BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

2. SUJUD TILAWAH DALAM HUKUM FIKIH

Menurut madzhab Hanafiyyah, sujud tilawah itu hukumnya wajib bagi orang yang membaca dan orang yang mendengarkannya. Akan tetapi, menurut madzhab lain selain Hanafiyyah, hukumnya hanyalah sunnah (Lihat Fathul Qadiir jilid l halaman 380-892; Al-Bada'i jilid 1 halaman 179-195; Ad-Durrul Mukhtaar jilid 1 halaman 715-730; Al-Lubaab jilid 1 halaman 103-105; Asy-Syarhush Shaghiir jilid 1 halaman 416-422; Al-Qawaaniin Al-Fiqhiyyah halaman 90; Mughnil Muhtaaj jilid 1 halaman 214-217; Al-Muhadzdzab jilid l halaman 85; Al-Mughnii jilid 1 halaman 616-627; Kasysyaaful Qinaa jilid 1 halaman 521-526).
Hukum ini menurut Hanafiyyah dan Syafi'iyyah sama saja, baik pendengar itu sengaja mendengarkan maupun tidak sengaja mendengarkan lantunan Al-Qur'an. Akan tetapi bagi wanita haidh dan nifas, para ulama sepakat bahwa mereka tidak dipinta untuk melakukan sujud tilawah. Adapun menurut Malikiyyah dan Hanabilah, sujud tilawah itu disunnahkan hanya untuk orang yang membaca dan orang yang sengaja mendengarkannya saja, bukan untuk orang yang tidak sengaja mendengar.
Dalil yang dipakai oleh ulama Hanafiyyah dalam menentukan wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang berbunyi, “Sujud tilawah itu bagi orang yang mendengarkan dan orang yang membaca ayat Sajdah.” Imam Zaila’i berkata, “Hadis ini gharib, yang shahih hadis tersebut diriwayatkan dari Utsman dan Ibnu Umar.” (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 178)
Redaksi hadits ini menunjukkan arti wajib dan tidak diikat dengan niat atau tujuan. Allah Ta’ala dalam Al-Qur'an berfirman yang artinya, “Maka mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak (mau) bersujud.” (Al-Insyiqaaq: 20-21)
Celaan itu tidak akan keluar, kecuali karena meninggalkan suatu kewajiban, dan karena sujud itu dilakukan dalam shalat maka hukumnya juga wajib seperti hukum sujud lainnya.
Adapun dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama dalam penetapan hukum sunnahnya sujud tilawah adalah hadits riwayat Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Aku dan para sahabat lain pernah membaca surah An-Najm di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak ada seorangpun dari kami yang sujud.” Redaksi hadis ini dari riwayat Imam Ad-Daruquthni (Nailul Authar jilid 3 halaman 101). Hal ini termasuk ijma sahabat. Imam Bukhari meriwayatkan atsar dari Umar, ia berkata, “Pada hari Jumat ia membaca surah An-Nahl di atas mimbar. Ketika sampai pada ayat sajdah, ia turun sujud tiwalah dan orang-orang ikut sujud pula. Kemudian jumat berikutnya ia membaca surah yang sama, namun ketika sampai pada ayat sajdah ia berkata, 'Hadirin sekalian, kita sampai pada ayat sajdah. Siapa yang ingin sujud maka ia akan mendapat pahala dan orang yang tidak mau sujud juga tidak mendapat dosa.' Umar sendiri tidak sujud.”
Dalam redaksi lain berbunyi, “Allah tidak mewajibkan sujud kepada kita, kecuali jika kita mau.” (Nailul Authar jilid 3 halaman 102) Berdasarkan atsar di atas maka sujud itu baik, namun orang yang meninggalkannya juga tidak apa-apa.
Adapun dalil sujud tilawah bagi orang yang tidak sengaja mendengar adalah hadits riwayat Ibnu Umar di atas. Adapun dalil Malikiyyah dan Hanabilah yang mengatakan tidak perlunya sujud tilawah bagi orang yang tidak sengaja mendengar adalah dari perbuatan Utsman, Ibnu Abbas, dan Imran. Utsman berkata, “Sujud tilawah itu hanya untuk orang yang mendengarkan.”

Kewajiban Sujud Tilawah dalam Madzhab Hanafiyyah, apakah sifatnya langsung atau bisa ditunda?

Wajibnya sujud tilawah di luar shalat boleh ditunda-tunda tanpa ketentuan waktu jika memang yang membaca atau yang mendengar itu termasuk dalam taklif. Baik sengaja mendengarkan maupun tidak, dengan syarat yang didengar itu seorang manusia berakal dan dalam keadaan terjaga, meskipun sedang junub, haidh, nifas, kafir, anak kecil yang mumayyiz, atau orang mabuk.
Jika mendengar ayat sajdah dari burung, seperti burung beo atau gema dari alat perekam, maka tidak wajib untuk sujud tilawah. Dan jika mendengar ayat sajdah dari orang yang sedang tidur atau pingsan, atau gila, atau belum mumayyiz, maka menurut pendapat yang lebih shahih hukumnya tidak wajib sujud tilawah karena tidak sahnya bacaan tersebut. Bacaan itu sendiri tidak sah, karena orang yang membaca belum mumayyiz.
Adapun sujud tilawah di dalam shalat maka hukumnya wajib yang tidak bisa ditunda-tunda karena berkaitan bacaan dalam shalat sehingga menjadi bagian darinya. Dan jika bacaan ayatnya berakhir pada ayat sajdah maka bisa melakukan sujud sendiri lantas meneruskan bacaan, dan bisa juga menggabungkannya dalam ruku dan sujud jika niatnya dalam ruku. Jika dalam sujud maka niat atupun tidak niat sama saja.
Jika bacaannya tidak berhenti pada ayat sajdah dan meneruskannya hingga membaca tiga ayat atau lebih, maka wajib sujud tiwalah sendiri selain sujud shalat. Dan setelahnya disunnahkan untuk meneruskan bacaan hingga tiga ayat atau lebih. Setelah itu rukuk dan menyempurnakan shalatnya.

Mengikuti Imam dalam Sajdah dan Mendengarkannya dari selain Orang shalat

Ulama Hanafiyyah berkata, “Jika Imam membaca ayat sajdah, maka makmum ikut sujud tilawah bersama imam, karena kewajiban makmum itu mengikuti imam. Akan tetapi jika yang membaca itu makmum, maka imam dan makmum lain tidak wajib ikut sujud tilawah, tidak dalam shalat ataupun di luar shalat. Karena bacaan makmum terhalangi oleh imamnya.”
Jika seseorang yang sedang shalat mendengar dibacakannya ayat sajdah oleh orang lain di luar shalat, maka ia tidak boleh ikut sujud tilawah. Meski demikian jika ia tetap sujud tidak membatalkan shalatnya, karena sekadar sujud tidak menafikan kemuliaan shalat. Boleh ikut melakukan sujud tilawah dari bacaan orang lain tetapi setelah shalatnya selesai.
Selain ulama Hanafiyyah juga pendapatnya sama bahwa dalam shalat makmum itu harus mengikuti imam hingga masalah sujud tilawah. Jika imam sujud dan makmumnya tidak, atau makmum sujud sendiri tanpa imam maka shalatnya batal. Orang yang sedang shalat juga tidak dituntut untuk sujud tilawah, karena bacaan sajdah orang diluar shalat. Dan jika makmum membaca ayat sajdah, juga tidak diperbolehkan melakukan sujud sendiri. Karena jika ia melakukannya, maka shalatnya batal dan dianggap menambahkan sujud dalam shalat.





PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)