BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 

PENJELASAN HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT

11. BERDENDANG DALAM BACAAN ATAU KESALAHAN PEMBACA

Menurut ulama Hanafiyyah (Ad-Durrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 589-593), dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat ulama lama, termasuk di dalamnya Syafi'iyyah, dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati. Kedua, pendapat ulama baru yang lebih mengedepankan kemudahan.
Kesimpulan pendapat ulama-ulama lama adalah sebagai berikut.
Shalat dianggap batal dengan segala sesuatu yang mengubah makna dengan perubahan yang membawa pada kekufuran, dan dengan sesuatu yang tidak terdapat contohnya dalam Al-Qur'an. Berubah satu huruf saja dalam Al-Qur'an akan membawa perubahan makna yang sangat jauh, seperti misalnya kalimat “Haadzal ghuuraab” (Al-Maa'idah: 31) dibaca “Haadzal ghubaar.” Seperti juga kalimat “As-Saraa'iy” (Ath-Thaariq: 9) dibaca”As-Saraa'il.” Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, shalat juga dianggap batal meski dengan bacaan yang serupa dengan Al-Qur'an, namun artinya jauh. Seperti, misalnya pada kalimat “Qawaamiin” (An-Nisaa': 135) dibaca “Qiyaamain.” Kebalikan perbedaan di atas, menurut keduanya tidak batal, namun menurut Abu Yusuf batal.
Ulama-ulama yang baru atau muta'akhir berpendapat bahwa kesalahan i'rab dalam bacaan shalat tidak serta-merta membatalkan shalat, meski i'tiqadnya kufur karena kebanyakan orang tidak paham mengenai i'rab.
Jika kesalahannya berupa pergantian huruf, jika memang masih mampu membedakan antara keduanya tanpa kesulitan, seperti mengganti huruf Shaad dengan huruf Tha' dalam ayat, “Ash-Shaalihaat'' (Al-Kahfi: 108) menjadi “Ath-Thalihaat” maka shalatnya batal menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi jika kesulitan membedakannya, maka kebanyakan ulama menganggap shalatnya tetap sah dan tidak batal.
Shalat tidak dianggap batal hanya dengan membaca ringan pada huruf-huruf yang bertasydid atau sebaliknya, seperti membaca ayat “Afa'ayiina” dengan tasydid dan sebagainya. Shalat juga tidak batal meski dalam ayat ditambahkan satu huruf atau lebih, contoh “ash-Shiraathal Ladziina” atau menyambung huruf dengan kalimat setelahnya, seperti “Iyyaa Kana'budu atau berhenti di tengah ayat dan memulai lagi. Hal ini tidak membatalkan shalat meski mengubah makna.
Akan tetapi, shalat dianggap batal jika tidak membaca dengan tasydid pada kalimat “Rabbil Aalamiin” (Al-Faatihah: 2) dan pada kalimat “Iyyaaka Na'budu” (Al-Faatihah: 5).
Shalat tidak batal meski dengan menambahkan atau mengurangi kalimat, mengurangi huruf, atau mengganti dengan yang lain, seperti pada contoh kalimat, (من ثمره إذا أثمر واستحصد) dan (تعالى جدنا) dan (انفرجت) sebagai kata ganti kalimat “infajarat” dan ”Iyaab” sebagai ganti “Awwaab
kecuali jika hal itu mengubah makna.
Shalat juga tidak batal dengan pengulangan kalimat meski berubah makna, misal “Rabb Rabbil' aalamiin.”
Akan tetapi jika perubahan terjadi pada kalimat dan memengaruhi makna, maka shalatnya batal, seperti misalnya kalimat (إن الفجار لفي جنات) atau (لعنة الله على الموحدين). Shalat juga batal jika terjadi kesalahan penyebutan nasab, misalnya “'Isa ibni Luqmaan” tapi berbeda dengan misalnya “Musa ibni Luqman” dan “Maryam binti Ghailan.” Jika perubahannya tidak mengubah makna, seperti kalimat Ar-Rahman sebagai ganti Al-Kariim, maka ulama sepakat hal itu tidak membatalkan shalat.
Ulama Hanabilah (Al-Mughni jilid 2 halaman 198) berkata, jika dengan bacaan itu mengubah makna selain pada surah Al-Faatihah, maka shalatnya tetap sah dan boleh untuk dijadikan imam. Kecuali jika memang terdapat unsur kesengajaan, maka shalatnya batal. Adapun jika mengubah makna pada surah Al-Faatihah, maka shalatnya batal.




PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)