Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
2. WAKTU YANG AFDHAL ATAU WAKTU YANG MUSTAHAB
Para ahli fiqih menjelaskan mengenai waktu
yang afdhal atau waktu mustahab bagi setiap shalat. Ulama Hanafi (Al-Lubab jilid
1 halaman 61 dan seterusnya; Fathul Qadir dan ‘Inayah jilid 1
halaman 156 dan seterusnya) mengatakan bahwa lelaki disunnahkan memanjangkan shalat
Fajar hingga tampak cahaya putih, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Panjangkanlah fajar, sesungguhnya waktu tersebut
mempunyai pahala yang besar.” Diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat yaitu
Rafi' bin Khadij dalam Sunan yang Empat, Bilal, Anas, Qatadah bin Nu'man, Ibnu Mas'ud,
Abu Hurairah, dan Hawa Al-Anshariyyah. Imam At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
hasan shahih (Nashbur Rayah jilid 10 halaman 235).
Kata al-isfar yang disebut dalam hadits di
atas artinya adalah memanjangkan shalat dengan maksud supaya mendapat sinaran
cahaya. Yaitu, memulakan shalat setelah cahaya putih bersinar dengan cara
membaca bacaan-bacaan sunnah terlebih dahulu. Ini bermakna membaca ayat dengan
tartil sebanyak 60 atau 40 ayat, kemudian jika berlaku hadats, hendaklah diulangi
dengan taharah. Ini juga disebabkan tujuan isfar adalah untuk memperbanyak jumlah
jamaah.
Shalat pada waktu ghalas (gelap)
menyebabkan jamaah sedikit. Memperbanyak jumlah jamaah termasuk amalan yang
lebih baik. Bahkan, cara tersebut dapat memudahkan tercapainya apa yang
dimaksudkan oleh hadits hasan yang diriwayatkan oleh sahabat Anas, “Siapa
yang shalat Fajar dengan berjamaah, kemudian dia duduk berdzikir mengingati
Allah Ta’ala hingga matahari naik, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia
akan memperoleh pahala yang sama seperti pahala satu haji yang sempurna dan
juga seperti pahala satu umrah.”
Adapun bagi wanita, adalah lebih diutamakan
(afdhal) melakukan shalat pada waktu fajar masih kelam (al-ghalas),
karena pada waktu itu mereka lebih terlindungi dari pandangan orang. Selain
shalat Fajar, mereka hendaklah menunggu hingga jamaah lelaki selesai shalat
berjamaah. Taghlis (shalat pada waktu fajar masih kelam) adalah lebih baik
bagi lelaki dan perempuan yang sedang mengerjakan haji di Muzdalifah.
Di negeri-negeri yang panas, ketika
penduduknya hendak mendirikan shalat Zhuhur pada musim panas, maka disunnahkan
melewatkan shalat Zhuhur hingga waktunya tidak panas menyengat (tabriid),
supaya shalatnya dilakukan dalam keteduhan. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dinginkanlah dengan Zhuhur.
Sesungguhnya keadaan panas yang menyengat adalah dari bara api neraka.”
Begitu juga disunnahkan menyegerakan shalat
pada musim dingin, musim semi, dan musim gugur. Hal ini berdasarkan hadits
riwayat Anas yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, “Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam ketika dalam keadaan musim dingin, beliau menyegerakan shalat.
Semasa musim panas, beliau menunggu (waktu tidak panas) untuk shalat.” (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 244)
Shalat Ashar juga disunnahkan supaya dilewatkan,
untuk memberi peluang yang luas bagi dilaksanakannya shalat sunnah, selagi cahaya
matahari belum menghilang yang menyebabkan kurang jelasnya pandangan. Hal ini
dilakukan pada musim dingin maupun musim panas. Sebab dengan cara seperti ini,
maka jumlah shalat sunnah yang mungkin dilakukan bisa semakin banyak. Hal ini disebabkan
shalat sunnah itu setelah shalat Ashar adalah makruh.
Shalat Maghrib disunnahkan untuk
menyegerakannya. Antara adzan dan iqamah tidak boleh diselangi kecuali dengan
jarak waktu bacaan tiga ayat ataupun duduk yang singkat. Hal ini disebabkan
melewatkan shalat Maghrib adalah makruh, karena ia menyerupai orang Yahudi. Juga,
karena terdapat hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Umatku
tetap dalam keadaan baik (atau beliau berkata: Dalam keadaan fithrah), selagi mereka
tidak melewatkan shalat Maghrib sehingga bintang bertaburan.” Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya (Nashbur Rayah jilid 1
halaman 246).
Melewatkan shalat Isya, disunnahkan hingga
sebelum datangnya sepertiga malam pertama. Hal ini selain waktu al-ghaim
(berawan). Adapun dalam waktu berawan, disunnahkan untuk menyegerakan shalat.
Kesunnahan supaya shalat dilewatkan, disebut dalam hadits-hadits yang telah
lalu, yaitu hadits, “Sekiranya tidak menjadi susah atas umatku, niscaya aku
akan menyuruh mereka melewatkan shalat Isya hingga sepertiga malam atau separuh
malam.”
Orang yang selalu melakukan shalat malam dan
percaya bahwa dia dapat bangun setelah tidur malam, disunnahkan untuk
melewatkan shalat Witir hingga ke akhir malam, supaya shalat Witir menjadi
shalat yang dilakukannya paling akhir pada malam itu. Sebaliknya, jika dia
tidak yakin bahwa dia dapat bangun dari tidur malam, maka hendaklah dia shalat
Witir sebelum dia tidur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Barangsiapa bimbang (tidak yakin) bangun pada akhir
malam, hendaklah dia shalat Witir pada awalnya. Dan siapa yang yakin dapat bangun
pada akhir malam, hendaklah dia shalat Witir pada akhir malam. Sesungguhnya shalat
malam adalah dipersaksikan, dan itu adalah amalan yang utama.” Diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah (Nashbur Rayah jilid 1 halaman
249).
Pendapat ulama Maliki (Asy-Syarhush Shaghir
jilid 1 halaman 227 dan seterusnya; Asy-Syarhul Kabir wad Dasuqi jilid
1 halaman 179 dan seterusnya; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 43), waktu
yang paling baik untuk semua shalat adalah pada awal waktu, baik itu shalat
Zhuhur atau lainnya, baik dilaksanakan secara individu atau berjamaah, dan
dalam masa panas ataupun tidak, Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam ketika menjawab –pertanyaan orang yang bertanya kepada
beliau, “Apakah pekerjaan yang paling baik?” Beliau menjawab, “Shalat
pada waktunya atau shalat pada awal waktunya.” Riwayat Al-Bukhari dan Ad-Daruquthni
serta perawi lain dari Ibnu Mas'ud. Al-Hakim berkata bahwa riwayatnya adalah
menurut syarat Imam Al-Bukhari dan Muslim (asy-Syaikhan), dan lafalnya
yang shahih ialah "Shalat pada waktunya."
Juga, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari Ibnu Umar secara marfu’, “Shalat pada awal waktu mendapatkan keridhaan
Allah Ta’ala dan pada akhir waktu mendapat maaf dari Allah Ta’ala.” Riwayat
At-Tirmidzi, Asy-Syafi’i berkata, “Keridhaan Allah” untuk orang yang
berbuat baik (muhsinin), dan “kemaafan Allah” untuk orang yang tidak
perhatian.
Yang paling afdhal adalah menyegerakan shalat
Shubuh, Ashar, dan Maghrib. Tetapi menurut pendapat yang masyhur, adalah lebih afdhal
mengemudiankan shalat Zhuhur hingga bayang-bayang benda panjangnya seperempat dari
aslinya setelah tergelincirnya matahari, baik pada musim panas atau musim
dingin. Atau, mengakhirkannya hingga bayangan orang lebih kurang satu hasta,
yaitu apabila bayangan seseorang lebih kurang menjadi seperempat dari bayangan
sempurnanya setelah tergelincirnya matahari. Melewatkan shalat ini disunnahkan
hingga panjangnya bayang-bayang menjadi seperempat asalnya, adalah bagi orang
yang ingin shalat berjamaah atau menunggu kedatangan jamaah supaya lebih
banyak, untuk mendapatkan pahala yang lebih. Tetapi jika waktu itu sangat panas,
disunnahkan melewatkan shalat Zhuhur agar
suasana menjadi agak sejuk.
Demikian juga dalam kitab Mudawwanah, ada
pendapat dhaif yang mengatakan, adalah lebih afdhal melewatkan sedikit waktu
shalat Isya di masjid. Tetapi menurut pendapat yang rajih seperti yang
ditahqiqkan oleh Ad-Dasuqi, secara mutlaknya shalat Isya berjamaah sunnah untuk
disegerakan.
Kesimpulannya, bersegera melakukan shalat pada
awal waktu adalah lebih afdhal, kecuali dalam keadaan menunggu para jamaah untuk
shalat Zhuhur atau lainnya. Juga, ketika dalam keadaan menunggu udara menjadi sejuk
pada shalat Zhuhur.
Menurut pendapat ulama Syafi'i (Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 125 dan seterusnya; Al-Muhadzdzab jilid 1
halaman 53), disunnahkan untuk menyegerakan shalat pada awal waktu, termasuk
shalat Isya, kecuali shalat Zhuhur. Karena, shalat Zhuhur ketika udara sangat
panas disunnahkan menunggu hingga suhu udara tidak panas lagi. Hal ini
berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan sebelum ini dalam madzhab
Maliki dan Hanafi.
Menurut pendapat yang shahih, kesunnahan melewatkan
shalat Zhuhur hingga tidak panas hanya dikhususkan di negara-negara yang berhawa
panas. Ia juga dikhususkan bagi para jamaah masjid atau guru dan murid madrasah
yang datang ke masjid dari tempat jauh.
Makruh menamakan Maghrib sebagai Isya dan Isya
sebagai Atamah, karena ada larangan
berkenaan dengan perkara tersebut. Larangan memanggil
Maghrib dengan panggilan Isya disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari,
"Jangan kamu membiarkan orang Arab Badui menamakan shalat Maghrib
dengan nama Isya." Mengenai larangan memanggil shalat Isya dengan
panggilan Atamah, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Jangan
kamu membiarkan orang Arab Badui menamakan shalat lsya sebagai Atamah, yaitu
mereka mengakhirkannya hingga gelap gulita." Hadits yang kedua ini
diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah (Nailul Authar jilid 1
halaman 16).
Tidur sebelum shalat Isya adalah makruh.
Demikian juga bercerita-cerita setelah shalat Isya kecuali mengenai perkara
kebajikan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat jama'ah dari Abu Barzah Al-Aslami
bahwa, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam suka mengakhirkan shalat
Isya yang mereka sebut Atamah, beliau tidak suka tidur sebelumnya dan berbicara
(bercerita) setelahnya.”
Menurut pendapat ulama Hambali (Al-Mughni jilid
1 halaman 385-395; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 291-295), shalat
pada awal waktu adalah lebih afdhal kecuali pada waktu shalat Isya, Zhuhur
dalam keadaan sangat panas, dan juga Maghrib dalam keadaan berawan hitam. Adapun
shalat Isya, hendaklah dilewatkan sampai waktu pilihan (al-mukhtaar),
yaitu hingga sepertiga malam pertama atau separuh malam. Inilah yang lebih afdhal,
selagi ia memang tidak menyusahkan para makmum atau sebagian dari mereka. Jika
ia menyusahkan, maka hukumnya adalah makruh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah lalu, “Jika aku tidak
menyusahkan umatku, niscaya aku menyuruh mereka melewatkan shalat Isya hingga
ke sepertiga atau separuh malam.”
Ditambah lagi baginda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyuruh imam supaya meringankan (mempercepat) shalat
karena mempertimbangkan kepada makmum.
Shalat Zhuhur juga disunnahkan tabriid (menunggu
waktu teduh) dalam semua musim, khususnya pada musim panas. Adapun shalat Isya
sunnah untuk disegerakan. Hal ini berdasarkan hadits yang telah lalu yang artinya,
“Sekiranya panas terik, hendaklah menunggu teduh, sebab panas terik adalah bara
api neraka.”
Ketika keadaan berawan hitam, disunnahkan melewatkan
shalat Zhuhur dan Maghrib, dan disunnahakan menyegerakan shalat Ashar dan Isya.
Karena, ia adalah waktu yang dibimbangi berlaku halangan seperti hujan, angin,
dan dingin. Oleh karena itu, melewatkan shalat yang pertama (Zhuhur atau Maghrib)
adalah lebih utama dengan tujuan menggabungkan (jamak) antara dua shalat
(Zhuhur dengan Ashar/Maghrib dengan Isya) pada waktu hujan. Adapun mempercepat
shalat yang kedua (Ashar atau Isya) adalah dengan tujuan untuk mengelakkan
kesusahan yang mungkin timbul karena halangan itu.
Menurut ulama Hambali, tidak disunnahkan menamakan
Isya dengan nama Atamah. Apabila Ibnu Umar mendengar seseorang menyebut Atamah,
maka dia akan marah dan mengangkat suara dengan mengatakan bahwa itu adalah
Isya.
Kesimpulannya, para ahli fiqih bersepakat mengatakan
bahwa waktu yang afdhal untuk melakukan shalat adalah pada awal waktu shalat.
Ulama Hanafi menyatakan isfar bagi shalat Shubuh. Adapun jumhur ulama
berpendapat, bahwa shalat dalam keadaan masih gelap (taghlis) adalah
lebih baik. Semua pihak berpendapat adalah mustahab melewatkan Zhuhur semasa
waktu panas. Ulama Hanafi juga berpendapat melewatkan shalat Ashar adalah
mustahab. Ulama Maliki juga mengatakan melewatkan shalat dengan harapan menemui
shalat jamaah adalah mustahab. Ulama Hambali mengatakan melewatkan waktu shalat
Isya, Zhuhur, dan Maghrib dengan tujuan menjamak antara dua shalat sewaktu muncul
awan hitam dan dikhawatirkan hujan adalah mustahab.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments