BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto

8. WUDHU ORANG YANG UZUR


Wudhu akan menjadi batal dengan sebab keluarnya sesuatu melalui salah satu dari dua kemaluan. Hal ini berlaku jika ia keluar pada kondisi seseorang itu normal/sehat. Akan tetapi jika ia keluar pada waktu seseorang itu dalam kondisi sakit, maka dia dianggap berada dalam keadaan uzur.
Menurut ulama madzhab Hanafi, orang yang uzur didefinisikan sebagai orang yang mengidap penyakit beser (sering kencing) dan dia tidak mampu menahannya, orang yang mengidap penyakit perut kembung atau penyakit tidak dapat menahan kentut, penyakit hidung berdarah yang berterusan (mimisan), keluar darah dari luka atau sedang mengalami istihadhah. Yaitu darah penyakit yang keluar dari ujung rahim, sedangkan darah haid adalah yang keluar dari pangkal rahim yang datangnya tidak menentu (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 262-265).
Begitu juga apabila yang keluar itu karena suatu penyakit lain seperti darah, nanah, air racun, dan sebagainya, meskipun ia terjadi pada telinga, buah dada perempuan, atau pusar (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 280 dan seterusnya).

Hukum-hukum yang berkaitan dengan wudhu dan shalat orang yang uzur, memerlukan penjelasan dari berbagai pendapat madzhab

A. Madzhab Hanafi

 Menurut ulama Madzhab Hanafi (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1 halaman 139, 281, 283; Fathul Qadir jilid 1 halaman 124-128; Muraqil Falah halaman 25; Tabyinul Haqa’iq jilid 1 halaman 64), pada peringkat awal, definisi orang uzur adalah orang yang kondisi uzurnya mencakupi semua waktu shalat fardhu. Ia tidak mempunyai waktu untuk berwudhu dan mengerjakan shalat sepanjang waktu shalatnya. Hal ini karena dia selalu berada dalam keadaan berhadats dalam waktu tersebut, seperti air kencingnya selalu menetes dari awal waktu zhuhur hingga waktu ashar. Jika dia berada dalam keadaan seperti ini, maka kewujudannya mencukupi untuk dijadikan alasan. Jika memang uzur itu berlaku satu kali dalam masa yang singkat, seperti dia melihat darah satu kali dalam waktu ashar setelah dia uzur sepanjang waktu zhuhur; ia tidak dianggap sebagai orang yang dimaafkan kecuali jika waktu shalatnya telah terlewat. Ini berarti syarat yang tetap bagi uzur pada peringkat awal adalah mencakupi semua waktu shalat. Syarat berterusan adalah dengan wujudnya hadats itu pada setiap waktu setelah itu walaupun sekali, karena dengan keadaan tersebut dapat diketahui tentang kewujudan uzur tersebut. Syarat terhenti uzur adalah dengan ketiadaan uzur pada semua waktu shalat, seperti uzur tersebut sudah terhenti pada sepanjang waktu ashar.
Hukum orang yang uzur, hendaklah dia berwudhu ketika setiap masuk waktu shalat fardhu, bukan berwudhu untuk setiap mengerjakan shalat fardhu atau sunnah. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Perempuan yang beristihadhah hendaklah berwudhu ketika setiap masuk waktu shalat.” Diriwayatkan oleh Sibt Ibnul Jauzi dari Abu Hanifah, tetapi Az-Zaila’i mengatakan bahwa hadis ini adalah gharib (Nashbur Rayah jilid 1 halaman 204).
Selain itu, semua hukum orang yang uzur diqiyaskan dengan perempuan yang beristihadhah. Dia boleh menunaikan sebanyak apa pun shalat fardhu dan shalat sunnah dengan wudhu tersebut. Wudhunya akan terus kekal selama dia masih berada dalam dua syarat, yaitu dia berwudhu karena uzur dan pada diriya tidak berlaku hadats yang lain, seperti kentut atau keluar darah di tempat yang lain. Wudhu orang yang uzur akan batal hanya karena habis waktu shalat fardhu. Oleh sebab itu, jika dia berwudhu sesudah matahari terbit untuk shalat hari raya, kemudian masuk waktu shalat Zhuhur; maka wudhunya tidak akan batal karena masuk waktu Zhuhur. Begitu
juga habisnya waktu shalat hari raya juga tidak membatalkan wudhunya. Karena, waktu shalat hari raya bukanlah waktu shalat fardhu. Akan tetapi, ia merupakan waktu yang terbiar (waqt muhmal) dan memiliki taraf seperti shalat Dhuha. Ini berarti, wudhu orang yang uzur dianggap sah dalam keadaan tersebut, sebelum masuk waktu Zhuhur. Wudhunya akan menjadi batal apabila waktunya
telah habis dan bukan karena masuknya waktu shalat. Abu Hanifah dan Muhammad mengatakan wudhu orang yang uzur menjadi batal dengan berakhirnya waktu shalal Ulama Hanafi sepakat untuk mengatakan bahwa wudhu wanita mustahadhah meniadi batal dengan terlewatnya waktu. Abu Yusuf berpendapat wudhu menjadi batal ketika masuk waktu dan ketika habis waktu. Zufar berpendapat, wudhu menjadi batal ketika masuk waktu saja.
Oleh sebab itu, apabila waktu sudah habis, maka wudhu orang yang uzur akan batal, dan hendaklah dia berwudhu lagi untuk mengerjakan shalat (fardhu) yang lain. Hal ini menurut pendapat tiga ulama besar dari madzhab Hanafi (yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhamad bin Hasan Asy-Syaibani). Zufar berkata, "Hendaklah dia berwudhu lagi ketika masuk waktu."
Jika dia berwudhu sebelum terbit matahari, maka wudhunya akan batal karena waktu shalat fardhu sudah habis. Wudhunya juga akan batal jika dia berwudhu setelah shalat Zhuhur dan waktu ashar sudah masuk. Hal ini karena pada masa itu waktu shalat Zhuhur sudah habis.
Orang yang uzur hendaklah meringankan uzurnya sekadar yang dia mampu, seperti memakai alas bagi perempuan yang beristihadhah serta melakukan shalat dengan duduk jika gerakannya dapat menyebabkan darah keluar. Sunnah bagi orang laki-laki menyumbat lubang saluran kencing jika diwaswaskan oleh setan dan ia wajib melakukannya jika air kencing tidak dapat terhenti kecuali dengan cara itu.
Orang yang uzur tidak wajib membasuh pakaian yang terkena najis yang melebihi kadar sebesar satu logam dirham, jika memang dia yakin bahwa dengan membasuhnya maka dia akan menjadi mutanajjis karena mengalirnya air sebelum dia selesai mengerjakan shalat. Oleh sebab itu, jika dia berkeyakinan bahwa pakaiannya tidak akan menjadi mutanajjis sebelum dia selesai mengerjakan shalat, maka dia wajib membasuhnya. Inilah pendapat yang terpilih untuk difatwakan dalam madzhab ini.

B. Madzhab Maliki

Menurut ulama Madzhab Maliki (Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 139 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 116 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 41), as-salas adalah sesuatu yang mengalir dengan sendirinya karena kondisi yang tidak normal, baik ia berupa air kencing, angin, tahi, atau madzi. Darah istihadhah juga termasuk dalam as-salas jika ia tidak dapat dikenal pasti waktu berhentinya dan tidak dapat diobati. Akan tetapi jika ia dapat dikenal pasti waktu berhentinya, seperti terdapat kebiasaan berhenti pada akhir waktu, maka wajib bagi dia untuk memperlambat shalatnya hingga ke akhir waktu. Begitu juga jika ia berhenti pada awal waktu, maka wajib bagi dia untuk mempercepat shalatnya. Jika dia mampu menjaga atau mengendalikannya, maka dia wajib melakukan hal tersebut, dan dia akan diampuni dosanya selama ia mampu menjaga dan mengendalikan.
Kondisi as-salas berlaku tidak disebabkan karena masa bujang yang lama, akan tetapi ia disebabkan karena perasaan yang tidak seimbang, karena kedinginan, dan rasa sakit.
Menurut pendapat ulama madzhab Maliki, wudhu tidak batal jika air kencing dan madzi keluar dalam keadaan as-salas yang berterusan. Hukum ini dapat ditetapkan jika as-salas itu berlangsung dalam kadar separuh waktu shalat, dalam kebanyakan waktu shalat, atau dalam semua waktu shalat. Akan tetapi, sunnah berwudhu jika ia tidak menghabiskan semua waktu shalat.
Wudhu orang yang mengidap as-salas akan batal karena kencing yang biasa atau keluar air madzi karena nafsu syahwat yang biasa, seperti berlaku ketika dia melihat atau berpikir (berkhayal). Keadaan demikian dapat diketahui karena air kencingnya menjadi banyak dan keluarnya air madzi juga dalam keadaan bernafsu.
Wudhu orang yang mengidap as-salas juga akan batal jika keadaan itu terjadi pada dirinya sendiri dalam jangka masa yang pendek.
Jika wudhu orang yang mengidap as-salas tidak batal, maka dia dapat melakukan shalat apa pun hingga didapati sebab-sebab lain yang membatalkan wudhu. Akan tetapi, sunnah bagi orang yang mengidap as-salas dan istihadah untuk berwudhu pada setiap hendak melaksanakan shalat, tetapi hal tersebut bukanlah wajib bagi mereka.

C. Madzhab Syafi'i

Pendapat ulama madzhab Syafi’i (Mughnil Muhtaj jilid 1 halaman 111 dan seterusnya; Al-Hadramiyyah halaman 28), orang yang mengidap penyakit as-salas yang berterusan seperti air kencing, madzi, najis atau angin, serta perempuan yang terkena istihadhah hendaklah membersihkan kemaluan kemudian menutupnya (dengan cara memasukkan sesuatu ke dalamnya). Akan tetapi jika dia sedang berpuasa atau tindakan tersebut menyakitkan perempuan yang beristihadhah dan menyebabkan dia merasakan pedih karena tekanan darah, maka pada saat itu dia tidak wajib menyumbat atau mengikat.
Cara perempuan yang ber-istihadhah menutup serta mengikat kemaluannya adalah dengan menempelkan sesuatu pada vagina secara rapi. Yaitu, dengan menggunakan sehelai kain yang memiliki dua ujung yang bercabang, salah satu ujung tersebut ditarik ke depan dan ujung yang satu lagi ditarik ke belakang. Kedua-duanya kemudian diikat dengan kain yang lain di pinggang seperti posisi ikat pinggang celana. Setelah itu, dia berwudhu atau bertayamum dengan segera, yaitu wajib berurutan antara mengikat vagina dengan amalan berwudhu. Ia dilakukan setiap waktu shalat telah masuk. Hal ini karena dia ditetapkan sebagai orang yang dihukumi dalam keadaan suci karena keadaan darurat. Oleh sebab itu, tidak sah jika dilakukan sebelum waktu shalat masuk, kedudukan adalah sama seperti tayamum.
Kemudian dia wajib melakukan shalat secara bersegera untuk memendekkan masa hadats. Jika ia mengakhirkan shalat karena ada kepentingan diri atau karena kepentingan yang berkaitan dengan shalat seperti menutup aurat, adzan dan iqamah, menunggu jamaah, berijtihad mencari arah qiblat, berjalan ke masjid dan mendapat halangan, maka wudhunya tidak rusak (tidak batal). Hal ini karena perkara tersebut tidak dihitung sebagai sesuatu yang telah memperlambat shalat. Akan tetapi jika tidah seperti dia memperlambat shalat bukan karena sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan shalat, seperti karena makan, minum, menjahit, dan berbicara, maka menurut pendapat yang ashah, kelewatan tersebut membahayakan wudhunya dan ia menjadi batal. Oleh sebab itu, dia wajib mengulangi wudhu dan juga mengulangi untuk menjaga salas-nya karena hadats dan najis yang berulang-ulang sedangkan dia mampu menghindarkannya.
Wajib bersuci dan memperbarui pengikat vagina menurut pendapat yang shahih. Wajib juga berwudhu untuk setiap shalat fardhu dan juga shalat yang dinadzarkan. Kedudukannya sama seperti orang yang bertayamum karena hadatsnya masih ada. Dia dapat menunaikan shalat sunnah saja sebanyak apa pun yang dia kehendaki. Hukum shalat jenazah adalah sama seperti shalat sunnah. Hal ini karena terdapat sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Fatimah binti Abi Hubaisy, "Berwudhulah bagi setiap shalat."
Jika perkara yang menjadi uzur tersebut hilang dalam waktu yang dapat digunakan seseorang untuk berwudhu dan melaksanakan shalat, seperti darahnya terhenti, maka dia wajib berwudhu dan membersihkan darah yang terdapat pada vagina.
Sedangkan orang yang terkena as-salas air mani, maka dia wajib mandi untuk setiap shalat fardhu. Jika hadats itu berhenti pada waktu shalat dimulai, maka wajib baginya untuk melakukan shalat tanpa mengulangi mandi. Orang yang terkena as-salas tidak boleh menggantungkan kantong hingga menyebabkan air kencing itu dapat menetes ke dalamnya.
Orang yang uzur hendaklah berniat (sewaktu berwudhu) dengan niat untuk membolehkan shalat, bukan berniat dengan niat untuk menghilangkan hadats. Hal ini karena hadats yang berterusan tidak dapat dihilangkan oleh wudhunya. Namun, dia dibolehkan beribadah, seperti pendapat yang dikatakan ulama madzhab Hambali.
Dengan ini, maka jelaslah bahwa ulama madzhab Syafi'i dan Hambali memiliki pendapat
yang sama tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan wudhu orang yang uzur. Adapun ulama madzhab Hambali dan madzhab Hanafi berpendapat, bahwa boleh melaksanakan shalat fardhu yang lebih dari satu dalam satu waktu dengan satu wudhu. Apa yang wajib pada pendapat mereka adalah satu wudhu pada setiap waktu shalat. Akan tetapi, ulama madzhab Syafi'i tidak membolehkan shalat yang melebihi satu fardhu, karena apa yang wajib di kalangan mereka adalah memperbarui wudhu untuk setiap melaksanakan shalat fardhu.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Maliki bersepakat tentang wajibnya memperbarui wudhu bagi orang yang uzur. Hanya ulama madzhab Maliki saja yang berkata, memperbarui wudhu adalah sunnah. Berwudhu juga dilakukan setelah waktu shalat masuk menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan Hambali, selain (waktu) shalat Zhuhur menurut pendapat ulama madzhab Hanafi. Menurut ulama madzhab Hanafi, shalat Zhuhur boleh didahulukan waktunya karena ia didahului oleh waktu yang kosong.

D. Madzhab Hambali

Pendapat ulama Madzhab Hambali (Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 138, 247 dan seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 340-342), wudhu orang yang mengidap penyakit hadats yang berterusan sebab as-salas, air madzi, keluar darah, kentut yang tidak dapat dikawal dan sejenisnya, tidaklah batal. Keadaan mereka sama seperti perempuan yang beristihadhah, jika kondisi hadats itu berterusan hingga menghabiskan sebagian waktu shalat yang membolehkan seseorang itu bersuci. Jika hadatsnya terhenti dalam waktu yang dapat digunakan untuk berwudhu dan shalat, maka dia wajib melaksanakan shalat. Akan tetapi dia wajib berwudhu lagi jika setiap kali akan shalat keluar sesuatu yang menjadi sebab kepada hadats yang berterusan. Hal ini dilakukan setelah membasuh tempat berkenaan, mengikat, dan menjaganya dari kembali terjadi. Wudhunya tidak sah kecuali setelah masuk waktu shalat.
Hal ini karena berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, "Berwudhulah untuk setiap shalat, (dan janganlah kamu berwudhu) sehingga masuk waktunya.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dia menghukuminya shahih dan juga Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 1 halaman 275).
Dalam lafal lain, Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Berwudhulah pada setiap waktu untuk setiap shalat.” Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shahih.
Apalagi karena dia suci dalam keadaan uzur dan darurat. Oleh sebab itu, dia terikat dengan masuknya waktu shalat seperti hukum bertayamum. Jika dia berwudhu sebelum masuk waktu shalat, kemudian sesuatu yang dapat membatalkan wudhunya keluar, maka thaharah-nya batal.
Boleh bagi perempuan yang ber-istihadhah mengabungkan (jamak) dua shalat fardhu dengan satu wudhu. Hal ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Hamnah binti Jahsyi untuk menggabungkan dua shalat fardhunya dengan satu kali mandi (dianggap shahih oleh At-Tirmidzi). Selain itu, Rasul juga pernah menyuruh Sahlah binti Suhail dengan perintah yang sama, karena wudhunya dianggap masih kekal hingga ke akhir waktu. Hal ini seperti orang yang bertayamum, malah keadaannya lebih utama lagi.
Jika perkara yang menjadi uzur hilang, seperti berhentinya darah istihadhah dalam jangka waktu yang dapat digunakan untuk berwudhu dan menunaikan shalat, maka thaharahnya batal. Oleh sebab itu, dia wajib memulakan thaharah-nya karena hadats yang ada sudah berhenti menyebabkan dia ditetapkan hukum seperti orang yang berada dalam keadaan hadats yang tidak berterusan.
Cara orang yang uzur melakukan persiapan berwudhu adalah sebagai berikut. Perempuan
yang ber-istihadhah hendaklah membasuh vaginanya (farji) kemudian menutup dengan kapas atau sesuatu yang sejenis (pembalut wanita) untuk menjaga darah supaya tidak keluar. Orang yang mengidap as-salas atau banyak air madzi yang keluar hendaklah mengikat ujung (kepala) penis dengan secuil kain dan menjaga semampunya.
Begitu juga orang yang sering terkentut atau keluar darah, hendaklah dia mengikat tempat keluarnya. Jika tempat itu tidak dapat diikat seperti terdapat luka yang tidak bisa diikat atau karena terkena bawasir atau lubang dubur pecah, maka dia boleh shalat dalam keadaan tersebut. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari Umar. Yaitu ketika dia ditikam, dia menunaikan shalat dalam keadaan terluka yang mengeluarkan darah.
Orang yang uzur hendaklah berniat (ketika wudhu) untuk membolehkan melaksanakan shalat, tidak mencukupi jika dia berniat dengan niat untuk menghilangkan hadats karena ia memiliki hadats yang berterusan.

PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB


Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab



The Indonesiana Center - Markaz BSI (Bait Syariah Indonesia)