Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
8. RUKUN KEDELAPAN: DUDUK TERAKHIR SELAMA TASYAHUD
Duduk ini termasuk fardhu dalam shalat menurut
madzhab Hanafiyyah -sampai pada bacaan, “Abduhu wa Rasuuluh” menurut
pendapat yang shahih. Jika makmum selesai membaca tasyahud sebelum imam
selesai, lantas ia makan atau berbicara, maka shalatnya sudah sempurna. Duduk
terakhir dalam shalat, membaca tasyahud akhir, shalawat atas Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dan setelah itu duduk diam selama bacaan, ”Allaahumma
Shalli'alaa Muhammad,” menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah termasuk rukun.
Namun menurut Malikiyyah, yang rukun adalah lamanya duduk untuk salam. (Fathul
Qadir ma’al ‘Inayah jilid 1 halaman 113; Al-Bada’i jilid 1 halaman
113; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 104; Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 240, 251; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 64; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 172; Al-Mughni jilid 1 halaman 532;
Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 453; Bidayatul Mujtahid jilid 1
halaman 125)
Perlu diperhatikan bahwa tasyahud awal sama hukumnya
seperti tasyahud akhir, yaitu wajib menurut Hanafiyyah. Sunnah menurut
mayoritas ulama, sebagaimana juga sunnahnya membaca shalawat atas Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam tasyahud akhir menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Dalil yang dipakai oleh madzhab Hanafiyyah adalah
hadits dari Ibnu Mas'ud ketika ia diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengenai tasyahud, “Jika engkau telah membaca ini, atau melakukan
ini, maka shalatmu telah sempurna.” Riwayat ini mudraj menurut
Ad-Daruquthni. Jadi, hukumnya seperti hadits mauquf. Sementara, ada redaksi
hadits lain dari Abu Dawud dan Ahmad, yaitu "Jika engkau telah membaca
ini, dan menyelesaikan ini, maka engkau telah menyelesaikan shalatmu. Jika
engkau ingin berdiri maka berdirilah, dan jika engkau masih ingin duduk, maka
duduklah." (Nailul Authar jilid 2 halaman 298; Nashbur
Raayah jilid 1 halaman 424; dan akan ada hadits lain dalam pembahasan rukun
salam menurut Hanafiyyah).
Maksudnya, jika engkau telah membaca tasyahud dan
telah memenuhi duduk, maka telah sempurnalah shalatmu. Dalam hadits ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggantungkan kesempurnaan shalat
dalam duduk, baik membaca tasyahud maupun tidak. Karena, beliau
menggantungkannya pada salah satu dari dua perkara, yaitu antara membaca
tasyahud dan duduk. Sementara membaca tasyahud sendiri tidak disyariatkan tanpa
duduk, karena Rasul tidak membacanya kecuali dalam posisi duduk. Artinya, posisi
duduklah yang menjadi pembahasan utama dalam kesempurnaan shalat, bukan keharusan
membaca tasyahud. Karena, setiap sesuatu yang digantungkan pada sesuatu yang lain,
maka sesuatu pertama tidak mungkin ada tanpa sesuatu kedua. Dalam hal ini,
karena kesempurnaan shalat itu wajib atau fardhu, dan kesempurnaan itu tidak bisa
didapat tanpa duduk, maka posisi duduk itu juga hukumnya wajib atau fardhu.
Karena, suatu perkara yang menjadi syarat kesempurnaan suatu kewajiban itu juga
hukumnya wajib.
Adapun hadits Ibnu Mas'ud yang termasuk hadits
Ahad, dapat menjadikan hukum fardhu karena hadits itu menjelaskan ayat Al-Qur'an
yang masih mujmal, masih umum. Dan sebagai penjelas, boleh menggunakan hadits
yang bersifat zhanni, berbeda dengan membaca Surah Al-Faatihah karena ada nash Al-Qur'an,
dan nash untuk membaca ayat atau Surah itu tidak mujmal, bahkan hal itu
termasuk khusus. Jadi kalau misalnya ada penambahan dalam hukum itu, maka
penambahan itu menghapus nash Al-Qur'an dengan hadits Ahad, dan hal itu tidak
boleh.
Sedangkan dalil yang dipakai madzhab Maliki,
tasyahud dan duduk itu bukan wajib, karena keduanya bisa digantikan dengan
sujud Sahwi, dan itu artinya sama saja hukumnya seperti sunnah-sunnah yang
lain.
