Al-Faqiir ilaa Ridhaa Rabbihi Eka Wahyu Hestya Budianto
6. WAKTU-WAKTU LAIN YANG DIMAKRUHKAN SHALAT
Ulama Hanafi dan Maliki menetapkan hukum
makruh bagi shalat sunnah dalam waktu-waktu berikut. (Apa yang disebut di sini
adalah makruh tahrim menurut madzhab Hanafi). (Ad-Durrul Mukhtar jilid 1
halaman 349-351; Muraqil Falah halaman 31; Fathul Qadir jilid 1
halaman 166; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 46; Asy-Syarhul Kabir jilid
1 halaman 187; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 242, 511-513; Mughnil
Muhtaj jilid 1 halaman 129 dan 313; Al-Muhalla ‘alal Minhaj ma’a Qalyubi
wa Umairah jilid 1 halaman 119; Al-Hadramiyyah halaman 32 dan
seterusnya; Al-Mughni jilid 1 halaman 116, 129, 135, 387; Kasysyaful
Qina’ jilid 2 halaman 47, 63)
A. Setelah Terbit Fajar, Sebelum Shubuh
Menurut madzhab Hanafi, shalat sunnah pada
waktu tersebut adalah makruh tahrim, selain shalat sunnah qabliyah Shubuh.
Adapun sebagian ulama Syafi'i menghukuminya sebagai makruh tanzih. Namun
menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab, hukumnya tidaklah makruh tanzih.
Sedangkan pendapat yang shahih dalam ulama Hambali menyatakan bahwa shalat
sunnah dalam waktu tersebut adalah dibolehkan. Sebab, hadits-hadits shahih yang
melarang tidak menyatakan dengan jelas larangan shalat sebelum shalat Shubuh, yang
ada hanyalah hadits riwayat Ibnu Umar yang menerangkan masalah ini, namun
hadits tersebut gharib. Berdasarkan hadits ini, maka shalat Witir sebelum fajar
dibolehkan.
Menurut pendapat ulama Maliki, shalat sunnah
setelah munculnya fajar sebelum shalat Shubuh adalah makruh tanzih. Namun, pada
waktu itu dibolehkan mengqadha' shalat-shalat fardhu yang terlewat, dua rakaat
Fajar, Witir dan shalat wirid (yaitu shalat malam yang biasa dilakukan oleh
seseorang secara tetap).
Dalil ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang
mengatakan makruh adalah hadits riwayat Ibnu Umar, “Tidak ada shalat setelah
fajar kecuali shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh.” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
dalam kitab Mu'jam-nya. Tetapi, yang meriwayatkan hadits ini hanya Abdullah bin
Kharasy. Maka, ia adalah hadits gharib seperti yang dikatakan oleh At-Tirmidzi.
Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan lafal, "Hendaklah kamu yang hadir
ini memberi tahu kepada orang yang tidak hadir, bahwa tidak ada shalat selepas fajar
kecuali dua rakaat." Di dalamnya terdapat orang yang diperselisihkan. Sementara,
riwayat oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi berlafaz, "Tidak ada shalat selepas
fajar kecuali dua sujud." Tetapi, ini adalah hadits gharib (Nashbur
Rayah jilid 1 halaman 255 dan seterusnya).
B. Masa Sebelum Shalat Maghrib
Menurut ulama Hanafi dan Maliki, shalat sunnah
sebelum shalat Maghrib adalah makruh. Hal ini berdasarkan umumnya riwayat yang
menyuruh disegerakannya shalat Maghrib. Di antaranya adalah hadits riwayat
Salamah ibnul Akwa' bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
Maghrib apabila matahari terbenam. Riwayat al-jama’ah kecuali An-Nasa’i
(Nailul Authar jilid 2 halaman 2).
Dan hadits riwayat Uqbah bin Amin “Umatku
tetap dalam keadaan baik atau dalam keadaan fitrah selama mereka tidak melewatkan
shalat Maghrib hingga bintang bertaburan.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud (Nailul
Authar jilid 2 halaman 3).
Melakukan shalat sunnah pada waktu itu dapat
menyebabkan shalat Maghrib terlewat. Oleh sebab itu, bersegera melakukan shalat
Maghrib adalah mustahab.
Menurut pendapat ulama Syafi'i yang masyhur,
shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib adalah sunnah, tetapi ia bukanlah sunnah
mu'akkad.
Pendapat ulama Hambali juga mengatakan bahwa
shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib adalah boleh, bukan sunnah. Dalil
mereka adalah hadits yang dikeluarkan oleh lbnu Hibban dari Abdullah bin Mughaffal
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
dua rakaat sebelum shalat Maghrib. Anas berkata, “Pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kami shalat dua rakaat setelah
matahari terbenam dan sebelum shalat Maghrib.” Riwayat Muslim dan Abu Dawud
(Nailul Authar jilid 2 halaman 6)
Begitu juga, hadits dari Abdullah bin Mughafal
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah
dua rakaat sebelum maghrib.” Kemudian beliau berkata, “Shalatlah dua
rakaat sebelum Maghrib.” Kemudian pada yang ketiga kalinya, beliau berkata,
“Bagi siapa saja yang mau melakukannya.” Beliau mengatakan yang terakhir
ini karena khawatir jika shalat itu dianggap sunnah. Riwayat Ahmad, Al-Bukhari
dan Abu Dawud. Dalam riwayat yang lain disebutkan “antara dua adzan shalat,
kemudian yang ketiga kalinya Rasul berkata, “Bagi siapa yang mau saja.” Riwayat
al-jama’ah (Nailul Authar jilid 2 halaman 7)
Menurut Imam Asy-Syaukani, sebenarnya hadits-hadits
tentang shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Maghrib mengkhususkan dalil-dalil
yang umum tentang kesunnahan menyegerakan penunaian shalat fardhu Maghrib.
C. Sewaktu lmam Sedang Berkhotbah Jumat
Menurut ulama madzhab Hanafi dan Maliki, shalat
sunnah ketika khatib keluar (menuju mimbar) adalah makruh, hingga shalat Jumat
selesai dikerjakan. Ini berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah, “Jika
engkau berkata kepada jamaah pada hari Jumat, 'diam' sedang imam berkhotbah, maka
terlepaslah pahala shalat.” Riwayat al-jama’ah kecuali Ibnu Majah (Subulus
Salam jilid 2 halaman 50).
Ulama Hanafi menambahkan bahwa shalat sunnah
setelah shalat Jumat juga makruh, hingga orang-orang mulai meninggalkan masjid.
Ulama Syafi'i dan Hambali juga mengatakan makruh
tanzih melakukan shalat sunnah pada waktu itu, kecuali shalat tahiyyatul masjid,
jika ia tidak khawatir terlewat takbiratul ihram. Dia wajib meringankan
(mempercepat) shalatnya itu dengan cara melakukan yang wajib saja. Jika dia
tidak melakukan shalat sunnah qabliyah Jumat, maka dia hendaklah meniatkannya
bersama-sama dengan niat shalat sunnah tahiyyatul masjid, sebab dia tidak boleh
melakukan shalat sunnah lebih
dari dua rakaat (sewaktu imam berkhotbah).
Menurut ulama Syafi'i (pada waktu itu) shalat selain
dari sunnah tahiyyatul masjid adalah tidak sah. Dalil mereka adalah hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu, “Jika salah seorang
dari kamu masuk masjid, maka janganlah duduk hingga dia shalat dua rakaat dulu.”
Hadits ini mengkhususkan hadits yang menerangkan
larangan. Jabir meriwayatkan bahwa Sulaik Al-Ghatfani datang ke masjid sewaktu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhotbah lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Sulaik,
bangun dan shalatlah dua rakaat dan ringankan keduanya (melakukan yang wajib saja).”
Diriwayatkan oleh Muslim. Menurut riwayat Al-Bukhari, "Lelaki masuk ke masjid
pada hari Jumat, ketika Nabi sedang berkhotbah. Nabi bertanya, 'Apakah kamu
sudah shalat? Orang itu menjawab, 'Belum.' Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
'Bangun dan shalatlah dua rakaat..” (Subulus Salam jilid 2 halaman 51J).
D. Sebelum Shalat Hari Raya dan Setelahnya
Para ulama Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan
bahwa shalat sunnah sebelum shalat hari raya dan setelahnya adalah makruh. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Abu Sai'd Al-Khudri yang mengatakan bahwa, “Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat apa pun sebelum shalat Hari
Raya. Apabila beliau pulang ke rumahnya, beliau shalat dua rakaat.” Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dengan isnad yang baik (Subulus Salam jilid 2 halaman 67).
Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dan Ahmad. Juga, Imam At-Tirmidzi dari Ibnu
Umar.
Para ulama Hambali menambahkan, tidak mengapa
melakukan shalat sunnah jika dia hendak keluar dari tempat shalat. Namun
menurut ulama Hanafi dan Hambali, shalat tersebut makruh, dan kemakruhan ini
bagi imam dan juga makmum, baik di masjid atau di tempat shalat lainnya.
Adapun menurut ulama Maliki, dimakruhkannya
shalat tersebut adalah ketika shalat 'ld dilakukan di tempat shalat (tanah
lapang dan lain-lain), tidak di masjid. Menurut pendapat ulama Syafi'i, shalat sunnah
bagi imam sebelum shalat hari raya dan sesudahnya adalah makruh. Sebab, dia
menyibukkan diri dengan perkara yang kurang penting. Selain itu, apa yang
dilakukannya tidak sesuai dengan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat dua rakaat pada Hari Raya dan beliau tidak shalat
sebelumnya dan tidak pula setelahnya. Diriwayatkan oleh Imam Hadis yang Tujuh (Subulus
Salam jilid 2 halaman 66).
Selain imam, tidak dimakruhkan shalat sunnah
sebelum shalat hari raya, setelah matahari naik tinggi. Hal ini disebabkan
alasan yang menyebabkan makruh, tidak ada. Begitu juga melakukan shalat sunnah
setelah shalat Hari Raya tidaklah dimakruhkan, seandainya memang dia tidak
mendengar khotbah. Jika dia mendengar khotbah, maka dia makruh melakukan yang
demikian.
E. Ketika Shalat Fardhu Sedang Dilakukan
Menurut pendapat ulama Hanafi, melakukan shalat
sunnah ketika shalat fardhu sedang dijalankan adalah makruh tahrim. Hal ini berdasarkan
hadits, “Apabila shalat fardhu sedang didirikan, maka tidak boleh melakukan
shalat kecuali shalat fardhu.” Diriwayatkan oleh Muslim dan Ashabus
Sunan yang empat dari Abu Hurairah. Hadis ini adalah shahih.
Kecuali shalat sunnah qabliyah Shubuh, jika
memang dia tidak khawatir terlewat jamaah, walaupun hanya sempat tasyahhud
saja. Jika khawatir terlewat jamaah, hendaklah ia meninggalkan shalat sunnah
tersebut. Jadi, shalat sunnah qabliyah Shubuh adalah boleh dilakukan, walaupun
shalat fardhu sedang dilaksanakan. Hal ini disebabkan shalat sunnah qabliyah
Shubuh ini sangat dituntut untuk dilakukan, dan juga karena Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam senantiasa melakukannya. Sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, “Dua rakaat (sunnah) Shubuh adalah lebih baik daripada
dunia dan seluruh isinya.” Riwayat Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i
dari Aisyah. Ini adalah hadis shahih (Nailul Authar jilid 3 halaman 19).
Aisyah berkata, “Tidak ada sesuatu pun shalat
sunnah yang Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat
memerhatikannya selain dua rakaat (sunnah) fajar.” Muttafaqun ‘alaihi.
Ath-Thahawi dan lain-lain meriwayatkan dari
Ibnu Mas'ud, bahwa dia masuk masjid, dan shalat sedang dijalankan. Lalu dia
shalat dua rakaat sunnah Fajar di masjid menghadap ke salah satu tiang.
Begitu juga, makruh hukumnya melakukan shalat
sunnah apabila waktu shalat fardhu sudah sempit. Karena dalam keadaan yang demikian,
dikhawatirkan shalat fardhu tersebut akan terlewat.
Menurut pendapat Imam Syafi'i dan jumhur (Syarhul
Muslim lin Nawawi jilid 5 halaman 221 dan seterusnya; Al-Majmu’ jilid
2 halaman 273, 550; Al-Mughni jilid 1 halaman 456), makruh melakukan
shalat sunnah sewaktu shalat fardhu sedang dilakukan, baik shalat sunnah
tersebut adalah shalat sunnah rawatib seperti sunnah (yang mengiringi) Shubuh,
Zhuhur; dan Ashar, ataupun shalat sunnah yang lain seperti shalat sunnah
tahiyyatul masjid.
Imam An-Nawawi telah memberikan satu judul
pembahasan mengenai masalah ini, “Bab makruh melakukan shalat sunnah setelah
petugas adzan memulai iqamah untuk shalat, baik shalat itu adalah shalat sunnah
Rawatib seperti shalat sunnah Shubuh, Zhuhur, atau yang lain, baik dia meyakini
bahwa dia akan mendapat satu rakaat bersama-sama imam atau tidak.”
Dalil jumhur yang mengatakan makruh melakukan
shalat sunnah dalam waktu tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Apabila shalat didirikan, maka tidak boleh dilakukan
shalat kecuali shalat fardhu.”
Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati lelaki yang
sedang shalat, padahal iqamah shalat Shubuh sudah dikumandangkan. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hampir-hampir
salah seorang kamu melakukan sholat Shubuh empat rakaat.” Artinya, setelah
iqamah untuk shalat Shubuh dikumandangkan, maka seseorang tidak boleh melakukan
shalat kecuali shalat fardhu. Hadis ini menjadi dalil untuk menolak pendapat
golongan ulama Hanafi yang membolehkan shalat dua rakaat Shubuh setelah iqamah
di masjid, jika dia belum shalat sunnah.
Oleh karena itu, apabila seseorang melakukan
shalat sunnah dua rakaat setelah iqamah, kemudian dia shalat fardhu bersama jamaah,
maka jadilah ia seperti yang dimaksudkan dalam hadits, “Orang yang shalat Shubuh
empat rakaat,” karena ia melakukan empat rakaat shalat setelah iqamah
dikumandangkan.
Hikmah larangan shalat sunnah setelah iqamah
adalah supaya seseorang itu sempat melakukan shalat fardhu bersama imam dari awal,
sehingga dia dapat memulai shalatnya beriringan dengan imam. Jika dia sibuk
dengan shalat sunnah, maka dia akan terlewat takbiratul ihram bersama-sama
imam. Begitu juga dia akan terlewat beberapa amalan shalat yang bisa menyempurnakan
kefardhuan. Ibadah fardhu lebih utama untuk dijaga supaya dapat terlaksana
dengan sempurna. Hikmah lainnya adalah supaya keluar dari perbedaan pendapat
dalam masalah ini.
Namun, Imam Malik mengatakan bahwa sekiranya
orang itu tidak khawatir akan terlewat satu rakaat, maka hendaklah dia
melakukan shalat sunnah tersebut di luar masjid.
PEMBAHASAN LENGKAP FIKIH 4 MADZHAB
Wallahu Subhaanahu wa Ta’aala A’lamu Bi Ash-Shawaab
##########
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
MATERI KEILMUAN ISLAM LENGKAP (klik disini)
Artikel Bebas - Tafsir - Ulumul Qur'an - Hadis - Ulumul Hadis - Fikih - Ushul Fikih - Akidah - Nahwu - Sharaf - Balaghah - Tarikh Islam - Sirah Nabawiyah - Tasawuf/Adab - Mantiq - TOAFL
##########
0 Comments