BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


2. RUKUN KEDUA: BERDIRI DALAM SHALAT FARDHU BAGI YANG MAMPU

Demikian juga dalam shalat wajib, seperti shalat nadzar dan sunnah menurut pendapat yang lebih shahih dari madzhab Hanafi (Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 103; Fathul Qadir jilid 1 halaman 192, 204, 278; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 307, 312; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 153; Kasysaful Qina’ jilid 1 halaman 450; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 70; Asy-Syarhul Kabir ma’a Dasuqi jilid 1 halaman 231, 237, 255-257; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 138-151).
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “ ... Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah  dengan khusyuk.” (Al-Baqarah: 238) Maksudnya taat atau khusyuk.
Dikuatkan juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Imran ibnul Hushain “Shalatlah sambil berdiri.” Hadis riwayat al-jamaah dan Hakim, dari Imran dengan redaksi, "Ketika menderita bawasir, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai shalat dan beliau bersabda, 'shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk Jika tidak mampu juga, maka shalatlgh sambil berbaring miring."' An-Nasa'i menambahkan, "Jika tidak mampu, maka berbaringlah telentang' Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya." (Nashbur Raayah jilid 2 halaman 175).
Seseorang tidak wajib berdiri dalam shalat sunnah. Artinya, shalat sunnah boleh dilaksanakan sambil duduk, meski sebenarnya mampu untuk berdiri karena sunnah itu dasarnya mudah dan ringan. Selain itu, shalat sunnah banyak macamnya. Jadi jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan berat dan bisa iadi malah ditinggalkan.
Orang yang sakit dan lemah tidak wajib berdiri dalam shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah karena beban taklif itu sesuai kemampuan. Jadi orang yang tidak mampu shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk.
Batasan berdiri dalam shalat, menurut madzhab Hanafi adalah jika seseorang meluruskan tangannya ke bawah, maka tangan itu tidak sampai pada lutut. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali, batasan berdiri adalah bukan dalam keadaan duduk juga bukan dalam keadaan membungkuk seperti rukuk, melainkan berdiri tegak. Kepala boleh ditundukkan ke bawah tanpa mengurangi kesempurnaan berdiri.
Sedangkan menurut madzhab Syafi'i, batasan berdiri dalam shalat itu dengan meluruskan  ruas tulang punggung, karena berdiri berkaitan dengan tulang punggung. Dan tidak disyaratkan menegakkan leher karena sunnahnya menundukkan kepala. Jika berdiri sambil membungkuk atau miring ke kanan atau ke kiri, sehingga tidak bisa dinamakan berdiri, maka tidak sah karena meninggalkan suatu kewajiban tanpa udzur. Membungkuk yang meniadakan arti berdiri adalah, jika membungkuk hampir seperti rukuk. Namun jika dekat dengan berdiri atau tegak, maka masih dianggap berdiri dan sah. Artinya, madzhab Syafi'i juga sama dengan pendapat Maliki dan Hambali.
Orang yang tidak mampu untuk berdiri tegak karena sakit atau memang posturnya bungkuk karena sudah lanjut usia, maka pendapat yang benar adalah ia berdiri sesuai kemampuannya. Dan jika rukul maka ia tinggal membungkuk sedikit kalau memang masih mampu.
Kadar lamanya berdiri menurut Hanafi adalah, kira-kira lamanya bacaan yang dianjurkan dalam berdiri, yaitu sekitar kadar membaca Surah Al-Faatihah, Surah lain, dan takbiratul ihram.
Sedangkan menurut mayoritas ulama, sekadar bertakbir dan membaca Surah Al-Faatihah. Karena, yang fardhu menurut mereka hanyalah membaca Surah Al-Faatihah, sedangkan membaca Surah lain termasuk sunnah.

Apakah Disyaratkan Berdiri Sendiri dalam Berdiri?

Ulama Hanafi berkata, “Bagi orang yang mampu berdiri, disyaratkan untuk berdiri sendiri tanpa sandaran. Jika ia mampu berdiri tetapi sengaja bertopang pada sebuah tongkat, atau bersender ke dinding, atau sejenisnya sehingga jika penyangga itu hilang, maka dia akan jatuh dan shalatnya tidak sah. Boleh bersandar, kalau ada udzur yang membolehkannya.” Adapun berdiri dalam shalat sunnah, maka tidak disyaratkan harus berdiri sendiri, baik ada udzur maupun tidak. Hanya saja shalatnya makruh, karena ini termasuk Su'ul Adab. Dan pahala shalat berkurang jika dilakukan sambil duduk, padahal mampu untuk berdiri dan tidak ada udzur.
Ulama Maliki berkata, “Hukumnya wajib berdiri sendiri dalam shalat fardhu bagi imam dan orang yang shalat sendiri ketika takbiratul ihram, membaca Surah Al-Faatihah dan posisi siap rukuk, sedangkan dalam posisi membaca Surah selain Al-Faatihah itu hukumnya sunnah. Jadi, boleh bersandar dan tidak batal shalatnya, hanya makruh saja. Akan tetapi jika ia bersandar pada saat membaca Surah Al-Faatihah, maka shalatnya batal karena dia dianggap tidak menjalankan salah satu rukun shalat. Jika saat membaca Surah selain Al-Faatihah ia duduk, maka shalatnya juga batal karena dianggap melanggar tata cara shalat. Adapun bagi makmum, maka tidak wajib baginya untuk berdiri sendiri saat membaca Al-Faatihah. Artinya, saat itu juga ia boleh bersandar pada tiang, meskipun jika tiang itu dihilangkan dia akan jatuh, tetapi shalatnya tetap sah.”
Ulama Syafi'i berkata, “Tidak disyaratkan berdiri sendiri dalam berdiri. Boleh berdiri sambil bersandar karena masih dianggap berdiri, namun hukumnya makruh. Akan tetapi jika ia bersandar pada sesuatu, lantas jika kedua kakinya diangkat dan dia masih tetap bersandar, tidak jatuh maka shalatnya tidak sah karena ia tidak disebut berdiri, tetapi bergantung.”
Ulama Hambali berkata, “Disyaratkan berdiri sendiri bagi orang yang mampu dalam shalat fardhu. Jadi jika dalam shalat seseorang bersandar kuat pada sesuatu tanpa ada udzur, maka shalatnya batal.”

Shalatnya Orang Sakit atau Kapan Gugur Wajibnya Berdiri?

Para ulama sepakat, bahwa wajibnya berdiri dalam shalat fardhu dan sunnah itu gugur bagi orang yang lemah dan tidak mampu berdiri. Dalilnya adalah hadits riwayat Imran ibnul Hushain, “Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, maka shalatlah sambil berbaring miring.” Jika ia mampu berdiri, namun hanya bacaan satu ayat, maka ia harus melakukannya.
Menurut mayoritas ulama selain Syafi’yyah, kewajiban berdiri juga gugur bagi orang yang shalat dalam keadaan telanjang. Shalatnya dilakukan sambil duduk dengan menggunakan isyarat, jika memang tidak menemukan kain untuk menutup auratnya.
Di antara kondisi-kondisi lemah yang menggugurkan kewajiban berdiri dalam shalat adalah kondisi perawatan, seperti orang yang darahnya akan mengalir dari lukanya jika ia berdiri, atau seseorang yang dalam perawatan mata yang mengharuskan telentang. Di antaranya juga kondisi penyakit beser, tidak dapat menahan kencing jika berdiri. Dan itu dapat ditahan jika sambil duduk. Orang yang dalam kondisi seperti itu boleh melakukan shalat sambil duduk, tanpa harus mengulang shalatnya. Pendapat ini juga didukung oleh ulama Syafi'i dalam pendapat yang lebih shahih.
Di antara kondisi yang menggugurkan berdiri dalam shalat adalah, ketika dalam keadaan takut terlihat oleh musuh jika berdiri. Dalam keadaan itu, ia boleh shalat sambil duduk dan tidak perlu mengulang shalatnya, menurut ulama Syafi'i juga.
Kondisi lain yang menggugurkan berdiri dalam shalat menurut ulama Hanabilah di antaranya, rendahnya atap bagi orang yang tidak mampu keluar dan shalat di belakang imam yang lemah tidak mampu berdiri.

Tata Cara Shalat Orang Lemah yang Sakit

Pendapat para ulama tidak jauh berbeda mengenai cara shalat orang sakit, bahkan ada cara yang lebih mudah daripada cara ulama lain.

(i) Madzhab Hanafi (Al-Lubab jilid 1 halaman 100; Fathul Qadir jilid 1 halaman 375; Al-Bada’i jilid 1 halaman 105; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 ha alan 199-204)

a. Jika yang sakit itu tidak mampu untuk berdiri, maka kewajibannya gugur dan dia boleh shalat sambil duduk sesuai kemampuan

Rukuk dan sujud juga dilakukan jika mampu. Jika tidak mampu rukukdan sujud, atau hanya sujud, maka boleh berisyarat dengan kepalanya. Untuk isyarat sujud bisa dibikin lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk, yang penting isyaratnya berbeda karena mengikuti hadits riwayat Imran ibnul Hushain yang telah disebutkan di atas.
Bagi orang sakit, ia tidak boleh meletakkan bantal atau sejenisnya ke wajah untuk sujud, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal itu. Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjenguk orang sakit yang sedang shalat menggunakan bantal untuk sujud. Lantas beliau mengambil dan membuangnya. Orang yang sakit tadi kemudian mengambil kayu untuk mengganti bantal, namun Rasul kembali mengambil dan membuangnya. Lantas beliau bersabda, “Shalatlah di atas tanah iika mampu. Jika tidak, maka pakailah isyarat, dan jadikan isyarat untuk sujudmu lebih rendah dari isyarat untuk rukuk.” Hadis riwayat Al-Bazaar, Al-Baihaqi, Abu Ya’la Al-Mushali dan Ath-Thabrani dari Ibnu Umar (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 175 dan setelahnya).

b. Jika seseorang tidak mampu shalat sambil duduk, maka ia boleh shalat sambil berbaring telentang dengan meletakkan kaki di arah kiblat dan berisyarat ketika rukuk dan sujud

Jika berbaring miring dan wajahnya ke arah kiblat sambil berisyarat, maka hal ini juga boleh. Tetapi, cara yang pertama tadi lebih utama karena isyarat orang yang telentang bisa tepat ke arah Ka'bah, sedangkan isyarat orang yang berbaring miring itu melewati sisi kedua kakinya. Artinya, berbaring telentang menurut mereka lebih utama daripada berbaring miring. Dan berbaring miring ke kanan lebih utama daripada miring ke kiri.

c. Jika tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka tangguhkan dulu shalatnya

Tidak boleh shalat dengan isyarat mata, alis mata, dan hati karena isyarat itu tidak dianggap shalat. Dalilnya berdasarkan dua hadits yang diriwayatkan dari Imran dan Jabir. Selain itu, menggantikan praktik shalat yang telah diajarkan oleh syara' dengan pendapat akal itu tidak dapat diterima, dan kepala tidak bisa dikiaskan dengan anggota yang lain. Karena, kepala bisa menjalankan rukun shalat, sedangkan mata, alis, dan hati tidak.
Meskipun sudah tidak mampu mendirikan shalat, namun kewajiban shalat tidak lantas menjadi gugur. Ia tetap harus mengqadha shalat yang ditinggalkannya, meski jumlah shalat yang ditinggalkannya banyak dan ia memahami permasalahan shalat. Inilah pendapat yang shahih sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Hidaayah. Sedangkan dalam kitab Al-Badaa'i dan lainnya, disebutkan bahwa jika jumlah shalat yang ditinggalkannya banyak, maka ia tidak wajib mengqadhanya, hanya menambah shalat yang ditinggalkan selama sehari semalam saja jika memang paham dengan masalah syara'. Alasannya karena sulitnya mengqadha dalam jumlah yang banyak, juga agar tidak memberatkan. Pendapat inilah yang dipilih dan difatwakan.
Jika orang yang sakit itu masih bisa berdiri dalam shalat, namun tidak mampu untuk rukuk dan sujud, maka tidak wajib baginya untuk berdiri. Artinya, dia boleh shalat sambil duduk dengan memberikan isyarat menggunakan kepala, namun yang lebih afdhal adalah berisyarat sambil duduk karena saat kepala agak rendah ke bawah, maka hal itu lebih mirip dengan sujud.
Jika orang sehat shalat sambil berdiri, lantas tiba-tiba ia merasa sakit, maka ia boleh menyempurnakan shalatnya sambil duduk. Rukuk dan sujud juga boleh dilakukan dalam keadaan duduk. Atau kalau tidak mampu, boleh menggantikan rukuk dan sujud dengan isyarat. Atau jika tidak mampu duduk, maka boleh shalat sambil berbaring telentang karena rendah di atas yang tinggi, dan bangunan yang lemah di atas yang kuat lebih aulo daripada semuanya lemah.
Jika ada orang shalat sambil duduk karena sakit, lantas tiba-tiba ia merasa segar dan sehat, maka ia harus shalat dalam keadaan berdiri. Karena, shalat itu dasarnya mengikuti, dan orang yang berdiri mengikuti orang yang duduk.
Jika orang sakit melakukan shalat dengan isyarat, lantas tiba-tiba ia mampu untuk rukuk dan sujud, maka ia harus memulai shalatnya kembali dari awal, karena ia tidak boleh meneruskan rukuk pada shalat yang dilakukan dengan isyarat.

(ii) Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 350-363; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 257-262)

a. Jika seorang yang shalat tidak mampu untuk berdiri sendiri karena lemah atau sebab lain yang memberatkan

Contohnya seperti ketika mendadak pusing saat shalat fardhu, maka ia boleh shalat sambil duduk, namun tidak boleh sambil berbaring, kecuali ada udzur yang membolehkannya.
Menurut madzhab Maliki, hukumnya boleh mendirikan shalat dengan sebagian berdiri dan sebagian lagi dengan duduk.

b. Siapa saja yang mampu shalat sambil berdiri, namun ia takut membahayakan dirinya sendiri

Contohnya seperti bahaya yang membolehkan seseorang bertayamum (yaitu takut timbulnya penyakit influenza atau menyebabkan pingsan, atau penyakitnya  bertambah parah, atau menyebabkan penyakitnya lama sembuh) atau dengan berdiri takut menimbulkan hadats seperti keluar angin, maka disunnahkan untuk shalat sambil bersandar pada dinding, bersandar pada tongkat, berpegangan pada tali, atau bersandar pada seseorang yang tidak dalam keadaan junub atau haid. Jika ia bersandar pada orangyang sedang junub atau haid, maka ia harus mengulang shalatnya.
Jika seseorang melakukan shalat sambil duduk, padahal ia mampu melakukannya dengan berdiri sambil bersandar, maka shalatnya sudah dianggap sah.

c. Jika seseorang sudah tidak mampu shalat, baik dalam keadaan berdiri sendiri maupun bersandar, maka ia wajib shalat sambil duduk

Akan tetapi jika tidak mampu juga, maka ia boleh shalat dalam keadaan duduk sambil bersandar.
Disunnahkan untuk shalat sambil duduk bersilang kaki di bawah paha sebagai pengganti berdiri. Duduk ini dilakukan ketika takbiratul ihram, membaca Surah, dan rukul Setelah itu mengubah posisi duduk ketika posisi duduk antara dua sujud dan duduk tasyahud.

d. Jika seseorang sudah tidak mampu melakukan shalat sambil duduk, baik duduk sendiri maupun duduk bersandar

Maka disunnahkan baginya untuk shalat sambil berbaring miring ke kanan, atau miring ke kiri jika memang susah untuk miring ke kanan. Kemudian telentang dengan posisi kedua kaki ke arah kiblat. Jika tidak mampu juga, maka shalat di atas perutnya dengan posisi kepala ke arah kiblat.
Jika ada orang yang mampu shalat sambil berdiri, namun tidak mampu rukuk, sujud, dan duduk maka ia boleh menggantikannya dengan isyarat sambil tetap dalam keadaan berdiri.
Adapun orang yang mampu melakukan shalat sambil berdiri dan duduk saja, maka untuk rukuk ia berisyarat sambil berdiri, dan untuk sujud ia berisyarat sambil duduk. Jika keduanya dibalih maka shalatnya batal.
Jika ia menggunakan isyarat dalam keadaan berdiri ataupun duduk, maka wajib baginya untuk mengangkat atau membuka serban dari dahinya. Hal ini dilakukan agar ketika sujud dahinya bisa menempel pada tanah atau pada sajadah dan sejenisnya. Akan tetapi jika dahinya sakit, atau
ada bisul di dahinya misalnya, maka ia boleh sujud dengan hidungnya, dan shalatnya tetap sah. Karena, ia telah melakukan sesuai dengan kemampuannya sendiri, walau dia tahu bahwa hakikat sujud adalah meletakkan dahi di atas tanah.
Jika ada seseorang yang melakukan shalat dengan sempurna pada rakaat pertama, namun ketika hendak bangkit dari sujud ia tidak mampu, maka boleh baginya melanjutkan shalat sambil duduk.

e. Jika ada orang yang tidak mampu melakukan rukun-rukun shalat kecuali hanya niat, atau dia mampu berniat dan menggunakan isyarat mata

Maka ia wajib melakukan shalat sesuai kemampuannya. Dan ia tidak dibebani rukun-rukun lain yang ia tidak mampu melakukannya. Kemudian jika ia masih mampu untuk salam, maka tutuplah shalatnya dengan salam. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak boleh meninggalkan shalat selama ia masih terhitung mukallaf akalnya.

(iii) Madzhab Syafi'i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 154; Al-Hadramiyyah halaman 38; Tuhtatuth Thullab halaman 69)

a. Jika seseorang sudah tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu, namun tulang punggungnya masih bisa tegak

Maka ia melaksanakan shalat sambil membungkuk, karena yang mudah dilakukan tidak jadi gugur karena adanya kesulitan.

b.. Jika seseorang sudah tidak mampu berdiri sama sekali (misalnya jika ia berdiri maka akan mengalami kesulitan yang berat dan ia tidak mampu menahannya, seperti pusing dan pening)

Maka ia boleh shalat sambil duduk sesuai kemampuannya, karena berdasarkan hadits riwayat Imran ibnul Hushain. Ia boleh rukuk dengan menghadapkan dahinya ke arah kedua lututnya, namun yang lebih afdhal dan lebih sempurna adalah dengan menghadapkannya ke arah sujud. Ukuran menghadap ke bawah saat rukuk dan sujud bisa dikira-kirakan sendiri, sesuai ukuran rukuknya orang shalat sambil berdiri. Karena, sunnah bagi seseorang untuk melihat pada tempat sujudnya ketika shalat.
Kemudian untuk duduk, lebih baik duduk seperti halnya ketika duduk pada tasyahud awal. Dan ini lebih afdhal menurut pendapat Azhhar daripada duduk bersilang kaki di bawah paha. Karena, duduk seperti dalam tasyahud itu adalah yang dianjurkan dalam shalat. Jadi, tentunya duduk seperti itu lebih afdhal daripada duduk yang lainnya. Dan dimakruhkan baginya untuk duduk seperti aniing dan kera, yaitu duduk dengan pantat sambil meluruskan kedua lututnya.

c. Jika sudah tidak mampu shalat sambil duduk

Maka ia wajib shalat sambil berbaring miring dan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Miring ke kanan lebih afdhal daripada miring ke kiri, dan hukumnya makruh miring ke kiri jika masih bisa miring ke kanan.

d. Jika sambil berbaring juga tidak mampu

Maka boleh shalat sambil telentang. Namun, tetap wajib mengangkat kepala menghadap kiblat meski dengan bantuan bantal, kecuali jika ia berada di Ka'bah beratap, maka ia boleh telentang dengan punggungnya, atau dengan wajahnya jika memang tidak beratap. Karena bagaimanapun menghadap, ia tetap mengarah ke Ka'bah. Sedangkan untuk rukuk dan sujud, ia boleh melakukannya sesuai kemampuan. Boleh dengan isyarat kepala untuk rukuk dan sujud, dan tentunya untuk sujud agak lebih dalam isyaratnya daripada untuk rukuk.

e. Jika semua hal di atas tidak mampu dilakukan

Maka ia boleh shalat dengan isyarat mata untuk semua gerakan shalat. Jika tidak mampu melakukannya juga, maka ia shalat dengan hatinya, beserta sunnah-sunnahnya, misalnya dengan membayangkan dirinya berdiri, rukuk, dan seterusnya. Kemudian jika lidahnya kelu dan kaku hingga tidak dapat berbicara, maka rukun-rukun dalam shalat yang berupa bacaan boleh dilakukan dalam hati. Meski keadaan seperti itu, namun kewajiban shalat tidak menjadi gugur selama ia masih berakal dan termasuk dalam hitungan taklif. Selama ia mampu melakukan shalat dalam keadaan apa pun, maka ia harus menjalankan shalat.

f. Orang yang mampu shalat sambil berdiri

            Boleh mendirikan shalat sunnah sambil duduk, atau sambil berbaring menurut pendapat yang lebih shahih, bukan sambil telentang. Kemudian duduk untuk rukuk dan sujud. Tidak boleh menggantikan keduanya dengan isyarat jika shalat sambil berbaring. Hal ini karena memang tidak ada nash hadits yang menjelaskannya.
Adapun untuk masalah pahala, maka pahala shalat orang yang duduk dan ia mampu untuk berdiri itu setengah dari pahala shalat orang yang berdiri. Dan pahala shalat orang berbaring, setengah dari pahala shalat orang yang duduk. Karena, ada hadits yang menjelaskan tentang hal itu.
Kesimpulannya: orang yang sakit tetap harus menjalankan shalat meski dalam keadaan apa pun. Ia melakukan shalat sesuai kemampuannya, meski hanya dengan isyarat dan dia tidak wajib mengulang shalatnya. Akan tetapi orang yang tenggelam dan terbelenggu, keduanya shalat dengan isyarat, namun harus mengulang shalatnya jika sudah ada kesempatan.

(iv) Madzhab Hambali: Hampir sama dengan madzhab Syafi'i (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 587-589; Al-Mughni jilid 2 halaman 143-149)

a. Orang sakit tetap wajib shalat fardhu dalam keadaan berdiri

Namun jika tidak mampu maka boleh shalat dengan tubuh melengkuk seperti rukuk. Karena, hadits Imran ibnul Hushain yang diriwayatkan secara marfu' berbunyi, “Shalatlah sambil berdiri. Namun jika tidak mampu, maka shalatlah sambil miring.” Hadits ini banyak perawinya. Imam An-Nasa'i menambahkan, “Jika tidak mampu, maka shalatlah sambil telentang.” Dikuatkan juga dengan hadits yang berbunyi, “Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka jalanilah sesuai kemampuan kalian.”
Shalat tetap dilakukan dalam keadaan berdiri, meskipun sambil bersandar pada sesuatu dengan memberikan upah secukupnya jika mampu membayar. Akan tetapi jika tidak mampu membayar upah, maka boleh shalat sesuai kemampuannya. Pendapat ini cocok dengan pendapat madzhab Maliki.

b. Jika tidak mampu shalat sambil berdiri karena sakit atau karena halangan lain yang memberatkan, atau malah bertambah sakitnya, atau menjadikan sembuhnya lama, atau sejenisya

Maka ia boleh shalat sambil duduk karena ada hadits yang membolehkannya. Disunnahkan duduk sambil bersilang kaki di atas paha, sebagaimana madzhab Maliki. Kemudian kedua kakinya dilipat saat rukukdan sujud.

c. Jika tidak mampu untuk shalat sambil duduk atau masih bisa tetapi merasa berat

Maka ia boleh shalat sambil berbaring miring sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imran ibnul Hushain. Posisi miring ke kanan lebih afdhal daripada posisi miring ke kiri, karena ada hadits marfu' dari Ali yang berbunyi, “Orang sakit tetap harus shalat sambil berdiri. Namun jika tidak mampu, maka ia boleh shalat sambil duduk. Jika tidak mampu sujud, maka ia boleh menggantikannya dengan isyarat, dan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk. Jika shalat sambil duduk juga tidak mampu, maka ia boleh shalat sambil berbaring miring ke kanan menghadap kiblat. Jika ini juga tidak mampu, maka ia boleh shalat sambil telentang dengan menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat.” Hadis riwayat Ad-Daruquthni.
Boleh juga ia shalat miring ke kiri, berdasarkan nash hadits dari Imran, namun tetap menghadap kiblat.

d. Sah juga shalat sambil telentang menggunakan punggung dengan kedua kaki tetap ke arah kiblat

Meski ia mampu untuk shalat sambil berbaring miring, karena ini juga bentuk menghadap (jenazah juga dihadapkan seperti ini).  Akan tetapi, hukumnya makruh. Jika tidak mampu juga, maka boleh shalat miring, membantu punggung karena berdasarkan nash hadits yang diriwayatkan oleh Ali.
Untuk rukuk dan sujud, ia tetap harus menggunakan kepala sebagai isyarat pengganti keduanya. Hal ini berdasarkan hadits yang berbunyi, “Jika aku memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kalian.” Akan tetapi, usahakan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk karena hadits riwayat Ali, dan untuk membedakan isyarat untuk keduanya.

e. Jika tidak mampu berisyarat dengan kepalanya untuk rukuk dan sujud, seperti orang lemah yang tertawan

Maka ia boleh shalat dengan menggunakan isyarat mata dan niat dengan hatinya. Hal ini boleh dilakukan karena riwayat Zakaria dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika tidak mampu juga, maka shalatlah dengan menggunakan isyarat mata.”

f. Jika tidak mampu berisyarat dengan mata

Maka shalatlah dengan hati dengan menghadirkan bacaan-bacaan shalat, asal memang sudah tidak mampu melafalkan, dan menghadirkan gerakan-gerakan shalat dalam hatinya. Karena firman Allah Ta’ala  yang berbunyi, “... dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” (Al-Hajj: 78) juga firman-Nya yang berbunyi, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...” (Al-Baqarah: 286) Dikuatkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “Jika aku menyuruh melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kalian.”
Kewajiban shalat selamanya tidak akan gugur dari seorang yang sudah mukallaf, selama akalnya masih berfungsi, dan masih mampu berniat dalam hati serta berisyarat dengan mata atau anggota lainnya. Hal ini karena berdasarkan dalil perintah wajibnya shalat secara umum. Adapun hadits Ad-Darimi dan lainnya dari Ibnu Umar secara marfu' yang berbunyi, "Orang yang sakit boleh shalat sambil duduk. Jika tidak mampu, maka boleh sambil tidur miring. Jika tidak mampu, boleh sambil telentang. Dan jika tidak mampu juga, maka Allah berhak memberikan udzur baginya." Hadits ini dhaif sanadnya.
Kesimpulannya, batas kondisi minimal bagi orang sakit untuk shalat adalah dengan menggunakan kepala untuk isyarat. Pendapat ini menurut madzhab Hanafi. Sedangkan dalam madzhab Maliki, batas minimalnya boleh dengan isyarat mata atau dengan niat. Menurut Syafi'i dan Hambali, boleh melaksanakan rukun-rukun shalat dengan hati.
Akan tetapi, keempat madzhab sepakat bahwa kewajiban shalat itu tetap tidak gugur selama seseorang masih berakal. Namun menurut Hanafi, seseorang tetap harus mengqadha shalatnya jika tidak mampu berisyarat dengan kepala.



PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)