BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 
2. SEBAB-SEBAB SUJUD SAHWI

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sebab-sebab yang menjadikan menimbulkan sujud sahwi. Karena itu, ada baiknya kita jelaskan sebab-sebab tersebut dalam tiap madzhabnya.

a. Madzhab Hanafiyyah

Sujud sahwi dilakukan karena meninggalkan sesuatu dalam shalat, baik sengaja maupun lupa. Atau menambahkan sesuatu dalam shalat karena lupa. Atau mengubah posisi karena lupa. Perinciannya sebagai berikut:
(1) Sujud sahwi tidak dilakukan dalam kesengajaan kecuali tiga perkara, sengaja meninggalkan atau mengakhirkan duduk pertama. Sengaja melakukan sujud dari rakaat pertama hingga akhir shalat, dan sengaja berpikir hingga menghabiskan masa kira-kira satu rukun.
(2) Sujud sahwi dilakukan karena lupa hingga meninggalkan salah satu perkara wajib dalam shalat, baik berupa penambahan, pengurangan, mendahulukan, maupun mengakhirkan. Perkara yang wajib dalam shalat itu semuanya berjumlah sebelas. Enam di antaranya termasuk wajib asliyyah.
Sebelas hal itu sebagai berikut: Pertama, tidak membaca surah Al-Faatihah atau sebagiannya pada dua rakaat pertama shalat fardhu. Kedua, tidak membaca surah atau tiga ayat pendek atau satu ayat panjang setelah membaca surah Al-Faatihah pada dua rakaat pertama shalat fardhu. Ketiga, mengacak dan membolak-balikkan suara bacaan dalam shalat sehingga yang seharusnya dibaca keras malah dibaca pelan, dan yang seharusnya dibaca pelan malah dibaca keras. Jika seseorang membaca dengan suara lantang dalam shalat-shalat yangsirriyyah pada siang hari, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar, dan membaca dengan suara rendah pada shalat-shalat jahriyyah malam hari, yaitu shalat Subuh, Maghrib, dan Isya maka ia harus sujud sahwi.
Keempat, meninggalkan duduk awal pada tasyahud pertama, baik dalam shalat yang tiga rakaat maupun empat. Kelima, tidak membaca tasyahud pada duduk terakhir. Keenam, tidak menjaga tertib dalam gerakan yang berulang dalam tiap satu rakaat. Yaitu pada sujud kedua tiap rakaatnya. Artinya, jika seseorang hanya melakukan satu kali sujud karena lupa, lantas berdiri ke rakaat kedua hingga sujud lagi. Kemudian ia teringat kurang sujud pada rakaat pertama, dan ia menambahkan sujud pada rakaat kedua maka wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi karena meninggalkan terbit dalam shalat. Adapun jika tidak menjaga tertib dalam gerakan yang tidak berulang dalam tiap rakaatnya, misalnya seseorang melakukan takbiratul ihram lantas rukuk. Setelah itu bangkit dari rukuk dan membaca surah Al-Faatihah beserta surah lain maka ia harus mengulangi rukunya lagi, dan sujud sahwi di akhir shalat. Begitu juga dengan meninggalkan sujud tilawah pada tempatnya. Dan setiap keterlambatan atau perubahan di posisi fardhu, seperti duduk sebagai ganti berdiri dan sebaliknya maka hal itu mewajibkan sujud sahwi.
Ketujuh, tidak melakukan tuma'ninah yang wajib dalam rukuk dan sujud. Siapa saja yang meninggalkannya karena lupa wajib menggantinya dengan sujud sahwi menurut pendapat yang shahih. Kedelapan, mengubah posisi bacaan dalam fardhu, seperti mendahulukan surah lain daripada surah Al-Faatihah, atau membaca surah pada dua rakaat terakhir dalam shalat empat rakaat, atau pada rakaat ketiga dalam shalat tiga rakaat. Kesembilan, tidak membaca doa qunut subuh. Jika seseorang langsung rukuk sebelum membaca doa qunut maka dianggap sudah dianggap tidak membacanya dan baginya untuk sujud sahwi. Kesepuluh, meninggalkan takbir doa qunut. Kesebelas, meniggalkan keseluruhan atau sebagian takbir-takbir dalam shalat Id, atau meninggalkan takbir rukuk pada rakaat kedua shalat Id karena itu hukumnya wajib, berbeda dengan takbir pada rakaat pertama.
(3) Menambahkan gerakan dalam shalat yang tidak termasuk gerakan shalat, seperti misalnya melakukan dua kali rukuk, maka harus sujud sahwi.
Kembali pada posisi yang terlupakan: siapa saja yang lupa dan tidak melakukan duduk
pertama, lantas langsung ingat ketika ia hendak bangkit, namun lebih dekat pada posisi duduk maka ia harus kembali pada posisi duduk untuk membaca tasyahud. Akan tetapi jika lebih dekat pada posisi berdiri maka tidak perlu kembali pada posisi duduk, hanya saja nanti melakukan sujud sahwi. Jika seseorang lupa dan bangkit berdiri, padahal sudah pada rakaatterakhir maka ia harus dudukdan membatalkan rakaat tambahan tersebut, selama belum sujud. Kemudian melakukan sujud sahwi. Akan tetapi jika rakaat tambahannya itu sudah sampai sujud maka shalat fardhunya batal, dan shalat yang dilakukan itu menjadi shalat sunnah, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Dan disunnahkan baginya untuk menambahkan lagi satu rakaat.
Jika pada rakaat keempat, seseorang duduk seukuran bacaan tasyahud, lantas ia berdiri tanpa mengucapkan salam karena mengira duduknya itu duduk pertama maka ia harus kembali duduk selama belum sujud pada rakaat tambahan itu. Kemudian salam. Akan tetapi jika pada rakaat tambahan itu sudah sampai pada sujud, maka disunnahkan untuk menambah lagi satu rakaat. Dengan begitu shalatnya telah sempurna karena ada duduk terakhir pada tempatnya, dan dua rakaat tambahan itu menjadi sunnah.
Bimbang dan ragu dalam shalat: jika seseorang bimbang dalam shalat, dan tidak tahu sudah shalat tiga atau empat rakaat. Jika memang itu pertama kali lupa, artinya penyakit lupa itu bukan suatu kebiasaan baginya, dan bukan berarti tidak pernah lupa maka shalatnya batal dan wajib mengulang dari awal.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Umar mengenai orang yang bimbang dalam rakaat shalat, tiga ataukah empat rakaat? Ibnu Umar berkata, “Orang itu harus mengulang shalatnya hingga ingat. Karena jika ia memulai dari awal, berarti menjalankan shalat fardhu dengan yakin dan sempurna. Jika ia mengambil rakaat yang sedikit maka ia tidak melakukannya dengan sempurna. Kemudian, jika keraguan itu muncul setelah salam maka tidak perlu mengulanginya lagi, sebagaimana jika misalnya keraguan itu muncul setelah duduk seukuran bacaan tasyahud sebelum salam.” Imam Za’ila’i berkata, “Hadis ini gharib.”
Jika seseorang sering mengalami keraguan, maka yang diambil adalah yang sudah menjadi kebiasaan. Jika ia punya perkiraan yang lebih tepat maka ia ambil salah satu dari dua perkiraan karena sulit memulai shalat jika sering bimbang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa saja yang bimbang dalam shalat, maka pilihlah yang benar.” HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan redaksi, “Siapa saja yang bimbing dalam shalat, maka pilihlah yang besar dan sempurnakanlah shalat sesuai pilihannya.”
Jika seseorang yang ragu dalam shalat dan tidak punya perkiraan atau pendapat maka sebaiknya mengambil bilangan rakaat yang sedikit, artinya jumlah itu yang mendekati yakin dan kebenaran. Jika dalam shalat empat rakaat seseorang bimbang pada rakaat pertama atau kedua, maka dia dipersilakan untuk memilih yang lebih tepat, dan jika tidak mampu maka keputusan diambil pada rakaat yang sedikit. Dalil yang memerintahkan untuk mengambil rakaat yang sedikit adalah hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang berbunyi, “Jika salah seorang kalian bimbang dalam shalat dan tidak tahu apakah shalatnya baru tiga rakaat atau sudah empat maka buanglah keraguan itu dan ambillah bilangan rakaat yang sedikit.” HR. Muslim.

b. Madzhab Malikiyyah

Sujud sahwi dilakukan karena tiga hal, yaitu adanya kekurangan, adanya penambahan, dan adanya kekurangan beserta penambahan.
Adapun yang dimaksud kekurangan adalah meninggalkan sunnah mu'akkadah di dalam shalat, baik sengaja maupun lupa, seperti tidak membaca surah jika lupa tidak membacanya, atau meninggaalkan dua sunnah ringan atau lebih, seperti tidak melakukan takbir-takbir dalam shalat selain takbiratul ihram. Atau tidak membaca tasmi' sebanyak dua kali atau lebih. Contoh lain seperti tidak membaca surah Al-Faatihah dengan suara keras meski satu kali, atau satu surah pada dua rakaat shalat fardhu Subuh, bukan pada shalat sunnah, seperti witir dan shalat Id. Tidak membaca tasyahud meski sekali karena itu termasuk sunnah ringan. Untuk kekurangan dalam shalat sujud sahwi dilakukan sebelum salam.
Jika seseorang sengaja meninggalkan atau mengurangi salah satu rukun maka shalatnya batal. Namun jika karena lupa, maka ia harus melakukannya sebelum lewat. Akan tetapi jika sudah lewat, maka satu rakaat dibatalkan untuk kemudian diqadha.
Adapun yang dimaksud dengan tambahan sadalah sedikit penambahan gerak dalam shalat, baik penambahan itu termasuk bagian dari shalat maupun tidak. Contoh yang tidak termasuk bagian shalat, seperti makan meski sedikit karena lupa. Contoh yang termasuk bagian shalat, seperti menambah salah satu rukun shalat, seperti menambahkan rukuk atau sujud. Atau menambahkan rakaat shalat, atau mengucapkan salam pada rakaat kedua. Untuk penambahan ini sujud sahwinya dilakukan setelah salam. Penambahan banyak gerak membatalkan shalat, meskipun gerakan itu termasuk wajib, seperti membunuh ular, kalajengking, atau menyelamatkan orang buta, atau jiwa, atau menyelamatkan harta. Akan tetapi jika gerakan itu sangat sedikit maka hukumnya tidak apa-apa, seperti menelan slilit yang melekat di sela-sela gigi, seperti juga menoleh meski dengan seluruh wajah asal tidak berpaling dari kiblat, dan juga menggerak-gerakkan jari untuk menggosok.
Adapun penambahan ucapan karena lupa, jika ucapan itu termasuk dari bagian shalat maka dapat dimaafkan, namun jika tidak termasuk bagian shalat harus sujud sahwi.
Adapun penambahan dan pengurangan dalam shalat secara bersamaan maksudnya mengurangi sunnah meski bukan mu'akkadah, dan penambahan seperti di atas, seperti misalnya seseorang tidak membaca surah dengan keras dan menambahkan jumlah rakaat karena lupa. Dalam kasus ini terkumpul dua hal, yaitu penambahan dan pengurangan. Dan untuk kasus ini sujud sahwinya dilakukan sebelum salam karena menguatkan pengurangan daripada penambahan.
Kembali pada posisi yang terlupakan: siapa saja yang shalat fardhu dan bangkit berdiri lagi, padahal sudah pada rakaat terakhir maka ia harus langsung kembali duduk ketika ingat dan melakukan sujud setelah salam. Sujud juga tetap dilakukan meski ia tidak ingat hingga salam. Adapun bagi makmum, jika ia mengikuti orang alim yang sengaja membuat tambahan maka shalatnya batal, namun jika lupa atau bimbang maka shalatnya tetap sah.
Adapun bagi orang yang bangkit ke rakaat ketiga pada shalat nafilah, jika ia ingat sebelum rukuk maka langsung kembali dan sujud sahwi setelah salam, namun jika teringat setelah bangkit dari rukuk maka melanjutkan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sehingga jumlahnya menjadi empat rakaat. Kemudian pada akhir shalat setelah salam sujud sahwi karena menambah dua rakaat.
Siapa saja yang tidak melakukan duduk pertengahan, jika teringat sebelum tangannya terangkat dari tanah maka diperintahkan untuk kembali duduk. Dan jika kembali, maka tidak dikenakan sujud sahwi menurut pendapat yang masyhur. Akan tetapi jika tidak kembali, maka dikenakan sujud sahwi. Jika ingatnya setelah tangannya diangkat dari tanah, maka tidak diperintahkan untuk kembali duduk menurut pendapat yang masyhur. Jika ingat setelah posisi berdiri, maka tidak diperintahkan untuk kembali, hanya dikenakan sujud sahwi. Dan jika kembali pada posisi duduk, maka ia termasuk melakukan kesalahan, namun shalatnya tidak batal menurut pendapat yang masyhur. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat madzhab Hanafiyyah karena menurut mereka penentuan hukum kembali atau tidak tergantung kedekatannya. Artinya, jika dekat pada posisi duduk maka disuruh kembali, namun jika posisi mendekati berdiri maka tidak perlu kembali duduk.
Siapa saja yang bimbang atau ragu dalam shalatnya, apakah ia shalat satu atau dua rakaat? Maka dalam hal ini yang diambil adalah bilangan yang sedikit, lantas melakukan sujud sahwi setelah salam.

