BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

Shalat sebagaimana kita ketahui adalah ibadah yang terdiri atas bacaan dan perbuatan tertentu yang wajib dijalankan dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, agar shalat itu benar sesuai dengan tuntunan dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Jika dalam praktik ibadah shalat itu ada  perbuatan atau perkara yang bertentangan dengan tata cara shalat yang syar'i, maka shalatnya rusak atau batal. Para ulama sepakat bahwa kata rusak dan batal jika digunakan dalam hal ibadah artinya sama, sedangkan dalam muamalah, seperti jual beli, maka kedua kata tersebut menurut Hanafiyyah mempunyai arti yang berbeda.
Jika praktik ibadah dianggap rusak, maka  wajib mengulanginya karena yang dimaksud dengan rusak atau batal adalah keluarnya ibadah dari jalur yang sudah ditentukan karena kurangnya rukun-rukun yang telah ditentukan.
Terkadang shalat sudah dianggap batal dari permulaan takbir karena tidak lengkapnya syarat-syarat sah shalat, seperti bersuci dan menutup aurat. Adapun jika aurat terbuka di tengah shalat maka hukumnya batal menurut Hanafiyyah, dengan catatan kalau memang terbukanya aurat itu selama penunaian satu rukun, yaitu sekitar selesainya bacaan tasbih sebanyak tiga kali. Shalat juga dianggap batal dari awalnya jika salah satu rukunnya tidak dipenuhi, yaitu jika tidak membaca takbiratul ihram. Bisa juga batal di tengah-tengah shalat jika memang salah satu rukunnya tidak dijalankan, seperti tidak melakukan rukuk atau sujud.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT MENURUT FUQAHA

Menurut para fuqaha, hal-hal terpenting yang dapat membatalkan shalat adalah sebagai berikut (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 574-593; Al-Bada’i jilid 1 halaman 233-242; Muraqil Falah halaman 52-54; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 343-356; Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 182-186; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 51; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 194-200; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 86-88; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 465-470; Al-Mughni jilid 2 halaman 1-5 dan 44-62). Perlu diketahui bahwa Hanafiyyah menyebutkan 68 perkara yang membatalkan shalat, sedangkan menurut Malikiyyah hanya 30 perkara, Syafi'iyyah menyebutkan 27 perkara, dan Hanabilah menyebutkan sekitar 36 perkara yang membatalkan shalat.


1. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT MENURUT MADZHAB HANAFI

Hal-hal yang membatalkan shalat ada enam puluh delapan (Muraqil Falah halaman 52-54; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 574-589; Al-Bada’i jilid 1 halaman 233-243). Perinciannya sebagai berikut.
Berbicara meski karena lupa ataupun kesalahan, membaca doa yang serupa dengan omongan biasa, seperti doa, “Ya Allah, jodohkanlah aku dengan fulanah, atau Ya Allah berilah aku pakaian.” Mengucapkan salam dengan niat penghormatan, meski karena lupa. Menjawab salam dengan lisan atau dengan bersalaman.  
Melakukan banyak gerak, memalingkan dada dari arah kiblat, memakan sesuatu dari luar mulut meski sedikit. Memakan sisa makanan di sela-sela gigi yang sebesar kacang. Meminum. Mengunyah dalam shalat juga dapat membatalkan shalat, karena kalau dilihat dari jauh jelas terlihat tidak sedang shalat.
Berdehem tanpa ada udzur; berkata “cih,” seperti meniup debu, gelisah, merintih, mendesah, menangis karena sakit atau terkena musibah, bukan karena ingat surga dan neraka.
Mendoakan orang bersin dengan mengucapkan (يرحمك الله) menjawab orang yang bertanya tentang sekutu untuk Allah dengan mengucapkan “Tiada tuhan selain Allah.” Mengucapkan (إنا لله وإنا إليه راجعون) karena mendengar kabar buruk. Mengucapkan hamdallah karena mendengar kabar gembira. Mengucapkan kalimat tahlil “Laa ilaaha illallaah” atau “Subhaanallaah” karena melihat sesuatu yang menakjubkan.
Segala bacaan yang ditujukan untuk menjawab, seperti ayat (يا يحي خذ الكتاب) diucapkan untuk menjawab orang yang meminta kitab atau buku dan sejenisnya. Membaca ayat (أتنا غذائنا) sebagai jawaban pertanyaan akan sesuatri yang diinginkan. Mengucapkan ayat (تلك حدود الله فلا تقربوها) sebagai jawaban bagi orang yang meminti izin untuk mengambil sesuatu. Akan tetapi jika niatnya bukan untuk menjawab, melainkan untuk memberitahukan bahwa dirinya sedang dalam shalat, maka shalatnya tidak batal.
Orang shalat dengan tayamum, lantas melihat air sebelum duduk tasyahud akhir. Habisnya masa memakai khuf. Melepas khuf, orang buta huruf belajar ayat selama tidak menjadi makmum. Orang shalat dengan isyarat tapi mampu untuk rukuk dan sujud. Ingat bagian shalat yang tertinggal jika termasuk bagian yang harus dilakukan secara tertib dan waktunya cukup. Mengangkat seorang yang tidak layak untuk menjadi pengganti imam. Orang shalat sambil telanjang dan melihat kain untuk menutup aurat. Terbitnya matahari pada waktu shalat Subuh. Tergelincirnya matahari pada waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Masuknya waktu Ashar pada shalat Jumat. Jatuh atau lepasnya pembalut luka, dan hilangnya udzur bagi yang punya udzur; jika memang hal itu termasuk salah satu dari dua belas perkara dan terjadi sebelum duduk terakhir selama bacaan tasyahud.
Di antara yang membatalkan shalat adalah hadats dengan sengaja atau karena perbuatan orang lain, pingsan, gila, junub karena memandang atau bermimpi dalam tidur.
Bersebelahan kaki dan tumit antara wanita cantik dan lelaki dalam barisan shalat menurut
pendapat yang lebih shahih juga membatalkan shalat, meski wanita itu mahram, istri, atau nenek-nenek buruk rupa. Kedekatan itu dalam menjalankan rukun menurut Imam Muhammad atau seukuran rukun menurut Abu Yusuf. Juga dalam shalat yang ada rukuk dan sujudnya. Artinya, dalam shalat jenazah, kedekatan itu tidak membatalkan karena dalam shalat jenazah tidak ada sujud dan rukuknya. Bersama-sama mengikuti imam dalam satu tempat tanpa penghalang seukuran satu dzira' atau ruang yang cukup untuk pijakan kaki, dan tidak memberi isyarat pada wanita agar terlambat darinya. Jika tidak terlambat dengan isyaratnya, maka shalat si wanita batal. Tidak membebani untuk mendahului wanita karena makruh. Sang imam telah berniat menjadi imam bagi wanita, dan jika belum niat maka tidak dihitung dalam shalat sehingga tidak sampai terjadi kedekatan. Ini semua sembilan syarat kedekatan jarak yang membatalkan, dan di atas kami ringkas menjadi lima.
Terbukanya aurat orang yang telah didahului hadats dalam riwayat yang jelas. Jika seseorang terpaksa membuka aurat, seperti wanita yang membuka lengannya untuk berwudhu, atau terbukanya aurat lelaki yang didahului hadats menurut pendapat yang shahih.
Bacaan orang yang berhadats dan sedang menuju tempat wudhu atau kembali darinya karena menjalankan satu rukun bersamaan dengan hadats, dan diamnya selama ukuran satu rukun setelah didahului hadats tanpa ada udzur. Jika diamnya karena ramai atau untuk menuntaskan mimisan, maka tidak batal.
Melewati air yang dekatnya sekitar dua barisan, dan keluarnya orang yang sedang shalat karena mengira keluar hadats. Hal ini membatalkan shalat karena adanya penafian shalat tanpa udzur. Akan tetapi jika tidak keluar dari masjid, maka tidak batal.
Beranjak dari tempat shalat karena mengira dirinya tidak punya wudhu, atau karena masa mengusap khuf telah habis, atau ia punya tanggungan yang tertinggal, atau terkena najis meskipun tidak keluar dari masjid.
Seorang makmum membetulkan kesalahan selain imamnya untuk tujuan ta'lim juga membatalkan shalatnya. Adapun pembetulan makmum pada imamnya, maka itu hukumnya boleh, nieski membaca ayat yang panjangnya seukuran bacaan yang wajib.
Bertakbir dengan niat berpindah ke shalat lain selain shalat yang sedang dijalaninya, seperti
misalnya seorang munfarid berniat untuk menjadi makmum pada orang lain atau sebaliknya, atau bertakbir untuk berpindah dari satu fardhu ke satu fardhu yang lain, atau dari fardhu ke sunnah, atau sebaliknya. Yang demikian itu membatalkan shalat, jika memang terjadi sebelum duduk terakhir selama ukuran bacaan tasyahud. Namun jika tidak, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang mukhtar. Kemudian jika hal semacam itu terjadi sebelum salam sesudah duduk maka menurut pendapat yang mukhtar shalatnya sah karena keluar dari shalat dengan perbuatan hukumnya wajib.
Memanjangkan huruf hamzah dalam takbir, membaca ayat yang tidak dihafal dalam mushaf, atau didekte bacaan oleh orang lain. Menjalankan satu rukun, seperti rukuk atau masanya
lebih hingga cukup untuk menjalankan rukun beserta terbukanya aurat, atau beserta kena najis yang menghalangi shalat. Makmum mendahului imam satu rukun dan tidak bersamaan. Makmum masbuq mengikuti imam dalam sujud Sahwi setelah berdiri sendiri (jika sebelumnya, maka wajib mengikuti imam) dengan bangkit untuk melengkapi sisa rakaat yang tertinggal setelah imam salam atau sebelumnya, tapi setelah imam duduk kira-kira selama bacaan tasyahud selesai (sebabnya tidak boleh jika sebelum imam duduk selama kira-kira bacaan tasyahud, karena masih ada fardhu yang harus dilakukan bersama makmum masbuq). Karena itu, rakaatnya makmum masbuq dikaitkan dengan sujud, lantas imam ingat sujud Sahwi dan makmum mengikutinya, maka shalatnya batal karena ia mengikuti imam setelah selesai shalat.
Tidak mengulangi duduk terakhir setelah melakukan sujud shalbiyyah atau tilawah yang diingatnya setelah duduk. Tidak mengulangi satu rukun yang dilakukan sambil tidur.
Tertawanya imamnya makmum masbuq atau sengaja berbicara. Artinya, jika imam tertawa meski tidak sengaja, atau sengaja berbicara setelah duduk selama kira-kira selesai bacaan tasyahud dan shalatnya sempurna. Shalatnya makmum di belakangnya juga batal, demikian juga shalatnya makmum masbuq karena terjadinya perkara yang membatalkan shalat itu sebelum rukunnya sempurna, kecuali jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan salam dan ia menyempurnakan rakatnya dengan sujud, untuk menyempurnakan shalatnya sebagai munfarid.
Di antara yang membatalkan shalat adalah dengan mengucapkan salam pada rakaat kedua dalam shalat empat atau tiga rakaat, jika ia mengira dalam perjalanan atau melakukan shalat lain, seperti misalnya dalam shalat Zhuhur dan ia mengira sedang dalam shalat Jumat atau shalat Tarawih, atau memang baru masuk Islam sehingga melakukan shalat fardhu dua rakaat.
Posisi kaki makmum di depan kaki imam. Namun jika sama rata, maka shalatnya tidak batal.
Di antara yang membatalkan shalat adalah membaca ayat dengan mengubah bacaan, dan terpelesetnya lidah dalam bacaan sehingga mengubah makna ayat, seperti misalnya kalimat (فما لهم لا يؤمنون) kurang huruf “Laa.” Ini menurut pendapat yang shahih. Akan tetapi jika tidak mengubah makna, seperti misalnya ayat (وجزاء سيئة مثلها) kurang kalimat “sayyi’ah” bacaan seperti ini tidak membatalkan shalat.
Shalat juga tidak dianggap batal hanya karena memandang tulisan. Alasannya, karena hanya memandang tanpa mengucapkan atau membaca tulisan itu. Shalat juga tidak batal dengan menelan sisa makanan di sela-sela gigi yang besarnya tidak lebih dari sebiji kacang karena susahnya memisahkan sisa makanan itu. Tidak juga dengan adanya orang lewat di depannya yang sedang shalat, baik di rumah, masjid, atau padangpasir atau di bagian rendah di bawahnya, meskipun yang lewat itu seorang wanita ataupun anjing. Namun jika yang lewat itu persis di tempat suiud, maka hukumnya makruh sebagaimana telah dijelaskan.




PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)