Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. RUKUN KETIGA: MEMBACA SURAH BAGI YANG MAMPU
Rukun, menurut madzhab Hanafi (Ad-Durrul
Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 415; Fathul Qadir jilid 1
halaman 193, 205, 322; Al-Bada’i jilid 1 halaman 110; Tabyinul
Haqa’iq jilid 1 halaman 104), yang juga fardhu amali' dalam semua rakaat
shalat sunnah termasuk Witir dan dalam dua rakaat shalat fardhu bagi imam dan
orang shalat sendirian, adalah membaca ayat dari Al-Qur'an. Pendapat ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “...karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an....” (Al-Muzzammil: 20) Perintah yang
mutlak dalam ayat ini mengandung makna wajib karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat tidak sah kecuali dengan membaca ayat
Al-Qur'an.” Hadis riwayat Muslim.
Menurut madzhab Hanafi, batas minimal ayat
yang wajib dibawa adalah ayat yang terdiri atas enam huruf, misalnyaayat”Tsumma
nazhar” (Al-Muddatstsir: 21) terdiri atas enam huruf. Atau, misalnya ayat “Lam
Yalid” (Al-lkhlaash: 3) ayat ini tertulis lima huruf, namun aslinya terdiri
atas enam huruf yang berbunyi, “Lam Yaulid.” Dua
sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berkata, “Kadar minimal ayat yang
wajib dibaca dalam shalat adalah tiga ayat pendek, atau satu ayat panjang yang
sebanding dengan tiga ayat pendek.”
Membaca ayat dalam dua rakaat pertama shalat
fardhu hukumnya wajib karena perkataan Ali, “Membaca ayat dalam dua yang
pertama adalah juga bacaan dalam rakaat yang lain.” Dari Ibnu Mas'ud dan
Aisyah berkata, “Bebas memilih dalam dua rakaat terakhir shalat. Jika mau, maka
ia boleh membaca ayat atau hanya bertasbih.” Membaca Surah Al-Faatihah dan Surah
lain, atau tiga ayat juga hukumnya wajib. Terkadang wajib membaca surah dalam
shalat fardhu empat rakaat, seperti misalnya seorang makmum masbuq menggantikan
imam shalat setelah lewat dua rakaat. Lantas imam berisyarat bahwa pada dua
rakaat pertama ia belum membaca surah.
Membaca Surah Al-Faatihah dalam shalat tidak
mutlak fardhu menurut mereka. Tidak juga dalam shalat sirriyyah ataupun
jahriyyah, tidak juga bagi imam ataupun makmum. Bahkan, terkadang membaca Surah
Al-Faatihah itu makruh hukumnya bagi seorang makmum.
Membaca Basmalah Menurut Madzhab Hanafi
Basmalah bukanlah termasuk ayat dari Surah Al-Faatihah,
dan juga bukan termasuk dari ayat dalam Surah mana pun, kecuali dalam Surah An-Naml
di bagian tengah. Ini diketahui dari hadits Anas bin Malih ia berkata, “Aku
pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar
dan Utsman. Namun, tidak pernah aku mendengar mereka membaca basmalah.”
Hadis riwayat Muslim dan Ahmad.
Akan tetapi, bagi seseorang yang shalat sendirian
diwajibkan untuk membaca basmalah pada tiap rakaat dengan suara pelan,
sebagaimana ia juga membaca amin dengan pelan. Adapun untuk seorang imam maka
tidak membaca basmalah, dan tidak juga membacanya dengan pelan. Tujuannya agar
tidak terdapat bacaan pelan di antara dua bacaan keras. Ibnu Mas'ud berkata, “Empat
hal yang disembunyikan oleh seorang imam, yaitu bacaan ta'awwudz, basmalah,
bacaan amin, dan tahmid.” Tahmid maksudnya ucapan “Rabbanaa lakal hamdu”.
Hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, dari Ibrahim An-Nakha’i.
Dalil-dalil yang mereka gunakan: pertama, firman
Allah Ta’ala yang berbunyi,”... karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari Al-Qur'an ...” (Al-Muzzammil: 20) Ayat ini berisi perintah untuk
membaca Surah secara mutlak tanpa batasan. Jadi, bisa dilaksanakan dengan
membaca ayat sependek apa pun selama masih termasuk ayat Al-Qur'an. Selain itu
ayat di atas juga menjelaskan, bahkan diakui secara ijma bahwa membaca Al-Qur'an
itu bukan fardhu di luar shalat, melainkan fardhu di dalam shalat.
Kedua, tidak boleh
menambahkan bacaan lain yang dalilnya diambil dari hadits Ahad yang bersifat
zhanni (perkiraan) pada sesuatu yang sudah pasti dengan dalil qath'i dari Al-Qur'an.
Akan tetapi, hadits Ahad itu wajib diamalkan, namun tidak fardhu. Dengan teori
ini mereka mengatakan, bahwa yang wajib hanyalah membaca Surah Al-Faatihah
saja. Maksudnya jika seseorang tidak membaca Surah Al-Faatihah, shalatnya tetap
sap namun hukumnya makruh tahrim.
Ketiga, dalam hadits tentang seseorang yang shalatnya jelek, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah
wudhu terlebih dahulu. Kemudian menghadaplah ke arah kiblat dan bertakbir.
Setelah itu bacalah ayat atau Surah Al-Qur'an yang mudah bagimu.” (Nashbur
Rayah jilid halaman 366) Hadits
ini menyebutkan bahwa yang wajib adalah membaca ayat atau Surah dari Al-Qur'an,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an sendiri. Artinya, jika membaca Surah Al-Faatihah
itu hukumnya fardhu atau termasuk rukun, tentunya akan dijelaskan dalam hadits.
Keempat, adapun hadits yang diriwayatkan enam imam dari Ubadah ibnush Shamit yang berbunyi,
“Tidak ada shalat seseorang yang tidak membaca Surah Al-Faatihah.” (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 365) Maka dimungkinkan yang dimaksud adalah penafian
atau peniadaan fadhilah, bukan peniadaan keabsahan shalat, sebagaimana juga
hadits yang berbunyi, “Tidak ada shalat bagi orang yang rumahnya dekat dengan
masjid kecuali di masjid.” Hadis riwayat Ad-Daruquthni, hukumnya dhaif. Artinya,
shalat tanpa membaca Surah Al-Faatihah tetap sah, namun tidak afdhal.
Bacaan Makmum
Seorang makmum tidak wajib membaca ayat atau Surah,
menurut madzhab Hanafi dengan dalil sebagai berikut (Al-Bada’i jilid 1
halaman 110; Muqaranatul Madzahib fil Fiqh, Syaltut dan Sayis halaman
25).
Pertama, dalil dari Al-Qur'an, firman Allah Ta’ala, “Dan apabila dibacakan Al-Qur'an,
maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat.” (Al-Araaf: 204) Imam
Ahmad berkata, “Ulama sepakat bahwa ayat ini juga berlaku dalam shalat.”
Artinya, ketika sedang shalat pun kita harus mendengarkan dan memerhatikan
bacaan ayat atau Surah dalam shalat. Mendengarkan ketika imam membaca
jahriyyah, dan memerhatikan ketika imam membaca sirriyyah dan jahriyyah. Jadi,
seorang makmum wajid mendengarkan bacaan imam yang keras dan memerhatikan
bacaan imam yang pelan. Dengan adanya hadits-hadits yang menuntut untuk
membaca, maka ayat di atas mengandung perintah wajib. Artinya, yang melanggar
ketentuan ini hukumnya makruh tahrim.
Kedua, dalil dari
As-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa
saja yang shalat di belakang imam, maka bacaan imam adalah bacaannya juga.”
Hadis riwayat Abu Hanifah dari Jabir. Hadits ini mencakup bacaan jahriyyah dan
sirriyyah. Dalil ini dikuatkan lagi dengan hadits lain yang berbunyi, “Seorang
imam dipilih karena untuk diikuti. Jika
ia bertakbir, maka bertakbirlah. Dan jika ia membaca, maka perhatikanlah.”
(Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah). Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat Zuhur, lantas di belakang
beliau ada seseorang yang membaca ayat, “Sabbih isma Rabbikal Alaa.” Kemudian
setelah selesai beliau bertanya, “Siapa tadi yang membaca ayat?” “Saya,
ya Rasul,” jawab orang itu. Lantas beliau bersabda, “Aku mengira
sebagian kalian telah mendebatku dengan bacaannya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari
Imran ibnul Hushain) Hadits ini menunjukkan pengingkaran dalam bacaan pada
shalat sirriyyah. Maka, dalam shalat jahriyyah lebih aula.
Ketiga, qiyas. Jika makmum diwajibkan untuk membaca, maka bacaan itu tidak gugur dari
orang yang shalat masbuq sebagaimana rukun-rukun yang lain. Mereka mengikutkan
bacaan makmum dengan bacaan masbuq dalam hal gugurnya kewajiban. Dengan Qiyas
ini, maka membaca itu tidak disyariatkan bagi makmum.
Pendapat mayoritas ulama selain Madzhab Hanafi (Maliki,
Syafi’i dan Hambali)
Mayoritas ulama selain Hanafiyyah berkata (Asy-Syarhush
Shaghir jilid 1 halaman 309; Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 119;
Asy-Syarhul Kabir ma’a Ad-Dasuqi jilid 1 halaman 236; Muhgnil Muhtaj jilid
1 halaman 156-162; Al-Mughni jilid 1 halaman 376-491, 562-568;
Kasysyaful Qina’jilid 1 halaman 451 ; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman
72; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 285; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1
halaman 153-156), bacaan wajib dalam shalat dan termasuk rukun itu adalah Surah
Al-Faatihah karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak
sah shalat seseorang yang tidak membaca Surah Al-Faatihah.” Juga sabda
beliau, “Tidak cukup shalat tanpa membaca Surah Al-Faatihah.” Hadis
riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Dikuatkan juga dengan hadits dalam Shahih Muslim,
juga riwayat Bukhari, “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”
Adapun bacaan Surah lain setelah Al-Faatihah
pada dua rakaat pertama dalam tiap shalat hukumnya sunnah. Sedangkan untuk makmum,
maka dalam tiap shalat ia membaca Surah Al-Faatihah dan Surah lain secara
pelan.
Menurut Maliki dan Hambali, seorang makmum
tidak perlu membaca apa-apa dalam shalat jahriyyah. Sedangkan menurut Syafi'i, makmum
hanya membaca Surah Al-Faatihah saja dalam shalat jahriyyah (Al-Majmu’ jilid
3 halaman 344-350).
Kalau dilihat secara tekstual, ucapan Ahmad
menyatakan bahwa ia cenderung menganggap baik bagi makmum untuk membaca
sebagian Surah Al-Fatihah ketika diam pertamanya imam. Setelah itu, ia melanjutkan
bacaannya pada diam keduanya imam dan ia dapat mendengarkan bacaan imam pada
jeda waktu itu.
Akan tetapi ulama Syafi'iyyah berkata, “Membaca
Surah Al-Faatihah itu wajib hukumnya
bagi imam, makmum, dan munfarid (orang yang shalat
sendirian), baik dengan hafalan, membaca dari mushaf, dengan ditalqin maupun sejenisnya.
Baik dalam shalat jahriyyah maupun shalat sirriyyah, baik shalat fardhu maupun
sunnah.” Pendapat ini juga dikuatkan dengan
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, ditambah lagi hadits riwayat Ubadah
ibnush Shamit bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
shalat Subuh dan beliau merasa berat untuk membaca Surah. Kemudian setelah
selesai beliau bersabda, “Aku melihat kalian juga membaca Surah di belakang
imam?” Kami menjawab, “Ya, kami juga membaca Surah.” Lantas beliau bersabda, “Janganlah
kalian membaca Surah selain Al-Faatihah, karena shalat seseorang tidak sah tanpa
membaca Surah itu.” Hadis riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban
(Subulus Salam jilid 1 halaman 173).
Hadits ini adalah dalil yang jelas dan khusus menunjukkan
bahwa membaca Surah Al-Faatihah bagi makmum itu hukumnya wajib. Secara tekstual,
penafian dalam hadits ini menuju pada ketidakabsahan. Artinya, shalat itu tidak
cukup tanpa membaca Surah Al-Faatihah.
Kemudian jika makmum lupa tidak membaca Al-Faatihah,
maka menurut qaul jadid hukumnya tidak sah. Karena, sesuatu yang menjadi rukun
dalam shalat, seperti rukuk dan sujud itu tidak dapat gugur kewajibannya hanya karena
lupa. Kewajiban itu juga tidak gugur kecuali bagi orang yang makmum masbuq satu
rakaat karena imam yang menanggungnya. Termasuk dalam hukum masbuq adalah
ketika masjid penuh atau ia lupa sedang dalam shalat, atau gerakannya
terlambat, seperti misalnya ia tidak bangkit dari sujud kecuali setelah imam rukuk
atau mendekati rukuk, atau setelah imam rukuk ia bimbang mengenai bacaan Al-Faatihahnya
sehingga ia tertinggal.
Basmalah menurut madzhab Syafi'i termasuk ayat
dari Surah Al-Faatihah, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab Tarikh-nya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap
Surah Al-Faatihah berjumlah tujuh ayat termasuk basmalah. Imam Ad-Daruquthni juga
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Jika kalian membaca Al-Fatihah, maka bacalah juga basmalah
karena itu Ummul Quran, Ummul Kitab, dan Sab'ul Matsani. Basmalah juga termasuk
ayat dari Surah Al-Faatihah.” Ada juga hadis-hadis lain mengenai basmalah,
di antaranya riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang
shahih dari Ummi Salamah (Subulus Salam jilid 1 halaman 173).
Selain itu, para sahabat juga menetapkan basmalah
termasuk ayat dari Surah Al-Faatihah ketika mereka mengumpulkan Al-Qur'an. Basmalah
dibaca keras dalam shalat-shalat jahriyyah sebagaimana ayat-ayat lain dari Surah
Al-Faatihah. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca basmalah
dengan suara keras. Basmalah dibaca keras, karena juga
termasuk ayat dari Surah Al-Faatihah karena buktinya basmalah dibaca setelah ta'awwudz.
Maka, sunnahnya juga membacanya dengan jahr (keras). Hadis-hadis tentang bacaan
basmalah dengan suara keras terdapat di Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan dari
enam sahabat yaitu Abu Hurairah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali
bin Abi Thalib dan Samurah bin Jundab (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 302).
Bacaan yang bertasydid dalam Surah Al-Faatihah
itu jumlahnya ada empat belas. Tiga di antaranya terdapat pada basmalah. Jika seseorang
tidak membacanya dengan tasydid, maka bacaannya batal karena aturan bacanya berubah.
Disyaratkan pula dalam membaca: tidak mengubah
bacaan hingga melanggar arti, seperti membaca dhammah pada huruf taa'
dalam kalimat “An'amta” atau membacanya kasrah. Dan juga seperti bacaan
syadz yang bukan termasuk qira'ah sab'ah, jika memang bacaan itu mengubah makna
seperti dalam ayat “lnnamaa yakhsyaAllaha min 'ibaadihil 'ulamaaa”' (Faathir: 28)
dengan membaca rafa' pada yang pertama dan membaca nashab pada yang
kedua, atau menambahkan satu huruf, atau menguranginya. Jika itu terjadi, maka batallah
bacaannya.
Ulama madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 437) berpendapat, “Sah hukumnya membaca dengan bacaan yang syadz
asalkan masih sesuai dengan Rasm Utsmani. Sah juga hukumnya melagukan bacaan Surah
Al-Faatihah jika memang tidak disengaja, dan imam berdosa jika ada orang yang
lebih baik bacaannya daripada dia. Demikian juga dengan bacaan yang tidak
membedakan antara huruf dhad dan zha', seperti dalam logat Arab yang terkadang
membalik antara keduanya. Akan tetapi jika melagukan atau mengganti huruf itu
dengan sengaja, maka tidak sah dan tidak boleh diikuti.”
