BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

B. Masalah Kedua: Tempat-Tempat yang Makruh Digunakan Shalat

Ulama Hanabilah mengharamkan shalat di tempat-tempat berikut, namun Syafi'iyyah dan Hanafiyyah hanya memakruhkannya (Al-Bada’i jilid 1 halaman 115; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 267; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 49 dan 52; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 203; Hasyiyah Qalyubi wa Umairah jilid 1 halaman 120; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 63; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 164-168; Al-Mughni jilid 2 halaman 67-76; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 341-349).
Makruh tahrim menurut Hanafiyyah, karena ada hadits yang melarangnya, dan terkadang mereka menyebutkannya dalam syarat-syarat shalat dalam hal sucinya tempat. Ibnu Umar meriwayatkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat di tujuh tempat: di tempat sampah, tempat penyembelihan, kuburan, di tengah jalan, di kamar mandi, di kubangan unta, dan di atas Ka'bah.” HR. Abd bin Humaid dalam Musnad-nya, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. Ia berkata, “Sanadnya tidak terlalu kuar, karena di dalamnya terdapat rawi yang dhaif.” (Nailul Authar jilid 2 halaman 138)
Hadits ini jika memang shahih menunjukkan haramnya shalat di tempat-tempat tersebut, menurut Hanabilah. Pembahasan secara rincinya sebagai berikut.
(1) Shalat di tengah jalan: hukumnya makruh menurut Hanafiyyah dan Syafi'iyyah karena jalan adalah tempat lewat orang dan juga rawan najis. Kekhusyukan shalat bisa terganggu karena banyaknya orang lewat. Namun, shalatnya tetap sah karena larangan shalat di tempat itu berkaitan dengan terganggunya kekhusyukan atau menahan orang lain yang hendak lewat. Hal ini tidak membatalkan shalat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda, “Bumi telah dijadikan bagiku sebagai masjid dan suci.” Riwayat lain menambahkan, “Di mana pun kalian berada, maka dirikanlah shalat jika telah masuk waktunya, karena tanah itu termasuk masjid.” Muttafaqun ‘alaihi. Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa shalat di pasar dan di luar masjid hukumnya makruh.
Malikiyyah berkata, boleh hukumnya, tidak makruh, shalat di tengah jalan, tempat sampah, kuburan, kamar mandi, dan di tengah tempat penyembelihan jika memang bersih dari najis. Tetapi jika tidak bisa terhindar dari najis, maka shalatnya batal. Dan jika ragu antara najis dan tidaknya, maka dianjurkan untuk mengulang shalatnya menurut pendapat yang lebih rajih. Kecuali jika shalat di tengah jalan karena masjidnya sempit dan ragu kesucian jalannya, maka tidak mengulang shalatnya. Namun, tetap makruh shalat di tempat lewatnya orang.
Ulama Hanabilah berkata, haram hukumnya dan tidak sah shalat di tengah jalan, di tempat sampah, di kuburan, di tempat penyembelihan, kamar mandi, dan tempat menderumnya unta. Tidak sah iuga mendirikan shalat di atas tempat-tempat tersebut, karena bagian atas juga ikut hukum bagian bawahnya. Dalilnya orang yang junub juga dilarang untuk tinggal di atas masjid, dan orang yang bersumpah untuk tidak masuk rumah dianggap melanggar sumpahnya jika ia memasuki atap rumahnya.
Tidak sah juga shalat di atas jembatan jalan raya, karena bagian atas ikut hukum bawahnya. Tidak sah juga hukumnya shalat di atas atap sungai, karena sungai sama seperti jalan, tidak digunakan untuk shalat.
Akan tetapi, mereka mengecualikan shalat jenazah yang sah dilakukan di kuburan dan di atapnya, sebagaimana juga mereka mengecualikan shalat di gang rumah. Sah hukumnya shalat di tempat ini tanpa makruh, karena tidak termasuk jalan. Boleh juga shalat di tempat-tempat di atas karena ada udzur, seperti sedang di tahan dan sebagainya.
Hanabilah menegaskan, “Larangan di sini bersifat ta'abbudi, bukan karena satu alasan yang dapat dicerna akal dengan anggapan najis dan sebagainya.” Dalil yang mereka pakai adalah nash hadits riwayat Ibnu Umar, sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyaaful Qinaa’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughnii, menyatakan bahwa pendapat yang shahih adalah bolehnya
mendirikan shalat di tempat-tempat yang telah disebutkan di atas, kecuali kuburan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bumi telah dijadikan bagiku sebagai masjid.” Shalat di tempat-tempat tersebut sah, namun makruh. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanabilah.
Dalil pengecualian kuburan dari tempat-tempat lainnya adalah dua hadits shahih, yaitu hadits yang berbunyi, “Orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur para nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Karena itu, janganlah kalian mengambil kuburan sebagai masjid, dan aku melarang kalian akan hal itu.” Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid.” Hadis pertama riwayat Muslim dan An-Nasa’i dari Jundab bin Abdul Bajali. Sedankan hadis kedua diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah dengan redaksi, “Allah akan membinasakan kaum Yahudi yang telah mengambil kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Nailul Authar jilid 2 halaman 136; Al-Jamiush Shaghir jilid 2 halaman 80)
Jadi, shalat di kuburan tidak sah karena larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua hadits di atas. Adapun tempat-tempat selain kuburan, hukumnya sah karena masuk dalam umumnya hadits bolehnya shalat di bumi di mana saja.
(2) Shalat di kamar mandi: menurut Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah, hukumnya makruh karena tempat itu menjadi tempat setan, tempat terbukanya aurat, dan umumnya rawan najis.
(3) Shalat di tempat menderumnya unta (sekitar kubangan air tempat unta istirahat dan minum): hukumnya makruh menurut Syafi'iyyah dan Hanafiyyah karena menganggap air kencing dan kotoran unta itu najis. Atau, juga karena takut unta itu lari ketika orangnya sedang shalat sehingga mengganggu kekhusyukan shalatnya.
Menurut Malikiyyah, shalat di tempat menderumnya unta juga hukumnya makruh, dengan alasan yang sama seperti di atas selain tentang najis. Akan tetapi, tidak makruh shalat di sekitar kambing dan sapi karena hadits riwayat Abu Hurairah yang berbunyi, “Shalatlah di tempat merumputnya kambing, dan jangan shalat di tempat menderumnya unta.” HR. Ahmad dan At-Tirmidzi (Nailul Authar jilid 2 halaman 137) Tidak makruhnya shalat di tempat merumputnya kambing telah disepakati oleh para ulama. Menurut Malikiyyah, shalat harus diulang jika dilakukan di tempat menderumnya unta, meski aman dari najis atau shalatnya di atas sajadah yang suci, Alasannya, karena ta'abbudi menurut pendapat yang azdhar.
(4) Shalat di sekitar tempat sampah dan tempat penyembelihan hewan hukumnya makruh menurut Malikiyyah, karena rawan najis atau kemungkinan adanya najis. Pertama tempat najis, tempat hal-hal kotor, sampah, dan lalat. Yang kedua tempat penyembelihan hewan. Hukum makruh ini jika ia menggelar sajadah dan shalat di atasnya, jika tanpa sajadah maka shalatnya tidak sah karena shalat di atas tempat najis.
Menurut Syafi'iyyah, makruh hukumnya shalat yang sudah jelas najis meski dengan sajadah. Namun jika menggelar sajadahnya di tempat yang umumnya najis, hukumnya tidak makruh. Adapun tempat yang disediakan untuk buang air, maka pelarangan shalat di tempat itu lebih utama, karena dzikir dan berbicara saja dilarang di tempat itu, Jadi, shalat di tempat itu lebih utama untuk dilarang.
(5) Shalat di gereja [tempat ibadah Kristen], di sinagog [tempat ibadahYahudi], dan ditempat-tempat sejenisnya hukumnya makruh menurut mayoritas ulama dan Ibnu Abbas. Kecuali dalam keadaan darurat, seperti cuaca panas, dingin, atau sedang hujan, atau takut musuh atau binatang buas.
Hikmah makruhnya shalat di tempat-tempat tersebut karena gereja, sinagog, dan sejenisnya termasuk tempat setan dan terdapat patung dan berhala di dalamnya. Juga, karena menjadi tempat yang menimbulkan fitnah dan hawa nafsu yang menghalangi kekhusyukan shalat.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa shalat di gereja yang bersih boleh hukumnya. Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Imam Asy-Sya'bi,lmam Al-Auza'i, dan Sa'id bin Abdul Aziz juga memperbolehkan shalat di tempat itu jika memang bersih. Bahkan, Umar dan Abu Musa Al-Asy'ari juga berpendapat sama. Dalil mereka karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendirikan shalat di Ka'bah, padahal waktu itu masih penuh dengan berhala. Kisah ini ditahqiq oleh Ibnu Qayim dalam kitab Zaadul Ma’aad bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memasuki Ka’bah pada hari penaklukan kota Mekkah. Lantas beliau menyingkirkan berhala-berhala yang ada, dan mengucapkan takbir pada empat sisinya, namun tidak shalat.
Bolehnya shalat di gereja juga termasuk dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, “'Di mana pun kalian berada dan masuk waktu shalat, maka dirikanlah shalat karena tempat itu masjid.” Imam An-Nawawi berpendapat dalam kitab Al-Majmu’, “Makruh hukumnya shalat di tempat tinggal setan, seperti tempat jualan khamr dan tempat-tempat maksiat lainnya.”
(6) Shalat di kuburan hukumnya makruh menurut pendapat mayoritas ulama selain Malikiyyah, karena najisnya nanah di bawahnya dan juga menyerupai kaum Yahudi sebagaimana dalam hadits yang berbunyi, “Allah melaknat kaum yahudi yang mengambil kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Karena itu, janganlah mengambil kuburku sebagai masjid.” Berikut perincian hukum shalat di kuburan.
Ulama Hanafiyyah berkata, makruh hukumnya shalat di kuburan jika kubur itu di depan orang shalat, sehingga pandangannya tertuju pada kubur itu. Akan tetapi jika kubur atau makam itu berada di belakang di atas, atau di bawah orang yang shalat, maka hukumnya tidak makruh, sebagaimana tidak makruhnya shalat di tempat yang disediakan untuk shalat yang tidak najis dan kotor. Shalat di kubur para nabi juga tidak makruh.
Ulama Syafi'iyyah berkata, makruh hukumnya shalat di kuburan yang tidak terbuka, baik kubur itu di depan, di belakang, di kanan, di kiri, maupun di bawahnya, kecuali kubur para nabi dan para syuhada perang. Karena, Allah Ta’ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad mereka. Artinya, mereka itu hidup di dalam kubur mereka. Namun jika niatnya shalat untuk mengagungkan mereka, maka hukumnya haram. Adapun kuburan yang terbuka, maka tidak sah shalat di atasnya. Namun jika ada penghalangnya, maka hukumnya hanya makruh.
Ulama Hanabilah berkata, yang disebut kuburan adalah tanah wakaf yang digunakan untuk memakamkan tiga jenazah atau lebih. Jika jenazahnya kurang dari tiga, maka shalat di tempat itu sah tanpa makruh, selama tidak menghadap ke kubur. Dan jika menghadap ke kubur, maka hukumnya makruh. Menurut Hanabilah, tidak sah shalat di kuburan karena hadits riwayat Sa'id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bumi ini semuanya boleh dijadikan masjid kecuali kuburan dan tempat mandi.” HR. Lima rawi kecuali An-Nasa'i. Diriwayatkan juga oleh Asy-Syafi'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Imam At-Tirmidzi berkata, "Dalam hadits ini terdapat idhthirab, diriwayatkan secara mursal." (Nailul Authaar jilid 2 halaman 133).
Makruh juga hukumnya shalat menghadap kubur tanpa ada halangan karena hadits riwayat Abu Martsad Al-Ghanawi, “Janganlah shalat menghadap kubur dan jangantah duduk di atasnya.” HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 134).
Hadits riwayat Ibnu Umar, “Dirikanlah sebagian shalat kalian di rumah, janganlah menjadikannya seperti kuburan.” HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 2 halaman 135).
Hukum ini tetap tidak berubah, baik masjid dibangun sebelum kuburan maupun sesudahnya, baik di sekitarnya maupun di arah kiblatnya.
(7) Shalat di atas Ka'bah hukumnya makruh karena termasuk tidak menghormatinya, tidak adanya penghalang yang tetap di depan orang shalat, dan karena dia shalat di atas ka'bah bukan ke Ka'bah. Akan tetapi, shalat sah jika didirikan di dalam Ka'bah jika shalat sunnah menurut kesepakatan ulama. Namun jika shalat fardhu, maka hukumnya tidak sah menurut Malikiyyah dan Hanabilah. Adapun menurut Hanafiyyah dan Syafi'iyyah, sah hukumnya shalat di dalam Ka'bah baik shalat fardhu maupun sunnah. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah shalat dua rakaat di dalam Ka'bah. Jika seseorang shalat di depan pintu Ka'bah atau di tengahnya, sedang di depannya ada dinding Ka'bah, maka shalatnya sah menurut Hanabilah. Namun jika di depannya tidak ada dinding Ka'bah, maka shalatnya tidak sah karena ia tidak menghadap sesuatu.
Akan tetapi, Ibnu Qudamah (Al-Mughni jilid 2 halaman 74) berpendapat bahwa yang lebih utama adalah tidak disyaratkannya ada sesuatu di depan orang shalat. Karena, yang wajib adalah menghadap ke tempat dan udara Ka'bah, bukan dindingnya. Dalilnya adalah jika Ka'bah hancur, shalat tetap sah asal tetap menghadap ke tempat Ka'bah. Dan jika shalat di atas gunung yang tinggi, maka shalatnya tetap sah jika masih menghadap udara di atas Ka'bah.



PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)