Adapun dalil yang dipakai madzhab Syafi'iyyah dan
Hanabilah adalah Rasulullah selalu duduk dalam tasyahud, dan beliau menyuruh Ibnu
Abbas untuk melakukan itu. Beliau bersabda, “Ucapkanlah, At-Tahiyyaatu
lillaahi...,” dan mensyariatkan sujud Sahwi ketika lupa. HR. Muslim dan Abu
Dawud (Nailul Authar jilid 2 halaman 281). Dalil ini diperkuat oleh
sabda beliau, “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Ibnu Mas'ud berkata, “Sebelum tasyahud difardhukan,
kami pernah membaca, “Salam sejahtera bagi Allah dari hamba-Nya. Salah sejahtera
bagi Jibril, salam sejahtera bagi Mikail, salam sejahtera bagi fulan.” Lantas
Rasul melarang seraya bersabda, “Janganlah kalian berucap, “Salam sejahtera
bagi Allah, karena Dia itu sumber keselamatan. Akan tetapi ucapkanlah, “Segala
penghormatan bagi Allah Ta’ala ....” HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi,
sanadnya shahih.
Pengambilan dalil dari hadits itu ada dua segi,
pertama redaksi hadits yang menggunakan kata fardhu, dan kedua adalah perintah dari
Rasul dalam duduk pada akhir shalat. Adapun untuk duduk sendiri itu termasuk rukun
atau fardhu, karena digunakan sebagai sarana membaca tasyahud yang hukumnya fardhu.
Jadi, hukum duduk dalam tasyahud itu juga mengikuti hukum tasyahud, yaitu
fardhu.
Adapun hukum fardhunya membaca shalawat atas
nabi dalam tasyahud akhir adalah ijma para ulama atas hal itu. Karena, shalawat
tidak wajib kecuali dalam shalat. Jadi, jelas wajib hukumnya dalam shalat. Juga,
karena hadits yang berbunyi, “Kami telah mengetahui bagaimana membaca salam
untuk Anda, namun bagaimana cara membaca shalawatnya?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah,
Allaahumma Shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa Aali Muhammad....” Muttafaqun
‘alaihi.
Riwayat lain menyebutkan, “Bagaimana kami
membaca shalawat kepada Anda ketika kami dalam shalat?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah
... (sama seperti di atas)” HR. Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.
Hadis ini sesuai dengan syarat-syarat Muslim. Dan uruannya sesuai dengan urutan
dalam hadits.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
membaca shalawat untuk diri beliau sendiri dalam shalat Witir, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Awanah dalam Musnad-nya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Tidak ada sesuatu pun yang mengeluarkannya dari hukum wajib. Sementara ada hadits
yang menunjukkan hukum wajib, yaitu hadits Ali dalam sunan At-Tirmidzi dengan predikat
haditsnya hasan shahih. Dalam hadits itu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang bakhil adalah orang yang jika disebutkan namaku di hadapannya, ia
tidak membaca shalawat kepadaku.”
Beliau juga menuturkannya dalam tasyahud. Dalil
lain yang menguatkan hukum wajib adalah riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dari Ibnu
Mas'ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan redaksi, “Jika
kalian membaca tasyahud dalam shalat, maka ucapkanlah, Allaahumma shalli 'alaa
Muhammad....”
Membaca shalawat atas Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam tasyahud awal hukumnya sunnah menurut madzhab
Syafi'i yang azhhar karena untuk meringankan. Dan dalam tasyahud awal tidak
disunnahkan untuk membaca shalawat atas keluarga beliau, namun dalam tasyahud
akhir itu hukumnya sunnah. Maksud keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah mereka keturunan Hasyim dan Abdul Muththalib. Pendapat lain mengatakan
bahwa membaca shalawat atas keluarga Nabi hukumnya wajib, karena hadits di atas
berbunyi, “Ucapkanlah, Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa aali
Muhammad,”' Perintah dalam hadits ini mengandung arti wajib.
Posisi Duduk dalam Tasyahud:
Posisi duduk dalam tasyahud akhir menurut madzhab
Hanafiyyah sama seperti posisi duduk di antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy sebagaimana
telah kami jelaskan. Posisi itu tetap sama baik dalam akhir shalat maupun bukan.
Dalilnya diambil dari hadits riwayat Abu Humaid as-Sa'idi mengenai sifat shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam duduk iftirasy dengan kaki kiri dalam tasyahud, sambil menghadapkan
jari-jari kaki kanan ke kiblat. HR. Al-Bukhari, hadis shahih hasan (Nailul
Authar jilid 2 halaman 275).
Wa'il bin Hujrin berkata, “Aku sengaja
datang ke Madinah hanya untuk melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Lantas aku lihat ketika duduk tasyahud, beliau menduduki kaki kiri (iftirasy),
meletakkan tangan kiri di atas paha kiri, dan menegakkan kaki kanan beliau.”
Imam At-Tirmidzi, hadis hasan shahih (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 419;
Nailul Authar jilid 2 halaman 273)
Madzhab Malikiyyah (Asy-Syarhush Shaghir jilid
1 halaman 329) berkata, “Duduk tawarruk baik dalam tasyahud awal maupun
tasyahud akhir.” Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh lbnu
Mas'ud. Ia meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk tawarruk
baik di tengah shalat maupun di akhirnya (Al-Mughni jilid 1 halaman 533).
Madzhab Hanabilah dan Syafi'iyyah berkata, “Disunnahkan
duduk tawarruk dalam tasyahud akhir.” Duduk tawarruk itu hampir sama dengan
duduk iftirasy, hanya bedanya kalau dalam duduk tawarruk kaki kiri disilangkan di
bawah kaki kanan dan pantatnya ditempelkan di tanah. Dalilnya adalah sebuah
hadits riwayat Abu Humaid As-Sa'idi yang berbunyi, “Hingga ketika sampai
pada rakaat terakhir, Rasulullah mengakhirkan kaki kiri dan duduk dengan pantat
lantas salam.” HR. Lima kecuali An-Nasa’i. Hadis ini dishahihkan oleh
At-Tirmidzi. Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis ini tetapi secara ringkas (Nailul
Authar jilid 2 halaman 184).
Duduk tawarruk dalam shalat adalah duduk
menggunakan pantat sebelah kiri. Akan tetapi, ulama Hanabilah berkata, “Dalam
shalat Subuh tidak duduk tawarruk dalam tasyahud karena bukan termasuk tasyahud
kedua. Sementara, yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana
dalam hadits di atas adalah dalam tasyahud kedua. Tujuannya untuk membedakan
antara tasyahud awal dan tasyahud kedua. Adapun duduk dalam tasyahud shalat
Subuh itu tidak disebut tasyahud kedua, jadi tidak perlu dibedakan dengan duduk
tawarruk.”
Kesimpulannya: duduk tawarruk dalam tasyahud
kedua hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama, namun menurut madzhab Hanafiyyah
itu bukanlah sunnah.
Redaksi Tasyahud:
Ada dua redaksi tasyahud yang ma'tsur: Hanafiyyah
dan Hanabilah (Fathul Qadir jilid 1 halaman 221; Al-Qawanin
Al-Fiqhiyyah halaman 65; Al-Mughni jilid 1 halaman 534-539) berkata,
“Redaksi tasyahud itu berbunyi, 'Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan
atas Allah. Semoga keselamatan dan berkah Allah senantiasa tercurah atasmu,
wahai Nabi. Dan semoga keselamatan juga bagi kita dan bagi hamba-hamba Allah yang
saleh. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Redaksi tasyahud inilah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada Abdullah bin Mas'ud. HR. Jama’ah (Nailul Authar jilid
2 halaman 278; Nashbur Rayah jilid 1 halaman 410).
Imam Malik berkata, “Sebaik-baik redaksi tasyahud
adalah redaksi tasyahud Umar ibnul Khaththab yang berbunyi, At-tahiyyaatu
lillaah, az-Zaakiyaatu lillaah, ash-Shalawaatu Iillaah...”'
dan seterusnya seperti tasyahudnya Ibnu Mas'ud di atas.
Ulama Syaf’iyyah (Mughnil Muhtaj jilid
1 halaman 174) berkata, “Sependek-pendeknya tasyahud adalah tasyahud yang
berbunyi, At-Tahiyyaatu lillaah, salaamu'alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi
wa barakaatuh. As-Salaamu'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu
allaa ilaaha illallaah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah.” Adapun redaksi
tasyahud yang sempurna adalah tasyahud yang terdapat dalam hadits riwayat Ibnu
Abbas. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan
kami bacaan tasyahud sebagaimana beliau juga mengajarkan kami Surah-Surah Al-Qur'an.
Beliau bersabda, “Penghormatan penuh berkah dan shalawat yang baik hanya untuk Allah.
Semoga keselamatan dan rahmat Allah senantiasa tercurah kepadamu, wahai Nabi. Dan
semoga keselamatan itu juga tercurah atas kami dan hamba-hamba Allah yang
saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba
sekaligus utusan-Nya.” HR. Muslim dan Abu Dawud dengan redaksi ini.
Dishahihkan oleh Imam At-Tirmidzi. Ibnu Majah juga meriwayatkannya, tetapi
dengan tambahan redaksi, “Asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluhu.”
(Nailul Authar jilid 2 halaman 281)
Arti Redaksi Tasyahud:
Arti kata at-Tahiyyaatu lillaah, adalah
pujian dan penghormatan untuk Allah Ta’ala sebagai Raja Yang berhak mendapatkan
segala penghormatan dari makhluk- Nya, sebagai pengakuan bahwa Allah Ta’ala itu
adalah raja yang agung dan kekal. Pendapat lain mengatakan bahwa kalimat
tersebut artinya 'keselamatan.'
Adapun kalimat “Al-Mubaarakaat''
artinya 'yang tumbuh dan berkah.' Sedangkan kalimat “ash-Shalawaat”
artinya,' shalat lima waktu beserta ibadah sunnah lainnya.' Kalimat “ath-Thayyibaat'
artinya amal saleh. Kalim at ”as-Salaamu” artinya 'keselamatan Allah
Ta’ala yang ditujukan kepada para rasul dan para nabi mengalir kepadamu, wahai
Nabi Muhammad.' Kalimat “Wa 'alainaa” artinya, 'orang-orang yang hadir'
yaitu imam, makmum, para malaikat, dan makhluk lainnya. Kalimat “al-ibaad”
adalah bentuk jamak dari kata Al-Abdu. Kata ash-Shaalihiin adalah
jamak dari kata shaalih, artinya 'melaksanakan perintah dengan menjaga
hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak makhluk.' Arti kalimat “Rasuulullaah”
adalah 'orang yang menyampaikan kabar dari Allah Ta’ala.' Rangkaian kalimat
tersebut dinamakan tasyahud, karena di dalamnya terdapat pengucapan dua kalimat
syahadat.
Membaca Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam Tasyahud Akhir
Sependek-pendek redaksi shalawat yang dibaca
dalam tasyahud akhir; yang merupakan rukun menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah adalah,
“Allaahumma shalli 'alaa Muhammad” karena firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman!
Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan
kepadanya.” (Al- Ahzaab : 56) Shalawat dari Allah untuk hamba-Nya adalah
pemberian rahmat dan keridhaan. Adapun shalawat dari malaikat adalah permohonan
doa dan ampunan, sedangkan dari umat adalah doa dan penghormatan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam untuk menunjukkan kedudukan beliau di sisi Allah. Juga
untuk mendapatkan pahala yang agung, sebagaimana sabda beliau, "Siapa
saja yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan menggantinya dengan
sepuluh rahmat."
Ayat ini menunjukkan bahwa membaca shalawat
itu wajib, karena perintah dalam ayat ini mengandung arti wajib. Dalam
tasyahud, penghormatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah
bisa dicapai dengan kalimat, 'As-salaamu'alaika.” Adapun membaca
shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya hanyalah sunnah.
Redaksi shalawat yang sempurna adalah sebagai
berikut, “Ya Allah, anugerahilah keselamatan kepada Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau telah menyelamatkan lbrahim dan keluarganya. Ya
Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim
dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Pemberi yang tak terbatas.”
Redaksi ini diriwayatkan dari Abu Mas’ud, Ali, Abu Hurairah dan Thalhah bin
Ubaidillah (Nailul Authar jilid 2 halaman 284; Tafsir Ibnu Katsir jilid
2 halaman 507).
Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa
membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya adalah
sunnah.
Membaca Tasyahud dengan Bahasa Arab:
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments