Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
B. RUKUN-RUKUN SHALAT MENURUT SELAIN MADZHAB HANAFIYAH
Madzhab Maliki berpendapat (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman
303-317; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 231-242; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 51, 57-66), sebagaimana dituturkan oleh Khalil, “Fardhu-fardhu
shalat itu berjumlah empat belas, yaitu niat, takbiratul ihram, posisi berdiri
dalam shalat fardhu, membaca Surah Al-Faatihah bagi imam dan makmum, posisi
berdiri saat membaca Surah Al-Faatihah, rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, duduk
antara dua sujud, salam, salam dalam posisi duduh tuma’ninah dalam semua rukunnya,
i'tidal setelah rukuk dan sujud, dan berurutan dalam pelaksanaan shalat mulai dari
niat, takbiratul ihram, membaca Surah Al-Faatihah, kemudian rukuk, i'tidal,
sujud, dan seterusnya.”
Dalam hal ini, madzhab Maliki membuat batasan-batasan
rukun dalam shalat. Mereka berkata, “Shalat itu terdiri atas ucapan dan perbuatan.
Segala ucapan dalam shalat bukanlah termasuk fardhu kecuali tiga hal, yaitu takbiratul
ihram, membaca Surah Al-Faatihah, dan salam. Segala perbuatan dalam shalat juga
bukan termasuk fardhu kecuali tiga hal, yaitu mengangkat kedua tangan ketika
takbiratul ihram, duduk dalam tasyahud, dan menoleh ke kanan ketika salam.”
Madzhab Syafi’i berkata, “Rukun shalat itu ada tiga belas, yaitu
niat, takbiratul ihram, berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu, membaca Surah
Al-Faatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada udzur tertentu, rukuk, dua
kali sujud, duduk di antara dua sujud, tasyahud akhir, duduk dalam tasyahud
akhir, membaca shalawat atas Nabi setelah tasyahud akhir, mengucapkan salam,
dan tertib.”
Perkara fardhu dalam shalat tidak bisa
digantikan oleh sujud Sahwi, bahkan jika ia ingat dan masih dalam shalat, atau
beberapa menit setelah salam, maka ia harus melengkapi shalatnya, lantas
menambahkan sujud Sahwi.
Madzhab Hambali berkata, “Rukun-rukun shalat itu ada empat belas,
yaitu takbiratul ihram, berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu, membaca Surah
Al-Faatihah pada tiap rakaat bagi imam dan orang yang shalat sendirian, rukuk,
i'tidal setelah rukuk, sujud, i'tidal setelah sujud, duduk di antara dua sujud,
tuma’ninah pada tiap rukun, membaca tasyahud akhir, membaca shalawat atas Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam setelah tasyahud akhir menurut kebanyakan Hanabilah, duduk
untuk membaca dua salam, membaca dua salam, dan menjalankan rukun-rukun tersebut
secara tertib. Perkara fardhu atau wajib tidak gugur karena ditinggalkan dengan
sengaja, lupa, atau tidak tahu.”
Insya Allah Ta’ala akan dijelaskan rukun-rukun yang telah
disebutkan di atas secara berurutan satu per satu, mengingat bahwa niat telah
dibahas dalam pembahasan syarat karena mengikuti metode madzhab Hanafi, Hambali,
dan sebagian Maliki (lbnu Rusyd dan Ibnu )azai), sedangkan yang mu'tamad
menurut Maliki adalah niat itu termasuk rukun, dan takbiratul ihram adalah
bentuk dari takbir dan niat.
Jika dipehatikan lebih mendalam, maka akan ditemukan
kesepakatan antar ulama fiqih. Mereka sepakat dalam enam fardhu atau rukun
shalat, yaitu takbiratul ihram, berdiri, membaca ayat, rukui sujud, duduk
terakhir selama kadar bacaan tasyahud sampai pada bacaan, 'Abduhu wa
Rasuuluhu.”
1. RUKUN PERTAMA: TAKBIRATUL IHRAM
Takbiratul Ihram maksudnya, seseorang yang
hendak memulai shalat itu berdiri menghadap kiblat sambil mengucapkan takbir “Allah
Ta’alahu Akbar.” Takbir ini disebut takbirarul ihram karena bagi setiap
orang yang sudah mulai shalat dan membaca takbiratul ihram, maka diharamkan
baginya segala sesuatu yang tadinya halal, seperti makan, minum, berbicara, dan
hal-hal yang membatalkan shalatnya. Adapun maksud kalimat takbir itu sendiri
adalah, dzikir mengingat Allah.
Dalam kondisi lemah, seseorang diperbolehkan
shalat sambil duduk, namun bacaannya tetap memakai bahasa Arab, bukan bahasa
lain. Juga, tanpa pemisahan antara mubtada' dan khabar-nya.
Menurut madzhab Maliki dan Hambali, boleh menggunakan bahasa lain dengan tidak
disertai diam dalam masa yang lama. Konteks ini berlaku bagi seseorang yang shalat
sendirian, bukan sebagai imam, yaitu minimal dia mendengar takbirnya sendiri.
Jika dia shalat menjadi imam, maka disunnahkan untuk mengeraskan takhir agar
makmum di belakangnya mendengar (Al-Majmu’ah jilid 3 halaman 258; Al-Mughni
jilid 1 halaman 462).
Takbiratul ihram itu termasuk rukun dalam
shalat, bukan syarat. Karena itu, shalat hanya bisa dilaksanakan dengan
mengucapkan takbir, namun jika tidak mampu mengucapkan takbir karena memang
bisu atau memang benar-benar tidak bisa mengucapkan takbir, maka gugurlah kewajiban
mengucapkan takbir. Jika bisa mengucapkan takbir tapi hanya sebagian, maka dia boleh
mengucapkannya dengan catatan yang diucapkannya itu ada artinya (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 305 dan setelahnya; Al-Mughni jilid 1
halaman 460-464; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 451).
Dalil yangdipakai oleh madzhab Hanafi dalam
mensyaratkan redaksi “Allah Ta’alahu Akbar” sebagai rukun adalah firman Allah
Ta’ala yang berbunyi, “Dan agungkanlah Tuhanmu!” (Al-Muddatsir: 3) dikuatkan
juga dengan hadits yang telah lewat, yang diriwayatkan dari Ali bahwa kunci shalat
adalah bersuci dan pengharamannya adalah takbir. Hadis riwayat Abu Dawud dan
At-Tirmidzi dengan sanad yang shahih dari Ali bin Abi Thalib.
Dikuatkan juga dengan hadits riwayat Rifa'ah
bin Rafi' yang berbunyi, “Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang sehingga
dia bersuci, mengambil air wudhu, menghadap kiblat, dan bertakbir Allahu Akbar.”
Hadis riwayat Ashaabus Sunan Al-Arba’ah dan Ath-Thabrani.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
pernah bersabda kepada orang yang shalatnya jelek, “Jika engkau hendak
mendirikan shalat, maka bertakbirlah.” Muttafaqun ‘alaihi.
Selain itu, Rasul iuga pernah bersabda, “Dalam
shalat itu seseorang tidak boleh berbicara atau mengucapkan kata-kata selain
tasbih, takbir dan membaca Al-Qur'an.”
Dalam sabda ini, Rasul menggabungkan antara
takbir dan membaca. Ini menunjukkan bahwa takbir itu termasuk dalam rukun
shalat.
Uama Syafi’i, Hambali dan Imam Muhammad (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 150 dan setelahnya; Al-Lubab jilid 1 halaman
68) sebagai ulama Maliki berkata, “Takbiratul ihram itu termasuk rukun dalam
shalat, bukan syarat.” Ulama Syafi'iyyah menambahkan, “Tambahan dalam
redaksi takbir boleh-boleh saja, asal masih disebut takbir, seperti redaksi
Allaah Al-Akbar.”' Redaksi seperti ini diperbolehkan karena masih menunjukkan
takbir. Seperti juga menambahkan keagungan dalam takbir, misalnya “Allaahul
Jaliil Akbar.” Penambahan seperti ini masih boleh, sebagaimana juga
penambahan sifat-sifat Allah Ta’ala yang
lain, asal pemisahan redaksi takbir itu tidak panjang.
Dalam takbiratul ihram, seseorang disyaratkan untuk
memperdengarkan bacaan takbirnya pada dirinya sendiri, sebagaimana membaca Surah
dan rukun-rukun yang berupa bacaan lainnya. Redaksi takbir itu sendiri juga harus
jelas, sebagaimana diterangkan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, yaitu
dengan tidak membaca panjang pada huruf-huruf yang memang tidak dibaca panjang.
Jika seseorang membaca panjang pada huruf yang tidak pada tempatnya sehingga
mengubah makna, maka hukumnya tidak sah. Misalnya, membaca panjang huruf hamzah
pada awal kata Allah Ta’ala , seperti “Aaallaah,” atau “Aaakbar,”
atau menambahkan huruf alif setelah huruf ba'. Cara baca seperti ini
menjadikan shalat tidak sah, karena makna takbir itu berubah.
Adapun pendapat yang benar menurut kalangan ulama
Syafi'iyyah adalah jika seseorang tidak dapat mengucapkan takbir dengan bahasa Arab,
maka dia boleh menggantikannya dengan bahasa apa saja, namun masih tetap menunjukkan
makna takbir. Meski demikian, orang itu tetap wajib belajar untuk mengucapkan takbir
jika memang mampu. Sedangkan orang yang yang benar-benar tidak dapat mengucapkan
takbit seperti orang bisu misalnya, maka cukup baginya hanya dengan
menggerakkan lidah dan kedua bibir. Jika kedua hal itu juga tidak mampu, maka
dia mengucapkan niat dengan hatinya saja.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata (Fathul
Qadir jilid 1 halaman 192-198 dan setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar wa
Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 411-421; Tabyinul Haqa’iq jilid 1
halaman 103; Al-Lubab Ad-Durur Syarhul Ghurar jilid 1 halaman 66), “Takbiratul
ihram dalam shalat itu termasuk syarat, bukan rukun.” Pendapat ini adalah
pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Hanafi karena berdasarkan firman Allah
Ta’ala yang berbunyi, “Dan mengingat
nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (Al-Alaa: 15)
Mereka berkata, “Maksud dzikir (ingat) dalam
ayat ini adalah takbiratul ihram, dan ini bukan shalat karena kalimat itu
diikuti atau 'athaf dengan kata shalat. Athaf dalam ayat tersebut
menunjukkan dua hal yang berlainan. Jadi, takbiratul ihram itu berbeda dengan shalat.
Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits Ali yang telah lewat, yang berbunyi, “Dan
pengharamannya dimulai dari takbir.” Dalam hadits ini, kalimat takbiratul
ihram di-mudhafkan kepada kata shalat. Artinya, dua kalimat itu berbeda karena
tidak mungkin satu kalimat tidak bisa di-mudhaf-kan kepada dirinya sendiri.
Dengan penjelasan di atas, maka jelaslah perbedaan
cara pandang antaraAbu Hanifah dan Abu Yusuf yang mengatakan takbiratul ihram itu
syarat, dan Muhammad yang mengatakan bahwa takbiratul ihram itu rukun. Letak
perbedaan antar keduanya bisa digambarkan seperti berikut. Ada seseorang yang
membaca takbiratul ihram, tetapi dia membawa najis. Setelah selesai takbir,
najis itu langsung dia buang. Atau seperti orang bertakbir dengan aurat
terbuka, namun ia langsung menutupnya ketika selesai bertakbir. Atau bertakbir tidak
menghadap kiblat, dan setelah selesai takbir dia langsung menghadap kiblat.
Atau bertakbir untuk shalat Zhuhur sebelum masuk waktunya, namun setelah takbir
baru masuk waktu Zhuhur. Contoh-contoh seperti di atas dihukumi sah shalatnya
menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, namun menurut Muhammad tidak.
Demikian juga jika fardhu ada yang rusak, maka
berubah menjadi sunnah, menurut Abu Yusuf dan Abu Hanifah, tetapi tidak menurut
Muhammad. Akan tetapi, madzhab Hanafi sepakat bahwa takbiratul ihram dalam
shalat jenazah itu termasuk rukun sebagaimana takbir-takbir selanjutnya.
Dalam pembahasan wajib-wajib shalat, kita tahu
bahwa menurut madzhab Hanafi, permulaan shalat dengan kalimat Allahu Akbar itu
termasuk wajib hukumnya, sedangkan menggantikannya dengan kalimat lain hukumnya
makruh tahrim.
Abu Hanifah dan Muhammad memperbolehkan pembukaan
shalat dengan kalimat apa saja, asalkan mengandung pengagungan terhadap Allah
Ta’ala, seperti kalimat Allaahu Ajall, Allaahu A'zham, Kabiir atau Jaliil,
atau Ar-Rahmaan A'zham, Subhaanallaah, laa ilaaha illallaah alhamdulillaah,
dan kalimat-kalimat sejenisnya. Alasan bolehnya menggunakan kalimat di atas
karena kalimat tersebut menunjukkan arti pengagungan dan menyimpan makna agung
sehingga serupa dengan kalimat Allahu Akbar. Akan tetapi, pembukaan shalat tidak
boleh dengan kalimat. Allaahummaghfirli karena kalimat itu menyimpan
suatu kebutuhan, bukan pengagungan. Jika pembukaannya menggunakan kalimat Allaahumma
tanpa tambahan ighfir lii maka boleh menurut
pendapat yang lebih shahih, karena mempunyai makna Ya Allah
Ta’ala .
Abu Yusuf mengkhususkan pembukaan shalat itu
dengan takbir atau kalimat yang bersumber dari takbir, seperti Allahu Akbar,
Al-Kabiir, Al-Kubbaar. Abu Yusuf masih bingung dengan redaksi Allah Ta’ala Kabiin boleh atau tidak digunakan untuk
pembukaan shalat? Adapun untuk orang yang bisu atau tidak mampu mengucapkan
takbir, maka kewajiban itu gugur darinya karena memang tidak mampu melaksanakan
wajib. Cukuplah baginya melafalkan niat takbir dalam hati.
Abu Hanifah berkata, “Redaksi takbir bisa digantikan
dengan redaksi selain bahasa Arab karena firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Dan mengingat nama
Tuhannya, lalu dia shalat.”' (Al-A’laa: 15)
Adapun dua sahabat lainnya, yaitu Abu Yusuf
dan Muhammad berpendapat seperti madzhab Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mampu
melafalkan takbir dengan bahasa Arab, maka dia boleh menggunakan bahasa lain. Akan
tetapi jika dia mampu menggunakan bahasa Arab, namun memilih bertakbir dengan bahasa
lain, maka hukumnya tidak boleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.” Hadis riwayat Al-Bukhari dan Ahmad.
Madzhab Hanafi menentukan dua puluh syarat
dalam takbiratul ihram. Syarat-syarat itu di antaranya adalah masuknya waktu
shalat, keyakinan masuk waktu, atau perkiraan kuat masuknya waktu shalat,
menutup aurat, suci dari hadats dan najis yang menghalangi shalat, baik dari
badan, pakaian, maupun tempat. Berdiri bagi orang yang mampu dalam shalat fardhu
dan sunnah Subuh. Kemudian niat mengikuti imam (sebenarnya syarat ini adalah syarat
sahnya makmum, bukan syarat sahnya takbiratul ihram). Syarat lainnya adalah
mengucapkan takbiratul ihram (dengan memperdengarkannya untuk dirinya sendiri.
Dan tidak cukup dengan berbisik atau hanya membacanya dalam hati sebagaimana
bacaan-bacaan dalam shalat lainnya), menjelaskan shalat yang akan dilakukan,
misalnya Zhuhur, Ashar atau yang lainnya. Menjelaskan wajib seperti dua rakaat
thawaf, dua shalat Id, Witir, nadzar dan qadha. Takbiratul ihram menggunakan
kalimat yang mengandung pengagungan murni kepada Allah Ta’ala, tanpa campuran
kebutuhan dan keinginan.
Takbir tidak sah dengan menggunakan kalimat
semisal “Allaahumma ighfir lii.” Menurut pendapat yang lebih shahih,
takbir boleh menggunakan kalimat “Allaahumma” seperti juga “Allaahu
Akbar.”
Syarat lain, takbiratul ihram tidak dibarengi
dengan basmalah, menggunakan bahasa Arab bagi orang yang mampu mengucapkannya,
tidak boleh menggantikan takbiratul ihram dengan bahasa selain Arab, kecuali
memang tidak mampu, maka boleh menggunakan bahasa Persi. Menurut pendapat yang
shahih, boleh hukumnya menggantikan takbiratul ihram dengan bahasa selain Arab,
meskipun sebenarnya mampu menggunakan bahasa Arab, berbeda dengan bacaan.
Kemudian, membaca takbir dengan sempurna,
tidak memanjangkan huruf hamzah pada kata Allah Ta’ala dan kata Akbar, dan
tidak ada pemisah antara niat dan takbiratul ihram, baik pemisah itu berupa
ucapan maupun makan dan minum.
Kemudian juga, niat tidak boleh mendahului takbiratul
ihram. Jika makmum selesai takbiratul ihram sebelum imamnya, maka shalatnya
tidak sah.
Membaca takbiratul ihramnya harus pada posisi
menghadap kiblat, kecuali jika ada udzur atau shalat di atas kendaraan dalam perjalanan.
Mayoritas ulama fiqih mensyaratkan bagi makmum
agar tidak bertakbir sebelum imam selesai membaca takbir. Karena, ada hadits Muttafaqun
'alaih yang berbunyi, “lmam dipilih itu untuk diikuti. Karena itu, jika
ia bertakbir maka bertakbirlah kalian.” Akan tetapi, Abu Hanifah
membolehkan makmum untuk membarengi imam, baik dalam takbiratul ihram, rukuk,
dan gerakan-gerakan shalat lainnya.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments