Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
3. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT MENURUT MADZHAB SYAFI'I
Shalat menjadi batal karena dua puluh tujuh perkara
di bawah ini (Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 182-186; Tuhfatuth
Thullab lil Anshari halaman 50-52; Hasyiyah Syarqawi ‘ala Tuhfah jilid
1 halaman 217-226; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 194-200, 206-207).
(1,2) Datangnya hadats kecil maupun besar meski
tanpa kehendak, dan menempelnya najis yang tidak dapat dimaafkan pada badan,
pakaian, dan tempat shalat kecuali langsung disingkirkan.
(3) Mengeluarkan ucapan lebih dari dua huruf dengan
sengaja untuk berbicara, atau juga satu huruf tetapi memahamkan, meskipun untuk
kemaslahatan shalat. Contohnya seperti berucap, “Jangan berdiri” atau “Duduk!”
ataupun “lni rakaat kelima!” diucapkan untuk mengingatkan imam
yang hendak bangkit berdiri, padahal sudah rakaat
terakhir. Akan tetapi jika yang diucapkan itu ayat Al-Qur'an, dzikir, atau doa,
maka shalatnya tidak batal. Demikian halnya dengan panggilan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam dzikir, seperti ucapan (الصلاة والسلام عليك يا رسول الله). Adapun jika melafalkan ayat Al-Quran dengan tujuan lain, seperti
misalnya jika ada seseorang yang minta izin untuk mengambil sesuatu, lantas
yang sedang shalat berkata, “Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab
(Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” (Maryam: 12) jika ketika mengucapkan
ayat itu tujuannya untuk membaca meski disertai tujuan untuk memahamkan orang
yang meminta, maka shalatnya tidak batal. Namun jika niatnya hanya untuk
memahamkan orang yang meminta, maka shalatnya batal.
Shalat juga tidak batal dengan mengucapkan
nadzar, karena nadzar itu bagian dari doa. Berdiam lama tanpa udzur juga tidak
membatalkan shalat karena itu tidak mengganggu jalannya shalat.
Jika seorang imam membaca ayat (إياك نعبد وإياك نستعين) (Al-Faatihah:5) lantas makmum berucap (استعنا بالله), maka shalatnya batal, kecuafi jika tujuannya untuk berdoa.
Ucapan (صدق الله العظيم) tidak
membatalkan shalat karena termasuk pujian.
Di antara hal-hal yang membatalkan shalat di
antaranya menangis, merintih, tertawa, berdehem jika memang sampai mengeluarkan
dua huruf meski huruf itu tidak dapat dipahami. Hal lain yang membatalkan
shalat adalah dzikir dan doa yang ditujukan untuk berbicara dengan orang lain,
seperti ucapan (يرØمك الله) yang
ditujukan untuk orang lain.
(4) Makan dan minum juga membatalkan shalat,
baik sedikit maupun banyak dan meskipun dipaksa, kecuali jika orang yang dipaksa
makan atau minum dalam shalat itu tidak tahu haramnya makan dan minum dalam
shalat.
(5) Melakukan banyak gerakan yang tidak termasuk
gerakan shalat secara berurutan, seperti melangkah sebanyak tiga kali, menggerakkan
kedua tangan ke depan dan ke belakang sebanyak tiga kali, menggerakkan seluruh badan,
dan melompat dalam selain shalat keadaan takut atau shalat sunnah dalam
perjalanan, baik sengaja maupun lupa. Alasannya karena dalam shalat fardhu
biasa tidak ada kesulitan untuk tidak melompat. Dengan kata lain, tidak ada udzur
yang membolehkan melompat dalam shalat. Adapun gerakan kecil dalam shalat
seperti menggerakkan jari-jari pada tasbih, maka hukumnya tidak membatalkan shalat.
Dalilnya sebuah hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam shalat sambil menggendong Umamah. Jika hendak sujud, maka
beliau meletakkannya, dan ketika hendak bangkit beliau menggendongnya lagi.
Melakukan banyak gerak dalam shalat tidak membatalkan shalat jika memang terjangkit
penyakit gatal yang amat sangat, atau gerakannya itu dibuat terpisah-pisah
tanpa berurutan.
(6, 7, 8) Tertawa leba6 murtad, dan gila ketika
dalam shalat.
(9, 10) Berpaling dari arah kiblat. Dalam shalat
wajib menghadap kiblat kecuali dalam shalat khauf. Dengan sengaja membuka aurat,
padahal mampu menutupnya, atau tidak sengaja auratnya terbuka tetapi tidak
langsung ditutup. Jika aurat terbuka karena tiupan angin tetapi langsung
ditutup lagi, maka shalatnya tidak batal.
(11) Orang yang sedang shalat telanjang
mendapatkan pakaian atau kain yang cukup untuk menutup auratnya, meski jarak kain
itu jauh darinya dan membutuhkan banyak gerak. Jika kain yang dilihatnya itu dekat
dan tanpa banyak gerak dia mampu mengambilnya maka shalatnya tetap sah, tetapi
jika tidak maka shalatnya batal.
(12) Melakukan satu rukun di antara rukun-rukun
shalat, atau melewati waktu yang cukup untuk melakukan rukun dengan disertai keraguan
dalam niat, atau keraguan dalam syarat sahnya shalat, seperti bersuci. Atau
ragu dalam cara niat, apakah niat shalat Zhuhur atau Ashar misalnya.
(13) Mengubah niat dari satu shalat fardhu ke
shalat lain dengan sengaja maka shalatnya batal, kecuali jika dari shalat
fardhu menjadi shalat sunnah mutlak karena ingin mendapatkan pahala shalat berjamaah.
Sehingga, pada rakaat kedua mengakhiri shalat dengan salam. Dalam hal ini
shalatnya tetap sah dan tidak batal, meski mengubah niat dari shalat fardhu menjadi
shalat sunnah mutlak. Bahkan jika waktu masih panjang, disunnahkan untuk
mengganti niat shalat fardhu menjadi shalat sunnah mutlak. Namun jika waktunya
sempit, maka haram hukumnya mengubah niat. Jika niat shalat itu diubah menjadi
shalat sunnah tertentu, seperti shalat sunnah Dhuha misalnya, maka shalatnya
tidak sah karena butuh penegasan ketika berniat. Atau ada jamaah yang tidak
masyru', misalnya Anda sedang shalat Zhuhur lantas medapatkan orang yang sedang
shalat Ashar, maka dalam hal ini Anda tidak boleh mengubah niat. Contoh lain,
misalnya yang menjadi imam dalam shalat jamaah itu termasuk orang yang dibenci,
maka tidak boleh hukumnya untuk mengubah niat, bahkan hukumnya makruh. Jika
seseorang sedang dalam rakaat ketiga, baik shalat tiga rakaat maupun empat,
maka tidak disunnahkan untuk mengubah niat.
(14, 15, 16) Niat keluar dari shalat sebelum selesai
atau sempurna shalatnya. Bimbang dalam memutuskan, apakah akan meneruskan
shalat atau keluar dari shalat. Menggantungkan pembatalan shalat dengan suatu
perkara meski hal itu termasuk sesuatu yang mustahil menurut hukum adat dan
kebiasaan, seperti pisau tidak mampu memotong. Contohnya, seseorang berkata
dalam hatinya, “Jika Zaid datang maka aku akan membatalkan shalat.”
Penggantungan niat ini membatalkan shalat. Adapun jika penggantungan keluar
shalat itu berkaitan dengan sesuatu yang mustahi secara akal, seperti penyatuan
dua hal yang berlawanan maka tidak membatalkan shalat.
(17, 18, 19) Sengaja meninggalkan salah satu rukun-rukun
shalat, meskipun rukun yang berupa ucapan. Namun jika alasannya lupa, maka
tidak apa-apa asal langsung melakukannya. Sengaja mengulang rukun shalat yang
berupa gerakan dengan tujuan main-main. Mengacak urutan rukun, dengan
mendahulukan yang satu dan mengakhirkan yang lain. Hal yang demikian itu
membatalkan shalat karena merusak shalat. Adapun pengulangan rukun yang berupa
ucapan, seperti bacaan surah Al-Faatihah dan tasyahud, atau mengulang rukun
yang berupa gerakan karena lupa, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat
yang mu'tamad.
(20, 21) Terlihatnya bagian kaki yang tertutup
dengan sepatu khuf, atau kain, dan habisnya waktu mengusap khuf karena batalnya
sebagian kesuciannya.
(22) Mengikuti atau bermakmum pada orang yang
tidak bisa diikuti, baik karena orang itu kafir maupun hal lainnya.
(23) Sengaja memanjangkan rukun yang pendek, seperti
misalnya pada waktu i'tidal, dengan sengaja memanjangkannya lebih dari bacaan
yang sudah ditentukan hingga melebihi bacaan surah Al-Faatihah, atau memanjangkan
duduk antara dua sujud melebihi doa yang sudah ditentukan hingga kira-kira
selesai bacaan tasyahud. Dalam hal ini terdapat pengecualian, yaitu memanjangkan
i'tidal pada rakaat terakhir dari seluruh shalat karena secara umum hal itu
dalam shalat sudah maklum, seperti dalam shalat nazilah. Boleh juga memanjangkan
duduk di antara dua sujud dalam shalat tasbih. Penjelasan lebih lanjut mengenai
hal ini akan dibahas dalam pembahasan shalat sunnah.
(24) Mendahului atau tertinggal dua rukunya yang
dilakukan imam tanpa ada udzur.
(25) Mengucapkan salam sebelum waktunya.
(26) Mengulang takbiratul ihram untuk kedua kali
dengan niat memulai shalat baru.
(27) Dengan sengaja kembali pada duduk
tasyahud awal setelah bangkit dan tahu bahwa itu hukumnya haram. Alasannya, karena
hal itu dianggap menambah duduk dengan sengaja. Akan tetapi jika lupa atau tidak
tahu kalau hal itu hukumnya haram, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang
lebih shahih.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments