BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto 
D. Masalah Keempat: Sesuatu yang Haram Digunakan untuk Shalat (Shalat di tempat Ghashab)

Ijma ulama menyatakan bahwa shalat di tanah ghashab haram hukumnya karena tanah ghashab itu haram (Al-Majmu’ jilid 3 halaman 169; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 64; Al-Bada’i jilid 1 halaman 116; Al-Mughni jilid 1 halaman 588 dan jilid 2 halaman 74; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 313, 343-346).
Apakah sah shalat di tempat ghashab? Mayoritas ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa shalat di tempat ghashab tetap sah, karena larangan yang ada tidak kembali pada shalat itu sendiri. Posisi ini sama halnya dengan shalat dan melihat orang yang sedang tenggelam dan dia mampu menyelamatkannya, namun tidak menyelamatkan. Atau melihat kebakaran dan tidak memadamkannya, padahal ia mampu. Atau memperpanjang bayar utang pada penagih, padahal ia mampu membayarnya, namun malah tetap shalat. Pada posisi ini, kewajiban shalat fardhu telah dilaksanakan dan berpahala, namun ia juga berdosa karena berada di tanah ghashab.
Ulama Hanabilah dalam pendapat yang lebih rajih menegaskan bahwa shalat tidak sah hukumnya di tempat ghashab, meski bagian milik bersama. Atau di tempat yang dianggap sebagai miliknya, atau manfaat ghashab dari tanah atau hewan atau pengakuan telah disewakan secara zalim, atau adanya campur tangan tanpa hak. Alasannya, karena ibadah dilakukan dengan cara yang dilarang, seperti shalat dan puasanya wanita haidh. Larangan di sini berdampak haramnya perbuatan yang harus dijauhi, karena akan mendatangkan dosa jika dilakukan. Bagaimana mungkin orang tersebut dikatakan taat, sedangkan pada saat bersamaan dia melakukan maksiat? Shalatnya tetap dianggap maksiat, karena dalam posisi yang dilarang. Berbeda dengan menyelamatkan orang tenggelam atau memadamkan kebakaran, karena gerakan shalat itu sendiri sebenarnya dilarang.
Ulama Hanabilah menambahkan bahwa sah hukumnya wudhu, adzan, mengeluarkan zakat, puasa, akad jual beli, akad nikah, thalaq, dan khulu' meski dilakukan di tanah ghashab. Karena, tempat dalam hal ini tidak termasuk syarat dalam hal-hal di atas, berbeda dengan shalat.
Shalat sah hukumnya di tanah yang bangunannya dari ghashab, meski ia bersandar pada bangunan itu. Sah juga hukumnya shalat seseorang yang diminta untuk mengembalikan titipan atau mengembalikan barang ghashab sebelum mengembalikan pada pemiliknya meski tanpa udzur. Karena, hukum haramnya tidak khusus dalam shalat.
Jika mendirikan shalat di kebun yang bebas dari bahaya dan tidakghashab, atau shalat di tempat shalatnya yang bebas bahaya dan tidak ghashab, maka shalatnya sah. Jika shalat di tempat ghashab, namun ia tidak tahu atau lupa bahwa tempat itu ghashab, maka shalatnya tetap sah karena tidak termasuk berdosa. Dan jika ditahan di tanah ghashab, maka shalatnya juga sah karena ada hadits berbunyi, “Kesalahan dan kelupaan umatku akan diampuni. Demikian juga ketika dalam posisi dipaksa.”
Shalat di tanah yang dibenci sah hukumnya, seperti tanah longsor, dan seluruh tanah yang pernah ditimpa adzab, seperti tanah Babil, tanah Hijr, dan masjid dharar. Shalat di tempat-tempat tersebut sah hukumnya, namun tetap makruh karena termasuk tempat yang dibenci. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda pada waktu lewat daerah kaum Tsamud,
Janganlah kalian memasuki tempat orang-orang yang disiksa, kecuali kalian menangis karena takut ditimpa azab sebagaimana yang telah menimpa mereka.” (Tafsir Ibni Katsir jilid 2 halaman 556)
            Tanah Hijr adalah tempat tinggal kaum Tsamud -kaum Nabi Shalih- yang terletak antara Madinah dan Syam. Masjid Dhara adalah masjid yang dibangun oleh kaum munafik. Letaknya dekat masjid Qiba' di Madinah. Masjid ini dijadikan tempat dan pusat konspirasi bagi mereka. Di masjid ini turun firman Allah yang berbunyi, "Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah helah di antara orang-orang yang beriman, serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.'Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya)." (At-Taubah: 107)



PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)