dengan
suara keras (Nailul Authar jilid 2 halaman 195).
Kalimat subhaanallaahumma artinya
menyucikan Allah, sedangkan kalimat wa tabaarakasmuka berasal dari kata
berkah. Artinya, adanya kebaikan Ilahi dalam sesuatu. Kalimat wa ta'aala
jadduka, artinya keagungan yang tinggi melebihi keagungan segala sesuatu.
Maksud kalimat ini adalah untuk menyucikan Allah dengan meniadakan sesuatu yang
patut disembah kecuali Dia.
Mereka berkata, “Sudah jelas bahwa yang ma'tsur
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk dipilih dan
dilaksanakan.”
Akan tetapi, redaksi yang dipilih oleh madzhab
Syafi'iyyah adalah sebagai berikut, (وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض
حنيفا وما أنا من المشركين. إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شرك
له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين) “Aku
hadapkan wajahku kepada sang Pencipta langit dan bumi, mengesakanNya dan aku bukanlah
termasuk orang-orong yang mempersekutukan-Nya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam yang tiada
sekutu bagiNya. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku termasuk orang yang
berserah diri.”
Redaksi ini juga bersumber dari hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Imam At-Tirmidzi melalui Ali bin Abi
Thalib. Dalam Shahih Muslim redaksinya berbeda, yaitu dengan kalimat, “Wa
ana awwalul Muslimin.” Imam Syafi’i berkomentar mengenai hadis ini, “Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memang orang Muslim pertama dalam umat
ini.” (Nailul Authar jilid 2 halaman 191-192)
Redaksi ini termasuk penggalan ayat Al-Qur'an
selain kalimat yang terakhir, yaitu kalimat “minal Muslimin.” Aslinya
seperti dituturkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, yaitu menggunakan kalimat, “awwalul
Muslimin.” Arti doa Iftitah di atas adalah, niat ibadahku adalah untuk
menyembah Allah Sang Pencipta langit dan bumi. Juga, karena mengikuti agama
yang hak, yaitu agama Islam tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Shalatku, ibadahku,
dan hidup matiku hanyalah untuk Allah. Dan aku adalah seorang Muslim.
Imam Ahmad membolehkan penggunaan doa Iftitah
dengan selain kalimat (سبحان اللهم). Ulama
Hanafiyyah memperbolehkan penggabungan antara pujian dan tawajjuh dalam shalat
sunnah, namun untuk shalat jenazah hanya pujian saja.
Menurut madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah, jika
seorang imam sudah mulai membaca surah -baik dengan suara keras maupun pelan- maka
menurut pendapat yang mu'tamad, makmum tidak boleh membaca doa lftitah, baik ia
terlambat maupun tidak. Alasannya, karena mendengarkan bacaan imam ketika
bacaan keras hukumnya fardhu, sedangkan dalam shalat sirriyyah disunnahkan
menghormati bacaan. Jadi, hukumnya sunnah bukan karena dzatnya. Adapun diamnya
makmum dalam shalat sirriyah bukan karena wajib diam, namun karena bacaan imam
adalah juga bacaan makmum. Akan tetapi, Hanabilah menganjurkan agar makmum
membaca ta'awwudz dan doa Iftitah dalam shalat sirriyah ataupun dalam shalat
jahriyyah, tetapi pada saat imam berhenti membaca.
Menurut madzhab Syafi'i boleh hukumnya membuka
shalat dengan bacaan “Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tidak ada Tuhan
selain Allqh, dan Allah Mahabesar.”
Atau dengan kalimat, “Allahu Mahabesar dan
segala puji bagi-Nya dengan pujian yang omat banyak. Dan Mahasuci Allah di
waktu pagi dan petang.”
Atau dengan kalimat, “Ya Allah, jauhkanlah
aku dari dosa sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,
bersihkanlah semua noda dan dosaku sebagaimana membersihkan kotoran poda
pakaian yang dibersihkan. Ya Allah, bersihkanlah kesalahan dan dosaku dengan
air, salju dan embun.”
Bagi orang yang shalat sendirian, disunnahkan untuk
membaca seluruh doa di atas. Juga, bagi imam yang para makmumnya rela ia
membaca panjang. Bisa juga ditambah lagi dengan kalimat, “Ya Allah,
Engkaulah Raja diraja yang tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan
aku adalah hamba-Mu yang telah berbuat zhalim kepada diriku. Aku mengakuinya
segala dosa-dosaku karenanya ampunilah aku, karena tidak ada yang mampu mengampuni
dosa kecuali hanya Engkau. Berilah aku petunjuk agar memiliki akhlak yang baik
karena tidak ada yang mampu membimbingnya menjadi baik kecuali Engkau. Dan
hindarkanlah aku dari akhlaq yang tidak baik karena tidak ada yang mampu
menghindarkan dari keburukannya kecuali hanya Engkau. Aku penuhi Panggilan-Mu ya
Allah dengan kegembiraan dan karena pertolongan-Mu. Semua kebaikan berasal
dari-Mu dan tidaklah Engkau didekati dengan keburukan. Aku beriman dan selalu
memohon kepada-Mu. Maha Suci Engkau ya Allah lagi Maha Tinggi, aku mohon
ampunan-Mu dan bertaubat pada-Mu.”
Menurut madzhab Syafi'iyyah, disunnahkan untuk
ber-tawajjuh dalam doa Iftitah baik shalat fardhu maupun nafilah, baik bagi imam,
makmum, maupun munfarid. Tawajjuh tetap dibaca, meski imam sudah mulai membaca surah
Al-Faatihah atau ia sendiri membaca amin bersama imam sebelum ia membacanya. Akan
tetapi, ia tidak membaca tawajjuh itu jika ia sudah memulainya dengan membaca
surah Al-Faatihah atau membaca ta'awwudz karena mereka berkata, “Tidak
disunnahkan kecuali dengan lima syarat yaitu sebagai berikut,”
Pertama, pada selain
shalat jenazah. Di dalamnya tidak ada tawajjuh, hanya saja disunnahkan untuk
membaca ta'awwudz.
Kedua, tidak pada
posisi takut kehilangan waktu pelaksanaan, yaitu waktu yang cukup untuk satu
rakaat. Namun jika waktu tidak memungkinkan, maka tidak disunnahkan untuk membaca
tawajjuh.
Ketiga, makmum tidak
takut kehilangan waktu untuk membaca surah Al-Faatihah. Artinya
jika takut maka tidak disunnahkan tawajjuh. Jika telah
memulai tawajjuh, maka sedapatnya membaca surah Al-Faatihah.
Keempat, tidak
mendapatkan imam dalam keadaan selain berdiri. Artinya jika makmum mendapatkan
imam dalam posisi i'tidal, maka tidak disunnahkan tawajjuh. Namun jika ia mendapatkan
imam dalam posisi duduk tasyahud, lantas imam salam atau bangkit sebelum ia
sempat duduk bersamanya, maka disunnahkan untuk membaca doa Iftitah.
Kelima,
tidak memulai dengan ta'awwudz atau membaca surah Al-Faatihah meski lupa. Jika
telanjur masuh maka tidak perlu kembali lagi.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments