Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
2. SEBAB-SEBAB SUJUD SAHWI
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah
sebab-sebab yang menjadikan menimbulkan sujud sahwi. Karena itu, ada baiknya kita
jelaskan sebab-sebab tersebut dalam tiap madzhabnya.
a. Madzhab Hanafiyyah
Sujud sahwi dilakukan karena meninggalkan sesuatu
dalam shalat, baik sengaja maupun lupa. Atau menambahkan sesuatu dalam shalat
karena lupa. Atau mengubah posisi karena lupa. Perinciannya sebagai berikut:
(1) Sujud sahwi tidak dilakukan dalam
kesengajaan kecuali tiga perkara, sengaja meninggalkan atau mengakhirkan duduk
pertama. Sengaja melakukan sujud dari rakaat pertama hingga akhir shalat, dan
sengaja berpikir hingga menghabiskan masa kira-kira satu rukun.
(2) Sujud sahwi dilakukan karena lupa hingga meninggalkan
salah satu perkara wajib dalam shalat, baik berupa penambahan, pengurangan, mendahulukan,
maupun mengakhirkan. Perkara yang wajib dalam shalat itu semuanya berjumlah
sebelas. Enam di antaranya termasuk wajib asliyyah.
Sebelas hal itu sebagai berikut: Pertama,
tidak membaca surah Al-Faatihah atau sebagiannya pada dua rakaat pertama shalat
fardhu. Kedua, tidak membaca surah atau tiga ayat pendek atau satu ayat
panjang setelah membaca surah Al-Faatihah pada dua rakaat pertama shalat
fardhu. Ketiga, mengacak dan membolak-balikkan suara bacaan dalam shalat
sehingga yang seharusnya dibaca keras malah dibaca pelan, dan yang seharusnya
dibaca pelan malah dibaca keras. Jika seseorang membaca dengan suara lantang
dalam shalat-shalat yangsirriyyah pada siang hari, yaitu shalat Zhuhur dan
Ashar, dan membaca dengan suara rendah pada shalat-shalat jahriyyah malam hari,
yaitu shalat Subuh, Maghrib, dan Isya maka ia harus sujud sahwi.
Keempat, meninggalkan
duduk awal pada tasyahud pertama, baik dalam shalat yang tiga rakaat maupun
empat. Kelima, tidak membaca tasyahud pada duduk terakhir. Keenam,
tidak menjaga tertib dalam gerakan yang berulang dalam tiap satu rakaat. Yaitu
pada sujud kedua tiap rakaatnya. Artinya, jika seseorang hanya melakukan satu
kali sujud karena lupa, lantas berdiri ke rakaat kedua hingga sujud lagi.
Kemudian ia teringat kurang sujud pada rakaat pertama, dan ia menambahkan sujud
pada rakaat kedua maka wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi karena
meninggalkan terbit dalam shalat. Adapun jika tidak menjaga tertib dalam gerakan
yang tidak berulang dalam tiap rakaatnya, misalnya seseorang melakukan takbiratul
ihram lantas rukuk. Setelah itu bangkit dari rukuk dan membaca surah Al-Faatihah
beserta surah lain maka ia harus mengulangi rukunya lagi, dan sujud sahwi di
akhir shalat. Begitu juga dengan meninggalkan sujud tilawah pada tempatnya. Dan
setiap keterlambatan atau perubahan di posisi fardhu, seperti duduk sebagai
ganti berdiri dan sebaliknya maka hal itu mewajibkan sujud sahwi.
Ketujuh, tidak
melakukan tuma'ninah yang wajib dalam rukuk dan sujud. Siapa saja yang
meninggalkannya karena lupa wajib menggantinya dengan sujud sahwi menurut
pendapat yang shahih. Kedelapan, mengubah posisi bacaan dalam fardhu,
seperti mendahulukan surah lain daripada surah Al-Faatihah, atau membaca surah
pada dua rakaat terakhir dalam shalat empat rakaat, atau pada rakaat ketiga
dalam shalat tiga rakaat. Kesembilan, tidak membaca doa qunut subuh. Jika
seseorang langsung rukuk sebelum membaca doa qunut maka dianggap sudah dianggap
tidak membacanya dan baginya untuk sujud sahwi. Kesepuluh, meninggalkan
takbir doa qunut. Kesebelas, meniggalkan keseluruhan atau sebagian
takbir-takbir dalam shalat Id, atau meninggalkan takbir rukuk pada rakaat kedua
shalat Id karena itu hukumnya wajib, berbeda dengan takbir pada rakaat pertama.
(3) Menambahkan gerakan dalam shalat yang tidak
termasuk gerakan shalat, seperti misalnya melakukan dua kali rukuk, maka harus
sujud sahwi.
Kembali pada posisi yang terlupakan: siapa saja yang lupa dan tidak melakukan duduk
pertama, lantas langsung ingat ketika ia hendak bangkit,
namun lebih dekat pada posisi duduk maka ia harus kembali pada posisi duduk
untuk membaca tasyahud. Akan tetapi jika lebih dekat pada posisi berdiri maka
tidak perlu kembali pada posisi duduk, hanya saja nanti melakukan sujud sahwi.
Jika seseorang lupa dan bangkit berdiri, padahal sudah pada rakaatterakhir maka
ia harus dudukdan membatalkan rakaat tambahan tersebut, selama belum sujud.
Kemudian melakukan sujud sahwi. Akan tetapi jika rakaat tambahannya itu sudah sampai
sujud maka shalat fardhunya batal, dan shalat yang dilakukan itu menjadi shalat
sunnah, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Dan disunnahkan baginya untuk menambahkan lagi satu
rakaat.
Jika pada rakaat keempat, seseorang duduk seukuran
bacaan tasyahud, lantas ia berdiri tanpa mengucapkan salam karena mengira duduknya
itu duduk pertama maka ia harus kembali duduk selama belum sujud pada rakaat
tambahan itu. Kemudian salam. Akan tetapi jika pada rakaat tambahan itu sudah sampai
pada sujud, maka disunnahkan untuk menambah lagi satu rakaat. Dengan begitu
shalatnya telah sempurna karena ada duduk terakhir pada tempatnya, dan dua
rakaat tambahan itu menjadi sunnah.
Bimbang dan ragu dalam shalat: jika seseorang bimbang dalam shalat, dan tidak tahu sudah
shalat tiga atau empat rakaat. Jika memang itu pertama kali lupa, artinya
penyakit lupa itu bukan suatu kebiasaan baginya, dan bukan berarti tidak pernah
lupa maka shalatnya batal dan wajib mengulang dari awal.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Umar
mengenai orang yang bimbang dalam rakaat shalat, tiga ataukah empat rakaat?
Ibnu Umar berkata, “Orang itu harus mengulang shalatnya hingga ingat. Karena
jika ia memulai dari awal, berarti menjalankan shalat fardhu dengan yakin dan sempurna.
Jika ia mengambil rakaat yang sedikit maka ia tidak melakukannya dengan
sempurna. Kemudian, jika keraguan itu muncul setelah salam maka tidak perlu
mengulanginya lagi, sebagaimana jika misalnya keraguan itu muncul setelah duduk
seukuran bacaan tasyahud sebelum salam.” Imam Za’ila’i berkata, “Hadis
ini gharib.”
Jika seseorang sering mengalami keraguan, maka
yang diambil adalah yang sudah menjadi kebiasaan. Jika ia punya perkiraan yang
lebih tepat maka ia ambil salah satu dari dua perkiraan karena sulit memulai
shalat jika sering bimbang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersabda, “Siapa saja yang bimbang dalam shalat, maka pilihlah yang benar.”
HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan redaksi, “Siapa
saja yang bimbing dalam shalat, maka pilihlah yang besar dan sempurnakanlah
shalat sesuai pilihannya.”
Jika seseorang yang ragu dalam shalat dan tidak
punya perkiraan atau pendapat maka sebaiknya mengambil bilangan rakaat yang
sedikit, artinya jumlah itu yang mendekati yakin dan kebenaran. Jika dalam
shalat empat rakaat seseorang bimbang pada rakaat pertama atau kedua, maka dia
dipersilakan untuk memilih yang lebih tepat, dan jika tidak mampu maka keputusan
diambil pada rakaat yang sedikit. Dalil yang memerintahkan untuk mengambil rakaat
yang sedikit adalah hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang berbunyi, “Jika salah
seorang kalian bimbang dalam shalat dan tidak tahu apakah shalatnya baru tiga rakaat
atau sudah empat maka buanglah keraguan itu dan ambillah bilangan rakaat yang
sedikit.” HR. Muslim.
b. Madzhab Malikiyyah
Sujud sahwi dilakukan karena tiga hal, yaitu adanya
kekurangan, adanya penambahan, dan adanya kekurangan beserta penambahan.
Adapun yang dimaksud kekurangan adalah meninggalkan
sunnah mu'akkadah di dalam shalat, baik sengaja maupun lupa, seperti tidak membaca
surah jika lupa tidak membacanya, atau meninggaalkan dua sunnah ringan atau
lebih, seperti tidak melakukan takbir-takbir dalam shalat selain takbiratul
ihram. Atau tidak membaca tasmi' sebanyak dua kali atau lebih. Contoh lain
seperti tidak membaca surah Al-Faatihah dengan suara keras meski satu kali, atau
satu surah pada dua rakaat shalat fardhu Subuh, bukan pada shalat sunnah,
seperti witir dan shalat Id. Tidak membaca tasyahud meski sekali karena itu
termasuk sunnah ringan. Untuk kekurangan dalam shalat sujud sahwi dilakukan sebelum
salam.
Jika seseorang sengaja meninggalkan atau mengurangi
salah satu rukun maka shalatnya batal. Namun jika karena lupa, maka ia harus melakukannya
sebelum lewat. Akan tetapi jika sudah lewat, maka satu rakaat dibatalkan untuk
kemudian diqadha.
Adapun yang dimaksud dengan tambahan sadalah
sedikit penambahan gerak dalam shalat, baik penambahan itu termasuk bagian dari
shalat maupun tidak. Contoh yang tidak termasuk bagian shalat, seperti makan meski
sedikit karena lupa. Contoh yang termasuk bagian shalat, seperti menambah salah
satu rukun shalat, seperti menambahkan rukuk atau sujud. Atau menambahkan
rakaat shalat, atau mengucapkan salam pada rakaat kedua. Untuk penambahan ini
sujud sahwinya dilakukan setelah salam. Penambahan banyak gerak membatalkan
shalat, meskipun gerakan itu termasuk wajib, seperti membunuh ular,
kalajengking, atau menyelamatkan orang buta, atau jiwa, atau menyelamatkan
harta. Akan tetapi jika gerakan itu sangat sedikit maka hukumnya tidak apa-apa,
seperti menelan slilit yang melekat di sela-sela gigi, seperti juga menoleh
meski dengan seluruh wajah asal tidak berpaling dari kiblat, dan juga
menggerak-gerakkan jari untuk menggosok.
Adapun penambahan ucapan karena lupa, jika
ucapan itu termasuk dari bagian shalat maka dapat dimaafkan, namun jika tidak
termasuk bagian shalat harus sujud sahwi.
Adapun penambahan dan pengurangan dalam shalat
secara bersamaan maksudnya mengurangi sunnah meski bukan mu'akkadah, dan
penambahan seperti di atas, seperti misalnya seseorang tidak membaca surah
dengan keras dan menambahkan jumlah rakaat karena lupa. Dalam kasus ini
terkumpul dua hal, yaitu penambahan dan pengurangan. Dan untuk kasus ini sujud
sahwinya dilakukan sebelum salam karena menguatkan pengurangan daripada penambahan.
Kembali pada posisi yang terlupakan: siapa saja yang shalat fardhu dan bangkit berdiri lagi,
padahal sudah pada rakaat terakhir maka ia harus langsung kembali duduk ketika
ingat dan melakukan sujud setelah salam. Sujud juga tetap dilakukan meski ia
tidak ingat hingga salam. Adapun bagi makmum, jika ia mengikuti orang alim yang
sengaja membuat tambahan maka shalatnya batal, namun jika lupa atau bimbang
maka shalatnya tetap sah.
Adapun bagi orang yang bangkit ke rakaat ketiga
pada shalat nafilah, jika ia ingat sebelum rukuk maka langsung kembali dan
sujud sahwi setelah salam, namun jika teringat setelah bangkit dari rukuk maka
melanjutkan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sehingga jumlahnya menjadi
empat rakaat. Kemudian pada akhir shalat setelah salam sujud sahwi karena
menambah dua rakaat.
Siapa saja yang tidak melakukan duduk pertengahan,
jika teringat sebelum tangannya terangkat dari tanah maka diperintahkan untuk kembali
duduk. Dan jika kembali, maka tidak dikenakan sujud sahwi menurut pendapat yang
masyhur. Akan tetapi jika tidak kembali, maka dikenakan sujud sahwi. Jika
ingatnya setelah tangannya diangkat dari tanah, maka tidak diperintahkan untuk
kembali duduk menurut pendapat yang masyhur. Jika ingat setelah posisi berdiri,
maka tidak diperintahkan untuk kembali, hanya dikenakan sujud sahwi. Dan jika
kembali pada posisi duduk, maka ia termasuk melakukan kesalahan, namun
shalatnya tidak batal menurut pendapat yang masyhur. Pendapat ini bertentangan
dengan pendapat madzhab Hanafiyyah karena menurut mereka penentuan hukum
kembali atau tidak tergantung kedekatannya. Artinya, jika dekat pada posisi
duduk maka disuruh kembali, namun jika posisi mendekati berdiri maka tidak
perlu kembali duduk.
Siapa saja yang bimbang atau ragu dalam shalatnya,
apakah ia shalat satu atau dua rakaat? Maka dalam hal ini yang diambil adalah bilangan
yang sedikit, lantas melakukan sujud sahwi setelah salam.
c. Madzhab Syafi'iyyah
Sujud sahwi disyariatkan jika seseorang melanggar
larangan atau tidak melaksanakan perintah dalam shalat. Perkara sunnah dalam shalat
jika ditinggalkan, maka tidak perlu mengulangnya lagi jika memang sudah
diselingi dengan perkara fardhu. Misalnya, jika seseorang
lupa tidak membaca tasyahud awal dan teringat pada saat
posisinya berdiri, maka tidak perlu lagi kembali duduk untuk membaca tasyahud.
Dan jika ia kembali lagi, padahal ia tahu bahwa hal itu haram, maka shalatnya batal.
Akan tetapi menurut pendapat yang lebih shahih, shalatnya tidak batal jika
kembalinya itu karena lupa, atau memang tidak tahu. Konsekuensinya nanti
melakukan sujud sahwi. Dalil tidak bolehnya kembali untuk tasyahud adalah
hadits riwayat Ibnu Buhainah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam shalat dan langsung berdiri pada rakaat kedua tanpa membaca
tasyahud, padahal para sahabat telah membaca tasbih. Kemudian setelah selesai shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sujud dua kali lantas salam. HR.
An-Nasa’i (Nailul Authar jilid 3 halaman 119)
Adapun perkara yang menjadi sebab sujud sahwi
itu ada dua, yaitu penambahan dan pengurangan. Sebab-sebab sujud sahwi bisa
diringkas menjadi enam perkara, yaitu: (1) meninggalkan sebagian sunnah-sunnah
ab'adh; (2) melakukan larangan yang jika dilakukan dengan sengaja dapat
membatalkan shalat, namun ini dilakukan karena lupa; (3) Bimbang antara sudah melakukan
dan belum; (4) Bimbang dalam melaksanakan larangan disertai kemungkinan
tambahan; (5) Membaca bacaan tidak pada tempatnya; (6) Bermakmum pada imam yang
meninggalkan sebagian sunnah ab'adh.
Pertama, imam atau
munfarid yang dengan sengaja meninggalkan sunnah mu'akkadah atau yang biasa disebut
dengan sunnah ab'adh. Sunnah ini ada enam, yaitu tasyahud awal, duduk dalam
tasyahud awal, membaca doa qunut Subuh dan akhir shalat witir pada pertengahan kedua
bulan Ramadhan, berdiri dalam qunut, membaca shalawat atas Nabi pada tasyahud awal,
dan membaca shalawat atas keluarga beliau pada tasyahud akhir. Sunnah Ab'adh
secara umum hanya enam, namun perinciannya ada dua puluh. Empat belas perkara
dalam qunut, yaitu qunut subuh dan qunut witir pertengahan kedua bulan
Ramadhan, berdiri dalam qunut, membaca shalawat atas Nabi setelah qunut, berdiri
ketika membaca shalawat Nabi, membaca salam atas Nabi dan berdiri ketika
membaca salam atas Nabi. Membaca shalawat untuk para sahabat sambil berdiri,
membaca shalawat untuk keluarga Nabi sambil berdiri, mengucapkan salam untuk
para sahabat, dan berdiri ketika mengucapkannya. Enam perkara lainnya dalam
tasyahud, yaitu tasyahud awal, duduk dalam tasyahud awal, membaca shalawat atas
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah tasyahud awal, duduk ketika
membaca shalawat, membaca shalawat untuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pada tasyahud akhir, dan duduk ketika membaca shalawat untuk
keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Hasyiiyah Bajuri jilid
1 halaman 167-178; Hasyiiyyah Syarqaawi jilid 1 halaman 196).
Peringkasan Ab'adh menjadi enam atau delapan itu termasuk tambahan.
Kedua, memindah atau
membaca rukun yang berupa ucapan tidak pada tempatnya, seperti membaca surah Al-Faatihah
pada posisi duduk, atau mengucapkan salam tidak pada tempatnya karena lupa.
Demikian juga hukumnya memindahkan sunnah yang berupa ucapan, seperti membaca
surah bukan pada tempatnya, lantas sujud sahwi karena bacaan itu dibaca tidak
pada tempatnya sehingga hukumnya seperti salam, kecuali membaca surah sebelum Al-Faatihah,
maka tidak perlu sujud sahwi.
Ketiga, melakukan
sesuatu yang jika dilakukan dengan sengaja dapat membatakan shalat, namun ini
dilakukan karena lupa, seperti memanjangkan rukun yang pendek menurut pendapat
yang lebih shahih. Contoh konkretnya seperti memanjangkan i'tidal atau duduk di
antara dua sujud. Contoh lain adalah mengucapkan sedikit kalimat yang tidak
termasuk dalam bacaan shalat karena lupa. Dalilnya karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah mengucapkan salam, padahal masih dua rakaat.
Setelah itu beliau berbicara dengan Dzal Yadain, lantas menyempurnakan shalat
dan sujud dua kali. Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah (Nailul Authar jilid
3 halaman 107). Adapun perkara yang mutlak membatalkan shalat, baik sengaja
maupun tidak, di antaranya adalah berbicara panjang dan makan. Hukum shalatnya
batal dan tidak perlu sujud sahwi menurut pendapat yang lebih shahih. Adapun
perkara yang tidak membatalkan baik dilakukan dengan sengaja maupun lupa adalah
seperti menoleh dengan leher dan melangkah dua kali. Melakukan dua hal tersebut
tidak perlu sujud sahwi, baik melakukannya karena lupa maupun sengaja.
Keempat, bimbang dalam
penambahan. Jika seseorang bimbang dalam shalat mengenai bilangan rakaat antara
tiga dan empat rakaat, maka diperintahkan untuk menambah satu rakaat lagi. Lantas
melakukan sujud sahwi menurut pendapat yang lebih shahih, meskipun keraguannya lenyap
sebelum salam. Sujud sahwi juga dilakukan oleh seseorang yang bingung dalam
shalatnya, meski kebingungannya itu lenyap sebelum salam. Jika seseorang ragu apakah
ia meninggalkan bagian fardhu-fardhu shalat, akan tetapi keraguan itu muncul
setelah salam, maka menurut pendapat yang masyhur keraguan itu tidak
berpengaruh. Dalil sujud sahwi bagi orang yang bimbang adalah hadits riwayat
Abdurrahman bin Auf. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, 'Jika salah seorang kalian bimbang dalam shalatnya,
dan tidak tahu apakah shalatnya baru satu rakaat atau sudah dua, maka ambillah
yang satu rakaat. Dan jika tidak tahu apakah shalatnya baru dua atau sudah tiga
rakaat, maka ambillah yang dua. Dan jika tidak tahu apakah shalatnya baru tiga
atau sudah empat rakaat, maka ambillah yang tiga. Kemudian setelah selesai
shalat melakukan sujud sahwi dua kali.” HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Imam At-Tirmidzi. Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku
pernah mendengat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja
yang ragu shalatnya kurang, maka shalatlah hingga sudah merasa menambah.” Pengambilan
keputusan dalam bilangan rakaat tidak didasarkan pada perkiraan, tidak juga
pada ucapan orang lain bahwa shalatnya sudah empat rakaat, meskipun orang yang
bilang itu mencapai jumlah mutawatir.
Kelima, bimbang telah
meninggalkan sebagian sunnah ab'adh, seperti misalnya bimbang belum membaca doa
qunut selain qunut nazilah. Atau bimbang belum membaca doa qunut atau membaca
shalawat Nabi dalam qunut.
Keenam, mengikuti imam yang shalatnya cacat,
meski hal itu hanya dalam keyakinan makmum. Contohnya seperti bermakmum pada imam
yang tidak membaca doa qunut dalam shalat Subuh. Atau mengikuti imam yang membaca
doa qunut sebelum rukuk. Atau mengikuti imam yang tidak membaca shalawat Nabi
dalam tasyahud awal, maka makmum harus sujud setelah imamnya salam, sebelum ia sendiri
salam.
Kesimpulannya, tambahan dalam shalat yang
mewajibkan sujud sahwi itu ada dua macam,
yaitu tambahan berupa ucapan dan tambahan berupa gerakan.
Adapun ucapan contohnya seperti mengucapkan salam tidak pada tempatnya karena
lupa, atau berbicara yang juga karena lupa. Adapun tambahan berupa gerakan
contohnya seperti lupa menambah satu rakaat dalam shalatnya, atau menambah rukuk,
sujud, berdiri, atau duduk, atau memanjangkan posisi berdiri dengan niat qunut,
namun bukan pada tempat qunut. Atau lupa duduk tasyahud tapi bukan pada waktu
tasyahud. Semua itu mengharuskan sujud sahwi. Dalilnya hadits Ibnu Mas'ud, ia
meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat
Zhuhur sebanyak lima rakaat. Lantas ada seseorang yang bertanya, “Apakah
kewajiban shalat ditambah?” Rasul balik bertanya, “Memangnya mengapa?”
Para sahabat menjawab, “Anda shalat lima rakaat.” Kemudian Rasul sujud
dua kali setelah salam. HR. Semua rawi.
Adapun pengurangan, maksudnya adalah seseorang
meninggalkan sunnah maqsuudah, yaitu dua perkara. Pertama, meninggalkan
tasyahud awal karena lupa maka sujud sahwi karena riwayat hadits Ibnu Buhainah
yang telah lewat. Kedua, meninggalkan doa qunut karena lupa.lni juga harus
sujud sahwi.
Jika seseorang meninggalkan sunnah ghairu maqshudah,
seperti takbir, tasbih, membaca jahar dan israr, duduk tawaruk dan duduk iftirasy,
dan sejenisnya maka tidak perlu sujud sahwi karena sunnah tersebut ghiru
maqshudah. Perlu diperhatikan bahwa tasyahud akhir sampai pada kalimat (وأن محمدا رسول الله) atau (عبده) atau (ورسوله) atau (فرسوله)
itu hukumnya wajib. Akan tetapi bacaan tersebut dan shalawat Nabi dalam
tasyahud awal hukumnya sunnah. Adapun membaca shalawat atas keluarga Nabi dalam
tasyahud akhir hukumnya juga sunnah, sedangkan dalam tasyahud awal termasuk khilaful
aula menurut pendapat yang mu'tamad (Hasyiyah Syarqawi jilid 1
halaman 196).
d. Madzhab Hanabilah
Sebab-sebab sujud sahwi itu ada tiga, yaitu
adanya penambahan, pengurangan, dan bimbang dalam shalat (Kasysyaful Qina’ jilid
1 halaman 461-467, 471-478). Pendapat ini sama dengan pendapat madzhab
Syafi'iyyah yang juga mensyaratkan kejadian itu karena lupa. Jika terjadi
karena sengaja dan dalam gerakan atau fi'li, maka shalatnya batal. Namun
jika dalam qauli atau ucapan yang bukan pada tempatnya, maka shalatnya tidak
batal. Tidak ada sujud sahwi dalam shalat jenazah, sujud tilawah, dan sujud
syukur.
(1) Adapun maksud penambahan dalam shalat, contohnya
seperti lupa menambahkan gerakan dalam shalat yang masih termasuk bagian dari
shalat, baik tambahan berdiri, duduk-meski seperti duduk istirahat pada selain
tempat istirahat-rukuk dan sujud. Atau membaca surah Al-Faatihah bersama dengan
tasyahud atau sebaliknya. Dalam penambahan fi'li seperti di atas, wajib hukumnya
sujud sahwi. Namun dalam penambahan qauli, hukum sujud sahwi hanya mandub
karena ada hadits riwayat Ibnu Mas'ud yang berbunyi, “Jika seseorang
menambah atau mengurangi dalam shalatnya, maka sujudlah dua kali.” HR.
Muslim.
Karena penambahan tersebut alasannya lupa,
maka masuk dalam ucapan sahabat, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
lupa dalam shalat lantas beliau melakukan sujud.” Dari kejadian ini
akhirnya disyari'atkan sujud sahwi untuk menambal kekurangan.
Siapa saja yang teringat akan penambahan yang
dilakukannya dalam shalat, maka ia kembali pada urutan shalat biasa tanpa harus
bertakbir untuk membatalkan penambahan dan tidak menghitungnya sebagai rakaat.
Adapun jika menambahkan satu rakaat, seperti rakaat ketiga pada shalat Subuh
atau empat rakaat pada shalat Maghrib atau lima rakaat pada shalat Zhuhur,
Ashar dan Isya, maka penambahan itu langsung dipotong. Caranya langsung dengan
duduk ketika ingat, tanpa harus bertakbir dan menyempurnakan shalatnya tanpa
harus membaca tasyahud lagi. Kemudian melakukan sujud sahwi dan mengucapkan
salam, dan tidak menganggap rakaat tambahan itu bagian dari shalat masbuq.
Jika yang melakukan penambahan dalam shalat itu
imam atau orang yang shalat munfarid, maka boleh diingatkan oleh dua orang yang
dapat dipercaya atau lebih. Dan mereka harus mengingatkan imam terhadap sesuatu
yang mewajibkan sujud sahwi karena shalat mereka berkaitan dengan shalatnya
imam. Artinya jika shalat imam batal, maka shalat mereka juga ikut batal.
Adapun untuk kaum wanita, maka hukumnya
mengikuti atau sama dengan hukum seorang lelaki dalam mengingatkan imam.
Bagaimana jika imam tidak mengikuti ucapan dua
orang tsiqah yang mengingatkan kesalahannya? Pertama, jika tidak
kembalinya imam itu untuk menambal kekurangan, seperti bangkit sebelum membaca tasyahud
awal maka shalatnya tidak batal. Dalilnya hadits Mughirah bin Syu'bah yang waktu
itu ia bangkit pada rakaat kedua tanpa membaca tasyahud. Para makmum di belakangnya
sudah membaca tasbih untuk mengingatkan, namun ia tetap bangkit dan
menyelesaikan shalat dan mengucapkan salam, lantas ia melakukan sujud dua kali.
Dan setelah itu ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melakukan seperti apa yang aku
lakukan.” HR. Ahmad,
Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Hadis ini hasan shahih (Nailul Authar jilid 3
halaman 119)
kedua, jika imam
sengaja tidak kembali bukan untuk menambal kekurangan, maka shalatnya dan
shalat makmum juga batal. Jika tidak kembalinya imam pada ucapan dua
orangtsiqah itu karena lupa maka shalatnya batal. Shalat makmumnya juga batal
jika ia tahu batalnya imam, karena ia mengikuti imam yang sudah diketahui
batalnya. Hal ini sama dengan orang yang mengikuti imam yang diketahui
berhadats. Akan tetapi shalat makmum yang mengikutinya tidak batal, jika memang
ia sendiri tidak tahu atau lupa kalau shalat imamnya sudah batal. Para sahabat
sendiri mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
rakaat
kelima karena tidak tahu, atau mengira ada perintah
nasakh, namun mereka tidak disuruh untuk mengulang shalat. Memisahkan diri dari
imam hukumnya wajib, jika imam melakukan penambahan rakaat, dan bagi makmum
untuk melanjutkan shalatnya sendirian karena udzur.
(2) Adapun pengurangan dalam shalat, contohnya
seperti tidak melakukan rukuk, atau sujud, atau tidak membaca surah Al-Faatihah
dan sejenisnya karena lupa. Dan jika teringat, maka wajib baginya untuk melakukan
kekurangan tersebut, disamping juga pada akhir shalat melakukan sujud sahwi.
Jika seseorang lupa tidak membaca tasyahud awal,
maka ia harus kembali duduk untuk membacanya selama belum berdiri tegak.
Pendapat ini telah menjadi kesepakatan karena Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang
kalian bangkit dari rakaat kedua -belum sempat membaca tasyahud awal- tetapi
belum sempurna berdiri, maka duduklah kembali dan kemudian melakukan sujud
sahwi.” HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Hal tersebut termasuk mengurangi kewajiban, sehingga
jika teringat sebelum melakukan rukun yang lain, maka wajib kembali untuk
melakukannya. Seperti misalnya, kedua lutut belum terpisah dari tanah. Dalam
hal ini makmum tetap wajib mengikuti imam, meski berdiri dan membaca bacaan
yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dipilihnya
imam itu untuk diikuti.” Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah (Nailul
Authar jilid 3 halaman 139)
Jika posisi sudah tegak berdiri, namun belum
mulai membaca, maka aulanya tidak kembali pada posisi duduk. Dalilnya hadits
riwayat Mughirah di atas. Hukum tasyahud sendiri bagi makmum gugur, karena
tugasnya mengikuti imam. Adapun jika imam sudah mulai membaca lantas teringat
belum membaca tasyahud, maka tidak boleh kembali duduk untuk membacanya. Dalilnya
masih tetap hadits Mughirah di atas. Alasan lain, karena ia telah masuk pada
rukun yang lain. Dan shalat imam bisa batal jika ia kembali rukuk setelah posisi
i'tidal, kecuali jika memang lupa atau tidak tahu, dan itu pun harus diganti dengan
sujud sahwi. Karena, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
salah seorang kalian lupa dalam shalat, maka sujudlah dua kali.” Demikian
pula hukum membaca tasbih dalam rukuk dan sujud, doa antara dua sujud, dan
setiap perkara wajib lain dalam shalat yang ditinggalkan karena lupa. Jika langsung
teringat, maka wajib kembali untuk melaksanakannya.
(3) Adapun bimbang dalam shalat yang
mewajibkan sujud sahwi pada sebagian bentuknya
antara lain misalnya seseorang bimbang dalam rukun, atau
jumlah rakaat maka yang diambil adalah yang lebih condong di hati atau lebih
yakin. Kemudian melanjutkan shalat dan melakukan sujud sahwi di akhirnya. Hukum
sujud sahwi dalam hal ini wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian bimbang dalam shalat dan
tidak tahu berapa rakaat yang sudah ia jalankan, maka ambillah yang lebih
diyakini. Kemudian sujud sahwi sebelum salam.” HR. Muslim dan Imam Ahmad.
Sujud sahwi tidak dilakukan jika hanya bimbang
dalam hal meninggalkan wajib shalat, seperti membaca tasbih dalam ruku dan
sujud. Akan tetapi sujud sahwi dilakukan jika meninggalkan hal wajib karena lupa.
Jika jumlah rakaat sudah sempurna, maka tidak perlu
lagi melakukan sujud sahwi, meskipun ketika dalam posisi duduk tasyahud terjadi
kebimbangan apakah ia telah menambah jumlah rakaat atau tidak. Pengambilannya
dari hukum asal, yaitu tidak adanya penambahan. Adapun jika ragu terjadi
penambahan rakaat terakhir sebelum membaca tasyahud, maka wajib melakukan sujud
sahwi.
e. Kisah hadits Dzil Yadain tentang orang yang
mengucapkan salam, namun shalatnya belum sempurna. Dan pembicaraan orang lupa
tidak membatalkan shalat.
Mayoritas ulama (Ulama Hanafiyyah berkata,
"Berbicara dalam shalat membatalkan shalal, baik lupa maupun tidak
tahu." Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud dan hadits Zaid bin
Arqam yang menceritakan larangan berbicara dalam shalat. Mereka berkata,
"Kedua hadits tersebut menghapus hukum hadits ini."), baik dari
kalangan salaf maupun khalaf berpendapat tentang hadits Dzil Yadain bahwa niat
keluar dari shalat dan membatalkannya, jika memang punya keyakinan shalatnya
sudah sempurna, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya, meski telah melakukan
dua kali salam. Dan perkataan orang yang lupa juga tidak membatalkan shalat, demikian
juga perkataan orang yang mengira shalatnya sudah sempurna. Kisah lengkapnya sebagai
berikut.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Kami pernah
shalat Zhuhur atau Ashar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan pada rakaat kedua beliau mengucapkan salam. Setelah itu beliau mendekati
pohon di arah kiblat dan bersandar padanya. Waktu itu di antara makmum terdapat
Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut untuk berbicara. Setelah orang-orang
bergegas keluar lelaki yang berjuluk “DzuI Yadain” atau “Pemilik Dua
Tangan” bertanya, “Ya Rasulullah! Anda sengaja mengqashar shalat atau
memang lupa?” Beliau menjawab, “Aku tidak mengqashar juga tidak lupa.”
Lelaki itu berkata lagi, “Anda tadi shalat dua rakaat.” Beliau bertanya,
“Benarkah apa yang dikatakan 'Pemilik Dua
Tangan ini.” Para sahabat menjawab, “Benar.” Setelah itu, beliau
langsung maju ke depan, shalat dua rakaat, salam, dan sujud sahwi dua kali
kemudian salam lagi. Muttafaqun ‘alaihi (Subulus Salam jilid 1 halaman
203; Nailul Authar jilid 3 halaman 107)
f. Jika terjadi dua kali lupa atau lebih
Para ulama sepakat jika seseorang lupa dalam
shalat, baik lupa dua kali maupun lebih maka cukuplah melakukan sujud sahwi
sekali karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dalam hadits di
atas hanya melakukan dua kali sujud, yaitu sujud sahwi. Beliau bersabda, “Jika
salah seorang kalian lupa datam shalat, maka sujudlah dua kali.” Hadits
ini berlaku juga berlaku untuk lupa dua kali atau lebih.”
g. Shalat Nafilah itu seperti shalat fardhu
Menurut para ulama shalat nafilah itu sama
seperti shalat fardhu dalam hal sujud sahwi. Dalilnya hadits yang telah di
sebutkan di atas, “Jika salah seorang kalian lupa dalam shalat, maka sujudlah
dua kali.” Shalat nafilah itu shalat yang juga ada rukuk dan sujudnya.
Karena itu berlaku
juga sujud sahwi seperti shalat fardhu.
h. Mengingatkan Imam yang lupa
Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, “Siapa
saja yang lupa, maka ingatkanlah dengan membaca tasbih.” Imam Asy-Syafi'i
dan Imam Ahmad berkata, “Bacaan tasbih adalah pengingat lupa bagi lelaki,
sedangkan bagi wanita caranya dengan bertepuk tangan.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Membaca tasbih itu untuk lelaki, sedangkan bertepuk
tangan itu untuk wanita.” Hadits ini menguatkan pendapat kedua. HR.
Bukhari, Muslim, An-Nasa'i, dan Abu Dawud. Ia meriwayatkan dari Sahal bin Sa'd,
"Siapa saja yang hendak mengingatkan seseorang dalam shalat, maka
bacalah tasbih, karena bertepuk tangan itu untuk kaum wanita." Imam
Ahmad meriwayatkan dari Ali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
membaca tasbih ketika ia meminta izin untuk masuk (Nailul Authaar jilid 2
halaman 320).
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments