Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM SHALAT
Dalam pembahasan ini terdapat empat masalah, yaitu
sesuatu yang dimakruhkan dalam shalat, tempat-tempat yang dimakruhkan untuk shalat,
sesuatu yang tidak makruh dilakukan, dan sesuatu yang haram dalam shalat.
Hukum makruh di sini menurut mayoritas ulama
adalah makruh tanzih. Adapun menurut
Hanafiyyah bisa jadi makruh tanzih, dan ini khilaful
aula. Dan bisa juga makruh tahrim, dan inilah yang dimaksudkan secara
mutlak. Makruh tahrim adalah sesuatu yang dilarang oleh syara dengan dalil yang
zhanniyuts tsubut tanpa ada hal lain yang memalingkan dari hukum haram
tersebut. Namun jika ada hal lain yang memalingkan dari hukum haram, maka disebut
makruh tanzih.
Meninggalkan sunnah mu’akkadah termasuk makruh
tahrim, sedangkan meninggalkan sunnah yang tidak mu'akkadah, seperti
meninggalkan shalat Dhuha termasuk makruh tanzih. Meninggalkan sesuatu yang
mustahab atau mandub termasuk khilaful aula [menyalahi hal yang utama].
Para fuqaha menganjurkan untuk mengulangi shalat yang dihukumi makruh selama
masih tersisa waktu shalatnya.
A. Masalah Pertama: Sesuatu yang Dimakruhkan dalam Shalat
Berikut ini hal-hal yang makruh dilakukan dalam
shalat.
(1) Makruh tahrim hukumnya –menurut Hanafiyyah-
meninggalkan perkara wajib dari kewajiban shalat dengan sengaja, seperti
misalnya sengaja tidak membaca surah Al-Faatihah atau membaca surah atau ayat
setelahnya. Atau mengeraskan suara bacaan pada shalat sirriyyah dan sebaliknya.
Namun, shalatnya tetap sah, hanya saja harus mengulanginya. Menurut mereka,
makruh hukumnya mengangkat kedua tangan ketika hendak rukuk dan bangkit dari
rukuk. Namun, hal itu tidak membatalkan shalat menurut pendapat yang shahih.
(2) Sengaja meninggalkan sunnah-sunnah shalat,
seperti misalnya tidak membaca pujian atau tawajjuh, atau sengaja tidak membaca
tasbih dalam rukuk ataupun sujud, tidak membaca takbir, tasmi', dan tahmid.
Atau mencondongkan kepala ke atas atau ke bawah ketika rukuk. Atau, tidak mengarahkan
jari-jari kaki ataupun tangan ke arah kiblat. HAl-hal ini telah disepakati oleh
ulama.
(3) Membaca ta'awwudz dan basmalah sebelum
surah Al-Faatihah makruh hukumnya dalam shalat fardhu menurut Malikiyyah. Akan
tetapi boleh dibaca dalam shalat sunnah, meski afdhalnya tetap meninggalkannya selama
tidak menjaga khilaf. Membaca basmalah lebih utama karena bebas dari khilaf.
(4) Membaca doa sebelum surah Al-Faatihah atau
surah lain hukumnya makruh menurut Malikiyyah.
(5) Memanjangkan bacaan pada rakaat kedua daripada
rakaat pertama. Kira-kiranya lebih banyak dari tiga ayat menurut Hanafiyyah.
(6) Mengulang satu surah dalam satu atau dua
rakaat pada shalat fardhu, namun hal itu tidak makruh jika dilakukan dalam shalat
sunnah menurut Hanafiyyah. Akan tetapi menurut Hanabilah, mengulang bacaan surah
dalam dua rakaat tidak makruh karena ada hadits riwayat Zaid bin Tsabit bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surah Al-Araaf pada dua
rakaat shalat Maghrib (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya). Hukum makruh itu
berlaku jika mengulang surah Al-Faatihah dalam satu rakaat, karena menurut
mereka bacaan ini termasuk rukun. Ulama Hanafiyyah (Al-Kitab Ma’a Lubab jilid
1 halaman 79) berkata, “Makruh hukumnya hanya membaca satu surah dalam
shalat tanpa membaca surah lainnya.”
(7) Membaca surah dengan urutan terbalik, tidak
sesuai dengan urutan dalam mushaf Al-Qur'an. Hukum makruh ini disepakati para
fuqaha. Contohnya membaca surah Al-lkhlaash pada rakaat pertama, kemudian pada
rakaat kedua membaca surah Al-Lahab, atau surah Al-Kaafiruun. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri selalu membaca surah dalam shalat sesuai dengan
urutan mushaf. Ibnu Mas'ud pernah ditanya tentang orang yang membaca surah
dengan urutan terbalik. Ia menjawab, “Orang itu hatinya juga terbalik.”
Urutan surah yang benar, menurut Abu Ubaidah adalah dengan membaca satu surah
dalam rakaat pertama, dan pada rakaat kedua membaca surah lain yang urutannya
setelah surah yang dibaca pada rakaat pertama.
(8) Menurut Malikiyyah dan lainnya, makruh hukumnya
membaca surah atau menyempurnakan bacaan dalam rukuk atau sujud. Bahkan jika
menyempurnakan surah Al-Faatihah dalam rukuk dapat membatalkan shalat karena
termasuk fardhu. Akan tetapi, hal itu hukumnya hanya makruh tahrim menurut
Hanafiyyah, karena membaca surah Al-Faatihah tidak termasuk fardhu menurut
mereka. Hukum makruh ini dikecualikan oleh Malikiyyah, yaitu boleh membaca
surah dalam sujud jika niatnya berdoa. Misalnya membaca (ربنا لا تزغ قلوبنا بعد
إذ هديتنا) (Ali Imran:
8) berdoa dalam rukuk dan sebelum tasyahud awal dan akhir hukumnya makruh.
Demikian juga, makruh hukumnya membaca tasyahud dengan suara keras, sebagaimana
makruh hukumnya bagi makmum membaca doa dalam sujud atau lainnya dengan suara keras
setelah imam salam. Makruh juga hukumnya mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri
tanpa mengikutsertakan orang lain. Afdhalnya doa itu berisi permohonan ampunan,
permintaan rezeki, mohon kebaikan diri, kebaikan orang tua, atau pasangan, dan
sesekali juga memohon kebaikan dunia dan akhirat. Di antara doa yang menghimpun
semua itu adalah, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikan
yang dimohonkan Muhammad sebagai nabi, dan atusan-Mu. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari kejahatan yang dimohonkan perlindungan Muhammad sebagai nabi,
dan utusan-Mu.”
(9) Memain-mainkan tangan di pakaian, badan, atau
janggut. Atau meletakkan tangannya di mulut atau menutup hidungnya tanpa
keperluan. Hukum makruh di sini termasuk makruh tahrim menurut Hanafiyyah. Dalilnya
hadits mursal riwayat Imam Al-Qadha'i dari Yahya bin Abu Katsir
yang berbunyi, “Allah telah memakruhkan tiga perkara
kepada kalian, yaitu bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perlu dalam
shalat, berbuat keji ketika puasa, dan tertawa di kuburan.” Jika gerakan
yang dibuat itu ada perlunya, seperti menyeka peluh atau mengusap debu wajah
atau untuk menutup mulut karena menguap, maka gerakan itu tidak makruh.
Gerakan-gerakan yang termasuk main-main di antaranya adalah menggerakkan
persendian tangan atau jari hingga berbunyi, memutar-mutar kerikil, dan mengusap
tempat sujud. Mu'aiqib meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda ketika ditanya mengenai mengusap tempat sujud, “Jika memang
perlu maka lakukanlah sekali saja.” Hanafiyyah membolehkan mengusap tempat
sujud untuk membersihkannya, namun hanya sekali dan membiarkannya lebih utama. Alasannya
jika ditimbang hukumnya antara sunnah dan bid'ah, maka meninggalkan sunnah
membawa pada hal bid'ah. Sedangkan membersihkan tempat sujud, bisa dilakukan
sebelum shalat (Raddul Muhtaar jilid l halaman 600).
Dalil makruhnya melakukan gerakan yang tidak
perlu dalam shalat adalah adanya larangan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, dan juga meniadakan bentuk kekhusyukan. Allah Ta’ala
sendiri telah memuji orang-orang yang khusyuk dalam shalat, sebagaimana
terdapat dalam firman-Nya yang berbunyi, “Sungguh beruntung orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (Al-Mu'minuun: 1-2) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda, “Janganlah kalian
membunyikan persendian tulang ketika sedang shalat.” HR. Ibnu Majah (Nailul
Authar jilid 2 halaman 330)
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang lelaki
menutup mulutnya ketika sedang shalat. Dan makruh hukumnya bagi perempuan
memakai niqab dalam shalat, karena wajahnya tidak termasuk aurat.
Ulama Hanabilah (Al-Mughni jilid 2
halaman 247-249) menjelaskan bahwa boleh hukumnya melakukan sedikit gerakan
dalam shalat jika memang perlu, seperti memondong anak ketika dalam shalat fardhu.
Abu Qatadah dan Aisyah meriwayatkan bahwa suatu hari Aisyah pernah minta
dibukakan pintu, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan dan
membuka pintu meski beliau sedang shalat. Hadis Asiyah riwayat Ahmad dan para
pemilik Sunan selain Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Imam At-Tirmidzi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
juga menyuruh untuk membunuh ular dan kalajengking meski dalam shalat (HR.
Ahmad dan empat pemilik kitab Sunan. Hadis ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan
Al-Hakim). Jika melihat kalajengking dalam shalat, beliau melangkah
mendekatinya dan mengambil sandal untuk membunuhnya, lantas mengembalikan sandal
itu pada tempatnya. Gerakan ini tidak termasuk makruh dengan ittifaq
ulama.
Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang sedang
shalat dan melihat dua orang anak sedang bertengkar dan ditakutkan salah satu
dari keduanya akan terjatuh ke sumur, maka ia boleh meninggalkan shalatnya untuk
menyelamatkan anak itu. Kemudian kembali pada shalatnya.” Batasan banyak
sedikitnya gerakan dikembalikan pada ukuran adat, sedangkan semua gerakan yang
menyerupai gerakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat
dianggap gerakan kecil.
Jika seseorang melakukan beberapa gerakan
kecil yang berbeda-beda, namun jika dikumpulkan akan menjadi gerakan yang
banyak, maka gerakan itu tetap dianggap gerakan kecil. Dalilnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri tiap rakaat pernah membopong Umamah dan
menurunkannya lagi. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah memakruhkan membopong anak
kecil dalam shalat, dan hadits yang membolehkan sudah dihapus dengan hadits
lain yang berbunyi, “Sesungguhnya shalat itu adalah kesibukan.” Gerakan
dalam shalat yang melebihi dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dapat membatalkan shalat, baik ada keperluan maupun tidak, kecuali
dalam keadaan darurat sehingga hukumnya seperti hukum orang yang takut. Dalam
keadaan seperti ini, gerakan banyak juga tidak membatalkan shalat. Ulama
Malikiyyah berkata, “Dalam shalat makruh hukumnya membunuh kutu dan sejenisnya.”
Adapun Hanafiyyah dan Hanabilah, mereka berkata, “Makruh hukumnya melakukan
setiap gerakan kecil yang tanpa ada udzur, seperti membunuh kutu sebelum
menggigit. Demikian juga dengan mengangkat atau mengumpulkan kain dengan kedua
tangan ketika rukuk, dan sujud, atau merapikan rambut. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Aku diperintah untuk sujud dengan tujuh
tulang tanpa mengumpulkan kain atau merapikan rambut.” HR. Bukhari.
Hukum makruh di sini termasuk makruh tahrim,
sebagaimana makruhnya mengusap debu yang menempel di dahi sebelum selesai
shalat. Ibnu Majah meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda, “Yang termasuk sesuatu yang dibenci dalam
shalat dari seseorang adalah sering mengusap dahi sebelum selesai shalat.” Pendapat
ini menurut Hanafiyyah.
(10) Merangkapkan jari-jari, dan bertolak pinggang.
Yaitu meletakkan tangan pada pinggangnya. Ini pendapat yang disepakati Bukhari,
dan Muslim berdasarkan hadits dari Abu Said bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian berada di
masjid, maka janganlah merangkapkan jari karena itu adalah termasuk perbuatan
setan. Sesungguhnya salah seorang di antara kalian masih berada dalam suasana
shalat hingga dia keluar dari masjid”. Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Ibnu
Umar dia berkata- tentang orang yang shalat sambil merangkapkan jari-jarinya, “ltu
termasuk shalat yang dilakukan oleh orang dimurkai”.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melarang bertolak pinggang dalam shalat (HR. Semua rawi
selain Ibnu Majah dalam Nailul Authar jilid 2 halaman 330). Membunyikan
persendian tulang, merangkapkan jari-jari, dan tolak pinggang jika dilakukan
ketika menunggu shalat atau berjalan untuk shalat, maka hukumnya makruh tahrim
menurut Hanafiyyah. Tolak pinggang di luar shalat hukumnya makruh tanzih,
sedangkan merangkapkan jari-jari dan membunyikan persendian tulang boleh
dilakukan di luar shalat dan tidak makruh.
(11) Memejamkan kedua mata, kecuali jika takut
pandangan matanya tertuju pada sesuatu yang mengganggu kekhusyuan shalatnya.
Ibnu Adiy dengan sanad dhaif meriwayatkan hadits yang berbunyi, “Jika salah
seorang kalian sedang shalat, maka janganlah memejamkan kedua matanya.” Karena,
sunnahnya memandang ke tempat sujud. Hukum makruh di sini termasuk makruh tanzih
menurut ittifaq ulama.
(12) Menoleh dalam shalat tanpa ada keperluan yang
penting meski seluruh badannya juga menoleh selama kedua kakinya masih
menghadap ke arah kiblat. Jika tidak maka shalatnya batal. Ini pendapat
Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah berkata, “Menolehkan wajah dan leher dalam
shalat hukumnya makruh tanzih. Adapun memalingkan dada menurut pendapat
mu'tamad tidak membatalkan shalat, sedangkan jika hanya melirik ke kanan atau
ke kiri tanpa menggerakkan leher maka hukumnya tidak makruh.” Ibnu Abbas
berkata, “Ketika, dalam shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melirik ke kanan dan ke kiri tanpa memalingkan leher ke belakang.” HR.
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Imam Al-Hakim dalam
Mustadrak-nya. Dan ia berkata, “Hadis ini shahih sesuai dengan syarat
Bukhari, namun ia tidak meriwayatkannya.” (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 89)
Ulama Syafi'iyyah berkata, “Memalingkan wajah
hukumnya makruh kecuali jika ada perlu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sendiri ketika dalam perialanan pernah mengutus
seseorang ke bukit untuk beriaga. Lantas beliau shalat sambil
sesekali meliriknya.” HR. Abu Dawud dengan sanad shahih. Akan
tetapi jika dadanya sampai berpaling dari kiblat, maka shalatnya batal.
Ulama Hanabilah berkata, menoleh tanpa
keperluan meski sedikit dalam shalat hukumnya makruh. Dan bisa juga membatalkan
shalat jika sampai badannya berpaling dari arah kiblat selama tidak di depan
Ka'bah, atau dalam keadaan takut, atau jika ijtihadnya berubah. Dalam keadaan
seperti ini shalat seseorang tidak batal meski berpaling dari arah sebelumnya karena
arah yang baru dianggap tetap kiblat. Jika hanya memalingkan dada dan wajahnya
dari arah kiblat, maka shalatnya tidak batal karena tidak memalingkan
seluruhnya.
Dalil makruhnya menoleh dalam shalat tanpa
keperluan menurut itttfaq ulama adalah hadits riwayat Aisyah, ia berkata, “Saya
pernah bertanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang menoleh
dalam shalat, dan beliau menjawab, “Itu termasuk tipuan setan terhadap
manusia.” HR. Ahmad, Bukhari, An-Nasa’i dan Abu Dawud (Nailul Authar jilid
2 halaman 327; Nashbur Rayah jilid 2 halaman 89)
Dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Dzar, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala
senantiasa memerhatikan hamba-Nya dalam shalat selama tidak berpaling. Jika
hamba itu memalingkan wajahnya, maka Allah juga akan berpaling darinya.”
HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Abu Dawud.
Anas berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah berkata kepadaku, “Janganlah engkau berpaling
atau menoleh dalam shalat, karena itu membawa pada kehancuran. Dan jika memang
harus menoleh, maka lakukanlah ketika dalam shalat sunnah. Jangan lakukan dalam
shalat fardhu.” HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan.
Redaksi terakhir hadits ini mengisyaratkan izin
menoleh dalam shalat sunnah bukan dalam shalat fardhu. Adapun dalil yang
membolehkan menoleh dalam shalat adalah hadits riwayat Ali bin Syaiban, ia
berkata, “Kami pernah datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan kami shalat bersama beliau. Dalam shalat itu beliau melirik
seseorang yang tidak menegakkan punggungnya ketika rukuk dan sujud. Kemudian
setelah selesai beliau bersabda, “Tidak dianggap shalat orang yang tidak meneg
akkan pung gungnya dalam shalat.” HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya.
(13) Memandang ke langit juga hukumnya makruh
dalam shalat menurut kesepakatan ulama. Dalilnya hadits riwayat Anas, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mengapa
orang-orang memandang ke langit ketika sedang shalat?” Sabda beliau itu
sangat tegas hingga beliau bersabda lagi, “Niscaya Allah akan membinasakan orang-orang
yang memandang ke langit dalam shalat atau Allah akan membutakan mata mereka.”
HR. Bukhari.
Akan tetapi ulama Malikiyyah berpendapat, “Jika
pandangan ke langit itu untuk mengambil pelajaran atau ibrah dengan memandang
tanda-tanda di langit, maka hal ini tidak makruh.” Dalam hal ini, ulama Hanabilah
mengecualikan ketika bersendawa, maka tidak makruh menghadap ke langit.
(14) Berdiri dengan satu kaki kecuali dalam keadaan
darurat atau ada udzur syar'i, seperti
kaki yang sebelah sakit. Dalam keadaan seperti ini tidak
makruh untuk berdiri dengan satu kaki. Jika tidak ada udzur, hukumnya makruh
karena dengan mengangkat satu kaki dapat menghilangkan kekhusyuan. Ulama
Malikiyyah menambahkan bahwa yang termasuk hukumnya makruh adalah menyatukan
kedua kaki selama shalat. Ulama Syafi'iyyah menuturkan bahwa mengedepankan
salah satu kaki atau menempelkan keduanya dalam shalat iuga termasukmakruh jikatidakada
udzur, karena hal itu termasuk membuat-buat sesuatu yang meniadakan kekhusyukan.
Akan tetapi, boleh beristirahat dengan salah satu kaki jika memang terlalu lama
berdiri atau sejenisya.
(15) Shalat dalam keadaan menahan kencing atau
buang air besar. Atau menahan kentut jika waktunya masih panjang, atau sedang ingin
di depan hidangan dan ingin makan. Dalam keadaan ini makruh untuk shalat menurut
ittifaq ulama karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak
ada shalat -sempurna- di depan hidangan makanan, atau sedang menahan buang air
kecil maupun besar.” HR. Muslim dari Aisyah.
Shalat dalam keadaan menahan buang air kecil
ataupun besar hukumnya makruh tahrim menurut madzhab Hanafiyyah. Shalat juga
makruh dilakukan ketika kondisi sedang kantuk berat sehingga tidak konsentrasi
dengan bacaan dan sering lupa. Dalilnya hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari
Aisyah, ia berkata, “Jika kalian shalat dan terserang kantuk, maka tidurlah
hingga kantuknya hilang. Karena jika meneruskan shalat dalam keadaan kantuh
ditakutkan niatnya hendak berdoa tetapi tanpa disadari malah mencela diri
sendiri.”
(16) Meludah dan berdahak di luar masjid arah depan
atau ke samping kanannya juga termasuk makruh hukumnya, karena hadits riwayat
Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang berbunyi, “Jika seseorang sedang shalat,
sesungguhnya ia bermunajat kepada Allah. Karena itu, janganlah meludah ke
depannya atau ke samping kanannya.” Imam Bukhari dalam riwayatnya
menambahkan, “Karena di samping kanannya terdapat malaikat. Jadi kalau ingin
meludah, maka meludahlah ke sebelah kiri atau di bawah antara dua kaki.”
Hukum makruh ini juga berlaku di luar shalat jika sedang menghadap ke arah
kiblat, karena menghormati Ka'bah.
(17) Ulama Malikiyyah berkata, “Memikirkan urusan
dunia, atau menyimpan sesuatu dalam lengan baju atau di mulut dalam shalat
hukumnya makruh jika tidak menghalangi makharijul huruf. Dan jika menghalangi, maka
shalatnya batal. Makruh juga hukumnya membaca tahmid ketika bersin, atau mengucapkan
hamdalah tanda syukur, atau menggaruk badan dengan garukan pendek tanpa udzur
yang penting garukan panjang membatalkan shalat, makruh juga hukumnya sengaja
tersenyum, sedangkan tertawa membatalkan shalat meskipun terpaksa.”
Ulama Hanabilah berkata, makruh hukumnya shalat
sambil membawa mengantongi sesuatu yang menyita konsentrasinya dalam
menyempurnakan shalat karena termasuk menghilangkan kekhusyukan. Makruh juga hukumnya membuka mulut, mengeluarkan lidah,
dan meletakkan sesuatu di atasnya. Hal ini makruh karena keluar dari gerakan
shalat. Jika benda itu digenggam atau diletakkan di kantong hukumnya tidak
makruh. Kecuali jika mengganggu kesempurnaan shalatnya, maka hukumnya makruh.
(18) Menguap dalam shalat juga makruh, karena menunjukkan
tanda malas yang timbul dari setan. Para nabi terjaga dari menguap. Karena itu
jika hendak menguap, maka tahanlah sekuat mungkin, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Menguap itu timbul dari setan. Maka, tahanlah
sekuat mungkin agar tidak menguap.” HR. Bukhari dan Muslim, dalam riwayat
At-Tirmidzi terdapat tambahan, “Jika menguap, maka tutuplah mulut dengan
tangan.”
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, “Maka
peganglah mulut dengan tangan, karena setan akan memasukinya.” Hal lain
yang termasuk makruh adalah membentangkan badan, karena dapat membuat malas dan
keluar dari bentuk shalat yang khusyuk. Imam Ad-Daruquthni meriwayatkan dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
seorang lelaki membentangkan badannya dalam shalat, atau di hadapan perempuan,
kecuali istrinya atau budak wanitanya.” Hukum makruh di sini masuknya makruh
tanzih menurut Hanafiyyah, kecuali jika ada unsur kesengajaan maka hukumnya
menjadi makruh tahrim karena sama saja dengan bermain-main. Dan hukum
bermain-main dalam shalat hukumnya makruh tahrim, sedang di luar shalat
hukumnya makruh tanzih.
(19) Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berkata, “Makruh
hukumnya shalat sambil bersandar pada dinding atau sejenisnya yang jika
sandaran itu diambil membuatnya terjatuh, Boleh bersandar dan hukumnya tidak
makruh jika memang benar-benar membutuhkhn karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri shalat sambil bersandar pada tiang ketika sudah lanjut
usia.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Nailul Authar jilid 2 halaman
331). Jika sandaran yang digunakan itu diambil dan membuat orang yang bersandar
jatuh, atau dengan bersandar dia mampu mengangkat salah satu kakinya, maka
shalatnya batal karena posisinya tidak bisa dikatakan berdiri. Makruh juga
hukumnya bertopang dengan tangannya ketika duduk karena Ibnu Umar berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang duduk dalam shalat sambil
bertopang dengan tangan.” HR. Ahmad dan Abu Dawud (Nailul Authar jilid
2 halaman 331)
(20) Menurut Hanafiyyah, makruh tanzih
hukumnya menjawab salam dengan isyarat tangan atau kepala karena itu termasuk salam,
hingga seandainya berjabat tangan dengan niat salam, maka batallah shalatnya. Makruh
juga hukumnya berisyarat dengan mata, tangan, dan semisalnya. Menurut Syafi’yyah,
disunnahkan untuk menjawab salam dengan isyarat meski ia dapat berbicara, dan
disunnahkan pula mengucapkan tahmid bagi orang yang bersin dengan suara rendah
yang hanya dapat didengar dirinya sendiri. Jika seorang makmum berkata, “Ista'anna
billaah” [kami mohon pertolongan kepada Allah] setelah imam membaca “Iyyaaka
nasta'iin” [...dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan] (Al-Faatihah:
5) Maka, shalat-nya batal jika tidak disertai niat membaca atau berdoa. Akan
tetapi menurut Malikiyyah, menjawab salam dengan isyarat kepada orang yang
mengucapkan salam tidak makruh hukumnya. Hanya saja, mereka memakruhkan isyarat
dengan kepala atau tangan untuk menjawab orang yang bersin dengan mengucapkan “Yarhamukallaah.”
Akan tetapi menurut mereka, boleh hukumnya
memberikan isyarat ringan untuk apa saja, sebagaimana bolehnya menganggukkan kepala
untuk mengiyakan orang yang mengajak bicara menurut Hanafiyyah. Kalau
jawabannya memakai bahasa lisan atau ucapan, maka shalatnya batal
secara itttfaq ulama.
(21) Membaca surah atau ayat pada dua rakaat terakhir
dalam shalat fardhu, namun ulama Syafi'iyyah mengecualikan bagi makmum masbuq
atau ketinggalan dua rakaat pertama. Baginya boleh membaca surah pada dua
rakaat terakhir shalatnya imam, karena hitungan rakaat pertama baginya adalah
ketika ia mulai shalat. Namun jika tidak cukup waktu untuk membacanya, maka
boleh membacanya pada dua rakaat terakhirnya. Tujuannya agar dalam shalatnya terdapat
bacaan surah selain Al-Faatihah. Kalau hanya tertinggal satu rakaat, maka
membaca surahnya boleh pada
rakaat kedua dan ketiga.
(22) Membaca dengan suara keras pada shalat-shalat
sirrryyah dan sebaliknya, yaitu membaca dengan bacaan rendah pada shalat-shalat
jahriyyah. Makruh juga hukumnya bagi makmum untuk membaca keras di belakang
imam, bahkan bisa jadi haram jika bacaannya mengganggu bacaan orang lain.
Menurut Malikiyyah, jika terjadi hal seperti itu, maka pada akhir shalat melakukan
sujud Sahwi menurut pendapat yang masyhur (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman
78).
(23) Menurut Syafi'iyyah, makruh hukumnya melamakan
duduk istirahat seperti lamanya duduk di antara dua sujud. Makruh juga '
memanjangkan tasyahud pertama, meski hanya tambahan bacaan shalawat kepada keluarga
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Makruh juga berdoa pada tasyahud awal
karena perintahnya untuk meringankan dalam tasyahud awal. Meninggalkan doa pada
tasyahud akhir karena keluar dari khilaf terhadap orang yang menganggapnya
wajib. Makruh juga hukumnya membarengi gerakan imam, baik dalam gerak maupun
bacaan karena sah dan tidaknya shalat seseorang yang melakukan hal itu diperdebatkan.
Kemakruhan orang yang membarengi gerakan imam
bisa sampai menghilangkan fadhilah shalat berjamaah, karena sama seperti orang
yang shalat sendirian. Menjaga jarak antar sesama makmum juga termasuk makruh
menurut Hanafiyyah, bahkan batal shalatnya menurut Hanabilah
jika shalat sendirian. Kemudian juga meninggikan tempat
untuk imam, sedangkan tempat lainnya'rendah tanpa ada udzur syar'i meski di
masjid. Makruh juga hukumnya bermakmum terhadap orang fasik dan pembuat bid'ah,
termasuk juga orang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat
sunnah, atau orang yang shalat Zhuhur bermakmum kepada orang yang
sedang mendirikan shalat Ashar atau sebaliknya (Syarhul
Hadramiyyah halaman 56).
Menurut Hanafiyyah, makruh tanzih hukumnya
meninggikan tempat imam sebagai tanda pembeda atau sebaliknya karena Imam Al-Hakim
meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
seorang imam berdiri di atas, sedangkan para makmum di tempat rendah di
belakang. Para ulama memberikan alasan karena pembedaan seperti ini menyerupai
Ahli Kitab yang membuatkan tempat tinggi untuk imam mereka.
(24) Makruh hukumnya menjalin rambut dan menyingsingkan
lengan baju. Ulama Malikiyyah membatasi hukum makruhnya menyingsingkan lengan
baju ini karena hendak shalat. Adapun dalil makruhnya menjalin rambut, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Rafi', ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang lelaki
shalat dengan rambut terjalin.” Para ulama sepakat bahwa hukum makruh dalam
hadits termasuk makruh tanzih. Hanafiyyah berpendapat bahwa menyingsingkan
lengan baju termasukmakruh tahrim jika gulungannya melebihi siku, namun jika di
bawah siku hukumnya tidak makruh.
(25) Duduk posisi iq'aa’, yaitu posisi
duduk dengan meletakkan kedua pinggulnya di lantai dan menegakkan kedua lutut.
Malikiyyah berkata, posisi iq'aa' seperti ini hukumnya haram, namun
shalatnya tidak batal. Adapun yang termasuk makruh menurut mereka ada empat
bentuk yaitu menempelkan bagian dalam jari-jari kaki di tanah sambil menegakkan
kedua kakinya, dengan menjadikan kedua pinggul menempel di atas kedua tumit
kaki, atau duduk di atas kedua kaki dan menampakkan keduanya ke lantai.
Dalil makruhnya duduk iq'aa' adalah
hadits riwayat Abu Hurairah. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam melarangku tiga hal, sujud seperti ayam mematuk makanan, duduk iq'aa' seperti
anjing dan menoleh seperti musang.” Dari Ali, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau duduk iq'aa' dalam duduk
antara dua sujud.” Dari Anas, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Jika engkau hendak bangkit dari sujud, maka janganlah
duduk iq'aa' seperti anjing.” HR. Ibnu Majah.
Makruh tanzih hukumnya duduk dengan kaki
bersilang di bawah paha dalam shalat karena tidak melakukan duduk yang disunnahkan.
Namun, duduk seperti itu boleh dilakukan di luar shalat karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri sering duduk seperti itu bersama para sahabat,
demikian juga Umar.
(26) Membaringkan kedua lengan seperti yang biasa
dilakukan binatang buas. Imam Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan dari Aisyah,
ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan
uqbatusy syaithan dan membaringkan kedua lengannya seperti binatang buas.”
Hukum makruh di sini termasuk makruh tahrim menurut Hanafiyyah. Maksudnya iqa’aa’
yaitu menempelkan pantat pada tumit antara dua sujud. Ini pengertian
menurut orang Arab. Namun menurut ahli hadis, iqa’aa’ berarti membaringkan
kedua kaki dan duduk di atas kedua tumitnya.
(27) Ulama Malikiyyah berkata, “Makruh
hukumnya bertepuk tangan dalam shalat meski
bagi wanita dan ada keperluannya yang berkaitan dengan
shalat, seperti mengingatkan imam yang lupa, atau imamnya salam pada rakaat
kedua dalam shalat empat rakaat. Atau berkaitan dengan keperluan di luar
shalat, seperti menghalangi orang yang hendak lewat di depan orang shalat dan
memperingatkan sesuatu. Yang seharusnya dilakukan bagi orang yang hendak mengingatkan
sesuatu dalam shalat adalah mengucapkan tasbih subhaanallaah.”
(28) Makruh hukumnya shalat memakai baju yang
jelek jika ada baju yang lebih baik, namun jika tidak, maka hukumnya tidak makruh.
Allah berfirman, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada
setiap (memasuki) masjid....” (Al-Araaf: 31)
(29) Makruh hukumnya shalat hanya memakai celana
atau kain, padahal mampu memakai pakaian lengkap. Makruh juga hukumnya shalat
tanpa memakai peci atau penutup kepala karena malas, namun tidak mengapa jika
niatnya ingin menunjukkan sikap rendah karena shalat itu dibangun atas dasar kekhusyuan.
Makruh di sini termasuk makruh tanzih. Adapun sunnahnya bagi seorang lelaki
untuk shalat dengan dua kain, yaitu memakai kemeja dan kain sarung, atau kemeja
dan celana karena Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan hadits dari lbnu Umar
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Jika kalian
hendak mendirikan shalat, maka kenakanlah dua kain karena berhiasmu lebih
berhak untuk Allah (daripada untuk yang lain). Jika seseorang tidak memiliki
dua kain, maka pakailah sarung jika hendak shalat, dan jangan seperti pakaian orang
yahudi. Dalam shalat sunnah, mengenakan penutup kepala.”
(30) Makruh hukumnya shalat dengan mengenakan pakaian
bergambar hewan atau manusia (Al-Mughni jilid 1 halaman 590; Kasysyaful
Qina’ jilid 1 halaman 432; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 103; Al-Muhadzdzab
jilid 1 halaman 66; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 185). Abu Thalhah
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat
anjing atau gambar.” Muttafaqun ‘alaihi. Alasannya, karena hal itu
menyerupai berhala. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah dan dari
Anas, ia berkata, “Aisyah menggunakan tirai tipis untuk menutupi bagian
rumahnya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,
'Singkirkanlah tirai ini, karena gambar-gambar di tirai ini selalu mengganggu shalatku.”
Hal ini tidak haram karena Zaid bin Khalid meriwayatkan hadits dari Abu Thalhah
yang pada ujungnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kecuali
nomor yang tersulam dalam kain.” Muttafaqun ‘alaihi.
Makruh hukumnya shalat menghadap gambar yang
ditempel atau patung di atas kepalanya atau di depannya, atau di hadapan depan
sebelah kiri atau kanan, meski di atas bantal tegak, bukan berbaring. Hal ini
makruh karena menyerupai sujudnya orang-orang kafir, juga menyerupai ibadahnya penyembah
patung dan berhala.
Menurut Hanabilah dan Syafi'iyyah, makruh juga
hukumnya sujud di atas gambar meski gambar itu kecil. Hanafiyyah (Ad-Durrul
Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 606; Fathul Qadir jilid 1halaman 294; Al-Bada’i jilid 1
halaman 115) berpendapat, “Tidak makruh jika gambar itu berada di bawah
kakinya, karena hal itu menunjukkan kehinaan, Atau berada di tangannya karena
tertutup dengan pakaiannya, atau terukur samar di cincinnya.” Hukum makruh
di sini termasuk makruh tahrim menurut Hanafiyyah. Akan tetapi, Hanafiyyah
memberikan perincian mengenai gambar tersebut, dan menurut mereka tidak makruh
hukumnya shalat meski ada gambar kecil di lantai yang tidak jelas anggota
tubuhnya ketika yang melihat dalam posisi berdiri. Demikian juga gambar tanpa
kepala atau wajah, atau ada anggota tubuh penting yang terhapus dan tidak bisa
hidup tanpa anggota tersebut. Tidak makruh juga hukumnya gambar sesuatu yang
tidak bernyawa, seperti tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya, karena semua yang
disebutkan di atas tidak termasuk hal yang disembah. Dalam riwayat Muslim, Jibril
berkata, “Kami tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing
dan gambar.”
Hanafiyyah berkata, “Boleh hukumnya shalat
meski di depannya terdapat mushaf atau pedang tergantung, karena keduanya tidak
disembah. Boleh juga shalat memakai baju bergambar karena menunjukkan kehinaan
gambar. Shalat seseorang tidak makruh meski gambar itu terdapat pada bantal di
depannya, atau di sajadah yang terhampar. Akan tetapi, makruh hukumnya shalat
dengan pakaian bergambar salib, karena Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah membiarkan ada salib di rumah beliau.” HR.
Abu Dawud dan Ahmad (Nailul Authar jilid 2 halaman 102)
(31) Hanafiyyah berkata, “Makruh tanzih
hukumnya shalat dengan sepenuhnya berdiri di dalam mihrab, agar tidak
membeda-bedakan tempat antara imam dan makmum. Selain itu, mihrab juga termasuk
bagian lain dari rumah dan itu buatan Ahli Kitab. Akan tetapi, tidak makruh
hukumnya jika yang masuk ke dalam mihrab hanya sebagian anggota tubuhnya,
sedangkan kedua kakinya tetap di luar mihrab. Tidak makruh juga hukumnya shalat
di dalam mihrab sepenuhnya jika tempatnya sempit.
Menurut Hanafiyyah, makruh tanzih hukumnya
menghitung ayat, surah, dan tasbih dengan tangan dalam shalat, baik fardhu
maupun sunnah. Karena, hal itu tidak termasuk bagian dari shalat, namun hal itu
tidak makruh jika dilakukan di luar shalat. Makruh juga hukumnya shalat di depan
orang-orang yang sedang berbicara, atau di depan orang-orang yang sedang tidur,
karena takut terlihat hal-hal lucu dari mereka ketika sedang tidur.
Sujud di atas gulungan serban jika memang dahinya
menyentuh tanah, maka hukumnya makruh. Namun jika tidak, maka shalatnya tidak
sah. Makruh juga hukumnya i'tijaz, yaitu membelitkan imamah di kepala,
namun membiarkan tengahnya terbuka. Boleh hukumnya memakai untaian tasbih jika
tidak disertai riya dan pamer.
(32) Shalat di depan api yang menyala makruh hukumnya,
karena hal itu menyerupai orang-orang Majusi penyembah api. Para ulama sepakat
bahwa makruh di sini termasuk makruh tanzih, kecuali ulama Syafi'iyyah yang
tidak menganggap hal itu termasuk makruh.
(33) Makruh hukumnya sadal dalam
shalat, yaitu membiarkan kain atau selendang di atas kedua bahu tanpa dipakai
secara wajar dan tanpa membalikkan salah satu ujungnya pada bahu lain. Hal ini
menurut Malikiyyah makruh jika tanpa udzur, namun jika ada udzur hukumnya tidak
makruh (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 597; Al-Bada’i jilid 1
halaman 218; Al-Majmu’ jilid 3 halaman 183; Kasysaful Qina’ jilid
1 halaman 319; Ghayatul Muntaha jilid 1 halaman 101; Al-Mughni jilid
1 halaman 584) karena Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melarang sandal dan menutup mulut dalam shalat. HR.
Abu Dawud, Ahmad dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah mengenai larangan sadal,
sedangkan pelarangan menutup mulut riwayat dari Ibnu Majah (Nailul Authar jilid
2 halaman 77). Ada ulama yang berpendapat bahwa sadal itu sama dengan isbal,
yaitu membiarkan ujung pakaian sampai ke tanah. Makruh dalam hal ini
termasuk makruh tahrim menurut Hanafiyyah. Ulama Malikiyyah berkata, “Meletakkan
selendang pada kedua bahu termasuk mandub.”
(34) Isytimaalush Shamaa’ yaitu
membungkus tubuh dengan kain tanpa mengangkat salah satu sisinya (atau
membungkus tubuh dengan kain yang kedua ujungnya diangkat dan diletakkan di
bahu kiri). Dengan pengertian seperti ini maka shalatnya batal (Al-Mughni jilid
1 halaman 584; Nailul Authar jilid 2 halaman 76).
Jika kemaluannya tidak terlihat, maka hukumnya
hanya makruh menurut kesepakatan ulama. Dan menurut Hanafiyyah, makruhnya
termasuk makruh tahrim karena hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah
dan Abu Sa'id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dua
cara pakaian, yaitu isytimaalush shamaa' dan membungkus badan dengan
kain tanpa menutup kemaluannya (Nailul Authar jilid 2 halaman 76).
Imam Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab berkata,
“Makruh hukumnya isytimaalush shamaa', yaitu membungkus tubuh dengan kain kemudian
mengeluarkan kedua tangannya dari dadanya.” (Al-Majmu’ jilid 3
halaman 182; Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 65)
(35) Ulama Hanabilah (Al-Mughni jilid 1
halaman 586) berkata, makruh hukumnya shalat dengan mengenakan pakaian warna
merah, karena Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian sahabat, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarangku memakai pakaian warna merah.”
Abdullah bin Amr berkata, “Suatu ketika ada seorang lelaki memakai pakaian
warna merah datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mengucapkan salam. Namun, beliau tidak menjawab salamnya.” HR. At-Tirmidzi
dan Abu Dawud dalam Jami’ul Ushul jilid 2 halaman 28.
Ulama Hanafiyyah (Ad-Durrul Mukhtar jilid
5 halaman 252) berkata, “Makruh tanzih hukumnya shalat memakai pakaian warna
merah dan kuning bagi lelaki, namun tidak bagi wanita boleh memakai warna apa
saja.” lmam Malik berkata, “Makruh memakai warna merah dengan tujuan
berhias dan ketenaran, namun boleh dalam pekerjaan dan di rumah.” Imam Asy-Syafi'i
membolehkan mengenakan pakaian yang berwarna merah (Syarhul Bukhari karya
Al-Qasthalani jilid 8 halaman 430)
(36) Ulama Malikiyyah berkata, makruh hukumnya
mengenakan pakaian yang menunjukkan auratnya, baik karena pakaian itu terlalu tipis
maupun karena terlalu ketat. Hukum makruh ini juga termasuk di luar shalat karena
bukan ciri pakaian orang-orang salaf.
(37) Makruh hukumnya melakukan idhthibaai
yaitu menjepit selendang di bawah ketiak kanan, membiarkan ujung selendang itu
di atas bahu kiri, dan membiarkan yang lain terbuka. Hukum ini makruh karena
termasuk dalam isytimaalush shamaa' yang telah dilarang dalam hadits
yang telah lewat.
(38) Membaca dzikir perpindahan, seperti
takbir, tasmi', dan tahmid tetapi bukan pada tempatnya. Misalnya bertakbir setelah
posisi dalam keadaan rukuk, atau membaca tasmi' pada posisi berdiri. Sunnahnya dzikir-dzikir
semacam itu dibaca ketika memulai gerakan pindah, bukan setelah sempurnanya
posisi. Ulama Hanabilah berkata, “Hal itu jika disengaja dapat membatalkan
shalat.” Ulama
Malikiyyah berkata, “Hal itu menyalahi mandub.”
(39) Shalat tanpa membuat batasan di depannya hukumnya
makruh.
Ulama Hanafiyyah berkata, makruh tahrim
hukumnya menghadap kiblat di dalam toilet, karena ada hadits melarang hal itu.
Makruh juga hukumnya membelakangi kiblat saat buang air, karena termasuk tidak
mengagungkannya. Hadits itu berbunyi, “Jika kalian hendak buang air, maka
janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. Menghadaplah ke
timur atau barat.” (Nashbur Rayah jilid 2 halaman 102). Larangan ini
termasuk makruh di luar shalat dan telah kami jelaskan dalam adab buang air.
PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments