BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto


Adab-Adab Shalat Menurut Hanafiyyah

Kita telah tahu bahwa yang dimaksud adab adalah sesuatu yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sesekali tanpa melanggengkannya, seperti tambahan bacaan tasbih dalam ruku dan sujud, dan tambahan bacaan-bacaan sunnah. Adab ini disyariatkan untuk menyempurnakan sunnah. Dan di antara adab-adab itu menurut Hanafiyyah adalah sebagai berikut (Muraqil Falah halaman 44; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 446; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 108 dan setelahnya).
Pertama, mengeluarkan kedua tangan dari lengan baju ketika takbiratul ihram, karena sikap itu mendekati sifat tawadhu, kecuali kalau memang dalam keadaan darurat, seperti kedinginan atau sejenisnya. Untuk wanita sebaliknya, yaitu menutupi tangan guna menjaga agar kedua lengannya tidak tersingkap.
Kedua, menatap tempat sujud ketika posisi berdiri, menatap punggung kedua kaki ketika rukuk, menatap ujung hidung ketika sujud, menatap pangkuannya sendiri ketika posisi duduk dan menatap bahu ketika salam. Menjaga pandangan mata dalam shalat seperti ini dapat lebih membantu kekhusyukan, dan juga memperhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.” Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai ihsan dan beliau menjawab, “Ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu.” HR. Muslim. Perincian seperti ini menurut sebagian ulama Hanafyyah, namun yang pendapat terdapat dalam riwayat mereka hanyalah anjuran untuk menatap pada tempat sujud sebagaimana pendapat Syafi'iyyah.
Ketiga, menahan mulut ketika hendak menguap. Namun jika tidak kuasa menahannya, maka tutuplah dengan punggung tapak tangan sebelah kiri,atau tutuplah dengan lengan baju, karena melakukan gerak menutup tanpa ada udzur hukumnya makruh.
Keempat, menahan batuk semaksimal mungkin, karena batuk yang disengaja atau tanpa adanya udzur dapat membatalkan shalat.
Kelima, berdiri ketika mendengar panggilan iqamat pada seruan "Hayya 'alal falaah,” karena perintah ini harus dilaksanakan kalau memang sang imam berada di dekat mihrab. Namun kalau imam tidak berada di dekat mihrab, maka setiap barisan shalat berdiri ketika imam datang. Jika imam datang dari depan, maka para makmum berdiri ketika melihatnya. Jika.imamnya tinggal di masjid, maka para makmum tidak perlu berdiri sampai selesai iqamat. Bagi imam dianjurkan untuk bergegas mendirikan shalat ketika mendengar panggilan "قد قامت الصلاة." Namun jika ia mengakhirkan hingga selesai, juga tidak apa-apa menurut ijma, yaitu pendapat Abu Yusuf dan tiga imam lainnya selain Hanafiyyah, dan ini pendapat yang lurus.

Menyampaikan Seruan lmam

Para fuqaha sepakat bahwa bagi seorang imam disunnahkan untuk mengeraskan suara ketika bertakbir, tasmi', dan salam. Tujuannya untuk memberi tahu makmum di belakang. Akan tetapi jika sang imam suaranya lemah, maka makmum boleh menyampaikan seruan imam, karena Abu Bakar sendiri pernah menyampaikan seruan takbir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam shalat saat beliau sakit. Adapun bagi makmum atau munfarid, maka takbirnya pelan. Malikiyyah berkata, "Disunnahkan bagi tiap orang yang shalat untuk mengeraskan suara pada takbiratul ihram, sebagaimana telah dijelaskan." Jika suara imam sudah terdengar para makmum, maka menyampaikan seruan imam hukumnya makruh karena memang tidak perlu.
Bagi seorang penyeru, baik imam sendiri maupun orang lain, ketika menyerukan takbiratul
ihram, haruslah dibarengi dengan niat mendirikan shalat. Jika niatnya hanya untuk memberi tahu, maka shalatnya tidak sah. Jika ia hanya menyerukan takbir tanpa niat apa pun, maka shalatnya juga tidak sah menurut Syafi'iyyah. Akan tetapi jika berniat shalat serta niat menyampaikan takbir kepada orang lain, maka shalatnya sah menurut Syafi'iyyah dan Hanafiyyah.
Adapun takbir-takbir lain selain takbiratul ihram, jika tujuannya hanya untuk menyampaikan maka menurut mayoritas ulama shalatnya tidak batal, hanya saja ia kehilangan pahala.
Akan tetapi Hanafiyyah (Raddul Mukhtar jilid 1 halaman 443 dan 551; Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 165; Al-Mughni jilid 1 halaman 462; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 448) berkata, “Jika niat seseorang menyampaikan seruan imam itu karena ingin mendapatkan pujian dari orang lain, maka menurut pendapat yang rajih shalatnya batal. Karena, sama saja dengan seseorang yang mengeraskan suaranya lebih dari kebutuhan, dan ini termasuk perbuatan jelek yang standarnya di bawah makruh."
Ulama Syaf iyyah berkata, "Jika niatnya hanya untuk menyampaikan atau tidak berniat apa-apa, maka shalatnya batal kalau memang ia bukan orang awam. Namun jika dia termasuk orang awam, maka shalatnya tidak batal meski niatrya hanya untuk menyampaikan saja.”
Dalil masyru'-nya tabligh (menyampaikan) adalah hadits dari Jabir. Ia berkata, "Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Abu Bakar berada di belakang beliau. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir, Abu Bakar juga ikut bertakbir dengan suara keras agar kami mendengar takbir itu.”




PEMBAHASAN LENGKAP
FIKIH 4 MADZHAB & FIKIH AHLI HADIS/ ATSAR


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)