Jika mengganti huruf shaad dengan huruf
zha' maka tidak sah menurut pendapat yang lebih shahih karena runtutan
kalimatnya berubah dan artinya juga berbeda.
Membaca dengan tertib hukumnya wajib (artinya
membaca ayat-ayat dengan urutan yang sudah lazim) dan terus-menerus (artinya antara
satu kalimat dengan kalimat lain saling bersambung tanpa pemisah, kecuali
sekadar untuk bernapas). Hukum ini diambil dari sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam karena beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.”
Jika bacaan dalam shalat itu diselingi dengan bacaan
tahmid karena bersin, maka termasuk tidak terus-menerus. Adapun jika
terputusnya bacaan itu masih berhubungan dengan shalat, seperti membaca amin
karena bacaan imam, mengingatkan bacaan imam yang lupa, berdoa meminta rahmat,
memohon perlindungan dari siksa, dan sujud tilawah, maka tidak termasuk
memotong bacaan dan masih dianggap terus-menerus. Diam lama dalam shalat juga
termasuk memutuskan terus-menerus, karena seolah dengan sengaja berpaling.
Demikian juga dengan diam atau berhenti sebental tetapi dengan niat memotong bacaan.
Ini menurut pendapat yang shahih karena yang berlaku adalah niatnya.
Jika seseorang tidak mampu membaca Surah Al-Faatihah
sama sekali karena tidak ada orang yang mengajarinya atau tidak ada mushaf,
atau sejenisnya, maka ia boleh mengganti Surah Al-Faatihah itu dengan bacaan
lain yang huruf-hurufnya sebanding dengan Surah Al-Faatihah. Ini menurut
pendapat yang lebih shahih. Bacaan pengganti itu bisa berupa tujuh ayat lain
yang berurutan atau tujuh macam dzikir atau doa yang berkaitan dengan akhirat, bukan
dunia, namun tetap menjaga jumlah hurufnya. Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat
Abu Dawud dan lainnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, saya tidak dapat menghafal ayat-ayat Al-Qur'an.
Ajarilah saya sesuatu yang mudah untuk menggantikannya.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah,
Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah
Mahabesar dan tidak ada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Nya.”
Jika memang seseorang tidak mampu membaca Al-Qur'an
dan dzikir maka ia diam saja selama kadar membaca Surah Al-Faatihah. Setelah
selesai membaca Surah Al-Faatihah dan berhenti sejenak, disunnahkan untuk
membaca amin (dengan huruf mim tipis dan panjang, boleh juga pendek) artinya 'kabulkanlah
doaku.' Sunnah membaca amin ini untuk tiap kali membaca Surah Al-Faatihah,
baik dalam shalat maupun di luar shalat. Namun dalam shalat lebih sunnah dan
sangat dianjurkan, karena ada hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan
lainnya, dari Wa'il bin Hujri ia berkata, “Aku pernah shalat di belakang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika selesai membaca “Waladh
dhaalliin” beliau membaca amin dengan memanjangkannya.”
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa ia berkata, “Jika imam selesai membaca 'Waladh dhaalliin' maka
ucapkanlah, 'amin.' Karena siapa saja yang bacaan amin-nya bersamaan dengan
bacaan malaikat, maka dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang akan
diampuni oleh Allah Ta’ala.”
Bagi makmum disunnahkan untuk menyerukan bacaan
amin bersama bacaan aminnya imam karena makmum itu mengikuti imam. Ini menurut
pendapat yang azhhar. Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam riwayat Ibnu Hibban dan lain-lain yang mereka anggap shahih dan juga
sabda Rasul yang berbunyi, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.” Bagi makmum disunnahkan untuk menyeru pada lima tempat, yaitu
empat pada bacaan amin: ber-ta’min bersama imam, dalam doa Qunut Subuh, dalam
doa Qunut Witir pada pertengahan kedua bulan Ramadhan, dan dalam Qunut Nazilah
pada tiap shalat lima waktu, dan ketika mengingatkan imam akan ayat yang lupa.
Disunnahkan juga bagi imam dan orang yang
shalat munfarid (sendirian) untuk membaca Surah lain selain Al-Faatihah,
kecuali pada dua rakaat terakhir menurut pendapat yang azhhar, karena mengikuti
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika makmum terlambat (masbuq)
dan tidak sempat membacanya, maka disunnahkan untuk membacanya pada rakaat
selanjutnya. Karena, shalat orang masbuq bersama imam itu dihitung awal shalat,
sedangkan rakaat selanjutnya dihitung akhir; agar tetap dapat membaca dua Surah
dalam shalatnya.
Akan tetapi dalam shalat jahriyyah, makmum tidak
disunnahkan membaca Surah selain Al-Faatihah, kecuali jika posisinya jauh dan tidak
mendengar bacaan imam, atau dia tuli, atau ia mendengar tetapi tidak
memahaminya. Sedangkan dalam shalat sirriyyah disunnahkan untuk membaca Surah
karena diamnya tidak berarti apa-apa, menurut pendapat yang lebih shahih.
Menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyyah
dan Hanabilah, membaca Surah Al-Faatihah itu wajib hukumnya bagi imam dan munfarid
pada tiap rakaat shalat. Akan tetapi, makmum dalam shalat jahriyyah tidak
disunnahkan membaca Surah Al-Faatihah, hanya sunnah membaca pada shalat
sirriyyah karena perintah dalam Al-Qur'an untuk mendengarkan dan memerhatikan
itu khusus pada shalat jahriyyah dengan dalil, “Bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berpaling dari shalat jahriyyah lantas bertanya, Apakah salah
seorang kalian ada yang membaca ayat barusan?” Seorang lelaki menjawab, 'Ya.'
Beliau bersabda, Aku tidak ingin berdebat dengan Al-Qur'an.” Kemudian semenjak itu
orang-orang tidak lagi membaca ayat atau Surah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam shalat jahriyyah.” Hadits ini menjadi dalil yang jelas akan makruhnya
membaca Surah atau ayat bagi makmum ketika imam sedang membaca Surah dalam shalat
jahriyyah. Hadis riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi dari Abu
Hurairah. Hadis hasan.
Adapun dalil mereka tentang sunnahnya membaca Surah
dalam shalat sirriyyah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika
aku membaca dengan pelan, maka kalian membacalah.” Hadis riwayat
Ad-Daruquthni dan At-Tirmidzi.
Berkaitan dengan shalat sirriyyah, madzhab Hambali
menambahkan bahwa setiap bacaan yang tidak termasuk keras, baik ketika tidak mendengar
karena jauh atau diamnya imam, maka bagi makmum hukumnya boleh membaca sebagaimana
pendapat Syaf iyyah. Karena dalam keadaan itu makmum tidak mendengar bacaan
imam, dan itu artinya tidak masuk dalam perintah untuk mendengarkan.
Pendapat inilah yang lebih utama, karena
menggabungkan antara perintah Al-Qur'an untuk mendengarkan bacaan imam dan
hadits-hadits yang menganjurkan makmum untuk membaca Surah pada shalat sirriyyah.
Dan memang tidak diperbolehkan diam dalam shalat sirriyyah. Akan tetapi, kurang
sesuai untuk tidak membaca Al-Faatihah secara mutlak, karena ada hadits-hadits Muttafaq
'alaih dan mutawatir dari Ubadah dan lain-lain yang berbunyi, “Tidak sah
shalat seseorang yang tidak membaca Surah Al-Faatihah.” Hadits ini menjadi
dalil yang jelas untuk landasan wajibnya membaca Surah Al-Faatihah dalam
shalat, karena secara tekstual penafian di situ adalah penafian keabsahan
shalat, bukan penafian keafdhalannya.
Basmalah sendiri menurut madzhab Maliki bukan
termasuk ayat dari Surah Al-Faatihah, sehingga mereka tidak membacanya, baik dalam
shalat jahriyyah maupun sirriyyah, tidak pada Surah Al-Faatihah, dan juga tidak
pada Surah-Surah lain. Menurut mereka, belajar membaca Surah Al-Faatihah itu
hukumnya wajib jika mampu. Akan tetapi jika tidak mampu, baik karena bisu atau
tidak ada orang yang mengajarkan, atau waktunya sempit, maka wajib baginya
untuk mengikuti orang yang bacaannya bagus, jika ada. Jika tidak mengikutinya, maka
shalatnya batal. Namun jika tidak menemukannya juga, maka ia boleh shalat sendirian.
Sedangkan membaca amin, menurut mereka sunnahnya pelan sebagaimana pendapat Hanafiyyah.
Ulama Hanabilah berkata, “Basmalah itu termasuk
ayat dari Surah Al-Faatihah, karena itu wajib dibaca pada tiap shalat. Namun,
membacanya dengan pelan, tidak dengan suara keras.” Menurut Hanabilah -sama
dengan pendapat Syafi'iyyah- yaitu orang yang shalat harus menjaga bacaan Surah
Al-Faatihah lengkap dengan tasydidnya, dan tidak boleh melakukan perubahan
sehingga mengubah arti. Jika ia tidak memedulikan tertib bacaan atau tasydidnya,
atau melagukan bacaan sehingga mengubah makna, seperti membaca kasrah pada
kalimat “iyyaaaka” atau membaca dhammah pada huruf Ta' dalam 'An'amta'
atau membaca fathah pada alif dalam kalimat “ihdinaa” maka bacaannya
tidak sah. Kecuali, jika memang dia tidak mampu membaca dengan baik dan memang
hanya sebatas itu kemampuannya. Kemudian jika dia memotong bacaan Al-Faatihah
dalam shalat dengan dzikir, doa, atau terdiam sejenak, atau membaca amin karena
mendengar bacaan imam, maka hal itu tidak disebut memotong bacaan. Menurut ulama
Maliki dalam pendapat yang mu'tamad bahwa melagukan bacaan itu tidak
membatalkan shalat, meskipun mengubah makna.
Batas minim bacaan Surah Al-Faatihah adalah cukup
didengar dirinya sendiri, sebagaimana hukumnya takbiratul ihram. Suara di bawah
itu tidak lagi disebut membaca. Sedangkan sunnahnya dalam membaca Al-Faatihah adalah,
dengan membaca secara tartil, berhenti pada tiap ayat jika memang tidak terlalu
panjang. Karena, Allah Ta’ala berfirman, “...dan bacalah Al-Qur'an itu
dengan perlahan-lahan.” (Al-Muzzammil: 4) Ulama Maliki berkata, “Sudah cukup
dianggap membaca, meski dirinya tidak mendengar bacaannya itu.”
Ulama fiqih sepakat bahwa membaca Surah dalam
shalat itu harus dengan bahasa Arab, tidak boleh dengan bahasa lain, atau mengganti
redaksinya dengan redaksi bahasa Arab lainnya, baik bacaan bahasa Arabnya bagus
maupun tidak. Karena, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.” (Yusuf: 2)
Juga firmanNya, “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (Asy-Syu'araa': 195)
karena Al-Qur'an adalah mukjizat, baik redaksi maupun maknanya. Jadi jika
berubah dan keluar dari rangkaiannya, maka hal itu bukan Al-Qur'an lagi,
melainkan tafsir. Dan tasfir itu jelas berbeda dengan yang ditafsiri, karena Al-Qur'an
itu tidak ada bandingannya, tidak ada yang bisa menirukannya meski satu Surah
sekalipun. Namun, sebagian ulama Hanafi membolehkan orang yang tidak mampu
membaca dengan bahasa Arab, untuk membaca Surah Al-Faatihah dengan bahasa
selain Arab. Abu Hanifah sendiri akhirnya merevisi pendapatnya yang mengatakan
bolehnya membaca surah dengan bahasa selain Arab, dan tidak ada juga orang atau
pengikutnya yang mengamalkan pendapatnya itu (Al-Badaa'i jilid 1 halaman
112).
Adapun membaca amin, menurut madzhab Hambali
dan yang lainnya, hukumnya sunnah bagi imam dan makmum karena hadits-hadits yang
telah lalu. Menurut Hambali dan Syafi'i, sunnah juga hukumnya bagi imam dan
makmum untuk mengeraskan bacaan amin dalam shalat jahriyyah dan membaca amin
dengan pelan dalam shalat sirriyyah.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments