BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


6. RUKUN KEENAM: DUA KALI SUJUD TIAP RAKAAT

Sujud secara etimologi artinya khudhu' dan merendah, atau tawadhu dan tunduk. Sedangkan secara terminologi, secara singkat bisa dikatakan bahwa sujud itu adalah meletakkan sebagian dahi yang terbuka ke tanah atau tempat shalat. Terminologi ini diambil dari sebuah hadits yang berbunyi, “Jika engkau sujud, maka letakkanlah dahimu dan jangan terburu-buru.” HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.
Juga, hadits riwayat Khabab ibnul Arts, “Kami pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai panasnya pasir di dahi dan telapak tangan kami (ketika sujud), dan kami terus mengeluhkan hal itu kepada beliau.” HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih. HR. Muslim tanpa menyebut dahi dan telapak tangan.
Adapun terminologi sujud secara sempurna adalah meletakkan kedua telapak tangan, dua lutut, dua kaki, dahi dan hidung ke tanah. Sujud termasuk fardhu dalam shalat dengan ijma ulama, karena Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah....” (Al-Hajj: 77) juga karena sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau pada orang yang shalatnya jelek, “Kemudian sujudlah hingga tuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah dari sujud, lalu duduk hingga tuma’ninah dalam duduk. Kemudian sujud lagi hingga tuma’ninah dalam sujud.”
Sujud yang wajib menurut Malikiyyah adalah sujud dengan meletakkan bagian dahi sekitar atas dua alis mata. Disunnahkan untuk menempelkan seluruh dahi ke tanah, dan sunnah juga untuk menempelkan hidung. Orang yang tidak melakukannya harus mengulang shalat pada waktu mendesak (yaitu pada waktu zuhur dan ashar karena matahari hampir tenggelam, dan maghrib dan isya karena terbinya fajar, dan dalam shalat Subuh karena terbitnya matahari). Hal itu dilakukan untuk menjaga pendapat orang yang mengatakan hukumnya wajib. Jika seseorang sujud hanya dengan dahi tanpa hidung, maka sujudnya kurang sempurna. Sedangkan pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki mengatakan, sujud itu cukup dilakukan dengan dahi tanpa hidung, dan jika tidak mampu sujud dengan dahi, maka boleh berisyarat untuk sujud, sebagaimana orang yang dahinya terluka dan jika sujud akan merasa sakit.
Syafi'iyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah menuturkan bahwa orang yang tidak dapat sujud karena jamaah penuh sesak sehingga tidak memungkinkan untuk sujud di atas tanah bersama imam, maka ia boleh sujud di atas sesuatu, baik manusia, perhiasan, hewan, atau sejenisnya. Karena, Imam Al-Baihaqi dalam riwayat shahihnya menuturkan bahwa Umar berkata, “Jika memang keadaan penuh sesak, maka seorang kalian boleh sujud dan menempelkan dahinya pada punggung saudaranya.”      
Adapun menempelkan dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung kaki dalam sujud, itu termasuk sunnah. Dalilnya adalah hadits dari Abbas bin Abdul Muththalib bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang hamba bersujud, maka bersujud pula tujuh anggota yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki.” HR. Jama’ah kecuali Al-Bukhari (Nailul Authar jilid 2 halaman 257).
Para ulama sepakat (Fathul Qadir jilid 1 halaman 212-214; Muraqil Falah halaman 45; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 116; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 168-170, 298; Al-Mughni jilid 1 halaman 515; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 453; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 75; Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 416) bahwa anggota sujud yang sempurna ada tujuh, yaitu wajah, dua tangan, dua lutut, dan ujung dua kaki, karena hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh tulang, yaitu dahi -sambil menuniuk ke hidungnya, dua tangan, dua lutut, dan dua kaki.” Muttafaqun ‘alaihi (Nailul Authar jilid 2 halaman 258).
Riwayat lain mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota badan tanpa halangan rambut atau kain, yaitu dahi, dua tangan, dua lutut, dan dua kaki.” Maksud tanpa halangan rambut atau kain adalah tidak mengangkat kain atau rambut ketika hendak sujud, karena hal itu menyerupai orang takabur.
Tidak ada khilaf antar ulama bahwa sujud dengan segenap dahi dan hidung itu sunnah. Ibnul Mundzir menuturkan kesepakatan para sahabat Nabi bahwa sujud hanya dengan hidung itu tidak cukup.
Ulama Hanafiyyah dan lainnya sepakat membolehkan seseorang sujud hanya menggunakan dahi tanpa hidung. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah sendiri berkata, “Dalam sujud seseorang boleh memilih antara dahi dan hidung. Namun jika hanya menggunakan salah satu dari keduanya, maka hukumnya makruh.” Pendapat ini berdasarkan hadits lbnu Abbas di atas. Dalam hadits itu ia menuturkan dahi sambil menunjuk ke hidung, sedangkan yang diperintahkan dalam Al-Qur'an adalah sujud, “..sujudlah kamu,” (Al-Hajj: 77) dan sujud itu sendiri adalah meletakkan sebagian wajah yang termasuk anggota sujud.
Hal ini sudah bisa terlaksana dengan meletakkan hidung ke tanah, sedangkan syarat meletakkan anggota sujud lain adalah tambahan dari hadits Ahad. Karena itu, wajib memperbolehkan memilih salah satu, seperti dahi. Beda halnya dengan dagu, pipi, dan lainnya, karena itu bukan tempat untuk sujud menurut ijma. Akan tetapi menggabungkan hidung dengan dahi dalam sujud itu hukumnya wajib menurut mereka.
Abu Yusuf dan Muhammad berkata, “Sujud tidak boleh hanya menggunakan hidung kecuali ada udzur karena dalilnya hadits yang telah lewat, yaitu menganggap dahi termasuk tujuh anggota sujud.” Ini pendapat yang rajih dalam madzhab Hanafiyyah.
Meletakkan dua tangan dan dua lutut dalam sujud termasuk sunnah menurut madzhab Hanafi, karena sujud sudah dapat terlaksana tanpa keduanya. Adapun meletakkan dua kaki dalam sujud, mereka anggap termasuk fardhu sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaduri.
Kesimpulannya: Fardhunya sujud menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah sudah bisa terlaksana hanya dengan meletakkan bagian dahi meski sedikit, sedangkan wajibnya menurut Hanafiyyah adalah dengan meletakkan sebagian besar dahi. Fardhunya sujud juga sudah bisa terlaksana dengan meletakkan satu jari dari dua kaki. Jika kakinya tidak menempel ke tanah (tempat sujud), maka sujudnya tidak sah. Adapun masalah pengulangan sujud sampai dua kali itu adalah perkara ta'abbudi. Maksudnya, makna pengulangan itu tidak bisa dicerna dengan akal, sebagaimana pendapat mayoritas ulama Hanafiyyah. Hal ini adalah realisasi dari cobaan atau ujian.
Jika seseorang sujud di atas lipatan serbannya yang berada di dahi, atau di atas ujung kainnya yang lebih, maka hukum sujudnya boleh menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Dan dimakruhkan jika tidak ada udzur karena hadits riwayat Anas, ia berkata, “Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika udara panas. Lantas jika salah seorang dari kami tidak kuat menahan panas pasir ketika sujud, maka ia membentangkan kainnya untuk lapisan sujud.” HR. Jama’ah (Nailul Authar jilid 2 halaman 260)
Tidak ada perbedaan dalam wajibnya membuka kedua lutut agar tidak terbuka auratnya, sebagaimana juga tidak wajib membuka dua kaki dan dua tangan, namun sunnah membukanya menurut pendapat yang keluar dari perbedaan. Dalil bolehnya tidak membuka dua tangan adalah hadits Abdullah bin Abdurrahman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi kami, lantas beliau shalat bersama kami di masjid Bani Asyhal. Ketika itu, aku melihat beliau meletakkan kedua tangan pada kain baju beliau saat sujud.” HR. Ahmad dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 261).
Ulama Syafi'iyyah berkata, jika seseorang sujud di atas kain yang masih dikenakannya, seperti ujung baju yang panjang atau serban, maka sujudnya boleh asal kain itu tidak bergerak ketika ia bergerak. Karena, kain itu hukumnya seperti hukum kain yang terpisah darinya. Kalau kain yang dijadikan alas sujud itu bergerak mengikuti gerakannya ketika bangkit, duduk atau gerakan lainnya, seperti sapu tangan di atas pundaknya, maka hukumnya tidak boleh. Dan jika dia tahu tetapi sengaja membiarkannya, maka shalatnya batal. Dan jika ia lupa atau tidak tahu, maka shalatnya tidak batal, hanya mengulang sujud saja. Shalatnya tetap sah meski sujud di atas ujung pakaian yang dipakai, asal ujung pakaian itu tidak ikut bergerak. Ulama Syafi'iyyah menganggap dhaif hadits-hadits tentang sujud di atas lipatan serban, atau hadits itu shahih tapi pada saat ada udzur saja (Nailul Authar jilid 2 halaman 260).
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah sepakat tentang wajibnya sujud atas tujuh anggota sujud yang tercantum dalam hadits di atas. Sedangkan menempelkan hidung bersama dahi, hanyalah sunnah menurut Syafi'iyyah. Namun menurut Hanabilah, hal itu wajib meski hanya sedikit bagian hidung. Syafi'iyyah mensyaratkan dalam sujud untuk menggunakan bagian dalam dua telapak tangan, dan bagian dalam jari-jari dua kaki. Maksudnya cukup hanya dengan meletakkan bagian dari setiap anggota yang tujuh seperti dahi, sedangkan untuk kedua tangan yang dianggap adalah bagian dalam telapak tangan, sedang untuk kedua kaki juga bagian dalam jari-jarinya. Jadi, tidak cukup dengan menggunakan bagian punggung atau tepi kaki.
Tuma’ninah dalam sujud: Orang yang shalat itu harus bertuma’ninah. Dan menurut mayoritas ulama, tuma’ninah itu hukumnya fardhu, berbeda dengan Hanafiyyah yang berpendapat tuma’ninah itu wajib dengan dalil hadits orang yang shalatnya jelek, “Kemudian sujudlah hingga tuma’ninah dalam sujud.” Menurut ulama Syafi'i, menekankan kepala dan menahan beratnya ketika sujud itu hukumnya wajib dengan dalil hadits yang berbunyi, “Jika engkau sujud, maka tetapkanlah dahimu pada tempat sujud.” Artinya, dengan menekan ke bawah yang sekiranya di bawah itu ada kapas atau rumput, maka kapas atau rumput itu akan tertekan ke bawah dan membekas pada telapak tangan.
Dari keterangan di atas sudah jelas, syarat sahnya sujud adalah tuma’ninah, dan membuka dahi menurut madzhab Syafi'iyyah, namun membuka dahi tidak disyaratkan menurut mayoritas. Para ulama sepakat bahwa sujud itu menggunakan dahi ditambah dua kaki menurut Hanafiyyah. Akan tetapi, menurut madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah, tambahannya dua tangan, dua lutut, dan dua kaki. Ulama Hanabilah menambahkan hidung dan syaratnya sujud itu juga harus menempel pada benda yang mampu menahan dahi. Kemudian posisi sujud itu juga harus tanakus, yaitu meninggikan bagian bawah dan merendahkan bagian atas anggota sujud, kecuali dalam keadaan penuh sesak. Dalam keadaan seperti ini, boleh bagi seseorang untuk sujud pada punggung orang lain sebagaimana dijelaskan oleh Syafi'iyyah dan Hanafiyyah. Asy-Syafi'i menambahkan harus ada kesengajaan atau niat untuk sujud. Artinya, jika ia terjatuh dalam posisi sujud, maka itu tidak dianggap sujud dan ia harus kembali pada posisi i'tidal, lantas sujud lagi.
Sunnah-sunnah dalam posisi sujud menurut mayoritas ulama adalah, pertama kali meletakkan kedua lutut pada tanah, kemudian kedua kaki, disusul dahi dan hidung. Setelah itu mengangkat wajah terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, disusul dengan kedua lutut. Posisi ini dijelaskan dalam hadits riwayat Wa'il bin Hujrin, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sujud beliau meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, dan ketika bangun dari sujud beliau mengangkat kedua tangan sebelum kedua lutut.” Imam Al-Khathabi berkata, “Hadits ini lebih shahih daripada hadits riwayat Abu Hurairah yang nanti akan disebutkan dalam madzhab Maliki.” HR. Lima kecuali Ahmad (Nailul Authar jilid 2 halaman 253). Jika urutannya dibalik juga tidak apa-apa, sujudnya sudah sah, namun melanggar sunnah kecuali ada udzur.
Menurut madzhab Malikiyyah, disunnahkan mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut pada saat hendak sujud, dan mengakhirkan kedua tangan daripada kedua lutut ketika hendak bangkit dari sujud. Pendapat ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi, “Jika salah seorang kalian hendak sujud, maka janganlah berlutut seperti unta. Turunkanlah kedua tangan terlebih dahulu, baru kemudian kedua lutut.'' HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan At-Tirmidzi. Al-Khathabi berkata sebagaimana telah kami sebutkan, yaitu bahwa hadits riwayat Wa'il bin Huirin lebih shahih daripada hadits ini. Imam At-Tirmidzi sendiri berkata, "Hadits ini gharib. Kami tidak mengenal hadits dari Abu Zinad kecuali dari jalur ini." (Nailul Authar jilid 2 halaman 255)
Ibnu Sayyidun Naas berkata, “Hadits-hadits yang menuturkan peletakan kedua tangan sebelum kedua lutut lebih rajih.” Imam An-Nawawi sendiri memilih berdiri di tengah dengan mengatakan, “Menurut saya tidak ada tarjiih antara kedua pendapat itu.”

Tempat Shalat

Ulama Malikiyyah berkata, “Shalat di atas selain tanah hukumnya makruh.” Hanabilah berkata, “Shalat di atas salju baik dengan penghalang maupun tidak, tetap sah hukumnya jika menemukan penopang tempat anggota sujud, sebagaimana juga sah hukumnya sujud di atas rumput dan kapas yang berhamburan, asal tetap menemukan penopang. Jika tidak menemukan penopang, maka shalatnya tidak sah karena tidak ada tempat untuk menahan dahinya ketika sujud.” (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 49; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 346)

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab


The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)