c. Madzhab Syafi'iyyah

Sujud sahwi disyariatkan jika seseorang melanggar larangan atau tidak melaksanakan perintah dalam shalat. Perkara sunnah dalam shalat jika ditinggalkan, maka tidak perlu mengulangnya lagi jika memang sudah diselingi dengan perkara fardhu. Misalnya, jika seseorang
lupa tidak membaca tasyahud awal dan teringat pada saat posisinya berdiri, maka tidak perlu lagi kembali duduk untuk membaca tasyahud. Dan jika ia kembali lagi, padahal ia tahu bahwa hal itu haram, maka shalatnya batal. Akan tetapi menurut pendapat yang lebih shahih, shalatnya tidak batal jika kembalinya itu karena lupa, atau memang tidak tahu. Konsekuensinya nanti melakukan sujud sahwi. Dalil tidak bolehnya kembali untuk tasyahud adalah hadits riwayat Ibnu Buhainah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dan langsung berdiri pada rakaat kedua tanpa membaca tasyahud, padahal para sahabat telah membaca tasbih. Kemudian setelah selesai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sujud dua kali lantas salam. HR. An-Nasa’i (Nailul Authar jilid 3 halaman 119)
Adapun perkara yang menjadi sebab sujud sahwi itu ada dua, yaitu penambahan dan pengurangan. Sebab-sebab sujud sahwi bisa diringkas menjadi enam perkara, yaitu: (1) meninggalkan sebagian sunnah-sunnah ab'adh; (2) melakukan larangan yang jika dilakukan dengan sengaja dapat membatalkan shalat, namun ini dilakukan karena lupa; (3) Bimbang antara sudah melakukan dan belum; (4) Bimbang dalam melaksanakan larangan disertai kemungkinan tambahan; (5) Membaca bacaan tidak pada tempatnya; (6) Bermakmum pada imam yang meninggalkan sebagian sunnah ab'adh.
Pertama, imam atau munfarid yang dengan sengaja meninggalkan sunnah mu'akkadah atau yang biasa disebut dengan sunnah ab'adh. Sunnah ini ada enam, yaitu tasyahud awal, duduk dalam tasyahud awal, membaca doa qunut Subuh dan akhir shalat witir pada pertengahan kedua bulan Ramadhan, berdiri dalam qunut, membaca shalawat atas Nabi pada tasyahud awal, dan membaca shalawat atas keluarga beliau pada tasyahud akhir. Sunnah Ab'adh secara umum hanya enam, namun perinciannya ada dua puluh. Empat belas perkara dalam qunut, yaitu qunut subuh dan qunut witir pertengahan kedua bulan Ramadhan, berdiri dalam qunut, membaca shalawat atas Nabi setelah qunut, berdiri ketika membaca shalawat Nabi, membaca salam atas Nabi dan berdiri ketika membaca salam atas Nabi. Membaca shalawat untuk para sahabat sambil berdiri, membaca shalawat untuk keluarga Nabi sambil berdiri, mengucapkan salam untuk para sahabat, dan berdiri ketika mengucapkannya. Enam perkara lainnya dalam tasyahud, yaitu tasyahud awal, duduk dalam tasyahud awal, membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah tasyahud awal, duduk ketika membaca shalawat, membaca shalawat untuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada tasyahud akhir, dan duduk ketika membaca shalawat untuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Hasyiiyah Bajuri jilid 1 halaman 167-178; Hasyiiyyah Syarqaawi jilid 1 halaman 196). Peringkasan Ab'adh menjadi enam atau delapan itu termasuk tambahan.
Kedua, memindah atau membaca rukun yang berupa ucapan tidak pada tempatnya, seperti membaca surah Al-Faatihah pada posisi duduk, atau mengucapkan salam tidak pada tempatnya karena lupa. Demikian juga hukumnya memindahkan sunnah yang berupa ucapan, seperti membaca surah bukan pada tempatnya, lantas sujud sahwi karena bacaan itu dibaca tidak pada tempatnya sehingga hukumnya seperti salam, kecuali membaca surah sebelum Al-Faatihah, maka tidak perlu sujud sahwi.
Ketiga, melakukan sesuatu yang jika dilakukan dengan sengaja dapat membatakan shalat, namun ini dilakukan karena lupa, seperti memanjangkan rukun yang pendek menurut pendapat yang lebih shahih. Contoh konkretnya seperti memanjangkan i'tidal atau duduk di antara dua sujud. Contoh lain adalah mengucapkan sedikit kalimat yang tidak termasuk dalam bacaan shalat karena lupa. Dalilnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengucapkan salam, padahal masih dua rakaat. Setelah itu beliau berbicara dengan Dzal Yadain, lantas menyempurnakan shalat dan sujud dua kali. Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah (Nailul Authar jilid 3 halaman 107). Adapun perkara yang mutlak membatalkan shalat, baik sengaja maupun tidak, di antaranya adalah berbicara panjang dan makan. Hukum shalatnya batal dan tidak perlu sujud sahwi menurut pendapat yang lebih shahih. Adapun perkara yang tidak membatalkan baik dilakukan dengan sengaja maupun lupa adalah seperti menoleh dengan leher dan melangkah dua kali. Melakukan dua hal tersebut tidak perlu sujud sahwi, baik melakukannya karena lupa maupun sengaja.
Keempat, bimbang dalam penambahan. Jika seseorang bimbang dalam shalat mengenai bilangan rakaat antara tiga dan empat rakaat, maka diperintahkan untuk menambah satu rakaat lagi. Lantas melakukan sujud sahwi menurut pendapat yang lebih shahih, meskipun keraguannya lenyap sebelum salam. Sujud sahwi juga dilakukan oleh seseorang yang bingung dalam shalatnya, meski kebingungannya itu lenyap sebelum salam. Jika seseorang ragu apakah ia meninggalkan bagian fardhu-fardhu shalat, akan tetapi keraguan itu muncul setelah salam, maka menurut pendapat yang masyhur keraguan itu tidak berpengaruh. Dalil sujud sahwi bagi orang yang bimbang adalah hadits riwayat Abdurrahman bin Auf. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Jika salah seorang kalian bimbang dalam shalatnya, dan tidak tahu apakah shalatnya baru satu rakaat atau sudah dua, maka ambillah yang satu rakaat. Dan jika tidak tahu apakah shalatnya baru dua atau sudah tiga rakaat, maka ambillah yang dua. Dan jika tidak tahu apakah shalatnya baru tiga atau sudah empat rakaat, maka ambillah yang tiga. Kemudian setelah selesai shalat melakukan sujud sahwi dua kali.” HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Imam At-Tirmidzi. Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku pernah mendengat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang ragu shalatnya kurang, maka shalatlah hingga sudah merasa menambah.” Pengambilan keputusan dalam bilangan rakaat tidak didasarkan pada perkiraan, tidak juga pada ucapan orang lain bahwa shalatnya sudah empat rakaat, meskipun orang yang bilang itu mencapai jumlah mutawatir.
Kelima, bimbang telah meninggalkan sebagian sunnah ab'adh, seperti misalnya bimbang belum membaca doa qunut selain qunut nazilah. Atau bimbang belum membaca doa qunut atau membaca shalawat Nabi dalam qunut.
Keenam, mengikuti imam yang shalatnya cacat, meski hal itu hanya dalam keyakinan makmum. Contohnya seperti bermakmum pada imam yang tidak membaca doa qunut dalam shalat Subuh. Atau mengikuti imam yang membaca doa qunut sebelum rukuk. Atau mengikuti imam yang tidak membaca shalawat Nabi dalam tasyahud awal, maka makmum harus sujud setelah imamnya salam, sebelum ia sendiri salam.
Kesimpulannya, tambahan dalam shalat yang mewajibkan sujud sahwi itu ada dua macam,
yaitu tambahan berupa ucapan dan tambahan berupa gerakan. Adapun ucapan contohnya seperti mengucapkan salam tidak pada tempatnya karena lupa, atau berbicara yang juga karena lupa. Adapun tambahan berupa gerakan contohnya seperti lupa menambah satu rakaat dalam shalatnya, atau menambah rukuk, sujud, berdiri, atau duduk, atau memanjangkan posisi berdiri dengan niat qunut, namun bukan pada tempat qunut. Atau lupa duduk tasyahud tapi bukan pada waktu tasyahud. Semua itu mengharuskan sujud sahwi. Dalilnya hadits Ibnu Mas'ud, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur sebanyak lima rakaat. Lantas ada seseorang yang bertanya, “Apakah kewajiban shalat ditambah?” Rasul balik bertanya, “Memangnya mengapa?” Para sahabat menjawab, “Anda shalat lima rakaat.” Kemudian Rasul sujud dua kali setelah salam. HR. Semua rawi.
Adapun pengurangan, maksudnya adalah seseorang meninggalkan sunnah maqsuudah, yaitu dua perkara. Pertama, meninggalkan tasyahud awal karena lupa maka sujud sahwi karena riwayat hadits Ibnu Buhainah yang telah lewat. Kedua, meninggalkan doa qunut karena lupa.lni juga harus sujud sahwi.
Jika seseorang meninggalkan sunnah ghairu maqshudah, seperti takbir, tasbih, membaca jahar dan israr, duduk tawaruk dan duduk iftirasy, dan sejenisnya maka tidak perlu sujud sahwi karena sunnah tersebut ghiru maqshudah. Perlu diperhatikan bahwa tasyahud akhir sampai pada kalimat (وأن محمدا رسول الله) atau (عبده) atau (ورسوله) atau (فرسوله) itu hukumnya wajib. Akan tetapi bacaan tersebut dan shalawat Nabi dalam tasyahud awal hukumnya sunnah. Adapun membaca shalawat atas keluarga Nabi dalam tasyahud akhir hukumnya juga sunnah, sedangkan dalam tasyahud awal termasuk khilaful aula menurut pendapat yang mu'tamad (Hasyiyah Syarqawi jilid 1 halaman 196).

d. Madzhab Hanabilah

Sebab-sebab sujud sahwi itu ada tiga, yaitu adanya penambahan, pengurangan, dan bimbang dalam shalat (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 461-467, 471-478). Pendapat ini sama dengan pendapat madzhab Syafi'iyyah yang juga mensyaratkan kejadian itu karena lupa. Jika terjadi karena sengaja dan dalam gerakan atau fi'li, maka shalatnya batal. Namun jika dalam qauli atau ucapan yang bukan pada tempatnya, maka shalatnya tidak batal. Tidak ada sujud sahwi dalam shalat jenazah, sujud tilawah, dan sujud syukur.
(1) Adapun maksud penambahan dalam shalat, contohnya seperti lupa menambahkan gerakan dalam shalat yang masih termasuk bagian dari shalat, baik tambahan berdiri, duduk-meski seperti duduk istirahat pada selain tempat istirahat-rukuk dan sujud. Atau membaca surah Al-Faatihah bersama dengan tasyahud atau sebaliknya. Dalam penambahan fi'li seperti di atas, wajib hukumnya sujud sahwi. Namun dalam penambahan qauli, hukum sujud sahwi hanya mandub karena ada hadits riwayat Ibnu Mas'ud yang berbunyi, “Jika seseorang menambah atau mengurangi dalam shalatnya, maka sujudlah dua kali.” HR. Muslim.
Karena penambahan tersebut alasannya lupa, maka masuk dalam ucapan sahabat, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa dalam shalat lantas beliau melakukan sujud.” Dari kejadian ini akhirnya disyari'atkan sujud sahwi untuk menambal kekurangan.
Siapa saja yang teringat akan penambahan yang dilakukannya dalam shalat, maka ia kembali pada urutan shalat biasa tanpa harus bertakbir untuk membatalkan penambahan dan tidak menghitungnya sebagai rakaat. Adapun jika menambahkan satu rakaat, seperti rakaat ketiga pada shalat Subuh atau empat rakaat pada shalat Maghrib atau lima rakaat pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya, maka penambahan itu langsung dipotong. Caranya langsung dengan duduk ketika ingat, tanpa harus bertakbir dan menyempurnakan shalatnya tanpa harus membaca tasyahud lagi. Kemudian melakukan sujud sahwi dan mengucapkan salam, dan tidak menganggap rakaat tambahan itu bagian dari shalat masbuq.
Jika yang melakukan penambahan dalam shalat itu imam atau orang yang shalat munfarid, maka boleh diingatkan oleh dua orang yang dapat dipercaya atau lebih. Dan mereka harus mengingatkan imam terhadap sesuatu yang mewajibkan sujud sahwi karena shalat mereka berkaitan dengan shalatnya imam. Artinya jika shalat imam batal, maka shalat mereka juga ikut batal.
Adapun untuk kaum wanita, maka hukumnya mengikuti atau sama dengan hukum seorang lelaki dalam mengingatkan imam.
Bagaimana jika imam tidak mengikuti ucapan dua orang tsiqah yang mengingatkan kesalahannya? Pertama, jika tidak kembalinya imam itu untuk menambal kekurangan, seperti bangkit sebelum membaca tasyahud awal maka shalatnya tidak batal. Dalilnya hadits Mughirah bin Syu'bah yang waktu itu ia bangkit pada rakaat kedua tanpa membaca tasyahud. Para makmum di belakangnya sudah membaca tasbih untuk mengingatkan, namun ia tetap bangkit dan menyelesaikan shalat dan mengucapkan salam, lantas ia melakukan sujud dua kali. Dan setelah itu ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan seperti apa yang aku
lakukan.” HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Hadis ini hasan shahih (Nailul Authar jilid 3 halaman 119)
kedua, jika imam sengaja tidak kembali bukan untuk menambal kekurangan, maka shalatnya dan shalat makmum juga batal. Jika tidak kembalinya imam pada ucapan dua orangtsiqah itu karena lupa maka shalatnya batal. Shalat makmumnya juga batal jika ia tahu batalnya imam, karena ia mengikuti imam yang sudah diketahui batalnya. Hal ini sama dengan orang yang mengikuti imam yang diketahui berhadats. Akan tetapi shalat makmum yang mengikutinya tidak batal, jika memang ia sendiri tidak tahu atau lupa kalau shalat imamnya sudah batal. Para sahabat sendiri mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada rakaat
kelima karena tidak tahu, atau mengira ada perintah nasakh, namun mereka tidak disuruh untuk mengulang shalat. Memisahkan diri dari imam hukumnya wajib, jika imam melakukan penambahan rakaat, dan bagi makmum untuk melanjutkan shalatnya sendirian karena udzur.
(2) Adapun pengurangan dalam shalat, contohnya seperti tidak melakukan rukuk, atau sujud, atau tidak membaca surah Al-Faatihah dan sejenisnya karena lupa. Dan jika teringat, maka wajib baginya untuk melakukan kekurangan tersebut, disamping juga pada akhir shalat melakukan sujud sahwi.
Jika seseorang lupa tidak membaca tasyahud awal, maka ia harus kembali duduk untuk membacanya selama belum berdiri tegak. Pendapat ini telah menjadi kesepakatan karena Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian bangkit dari rakaat kedua -belum sempat membaca tasyahud awal- tetapi belum sempurna berdiri, maka duduklah kembali dan kemudian melakukan sujud sahwi.” HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Hal tersebut termasuk mengurangi kewajiban, sehingga jika teringat sebelum melakukan rukun yang lain, maka wajib kembali untuk melakukannya. Seperti misalnya, kedua lutut belum terpisah dari tanah. Dalam hal ini makmum tetap wajib mengikuti imam, meski berdiri dan membaca bacaan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dipilihnya imam itu untuk diikuti.” Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah (Nailul Authar jilid 3 halaman 139)
Jika posisi sudah tegak berdiri, namun belum mulai membaca, maka aulanya tidak kembali pada posisi duduk. Dalilnya hadits riwayat Mughirah di atas. Hukum tasyahud sendiri bagi makmum gugur, karena tugasnya mengikuti imam. Adapun jika imam sudah mulai membaca lantas teringat belum membaca tasyahud, maka tidak boleh kembali duduk untuk membacanya. Dalilnya masih tetap hadits Mughirah di atas. Alasan lain, karena ia telah masuk pada rukun yang lain. Dan shalat imam bisa batal jika ia kembali rukuk setelah posisi i'tidal, kecuali jika memang lupa atau tidak tahu, dan itu pun harus diganti dengan sujud sahwi. Karena, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali.” Demikian pula hukum membaca tasbih dalam rukuk dan sujud, doa antara dua sujud, dan setiap perkara wajib lain dalam shalat yang ditinggalkan karena lupa. Jika langsung teringat, maka wajib kembali untuk melaksanakannya.
(3) Adapun bimbang dalam shalat yang mewajibkan sujud sahwi pada sebagian bentuknya
antara lain misalnya seseorang bimbang dalam rukun, atau jumlah rakaat maka yang diambil adalah yang lebih condong di hati atau lebih yakin. Kemudian melanjutkan shalat dan melakukan sujud sahwi di akhirnya. Hukum sujud sahwi dalam hal ini wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian bimbang dalam shalat dan tidak tahu berapa rakaat yang sudah ia jalankan, maka ambillah yang lebih diyakini. Kemudian sujud sahwi sebelum salam.” HR. Muslim dan Imam Ahmad.
Sujud sahwi tidak dilakukan jika hanya bimbang dalam hal meninggalkan wajib shalat, seperti membaca tasbih dalam ruku dan sujud. Akan tetapi sujud sahwi dilakukan jika meninggalkan hal wajib karena lupa.
Jika jumlah rakaat sudah sempurna, maka tidak perlu lagi melakukan sujud sahwi, meskipun ketika dalam posisi duduk tasyahud terjadi kebimbangan apakah ia telah menambah jumlah rakaat atau tidak. Pengambilannya dari hukum asal, yaitu tidak adanya penambahan. Adapun jika ragu terjadi penambahan rakaat terakhir sebelum membaca tasyahud, maka wajib melakukan sujud sahwi.

e. Kisah hadits Dzil Yadain tentang orang yang mengucapkan salam, namun shalatnya belum sempurna. Dan pembicaraan orang lupa tidak membatalkan shalat.

Mayoritas ulama (Ulama Hanafiyyah berkata, "Berbicara dalam shalat membatalkan shalal, baik lupa maupun tidak tahu." Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud dan hadits Zaid bin Arqam yang menceritakan larangan berbicara dalam shalat. Mereka berkata, "Kedua hadits tersebut menghapus hukum hadits ini."), baik dari kalangan salaf maupun khalaf berpendapat tentang hadits Dzil Yadain bahwa niat keluar dari shalat dan membatalkannya, jika memang punya keyakinan shalatnya sudah sempurna, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya, meski telah melakukan dua kali salam. Dan perkataan orang yang lupa juga tidak membatalkan shalat, demikian juga perkataan orang yang mengira shalatnya sudah sempurna. Kisah lengkapnya sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Kami pernah shalat Zhuhur atau Ashar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pada rakaat kedua beliau mengucapkan salam. Setelah itu beliau mendekati pohon di arah kiblat dan bersandar padanya. Waktu itu di antara makmum terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut untuk berbicara. Setelah orang-orang bergegas keluar lelaki yang berjuluk “DzuI Yadain” atau “Pemilik Dua Tangan” bertanya, “Ya Rasulullah! Anda sengaja mengqashar shalat atau memang lupa?” Beliau menjawab, “Aku tidak mengqashar juga tidak lupa.” Lelaki itu berkata lagi, “Anda tadi shalat dua rakaat.” Beliau bertanya, “Benarkah apa yang dikatakan 'Pemilik Dua Tangan ini.” Para sahabat menjawab, “Benar.” Setelah itu, beliau langsung maju ke depan, shalat dua rakaat, salam, dan sujud sahwi dua kali kemudian salam lagi. Muttafaqun ‘alaihi (Subulus Salam jilid 1 halaman 203; Nailul Authar jilid 3 halaman 107)

f. Jika terjadi dua kali lupa atau lebih

Para ulama sepakat jika seseorang lupa dalam shalat, baik lupa dua kali maupun lebih maka cukuplah melakukan sujud sahwi sekali karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dalam hadits di atas hanya melakukan dua kali sujud, yaitu sujud sahwi. Beliau bersabda, “Jika salah seorang kalian lupa datam shalat, maka sujudlah dua kali.” Hadits ini berlaku juga berlaku untuk lupa dua kali atau lebih.”

g. Shalat Nafilah itu seperti shalat fardhu

Menurut para ulama shalat nafilah itu sama seperti shalat fardhu dalam hal sujud sahwi. Dalilnya hadits yang telah di sebutkan di atas, “Jika salah seorang kalian lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali.” Shalat nafilah itu shalat yang juga ada rukuk dan sujudnya. Karena itu berlaku
juga sujud sahwi seperti shalat fardhu.

h. Mengingatkan Imam yang lupa

Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, “Siapa saja yang lupa, maka ingatkanlah dengan membaca tasbih.” Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad berkata, “Bacaan tasbih adalah pengingat lupa bagi lelaki, sedangkan bagi wanita caranya dengan bertepuk tangan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Membaca tasbih itu untuk lelaki, sedangkan bertepuk tangan itu untuk wanita.” Hadits ini menguatkan pendapat kedua. HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa'i, dan Abu Dawud. Ia meriwayatkan dari Sahal bin Sa'd, "Siapa saja yang hendak mengingatkan seseorang dalam shalat, maka bacalah tasbih, karena bertepuk tangan itu untuk kaum wanita." Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca tasbih ketika ia meminta izin untuk masuk (Nailul Authaar jilid 2 halaman 320).





PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)