Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
A. MADZHAB HANAFI
1. Rukun-Rukun dan Wajib Shalat Menurut Madzhab Hanafi
Para ulama telah membahas permasalahan shalat
dalam sebuah tema yang berjudul “Sifat-Sifat dan Tata Cara Shalat.” Tema
tersebut memuat pembahasan rukun, syarat, dan sunnah-sunnah shalat, baik sunnah
yang bersifat ab'adh, yaitu sunnah-sunnah yang bisa digantikan dengan
sujud sahwi, maupun sunnah yang bersifat hai'at,yaitu sunnah-sunnah yang
tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi. Adapun yang dimaksud dengan tata
cara shalat adalah bentuk shalat itu sendiri.
Rukun itu sama seperti syarat yang harus dipenuhi.
Hanya saja kalau syarat dilaksanakan sebelum shalat dan berlanjut hingga
selesainya shalat seperti bersuci, menutup aurat, dan lain-lain, adapun rukun
dilaksanakan dalam shalat itu sendiri seperti rukuk, sujud, dan lain-lain.
Rukun dalam shalat tidak boleh ditinggalkan baik karena sengaja, lupa, maupun memang
tidak tahu. Karena, rukun itu seperti pondasi dalam rumah. Artinya, rumah tidak
akan berdiri tanpa ada pondasinya, begitu juga shalat tanpa rukun. Karena itu,
rukun harus dikeriakan karena termasuk dari bagian shalat yang esensial,
sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus dikerjakan di luar atau sebelum shalat,
tetapi syarat bukanlah bagian dalam esensi shalat.
2. Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Pembagian dan
Jumlah Sifat-Sifat Shalat
Ulama Hanafiyyah berkata, “Fardhu-fardhu shalat
itu ada enam, yaitu berdiri sambil membaca takbiratul ihram, berdiri, membaca
ayat Al-Qur'an, rukuk, sujud, dan duduk dalam tasyahud akhir.”
Pendapat ini dituturkan oleh Imam Qaduri dari pendapat Muhammad. Hanya saja pendapat
yang mu'tamad menurut mereka adalah, takbiratul ihram itu termasuk syarat, bukan
rukun sebagaimana juga niat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, namun
pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas ulama fiqih.
3. Wajib-Wajib Shalat
Wajib-wajib shalat itu ada delapan belas. Pengertian
“wajib” menurut madzhab Hanafi adalah segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang
mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib shalat
itu berdosa, namun shalatnya tidak batal. Dia harus menggantikannya dengan
sujud sahwi, karena shalatnya dianggap kurang sempurna dengan meninggalkan satu
perkara wajib. Akan tetapi jika perkara wajib itu ditinggalkan dengan sengaja
atau lupa, maka ia harus mengulang shalatnya, kalau memang dia tidak melakukan
sujud sahwi. Jika dia tidak mengulang shalatnya, maka dia termasuk orang fasik dan
mendapat dosa. Sama seperti hukum melakukan shalat ketika kondisi makruh
tahrim. Wajib-wajib shalat itu adalah sebagai berikut:
(1) Pembukaan shalat dengan membaca takbir (tidak hanya
dalam shalat hari raya saja)
(2) Membaca Surah Al-Faatihah
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Tidak sempurna shalat orang yang tidak membaca Surah
Al- Fatihah.” Hadis riwayat Imam Enam dalam kitab mereka. Melalui riwayat
Ubaidah ibnush Shamit (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 365).
Kata tidak di awal sabda itu menurut mereka
menunjukkan sesuatu yang kurang atau tidak sempurna, karena hadits ini termasuk
hadits Ahad yang tidak bisa menasakh atau menghapus hukum firman Allah Ta’ala yang
berbunyi, “...maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an....” (Al-Muzzammil:
20)
Meski demikian, membaca Surah Al-Faatihah
mereka anggap sebagai suatu perkara yang wajib, karena hadits Ahad itu wajib
diamalkan. Karena itu, orang yang meninggalkan sebagian besar bacaan, maka ia
harus menggantinya dengansujud sahwi, namun tidak untuk yang hanya meninggalkan
sedikit bacaan.
Mayoritas ulama selain Hanafiyyah berkata, “Membaca
Surah Al-Faatihah untuk tiap rakaat itu termasuk rukun shalat.” Ulama
Syafi'iyyah berkata, “Membaca Surah Al-Faatihah itu rukun yang mutlak dalam
shalat.” Malikiyyah berkata, “Membaca Surah Al-Faatihah itu hukumnya
fardhu untuk selain makmum dalam shalat-shalat Jahriyyah.”
3. Membaca Surah atau ayat Al-Qur'an setelah membaca Surah
Al-Faatihah
Boleh membaca Surah-Surah pendek seperti Surah
Al-Kautsar dan sejenisnya yang terdiri atas tiga ayat pendek, atau sekitar tiga
puluh huruf atau tiga ayat pendek seperti firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Kemudian dia (merenung)
memikirkan, lalu berwajah masam dan cemberut, kemudian berpaling (dari
kebenaran) dan menyombongkan diri.” (Al-Muddatstsir: 21-23)
Atau membaca satu ayat panjang, atau dua ayat
yang jumlah hurufnya sekitar tiga puluhan. Dalil mereka tentang wajibnya
membaca Surah adalah sebuah hadits riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudri. Ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami untuk
membaca Surah Al-Faatihah dan sedikit Surah lain.” Perintah di sini menunjukkan
arti wajib. Hadis riwayat Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la Al-Moshali.
Sebagian me-rafa’-kannya dan sebagian lagi me-mauquf-kannya (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 364).
Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa
membaca Surah atau ayat lain selain Surah Al-Faatihah itu hukumnya sunnah,
berdasarkan ucapan Abu Hurairah, “Tiap shalat itu harus ada yang dibaca. Dan
bacaan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamperdengarkan kepada kami,
maka kami pun memperdengarkannya kepada kalian. Adapun bacaan yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam samarkan, maka kami juga samarkan kepada kalian. Membaca Surah
Al-Faatihah saja itu sudah cukup, namun jika engkau menambahkan yang lain maka
itu lebih bagus.” Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Mauquf, riwayat
Abu Hurairah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 365).
4. Menurut madzhab Hanafiyyah, wajib hukumnya membaca Surah
pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selalu membaca Surah dalam dua rakaat tersebut. Adapun pada rakaat
ketiga dan keempat, hukum membaca Surah adalah makruh tanzih menurut pendapat
yang dipilihkan. Jika seseorang tidak membaca Surah dalam dua rakaat pertama
shalat Maghrib atau Isya, maka dia wajib membacanya pada dua rakaat terakhir
shalat Isya dan rakaat terakhir shalat Maghrib dengan suara keras, mulai dari Surah
Al-Faatihah kemudian membaca Surah lain. Jika dia tidak membaca Surah Al-Faatihah,
maka dia tidak mengulangnya pada dua rakaat terakhir.
Hukum membaca Surah ini juga wajib dalam semua
rakaat shalat Witir dan dalam setiap rakaat shalat sunnah. Karena, setiap shalat
Syaf' (dua rakaat) itu terhitung dalam satu rangkaian shalat. Hukum ini diambil
dari hadits riwayat Sa'id dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda, “Shalat tidak sah kecuali dengan membaca Surah Al-Faatihah
dan satu Surah lain dalam shalat fardhu atau shalat lainnya.” Hadis riwayat
Adi dalam Al-Kamiil, dhaif (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 363).
5. Mendahulukan bacaan Surah Al-Faatihah daripada Surah
lain
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selalu melakukan hal itu. Jika seseorang lupa membaca Surah
terlebih dahulu sebelum membaca Surah Al-Faatihah, lantas ia ingat, maka ia
harus menghentikan Surah untuk membaca Al-Faatihah. Setelah itu kembali lagi
membaca Surah dan melakukan sujud Sahwi. Hal ini sama juga dengan orang yang
mengulang Surah Al-Faatihah lantas membaca Surah karena terlambatnya mulai
membaca Al-Faatihah pada kali pertama, dan terlambatnya membaca Surah pada kali
kedua.
Jika sebelum rukuk, seseorang ingat dia belum
membaca Surah Al-Faatihah, maka ia harus membacanya, lantas membaca Surah dan
menambahkan sujud Sahwi di akhir shalat.
6. Menyatukan hidung dan kening dalam sujud
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selalu melakukan hal itu. Dalam sujud, seseorang tidak boleh hanya
menempelkan hidung saja ke tempat sujud, harus keduanya, kening dan hidung. Ini
menurut pendapat yang shahih.
7. Menjaga urutan tertib setiap perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dalam shalat, yaitu dalam sujud kedua
Jelasnya adalah, kita menjaga urutan tertib
antara membaca, rukuk, dan sesuatu yang dilakukan berulang kali dalam tiap
rakaatnya. Melakukan sujud kedua sebelum berpindah pada gerakan shalat yang
lainnya. Hukum ini diambil dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, karena beliau selalu menjaga urutan dalam shalat. Maksud hukum
wajib dalam tertibnya melakukan hal yang berulang dalam tiap rakaat adalah,
shalat –setelah mengulangi apa yang telah dilakukan- tidak batal karena
meninggalkan urutan tertib.
Jika seseorang lupa melakukan sujud pada
rakaat pertama (baik sujud dalam shalat maupun sujud karena membaca ayat
tilawah yang menyebabkan harus sujud), maka ia harus mengqadhanya meski setelah
duduk terakhir atau setelah salam dan sebelum berbicara. Kemudian mengulangi
duduk tasyahud, lantas sujud Sahwi setelah salam pertama, kemudian tasyahud.
Adapun amalan yang tidak berulang dalam tiap
rakaat atau dalam tiap shalat selain membaca Surah, seperti urutan berdiri,
rukuk, sujud pertama, dan duduk terakhir, maka hukum urutan tertib itu fardhu.
Artinya, jika seseorang rukuk sebelum membaca Surah, maka rukuknya tetap sah
karena dalam rukuk tidak disyaratkan harus berurutan dengan membaca Surah pada tiap
rakaatnya. Berbeda dengan urutan tertib misalnya, antara rukukdan sujud, karena
ini fardhu. Jadi jika ada seseorang yang sujud terlebih dahulu sebelum rukuk, maka
sujudnya tidak sah. Karena, pada dasarnya dalam sujud itu disyaratkan harus berurutan
dalam tiap rakaatnya, sebagaimana urutan berdiri dan rukuk.
8. Tuma’ninah (tenang) dalam rukun seperti dalam rukuk,
sujud, dan rukun-rukun lainnya
Ukuran tuma’ninah itu dinilai dengan tenang
dan diamnya ruas-ruas anggota pada tempatnya, selama kadar bacaan tasbih pada rukuk,
sujud, dan bangkit dari keduanya. Hukum ini diambil dari kebiasaan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan juga hadits yang menceritakan seseorang yang shalatnya
tidak tenang. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kembalilah,
ulangi shalatmu karena kamu belum dianggap shalat!”
Lantas beliau mengajarkan shalat kepada orang
itu, “Jika kamu shalat, maka berdirilah dan membaca takbir. Kemudian membaca
Surah yang kamu anggap gampang Setelah itu rukuk hingga posisinya benar dan
tenang. Lantas, berdirilah hingga benar-benar tegak. Kemudian sujudlah hingga
benar-benar sujud, setelah itu bangunlah dari sujud dan duduklah hingga
benar-benar duduk. Kemudian sujud lagi hingga benar-benar sujud. Ulangi hal itu
dalam tiap rakaat shalatmu.” Muttafaqun ‘alaihi, riwayat Abu
Hurairah (Nailul Authar jilid 2 halaman 264).
9. Duduk pertama dalam shalat tiga atau empat rakaat juga
termasuk wajib
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam biasa melakukan hal itu, dan menggantinya dengan sujud Sahwi jika lupa
dan tidak melakukannya (Nailul Authar jilid 2 halaman 273).
Wajib hukumnya meninggalkan tambahan dalam duduk
pertama, sebagaimana juga wajib meninggalkan tambahan dalam kalimat tasyahud, atau setelah selesainya bacaan tasyahud.
10. Membaca tasyahud pada duduk pertama menurut pendapat
yang shahih
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika kalian duduk pada rakaat kedua maka bacalah
tasyahud, Attahfuaatu lillaahi...” Hadis riwayat Ahmad dan An-Nasa’i, dari
Ibnu Mas’ud (Nailul Authar jilid 2 halaman 271). Perintah dalam hadis
ini menunjukkan arti wajib.
Ulama selain Hanafiyyah berkata, “Dua perkara
di atas hukumnya hanya sunnah, karena tidak adanya isyarat dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa keduanya termasuk wajib.”
11. Membaca tasyahud dalam duduk rakaat terakhir
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjaga hal itu. Adapun duduknya sendiri hukumnya fardhu. Jika
seseorang meninggalkan sebagian atau dua tasyahud, yaitu awal dan akhir, maka
ia harus sujud Sahwi.
12. Bergegas bangkit menuju rakaat ketiga tanpa berlama-lama
duduk setelah membaca tasyahud awal
Jika dalam tasyahud seseorang lupa, hingga
mengulur lamanya duduk selama ukuran melakukan satu rukun, maka ia harus sujud
Sahwi, karena ia telah menunda-nunda menjalankan perkara wajib, yaitu berdiri
pada rakaat ketiga. Tambahan yang diperbolehkan madzhab Hanafi dalam tasyahud
itu hanya selama bacaan shalawat, “Allaahumma shalli 'alaa Muhammad.”
13. Mengucapkan (as-Salaam) tanpa ('alaikum)
sebanyak dua kali pada akhir shalat sambil menoleh ke kanan dan ke kiri
Karena mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Adapun tambahan ('alaikum wa rahmatullaah) hukumnya
hanyalah sunnah. Salam pertama dan kedua hukumnya wajib menurut pendapat yang
lebih shahih. Jika makmum menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu sebelum
imam,lantas ia berbicara dan makan, maka shalatnya sudah dianggap sempurna.
Salam dalam shalat bukanlah termasuk fardhu,
karena ada hadits dari Ibnu Mas'ud yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, “Assalaamu'alaikum
wa rahmatullaah,” hingga terlihat pipi beliau yang berwarna putih. Hadits
ini menunjukkan disyariatkannya salam. Hadis riwayat Lima orang perawi dan
dishahihkan oleh At-Tirmidzi (Nailul Authar jilid 2 halaman 292).
Madzhab selain Hanafiyyah berkata, “Mengucapkan
salam untuk pertanda keluar dari shalat hukumnya fardhu.”
14. Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalat
Subuh, dua rakaat dalam shalat Maghrib, dan Isya, meski shalatnya qadha
Kemudian juga dalam dua rakaat shalat Jumat,
shalat Ied (Idul fitri dan Idul Adha), shalat Tarawih, dan Witir pada bulan Ramadhan
karena mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun orang yang shalat sendirian, maka ia
boleh memilih antara keras dan pelan, namun afdhalnya keras agar seperti shalat
berjamaah. Bagi orang yang melakukan shalat sunnah malam, ia juga dibolehkan memilih
antara dua hal, yaitu antara keras dan pelan, namun cukuplah baginya untuk
membaca dengan nada sedang, agar tidak terserang kantuk. Selain itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca sedang dalam shalat Tahajud
agar tidak mengganggu orang yang belum tidur dan tidak membangunkan orang yang
sedang tidur. Sayyidah Aisyah pernah ditanya, “Bagaimana shalat malam yang
dilakukan oleh Rasulullah?” Ia menjawab, “Semuanya pernah beliau lakukan.”
Artinya, terkadang pelan dan terkadang keras. Hadis riwayat Lima orang perawi
dan dishahihkan oleh Imam At-Tirmidzi, para perawinya shahih (Nailul Authar jilid
3 halaman 59).
15. Membaca pelan baik bagi imam maupun makmum dalam
shalat Zhuhur, Ashar dan selain dua rakaat pertama shalat Maghrib, Isya, dan
shalat sunnah siang hari
16 dan 17. Membaca doa Qunut dalam shalat Witir dan
takbir dalam shalat Id (yaitu tiga dalam tiap rakaat)
Membaca takbir Qunut menurut Imam Abu Hanifah
dan kedua sahabatnya hukumnya sunnah, sebagaimana shalat Witir itu sendiri.
Adapun takbir rukuk pada rakaat kedua dalam shalat Id itu hukumnya wajib,
karena ikut pada takbir tambahan dalam shalat itu, berbeda dengan takbir rukuk
pada rakaat pertama.
18. Diam dan mendengarkan Imam dalam shalat berjamaah
iuga termasuk dalam wajib shalat
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
1 Comments
afwan, referensi kitab yang diambil apa? terutama untuk wajib shalat
ReplyDelete