Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
SUJUD SYUKUR
Sujud syukur hukumnya sunnah menurut pendapat
mayoritas ulama, namun makruh menurut madzhab maliki. Berikut pendapat para
ulama fiqih secara rincinya.
Ulama Hanafiyyah (Ad-Durrul Mukhtar jilid
1 halaman 344, 731; Muraqil Falah halaman 85) berkata, “Sujud syukur
hukumnya makruh menurut Abu Hanifah, karena tidak mungkin menghitung nikmat Allah
yang tiada terkira. Sujud syukur adalah ibadah yang berpahala, sebagaimana
hadits yang diriwayatkan enam imam hadits selain Imam An-Nasa'i. Dari Abu
Bakrah, ia meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika
mendapatkan sesuatu yang memudahkan atau menggebirakannya, beliau langsung
bersujud. Tata caranya adalah seperti melakukan sujud tilawah.
Pendapat yang difatwakan tentang sujud syukur
adalah mustahabbah, tetapi makruh mengerjakannya setelah shahat, karena
orang-orang awam mengira hal itu sunnah atau wajib. Dan setiap sesuatu yang
boleh dikerjakannya, namun mengarah kepada perkiraan wajib atau sunnah, maka
hukumnya makruh. Beranjak dari sinilah, sujud yang dikerjakan setelah shalat
hukumnya makruh secara ijma, karena orang-orang awam menganggap hal itu adalah sunnah
atau wajib. Jika berniat melakukan sujud syukur di dalam rukuk atau sujud
ketika melakukan shalat, maka hal itu telah mencukupi. Melakukan sujud syukur
setelah shalat dan pada waktu yang makruhkan melakukan shalat sunnah juga
hukumnya makruh, namun tidak jika dikerjakan pada selain waktu itu hukumnya tidak
makruh.
Ulama Malikiyyah (Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 422) berkata, melakukan sujud syukur ketika mendengar kabar yang menggembirakan
hukumnya makruh. Demikian juga ketika terjadi gempa. Yang disunnahkan ketika
mendapatkan nikmat dan tertolaknya musibah adalah shalat sunnah dua rakaat,
karena hal ini adalah amalan penduduk Madinah. Ibnu Habib Al-Maliki membolehkan
sujud syukur berdasarkan hadits riwayat Abu bakar yang telah lalu. Imam At-Tirmidzi
berkata, “Hadis tersebut predikatnya hasan gharib karena dalam rawinya
terdapat Bakkar bin Abdul Aziz bin Abu Bakrah yang tergolong dhaif menurut
Aqili. Akan tetapi, Ibnu Ma’in berkata, ‘Hadis tersebut baik.’” (Nailul
Authar jilid 3 halaman 104)
Ulama Syafi'iyyah (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 219) berkata, sujud syukur tidak masuk dalam shalat, hanya saja disunnahkan
ketika mendapatkan nikmat, seperti ketika dikaruniai anak, mendapatkan pangkat,
atau ketika tertolaknya bencana, seperti selamat dari kebakaran, tenggelam,
ketika melihat orang yang tertimpa musibah baik pada badannya atau lainnya,
melihat orang yang mempertontonkan kemaksiatan, atau memperlihatkan sujud di
depan orang yang maksiat bukan orang yang tertimpa musibah.
Tata cara sujud syukur seperti sujud tilawah. Dan
menurut pendapat yang lebih shahih boleh melakukan sujud tilawah dan sujud
syukur di atas kendaraan, bagi orang yang sedang bepergian dengan isyarat
karena berhalangan untuk sujud di tanah. Jika orang yang di atas tunggangan
melakukan sujud tilawah, maka boleh dengan pasti berisyarat di atas kendaraannya,
sebagaimana shalat sunnah seperti sujud sahwi.
Dalil Madzhab Syafi'i yang membolehkan sujud
syukur ketika mendapatkan kenikmatan atau tertolaknya bencana adalah hadits Abu
Bakar yang telah lalu dan hadits Abdurrahman bin Auf. Ia berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam keluar menuju bangunan tinggi lalu masuk ke dalam, menghadap kiblat,
dan bersujud. Beliau memanjangkan sujudnya lalu mengangkat kepalanya. Beliau
bersabda, 'Jibril telah mendatangiku dengan membawa kabar gembira, sesungguhnya
Allah telah bersabda untukmu: siapa saja yang bershalawat kepadamu, maka ia
akan memaafkannya dan siapa saja bersalam kepadamu, maka ia akan
menyelamatkannya’, maka aku bersujud sebagai ungkapan terima kasihku kepada-Nya.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan
bahwasanya Nabi Muhammad bersabda, “Aku memohon kepada Tuhanku, dan memohon
syafaat untuk umatku, lantas Allah memberiku syafaat untuk sepertiga umatku. Kemudian
aku bersujud kepada Allah, lalu kuangkat kepalaku lalu aku minta kepada
Tuhanku, dan Dia memberiku sepertiga lagi. Kemudian aku melakukan sujud syukur
kepada Tuhanku, lalu kuangkat kepalaku, lalu aku memohon kepada Tuhanku, maka
Dia memberiku sepertiga umatku.”
Dalil madzhab Syafi'i membolehkan bersujud ketika
melihat orang tertimpa bencana adalah hadits riwayat Al-Baihaqi, dan juga sebagai
rasa syukur kepada Allah yang telah menyelamatkannya. Dalil ketika melihat
orang yang maksiat adalah karena musibah dalam agama itu lebih bahaya daripada
musibah dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah
janganlah kau limpahkan musibah dalam agama kami,” ketika melihat orang
kafir itu lebih disunnahkan bersujud syukur.
Ulama Hanbalillah (Al-Mughni jilid 1
halaman 627) berkata, disunnahkan sujud syukur ketika mendapatkan kenikmatan dan
terhidar dari musibah. Dalilnya hadits Abu Bakrah yang telah lalu dan sujudnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq ketika penaklukan Yamamah. Syarat sujud syukur seperti halnya
sujud tilawah, dan tidak boleh melakukan sujud syukur ketika shalat karena
penyebab melakukan sujud syukur bukanlah shalat. Jika melakukannya, maka batal
shalatnya kecuali ia lupa atau tidak mengetahui keharamannya.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments